Peristiwa-Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw. – Perang Hunain
Khotbah Jumat Sayidina Amirulmukminin, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih Al-Khamis ayyadahullāhu ta’ālā binashrihil ‘azīz, pada 29 Agustus 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهٗ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أَمَّا بَعْدُ، فَأَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ١ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ٢ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ٣ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ٤ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ٥ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ٦ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ٧
Hari ini saya akan menyampaikan beberapa rincian lebih lanjut mengenai Perang Hunain. Ketika Rasulullah saw. hendak berangkat dari Makkah, beliau saw. mengangkat Hazrat Uthab bin Usaid r.a. sebagai amir Makkah. Beliau adalah amir pertama Makkah yang diangkat. Pada saat itu usia Hazrat Uthab r.a. sekitar 20 tahun. Hazrat Mu’adz bin Jabal r.a. diberi tanggung jawab untuk mengajarkan agama kepada penduduk Makkah.
Adapun mengenai sosok Hazrat Uthab r.a., nama ayahnya adalah Usaid bin Abul-‘Is bin Umayyah. Keduanya, yakni ayah dan anak adalah tokoh terkemuka dari suku Quraisy dan merupakan penentang keras Islam. Nama ibunya adalah Zainab. Ayah Hazrat Uthab r.a. telah wafat sebelum Fatah Makkah.
Kebencian serta jauhnya Uthab dari Islam adalah sedemikian rupa sehingga pada hari Fatah Makkah, ketika Hazrat Bilal r.a. mengumandangkan azan di Ka’bah, Uthab berkata kepada teman-temannya, “Syukurlah, ayahku telah meninggal dunia sebelum mendengar azan ini.” Bagaimanapun, Uthab setelah itu juga menerima Islam pada hari Fatah Makkah.
Rasulullah saw. pernah melihat dalam mimpi bahwa ayahnya, yakni Usaid bin Abul-‘Is ada dalam keadaan Islam dan sebagai amir di Makkah. Ia meninggal dalam keadaan kafir, sehingga takwil mimpi Rasulullah saw. terwujud dalam sosok putranya, Hazrat Uthab r.a. Menurut satu riwayat, Rasulullah saw. melihat dalam mimpi bahwa Uthab datang ke pintu surga dan mengetuk pintu dengan keras, akhirnya pintu dibuka dan ia masuk ke dalamnya. Menurut riwayat lain, Rasulullah saw. bersabda, “Aku melihat ayah Uthab, Usaid, yang kafir dan wafat dalam keadaan kufur, ada di dalam surga, lalu aku berpikir bagaimana Usaid bisa masuk surga”. Pada hari Fatah Makkah, ketika Uthab bin Usaid muncul di hadapan, maka Rasulullah saw. bersabda, “Aku telah melihatnya di surga, bawalah ia ke hadapanku”. Ia lalu dibawa ke hadapan beliau saw. dan beliau mengangkatnya sebagai Amir Makkah dan bersabda, “Wahai Uthab, apakah kamu tahu atas siapa aku mengangkatmu sebagai amir? Aku mengangkatmu sebagai amir atas Ahli Allah yaitu penghuni rumah Allah, oleh karena itu berlakulah baik kepada mereka”. Beliau saw. menyampaikan hal ini tiga kali.
Hazrat Uthab r.a. tetap menjadi Gubernur Makkah hingga wafatnya Rasulullah saw. Menurut satu riwayat, Hazrat Uthab r.a. juga menjadi Gubernur Makkah pada masa Hazrat Abu Bakar r.a., dan beliau wafat di hari yang sama ketika Hazrat Abu Bakar r.a. wafat, namun menurut satu riwayat beliau tetap hidup hingga masa khilafat Hazrat Umar r.a.
Mengenai keberangkatan dari Makkah menuju Hunain tertulis sebagai berikut. Rasulullah saw. berangkat untuk Gazwah Hunain pada tanggal 6 Syawal hari Sabtu dan tiba di Hunain pada tanggal 10 Syawal. Menurut Ibnu Katsir, keberangkatan terjadi pada tanggal 5 Syawal.
Ketika Rasulullah saw. berangkat menuju Hunain, dua orang dari antara istri suci beliau yaitu Hazrat Ummu Salamah r.a. dan Hazrat Zainab r.a. ikut bersama beliau saw. Menurut beberapa riwayat, Hazrat Ummu Salamah r.a. dan Hazrat Maimunah r.a. yang ikut bersama, tetapi menurut riwayat-riwayat yang dapat dipercaya, Hazrat Ummu Salamah r.a. dan Hazrat Zainab r.a. yang ikut bersama beliau saw.
Mengenai jumlah kaum Muslimin, tertera bahwa dalam Gazwah Hunain, meskipun jumlah pasukan Islam lebih sedikit dibandingkan lawan, namun jumlahnya lebih banyak dibandingkan semua gazwah-gazwah sebelumnya hingga. Tidak hanya dari segi jumlah tetapi juga dari segi persenjataan. Para imam dan sejarawan gazwah Nabi telah menulis bahwa Rasulullah saw. berangkat bersama 12.000 kaum muslimin. 10.000 sahabat yang datang dari Madinah untuk Fatah Makkah ikut bersama beliau saw. Dari penduduk Makkah, ada 2.000 orang yang bergerak bersama beliau saw. Sebagian ada yang menyebutkan jumlah 14.000 juga, tetapi kebanyakan riwayat yang didapat adalah jumlah 12.000. Ada 2.000 muslim baru dari Makkah yang ikut bergabung; mereka yang menyebutkan jumlah 14.000, menyebutkan bahwa yang datang dari Madinah adalah 12.000 bukan 10.000, tetapi yang bergabung dari Makkah tetap 2.000 yang disebutkan.
Di jalan menuju Hunain terdapat sebatang pohon bidara besar bernama Dzat Anwat yang sangat dihormati oleh kaum musyrikin, dan sebagai pertanda kemenangan mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di atasnya dan juga melakukan iktikaf di sana serta menunjukkan keyakinan dan penghormatan yang besar. Ketika kafilah melewati dekat pohon tersebut, beberapa muslim baru dari Makkah meminta kepada Rasulullah saw. agar menetapkan untuk mereka juga sebuah pohon yang seperti itu, maka Rasulullah saw. bersabda: “Allāhu akbar. Kalian telah mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan kaum Musa kepada Nabi Musa a.s., yakni,
قَالُوْا يٰمُوْسَى اجْعَلْ لَّنَآ اِلٰهًا كَمَا لَهُمْ اٰلِهَةٌ ۗقَالَ اِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ
“Wahai Musa, buatlah untuk kami juga sesembahan seperti sesembahan mereka.” (Musa) menjawab, “Sesungguhnya kalian adalah kaum yang sangat jahil.” (Al-A‘rāf: 139)
Beliau saw. bersabda, “Kalian juga pasti akan mengikuti jalan orang-orang terdahulu, kalian sedang melakukan perbuatan yang sama seperti mereka.”
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk perang Hunain, 2.000 pemuda yang baru masuk Islam juga ikut serta. Di dalam hati mereka Islam dan iman belum tertanam dengan kuat, dan kemahiran berperang juga tidak istimewa, bahkan untuk persenjataan pun mereka tidak melakukan persiapan khusus, dan mereka inilah orang-orang yang menyebabkan kepanikan di Hunain, yang menjadi sebab kegelisahan sementara dan kemunduran.
Demikian pula dari Makkah, ada beberapa orang yang bukan muslim yang juga berangkat bersama Rasulullah saw. Sebagian berkuda dan sebagian berjalan kaki. Bahkan perempuan-perempuan pun ikut serta; mereka hanya ikut untuk melihat bagaimana hasil perang, dan jika kaum muslimin memperoleh kemenangan maka akan mendapat harta rampasan perang dan mereka tidak peduli apakah Rasulullah saw. atau para sahabat mendapat kesusahan atau kesulitan.
Sebagian dari mereka bergabung semata-mata sebagai penonton dan di antara mereka ada juga kaum musyrikin yang bergabung dalam keadaan masih musyrik. Jumlah kaum musyrikin tersebut disebutkan sekitar 80 orang. Karena itu, sebagian penulis sejarah nabi juga menyatakan bahwa ini adalah perang pertama di mana Rasulullah saw. meminta bantuan dari kaum musyrikin juga, padahal sebelum itu Rasulullah saw. tidak pernah mengikutsertakan seorang musyrik pun dalam perang karena beliau saw. bersabda:
إِنَّا لَا نَسْتَعِينُ مِنَ الْمُشْرِكِ
Yakni, “Kita tidak meminta bantuan dari kaum musyrikin.”
Menurut sebagian penulis sejarah itu, dalam perang Hunain, Rasulullah saw. untuk pertama kalinya juga mengikutsertakan kaum musyrikin, namun yang benar adalah bahwa beliau tidak meminta bantuan. Dalam Perang Badar, Rasulullah saw. juga menolak menerima bantuan seorang musyrik padahal saat itu sangat membutuhkan meskipun satu orang. Adapun sekarang kaum muslimin sudah begitu banyak sehingga menurut Al-Quran jumlah mereka yang banyak itu telah membuat mereka terjebak dalam kesombongan, lantas mengapa pula sekarang perlu bantuan segelintir kaum musyrikin. Oleh karena itu, Rasulullah saw. sama sekali tidak menyertakan seorang musyrik pun dan tidak pula meminta kepada seorang musyrik pun untuk ikut serta dalam perang, melainkan dari rincian-rincian yang terdapat dalam kitab-kitab sejarah nabi, menjadi jelas bahwa banyak orang dari Makkah yang dengan sendirinya bergabung dalam pasukan dengan tujuan hanya untuk menyaksikan perang dan ketamakan akan ganimah, dan mereka beranggapan, “Kaum muslimin pasti akan menang, Mari kita saksikan apa yang terjadi dan kita bawa pulang harta rampasan perang”.
Ada juga beberapa kaum musyrikin yang berniat jahat. Di antara mereka yang bergabung adalah orang yang tidak bisa melupakan kehinaan dan penyesalan atas penaklukan Makkah, dan sebagaimana orang-orang seperti itu telah melakukan upaya yang gagal untuk membunuh Rasulullah saw. di Makkah, mereka juga datang ke sini dengan harapan, “Jika musuh tidak bisa membunuh, maka barangkali kami akan mendapat kesempatan untuk membalas dendam, dan dengan membunuh Rasulullah saw.–na‘ūẓu billāh–ini dapat membalaskan dendam dan menenangkan hati”.
Bagaimanapun juga, pasukan sebanyak 12.000 orang berangkat dari Makkah, dan setelah perjalanan tiga hari, dan menurut sebagian pendapat setelah perjalanan lima hari, mereka tiba di lembah Hunain. Di sepanjang perjalanan, setiap kali ada perisai atau pedang atau barang milik para sahabat yang terjatuh, Abu Sufyan bin Harb berkata kepada Rasulullah saw., “Barang-barang ini serahkan saja kepadaku, aku akan mengambilnya,” sehingga untanya penuh dengan barang-barang.
Hazrat Sahl bin Hanzalah r.a. menuturkan, “Saya sedang berjalan bersama Rasulullah saw. pada hari Hunain. Kami melakukan perjalanan yang sangat panjang hingga sore hari tiba, maka saya ikut serta dalam salat bersama Rasulullah saw. Saat itu, seorang penunggang kuda datang dan berkata, “Wahai Rasulullah saw., saya telah pergi mendahului Anda hingga naik ke gunung ini dan itu, lalu saya melihat bahwa orang-orang Hawazin telah berkumpul dengan membawa perempuan-perempuan mereka, unta-unta mereka, kambing-kambing mereka, dan hewan-hewan mereka.” Maka Rasulullah saw. tersenyum dan bersabda, “Besok insyaallah ini akan menjadi harta ganimah kaum muslimin.” Kemudian beliau saw. bersabda, “Siapa yang akan berjaga untuk kita malam ini?” Anas bin Abi Marshad berkata, “Saya akan berjaga, Wahai Rasulullah.” Beliau saw. bersabda, “Kalau begitu berkendaralah.” Ia pun naik ke kudanya dan datang kepada Rasulullah saw. Beliau saw. bersabda kepadanya, “Pergilah ke lembah ini”. Ini bukan perintah untuk menjaga beliau saw., tetapi beliau saw. telah bersabda untuk mengumpulkan berita dari daerah-daerah sekitar, untuk mengawasi itu. Beliau saw. kemudian bersabda, “Lalu naiklah ke bagian yang tinggi dan jangan sampai kita tertipu pada malam hari karena Anda (yakni jangan sampai Anda lengah dan musuh menipu).”
Ketika pagi tiba, Rasulullah saw. keluar menuju tempat salat. Beliau saw. melaksanakan dua rakaat sunah subuh, kemudian takbir dikumandangkan untuk salat dan Rasulullah saw. mulai memimpin salat. Kiblat beliau menghadap ke arah lembah. Ketika beliau saw. telah selesai melaksanakan salat dan mengucapkan salam, beliau saw. bersabda, “Bergembiralah, kalian mendapat kabar gembira bahwa penunggang kuda kalian telah datang,” yakni orang yang telah ditugaskan sebelumnya itu. Para sahabat berkata, “Kami mulai memandang ke arah lembah di antara pepohonan hingga ia datang dan berdiri di hadapan Rasulullah saw. Ia mengucapkan salam dan berkata, “Saya terus berjalan hingga naik ke tempat yang tinggi di lembah tersebut sebagaimana Rasulullah saw. telah memerintahkan saya untuk pergi ke sana. Ketika pagi tiba, saya naik ke kedua lembah tersebut, saya melihat sekeliling tetapi tidak tampak seorang pun.” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Apakah engkau turun pada malam hari?” Ia menjawab, “Tidak, kecuali untuk salat atau untuk buang hajat.” Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Surga telah menjadi wajib bagi engkau. Engkau telah melaksanakan tugas dengan baik.”
Lalu disebutkan tentang mata-mata orang musyrik. Rasulullah saw. telah tiba di Hunain pada waktu Isya hari Selasa tanggal 10 Syawal. Malik bin Auf telah mengirim tiga orang dari Hawazin sebagai mata-mata agar mereka berkeliling di tengah pasukan Muslim dan mengambil informasi serta melaporkan seluruh rincian keadaan ketika kembali. Akan tetapi, ketika ketiganya kembali, mereka dalam keadaan kehilangan akal. Malik berkata, “Celakalah kalian, ada apa dengan kalian?” Mereka menjawab, “Kami telah melihat orang-orang berkulit putih di atas kuda. Demi Tuhan, jika terjadi perang, kami tidak akan mampu menguasai keadaan ini. Demi Tuhan, kami tidak dapat berperang melawan penduduk bumi, maka bagaimana kami akan berperang melawan penduduk langit? Jika kamu mau mendengarkan nasihat kami, maka pulanglah bersama kaummu. Jika orang-orang melihat apa yang telah kami lihat, maka mereka akan mengalami kesulitan yang sama seperti yang kami alami.” Ia berkata, “Celakalah kalian, kalian adalah yang paling pengecut di antara seluruh pasukan.” Ia menyembunyikan mereka karena takut berita ini akan tersebar ke seluruh pasukan dan memerintahkan mereka untuk tidak keluar.
Lalu ia berkata, “Beritahu aku tentang seorang pemberani.” Mereka semua yang ada di sana sepakat tentang seorang laki-laki bahwa ia sangat berani. Kemudian orang itu keluar. Lalu ia mengirimnya. Ia juga segera kembali. Ia pun dalam keadaan terkejut seperti tiga rekannya sebelumnya. Malik bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lihat?” Maka orang itu menjawab, “Aku telah melihat orang-orang berkulit putih di atas kuda belang, dan tidak ada kekuatan sekalipun hanya untuk melihat ke arah mereka. Demi Tuhan, aku telah dihinggapi ketakutan yang kamu lihat ini. Aku tidak dapat menguasainya. Lebih baik kita kembali dari sini,” Meskipun demikian, Malik bin Auf tidak mundur dari niatnya.
Mengenai kesaksian yang diceritakan oleh mata-mata musuh, menurut keterangan para penulis sejarah nabi, bisa diartikan dalam dua corak. Sebagian berpendapat bahwa mata-mata tersebut telah melihat malaikat dan menjadi ketakutan setelah melihat mereka, sedangkan sebagian lain bisa berpendapat bahwa ketika mereka melihat pasukan kaum Muslimin, kebesaran Ilahi menguasai mereka sedemikian rupa sehingga mereka menjadi ketakutan.
Hazrat Salamah bin Akwa r.a.menuturkan, “Kami menyerang Hawazin bersama Rasulullah saw. dan pada saat itu, di waktu Duha, seorang laki-laki datang dengan unta. Saat itu kami sedang makan bersama Rasulullah saw. Laki-laki itu mendudukkan untanya dan mengikatnya dengan tali, lalu maju dan duduk makan bersama para sahabat (dalam satu riwayat disebutkan bahwa orang itu mulai berbicara dengan semua yang ada). Ia berkata, “Kami juga cukup lelah, tunggangan pun sedikit”, kemudian orang itu dengan cepat berjalan menuju untanya setelah berbicara dengan para sahabat, dan dengan segera melepaskan tali, menaikinya dan mulai menggiring unta tersebut untuk dibawa pergi, maka Rasulullah saw. melihatnya dan bersabda, “Ini adalah mata-mata, tangkap dia dan hukum mati”. Seorang laki-laki dari Bani Aslam menunggang unta dan mengejarnya. Hazrat Salamah menuturkan, “Saya mengejarnya dengan unta betina saya. Setelah mendekatinya, saya memegang tali kekang untanya dari depan. Saya mendudukkan untanya. Ketika ia meletakkan lututnya di tanah, saya menyerang dengan pedang dan memenggal leher orang itu, ia pun jatuh. Saya mengambil untanya, senjata-senjata, dan semua perlengkapannya lalu menghadap Rasulullah saw. Beliau saw. bertanya kepada orang-orang siapa yang telah membunuhnya. Para sahabat menyampaikan bahwa Ibnu Akwa’ yang membunuhnya, maka Beliau saw. bersabda, “Semua barang ini menjadi miliknya”.
Jumlah kaum Muslimin sebanyak 12.000, sedangkan jumlah musuh sebanyak 30.000. Dalam menyebutkan tentang Perang Hunain, terkadang jumlah musuh disebutkan 30.000 ribu, terkadang 20.000 dan terkadang 4.000. Rinciannya adalah bahwa laskar musuh yang berhadapan langsung berjumlah 20.000, dan jika istri-anak mereka disertakan maka jumlahnya menjadi 30.000.
Malik bin Auf telah memilih pemanah terbaik dari pasukannya dan menyembunyikan mereka di gunung-gunung, dan mereka mengintai untuk penyergapan, lalu mereka menyerang kaum Muslimin secara tiba-tiba sekaligus sehingga menimbulkan kekacauan dalam barisan pasukan Muslim. Mereka ini berjumlah 4.000 orang. Malik bin Auf, panglima perang Bani Hawazin, menyusun barisan pasukannya dengan cara demikian, yaitu ketika dua pertiga malam telah berlalu, Malik bin Auf mendatangi pasukannya dan menyembunyikan mereka di tempat-tempat yang telah ditentukan di Lembah Hunain. Lembah ini memiliki banyak jurang dan celah-celah di dalamnya, ia menyebarkan orang-orang di dalamnya dan mereka bersembunyi dan mengintai agar dapat menyerang Rasulullah saw. dan para sahabat secara mendadak.
Susunan barisan kaum kafir adalah sebagai berikut. Paling depan adalah pasukan berkuda, di belakang mereka pasukan infanteri, di belakang mereka para wanita dan anak-anak mereka di atas unta, dan di belakang mereka harta benda lainnya berupa unta, kambing domba dan ternak lainnya.
Pada saat keberangkatan dari Makkah menuju Hunain, Rasulullah saw. menempatkan pasukan berkuda Bani Sulaim yang berjumlah seribu orang di barisan terdepan pasukan dan komando mereka diserahkan kepada Hazrat Khalid bin Walid r.a. Ketika pasukan tiba di tempat Ja’ranah, pada waktu sahur Rasulullah saw. membagi pasukan menjadi pasukan maimanah yaitu sayap kanan dan maisarah yaitu sayap kiri dan qalb yaitu bagian tengah. Rasulullah saw. berada di bagian tengah. Beliau saw. memberikan bendera-bendera besar kepada kaum Muhajirin dan Ansar. Satu bendera untuk kaum Muhajirin beliau serahkan kepada Hazrat Ali r.a.; satu bendera kepada Hazrat Sa’d bin Abi Waqqash r.a. dan satu bendera kepada Hazrat Umar Faruq r.a.
Untuk kaum Ansar, bendera untuk suku Khazraj beliau berikan kepada Hazrat Hubab bin Munzir r.a., dan bendera suku Aus kepada Hazrat Usaid bin Huzair r.a. Demikian pula Hazrat Abu Burdah bin Niyar r.a., Hazrat Abu Lubabah bin Abdul Munzir r.a. dan Hazrat Qatadah bin Nu’man r.a. juga memperoleh bendera. Selain itu, ada lebih dari 20 bendera kecil juga yang beliau saw. bagikan kepada berbagai kelompok.
Pada hari pertempuran Hunain, seseorang berkata, “Hari ini kita tidak akan dikalahkan karena sedikitnya jumlah kita (maksudnya hari ini jumlah kita sangat banyak)”. Namun Rasulullah saw. sangat tidak menyukai perkataan ini dan Al-Qur’an juga memandang perkataan ini dengan ketidaksukaan seraya menyatakan demikian:
إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ
Yakni, “Ketika jumlah kalian yang banyak membuat kalian terjebak dalam ketakaburan.” Dalam pertempuran Hunain, kemenangan awal diperoleh kaum Muslimin. Kemudian, akibat serangan dahsyat musuh, terjadi kepanikan yang telah disebutkan sebelumnya dan terjadi kekalahan sementara, namun pada akhirnya kaum Muslimin meraih kemenangan yang gemilang.
Rinciannya adalah sebagai berikut. Tentang Gazwah Hunain umumnya disebutkan bahwa pasukan umat Islam memasuki lembah Hunain dalam kegelapan fajar sementara pasukan kafir telah tiba lebih dulu di lembah tersebut dan pemanah-pemanah terbaik mereka bersembunyi di celah-celah gunung. Ketika kaum Muslimin memasuki lembah tanpa mengetahui keberadaan mereka, para pemanah tersebut tiba-tiba menyerang sehingga terjadi kepanikan di barisan kaum Muslimin dan mereka mulai melarikan diri hingga hanya Rasulullah saw. dan beberapa sahabat beliau yang tersisa di sana. Kemudian ketika Rasulullah saw. terus-menerus memanggil, barisan kaum Muslimin kembali dan kemudian terjadi pertempuran sengit dengan musuh dan musuh mengalami kekalahan telak serta meninggalkan medan perang sambil melarikan diri. Hal ini diambil dari Sirah Ibnu Hisyam, namun dalam Shahih Bukhari terdapat sebuah riwayat yang jika dilihat, pertempuran Hunain memiliki rincian yang agak berbeda.
Hadrat Bara’ bin Azib, yang ikut serta dalam Perang Hunain, riwayatnya terdapat di banyak tempat dalam Shahih Bukhari, menuturkan, “Ketika kami menyerang Bani Hawazin, mereka mengalami kekalahan dan mundur, dan kami mulai mengumpulkan harta ganimah, namun saat itu mereka menghujani kami dengan anak panah yang menyebabkan para pemuda yang tidak memiliki perlengkapan pelindung berbalik dan melarikan diri, tetapi Rasulullah saw. tetap bertahan di medan perang”. Perawi Bara’ bin Azib berkata, “Saya melihat Rasulullah saw. menunggangi keledai putih, dan Abu Sufyan bin Harits memegang tali kekangnya dan beliau saw. bersabda:
أَنَا النَّبِيُّ لَا كَذِبْ، أَنَا ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
Yakni, “Aku adalah Nabi, dan ini bukanlah kedustaan dan aku adalah putra Abdul Muthalib.”
Jika tidak merujuk pada riwayat dalam Shahih Bukhari, maka Perang Hunain biasanya dipahami memiliki dua tahap, sebagaimana umumnya dijelaskan oleh para penulis sejarah Nabi. Pertama, kaum Muslimin menjadi terpencar karena serangan mendadak; kedua, kaum Muslimin berkumpul kembali untuk menyerang dan mengalahkan musuh. Akan tetapi, jika riwayat Bukhari ini dijadikan dasar dan inilah yang tampak lebih benar, maka Perang Hunain terbagi menjadi tiga tahap. Pada tahap pertama, pasukan kaum Muslimin tanpa ragu-ragu memasuki lembah Hunain, maka pasukan musuh yang berada di hadapan mereka terus mundur dan ketika kaum Muslim melihat kemunduran mereka, sebagian dari kaum Muslimin sibuk mengumpulkan harta ganimah. Pada tahap kedua, ketika 4.000 pemanah terbaik yang telah ditempatkan secara tersembunyi di celah-celah gunung oleh panglima Bani Hawazin, Malik bin Auf, melihat pasukan kaum Muslimin memasuki lembah, seketika mereka melancarkan serangan panah yang dahsyat. Bani Hawazin adalah para pemanah terbaik di Arab.
Ketika masih dalam kegelapan pagi, sebagian kaum Muslimin sibuk mengumpulkan harta rampasan perang. Di antara mereka terdapat pula sejumlah orang Makkah yang baru saja memeluk Islam, yang keimanan mereka belum begitu kuat tertanam. Selain itu, mereka pun tidak memiliki perlengkapan pelindung yang memadai, seperti baju perang atau zirah, untuk menangkis serangan panah. Maka, ketika tiba-tiba dihujani panah, mereka lari menyelamatkan diri. Mereka pun memiliki tunggangan, sehingga saat melarikan diri ke belakang secara mendadak, timbullah kepanikan besar di seluruh pasukan. Unta dan kuda ikut berhamburan, hewan-hewan itu panik dan mulai menginjak-injak orang-orang di jalan yang sempit karena terhimpit oleh lembah. Akibat kepanikan itu, Khalid bin Walid sendiri terluka dan terjatuh dari kudanya, sementara pasukan Muslim menjadi tercerai-berai. Hal ini juga disebutkan dalam salah satu kitab sirah.
Kemudian tahap ketiga yang menentukan terjadi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Hazrat Anas bin Malik r.a. berikut ini. Barisan pertama dari pasukan mulai goyah. Yang pertama melarikan diri adalah pasukan dari Bani Sulaim, kemudian menyusul kaum Muslimin baru dari Makkah, lalu orang-orang lainnya pun kalah dan lari tanpa memperdulikan siapa pun. Debu pun begitu pekat hingga tidak seorang pun dari mereka dapat melihat telapak tangannya sendiri. Dalam seluruh peperangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., hal yang paling menonjol adalah bahwa bagaimana pun keadaan di medan perang, keteguhan dan keberanian beliau saw. tidak ada bandingannya. Pada saat kaki para pemberani sekalipun goyah, beliau saw. tetap berdiri teguh laksana sebuah batu karang.
Hazrat Anas bin Malik r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. adalah orang yang paling tampan dan paling indah rupanya, paling dermawan, dan paling pemberani dibanding siapa pun. Mengenai Perang Hunain, Hazrat Bara’ bin ‘Azib r.a. menuturkan bahwa ketika semua orang tercerai-berai dan Rasulullah saw. hanya tinggal bersama beberapa sahabat saja, sementara musuh bergerak maju ke arah beliau saw., pada saat itu beliau saw. justru maju sendirian menghadapi musuh sambil berseru dengan suara lantang, “Aku adalah putra Abdul Muthalib!”
Perawi meriwayatkan, “Demi Allah, ketika perang sedang memuncak, kami selalu berlindung kepada Rasulullah saw., dan orang yang dianggap paling berani adalah yang paling dekat dengan beliau saw.. Pada saat itu, keberanian dan keteguhan hati beliau saw. tampak jelas; meskipun dalam keadaan sendirian, beliau saw. tetap mengarahkan bagalnya ke arah musuh.
Hazrat Abbas r.a. meriwayatkan, “Aku dan Abu Sufyan bin Harits tetap bersama Rasulullah saw. dan tidak berpisah dari beliau saw. walaupun sekejap. Ketika orang-orang tercerai-berai, Rasulullah saw. mulai mengarahkan bagalnya dengan cepat ke arah musuh. Pada saat itu, aku memegang kendalinya agar bagal tersebut tidak semakin cepat, sementara Abu Sufyan bin Harits memegang sanggurdi (pijakan kaki pada kanan kiri pelana).” Menurut sebuah riwayat, Hazrat Abu Bakar r.a. yang saat itu juga bersama beliau saw., berusaha menahan bagal dengan memegang kendalinya. Rasulullah saw. lalu bersabda kepada Hazrat Abbas r.a., ‘Wahai Abbas, panggillah ‘para sahabat pohon’, yaitu mereka yang pada peristiwa Hudaibiyah telah berbaiat dengan berjanji untuk mengorbankan jiwa mereka.’”
Hazrat Abbas r.a.meriwayatkan, “Karena suaraku keras, maka aku pun menyeru dengan lantang, ‘Wahai ‘para sahabat pohon’, di manakah kalian?’” Beliau berkata, “Demi Allah, ketika orang-orang mendengar suaraku, mereka kembali sebagaimana induk sapi kembali kepada anaknya. Mereka pun berseru: “Labbaik, labbaik ya Rasulullah! Kami hadir, kami hadir.” Lalu mereka kembali dengan penuh semangat dan segera memulai pertempuran melawan musuh. Riwayat ini terdapat dalam Shahih Muslim.
Diriwayatkan bahwa ketika pasukan Muslim tercerai-berai, hanya beberapa orang yang tetap berada di sisi Nabi Muhammad saw.. Jumlah mereka disebutkan bervariasi, ada yang meriwayatkan empat orang, ada pula yang menyebut hingga tiga ratus orang. Perbedaan jumlah ini kemungkinan disebabkan karena benar-benar hanya segelintir orang yang berada tepat di sisi Rasulullah saw., sementara sebagian lainnya sedang menghadapi musuh di tempat yang berbeda, sehingga secara keseluruhan jumlah mereka di medan perang mencapai sekitar tiga ratus orang. Bisa juga jumlah orang yang berada di dekat Rasulullah saw. berubah-ubah pada waktu yang berbeda; ada yang melihat beliau saw. hanya bersama 3 atau 4 orang lalu meriwayatkan demikian, ada yang menyaksikan 10 atau 12 orang lalu menyebut jumlah itu, sementara yang melihat lebih banyak pun meriwayatkan sesuai dengan penglihatannya.
Bagaimanapun, ada suatu waktu ketika hanya segelintir orang saja yang tetap berada di sisi Nabi Muhammad saw.. Dalam sebuah riwayat lain disebutkan, seseorang pernah bertanya kepada Al-Bara’ bin ‘Azib, “Wahai Abu Ammarah, apakah engkau melarikan diri pada hari Hunain?” Beliau menjawab, “Demi Allah, Rasulullah saw. tidak pernah berpaling atau mundur. Akan tetapi, sebagian para sahabat beliau yang masih muda dan terburu-buru, yang tidak memiliki senjata atau hanya membawa sedikit senjata, ketika mereka berhadapan dengan kaum pemanah yang tidak pernah meleset—yakni pasukan Hawazin dan Bani Nashr—mereka terus-menerus dihujani panah yang hampir tak satu pun meleset. Saat itulah Rasulullah saw. justru maju menghadapi musuh. Beliau saw. ketika itu menunggangi seekor bagal putih, dan Abu Sufyan bin Harits yang menuntunnya. Lalu beliau saw. turun, memohon pertolongan kepada Allah, dan berseru:
أَنَا النَّبِيُّ لَا كَذِبْ، أَنَا ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
“Aku adalah Nabi, ini bukan dusta. Aku adalah anak Abdul Muththalib.”
Iyas bin Salmah meriwayatkan dari ayahnya, Salmah bin al-Akwa‘. Ia berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah saw. menuju perang Hunain. Ketika kami berhadapan dengan musuh, aku maju dan naik ke sebuah lembah. Di sana aku bertemu dengan salah seorang musuh. Aku melepaskan anak panah kepadanya, lalu ia bersembunyi dariku, dan aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Setelah itu aku melihat orang-orang keluar dari lembah yang lain. Antara mereka dan para sahabat Rasulullah saw. terjadi pertempuran, hingga para sahabat Rasulullah saw. berbalik mundur. Aku pun ikut mundur. Waktu itu aku mengenakan dua helai kain; satu kuikatkan di tubuhku, dan yang lain aku kenakan di atasnya. Kain bagian atas terlepas, lalu aku mengikat keduanya menjadi satu. Ketika mundur, aku lewat di depan Rasulullah saw.. Beliau saw. menunggangi seekor bagal berwarna hitam dan putih.”
Rasulullah saw. bersabda: “Ibnu al-Akwa, apakah engkau melihat sesuatu yang menggelisahkanmu? Mengapa engkau berlari kembali dalam keadaan seperti ini?”
Hazrat Muslih Mau‘ud r.a., ketika menyebutkan peristiwa mundurnya pasukan pada hari Hunain karena terkena hujan anak panah, bersabda:
“Dalam perang Hunain, ketika pasukan kaum Muslimin mundur karena serangan anak panah musuh semakin dahsyat, Rasulullah saw. hanya dengan beberapa sahabat melangkah maju menuju arah musuh. Melihat dahsyatnya serangan musuh itu, Hazrat Abu Bakar r.a. berusaha menghentikan beliau saw.. Ia
maju ke depan dan memegang kendali kuda Rasulullah saw.. Namun, Rasulullah saw. bersabda: ‘Lepaskan kendali kudaku!’
Kemudian beliau saw. maju sambil melantunkan syair:
أَنَا النَّبِيُّ لَا كَذِبْ، أَنَا ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
Artinya: ‘Aku adalah Nabi Allah, dan ini bukan kebohongan. Aku adalah anak Abdul Muththalib.’
Sabda beliau ini—‘Aku adalah anak Abdul Muththalib’—mengandung maksud bahwa pada saat itu serangan musuh begitu hebat, dengan 4.000 pemanah yang menghujani pasukan dengan anak panah. Dalam keadaan demikian, langkah berani beliau saw. untuk maju ke depan tampak jauh di atas kemampuan manusia. Hal ini bisa saja disalahpahami dan orang-orang beranggapan bahwa dalam diri beliau saw. terdapat kekuatan ketuhanan. Oleh karena itu, beliau saw. bersabda, “Aku hanyalah anak Abdul Muthalib dan seorang manusia biasa. Hanya pertolongan Allah Taala sajalah yang menyertaiku karena aku adalah Nabi-Nya.”
Tidak semua orang lari dari medan perang. Mengenai hal ini, terdapat pula riwayat-riwayat. Imam Nawawi menuliskan bahwa yang lari bukanlah seluruh pasukan, melainkan orang-orang المُؤَلَّفَةُ القُلُوبُ (al-muʾallafatul-qulūbu) dari Makkah, yaitu orang-orang munafik, serta sebagian penduduk Makkah lainnya yang ikut serta dalam perang ini dan belum masuk Islam. Mereka inilah yang mulai melarikan diri. Kekalahan yang tiba-tiba itu terjadi karena musuh melepaskan hujan anak panah sekaligus.
Bagaimanapun, benar apa yang dikatakan Imam Nawawi bahwa tidak semua Muslim lari dari medan perang karena rasa takut. Yang lari hanyalah orang-orang Makkah yang baru masuk Islam, termasuk sejumlah orang yang sejatinya tidak memiliki niat untuk berperang. Mereka hanya ikut serta karena menginginkan harta rampasan atau sekadar menjadi penonton. Akan tetapi, kenyataan juga menunjukkan bahwa larinya mereka, ditambah serangan panah yang dahsyat, membuat hewan tunggangan kaum Muslimin menjadi panik. Hewan-hewan tunggangan itu berlarian dan membawa serta orang-orang Islam yang menungganginya. Dengan cara demikianlah banyak orang mundur, bukan karena kehendak sendiri, melainkan akibat hewan-hewan tunggangan yang panik. Akibatnya, kaum Muslimin yang setia dan berani pun sempat dibuat tak berdaya untuk beberapa waktu.
Adapun rincian lebih lanjut mengenai hal ini, insyaallah akan dibahas pada kesempatan yang akan datang.
Hari ini Jalsah Salanah Jerman juga telah dimulai. Semua peserta yang hadir di sana hendaknya berdoa semoga Allah Taala memberikan mereka taufik untuk mencapai tujuan-tujuan Jalsah. Janganlah mereka datang hanya dengan menganggapnya sebagai sebuah perayaan, melainkan jadikanlah hari-hari ini sebagai kesempatan untuk bertekad dan berusaha agar terus maju dalam segi ilmu, amal, dan kerohanian. Pada hari-hari ini hendaknya lebih banyak meluangkan waktu dalam zikir Ilahi dan doa.
Di samping berdoa untuk diri sendiri dan generasi keturunan, hendaknya juga berdoa untuk kemajuan Jemaat serta memohon perlindungan Allah Taala dari keburukan para penentang, sekaligus berdoa agar kejahatan mereka berakhir. Semoga Allah Taala melindungi kita dari kejahatan mereka.
Di Pakistan, hampir setiap hari terjadi peristiwa-peristiwa yang menyedihkan. Semoga Allah Taala segera menyediakan sarana untuk menghukum para penentang tersebut. Secara umum, hendaknya kita juga berdoa untuk perdamaian dunia. Orang-orang duniawi ini, karena amal perbuatannya sendiri, semakin dekat menuju kehancuran. Semoga Allah Taala menyelamatkan kita dari kehancuran yang dahsyat itu.
Doakanlah juga rakyat Palestina. Pemerintah Israel telah melampaui batas dalam berbuat kezaliman dan kekejaman. Sepertinya mereka ingin melenyapkan orang-orang Palestina dari muka bumi. Anak-anak, perempuan, orang tua, orang sakit, dan jiwa-jiwa tak berdosa menjadi korban kezaliman. Pembantaian berlangsung di mana-mana. Kini bahkan sebagian politisi dan pemerintah duniawi pun mulai bersuara, mengatakan bahwa hal itu salah dan agar dihentikan. Namun, pemerintah Israel sama sekali tidak menghiraukan seruan mereka.
Rasa haus akan kekayaan dan kekuasaan telah membuat Israel, Amerika, serta sekutunya semakin sombong dan menjerumuskan mereka pada puncak kezaliman. Pemerintah-pemerintah Muslim pun tidak melakukan apa-apa. Jika memang mereka tidak sanggup berbuat, setidaknya mereka hendaknya mengubah keadaan diri mereka sendiri dan merendahkan diri di hadapan Allah Taala agar Dia menolong mereka. Alangkah baiknya jika mereka mau menyadari hal ini.
Demikian pula, sebagian umat Islam justru menzalimi sesama Muslim.
Semoga Allah Taala menghentikan mereka dari perbuatan zalim itu.
Hari ini merupakan tugas kita, para Ahmadi, bahwa di mana pun memungkinkan kita harus menyuarakan penentangan terhadap semua kezaliman ini, dan terutama berdoalah; berdoalah dengan penuh keperihan di hati. Semoga Allah Taala menganugerahkan taufik untuk melakukannya.1
Khotbah II:
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهٗ وَنَسْتَعِيْنُهٗ وَنَسْتَغْفِرُهٗ وَنُؤْمِنُ بِهٖ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَّهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهٗ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ – وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهٗ وَرَسُوْلُهٗ -عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ أُذكُرُوْ االلهَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
1 Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd., dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim.