Empat Tingkatan Rohani dan Duniawi

Khotbah Jumat yang disampaikan oleh Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra), Muslih Mau’ud dan Khalifah Kedua Jamaah Muslim Ahmadiyah Sedunia; Jumat, 7 Agustus 1931 di Shimla, India

Setelah membaca Tasyahud, Taawudz, dan Surah Al-Fatihah, Huzur menyampaikan:

Jumat lalu, saya menyebutkan bahwa Allah SWT telah mengajarkan kita doa:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

‘Ya Allah! Tunjukilah kami di jalan yang lurus’. (QS 1:6)

Tetapi apakah jalan yang lurus ini? Jalan orang-orang yang telah dikaruniai nikmat oleh Allah. Di tempat lain أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ [QS, 1:7] ‘Engkau telah beri nikmat atas mereka’ telah dijelaskan dalam ayat

فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ

“Maka mereka akan akan termasuk di antara orang-orang yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni nabi-nabi, sidiq-sidiq, syahid-syahid, dan orang saleh”. [QS 4:70]

Dengan kata lain, mengikuti jalan yang lurus berarti menjadi termasuk dalam suatu kelompok atau golongan orang-orang yang telah Allah berikan nikmat-Nya kepada mereka, seperti para Nabi, para shiddiq, para syuhada, dan orang-orang saleh.

Tingkatan Saleh

Saya telah menyatakan sebelumnya bahwa, sebagaimana adanya tingkatan ruhani orang-orang saleh [shalih], terdapat pula status duniawi orang shalih, yaitu seseorang yang telah beradaptasi [menyesuaikan diri] dengan zaman di mana mereka hidup. Namun, ini hanya berlaku untuk adaptasi positif, bukan adaptasi negatif; dengan kata lain, seorang salih menolak keburukan zaman dan menjalankan apa yang baik atau bermanfaat. Mereka membiasakan diri memahami bidang ilmu pengetahuan baru, dan jika ada yang kekurangan atau tidak akurat, mereka akan menolaknya, dan apa pun yang benar dan akurat mereka akan terima.

Lihat saja para mahasiswa di negara kalian sendiri; meskipun mereka mempelajari penelitian terbaru dalam ilmu pengetahuan alam dan sosial dan berusaha menyesuaikan diri dengan era modern, karena buku-buku yang mereka baca dan pengetahuan yang mereka pelajari ditulis oleh orang-orang yang mencoba menggunakan ilmu pengetahuan itu untuk membuktikan keilahian manusia, para mahasiswa kita menolak keberadaan Tuhan sepenuhnya karena pengetahuan ini.

Mereka menyatakan bahwa teori evolusi bertentangan dengan keberadaan Tuhan Yang Mahakuasa, tetapi sebenarnya mereka tampaknya sama sekali tidak menyadari bahwa manusia telah mempercayai teori evolusi sejak dahulu kala; yang dilakukan Darwin hanyalah memberikan sedikit pencerahan pada aspek-aspek tersembunyi darinya. Faktanya, bahkan sebelum Darwin, orang selalu mengamati bahwa seorang anak lahir setelah sembilan bulan dan benih membutuhkan waktu yang sangat lama untuk tumbuh menjadi pohon. Kemajuan dan perkembangan bertahap dapat dilihat di mana-mana di alam, namun orang-orang tidak berasumsi bahwa proses alami ini bertentangan dengan keberadaan Tuhan.

Terkait:   Dunia Perwahyuan Yang Tersembunyi  

Selain itu, mereka mengklaim bahwa Darwin juga mengajukan teori adaptasi, yang menyatakan bahwa keberhasilan suatu organisme bergantung pada seberapa baik ia beradaptasi dengan lingkungannya. Namun, lebih dari 1.300 tahun yang lalu, Islam telah menghapus kekurangan keadaan ini dan menyatakannya sebagai kondisi terendah seorang mukmin; [akar bahasa Arab] sha-la-ha (صَلَحَ) atau ‘kebenaran’ berarti menyesuaikan diri dengan lingkungan sebaik mungkin. Dengan demikian, orang yang saleh bukanlah seseorang yang gagal mengikuti perkembangan zaman, melainkan seseorang yang beradaptasi dengan zaman sambil menjaga diri dari setiap keburukannya.

Tingkatan Syahid

Derajat kedua adalah tingkatan syahid, yang dalam bahasa Arab artinya adalah ‘saksi’. Selain derajat ruhani, syahid juga dapat berarti derajat duniawi.

Di dunia ini, tahap pertama perkembangan seseorang adalah memperoleh ilmu; tahap kedua perkembangannya adalah mewariskan ilmu ini kepada orang lain sebagai guru.

Jadi, inti dari Firman Allah Ta’ala dalam firman ini adalah seorang mukmin sejati tidak hanya harus tuntas dalam menuntut ilmu terkini, tetapi juga harus mahir dan cakap sehingga dapat mengajarkannya kepada orang lain. Dan dalam hal ini, kalian dapat melihat sendiri seberapa jauh umat Islam saat ini telah mencapai derajat syahid dan sejauh mana mereka mengajarkan ilmu agama atau ilmu duniawi kepada orang lain.

Sekarang perhatikan bagaimana orang-orang Eropa, yang telah menyebar ke seluruh dunia, mengajarkan ilmu agama dan ilmu duniawi kepada manusia. Untuk menyebarkan ilmu duniawi, mereka telah membuka sekolah dan universitas di tempat-tempat yang sebelumnya sama sekali kekurangan pengetahuan dan pendidikan. Dan untuk menyebarkan ilmu agama, para misionaris mereka pergi ke Afrika, Australia, dan tempat-tempat jauh lainnya untuk menyebarkan agama mereka, padahal Islamlah yang menekankan persiapan kelompok-kelompok orang yang ahli dalam bidang ilmu agama dan ruhani, lalu mengutus mereka untuk mengajarkan kepada orang lain.

Tingkatan Shiddiq

Tingkatan ketiga adalah shiddiq. Seorang shiddiq adalah orang yang sangat dekat dengan tingkatan nabi dan hakikat dasarnya sama. Namun, hubungan mereka lebih merupakan persahabatan, bukan persaudaraan. Para nabi menerima ilmu secara langsung dari Tuhan – yang bagaikan Bapak bagi mereka – sehingga mereka bersaudara satu sama lain. Namun, seorang shiddiq tidak memiliki hubungan yang sama dengan seorang nabi, melainkan harus berjuang, berusaha keras dan berupaya secara mandiri untuk mencapai kesejajaran dengan seorang nabi, yang dengannya seorang shiddiq kemudian dapat dipersatukan dalam persahabatan. Inilah tingkatan seorang shiddiq dalam konteks ruhani.

Dalam istilah duniawi, seorang siddiq adalah seseorang yang terus-menerus membuat kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan pembelajaran hingga mencapai tingkat kedekatan tertentu dengan perancang suatu penemuan atau pendiri suatu bidang ilmu pengetahuan atau teknologi sehingga mereka mulai menyerupai para penemunya.

Terkait:   Khalifah Sebagai Imam

Kita dapat mengamati bahwa, meskipun seorang siddiq ruhani tidak memperoleh ilmu pengetahuan langsung dari Tuhan, mereka tetap dapat menjelaskan dan menguraikan dengan sangat akurat ilmu yang telah mereka peroleh melalui para nabi. Hal yang sama juga berlaku bagi seorang siddiq duniawi.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman dalam ayat ini bahwa seorang mukmin hendaknya mengembangkan ilmu pengetahuan dan pembelajaran sedemikian rupa sehingga mereka dipandang oleh orang-orang sebagai orang yang memiliki hubungan yang sangat mendalam dan tak terpisahkan dengan penemuan atau bidang ilmu pengetahuan atau teknologi tersebut, meskipun mereka sendiri bukanlah penemu atau pendiri aslinya.

Tingkatan Nabi

Tingkatan keempat adalah tingkatan nabi. Seorang nabi ruhani menerima wahyu dari Tuhan dalam bentuk firman-firman nyata dan mempelajari ilmu ruhani langsung dari-Nya. Sebagai analogi, ada juga nabi-nabi duniawi yang bergerak di bidang sains, yang tentu saja tidak menerima wahyu dalam bentuk kata-kata nyata, tetapi justru menerima wawasan tersembunyi dari Tuhan dan kemudian menyebarkan pengetahuan baru mereka ke seluruh dunia.

Edison pernah berkata bahwa terkadang ia hanya duduk diam, lalu tiba-tiba ide yang tepat untuk sebuah penemuan baru menyambarnya bagai kilat. Karena nabi-nabi semacam itu adalah ‘nabi sains’, wahyu yang terlintas di benak mereka murni bersifat ilmiah atau teknologi. Sebuah ide ditanamkan ke dalam kepala mereka dan mereka membuat penemuan baru setiap hari, mengungkap bentuk-bentuk pengetahuan baru, dan memukau dunia dengan penemuan-penemuan menakjubkan mereka.

Hal minimum yang diinginkan Allah Ta’ala dari orang-orang mukmin dalam konteks duniawi adalah mereka harus berusaha keras untuk memperoleh pengetahuan sekuler (duniawi). Langkah di atasnya (syahid) adalah mereka harus menguasai pengetahuan tersebut sedemikian rupa sehingga mereka dapat mengajarkannya kepada orang lain. Kemudian langkah selanjutnya (shiddiq) adalah mereka harus membuat kemajuan yang luar biasa sehingga, meskipun mereka bukan penemu apa pun atau pendiri bidang apa pun, mereka menyerupai penemu asli suatu perangkat atau orang pertama yang membuat penemuan di bidang sains atau teknologi. Dan setiap kali sebuah penemuan atau bidang ilmu pengetahuan baru dibahas, nama mereka pasti akan muncul bersama nama penemu atau pendirinya. Namun, ada langkah yang lebih tinggi lagi (nabi), yaitu agar orang-orang mukmin sejati menemukan bidang-bidang ilmu pengetahuan baru dan merancang penemuan-penemuan baru.

Jika ini terjadi, semua pertempuran akan berhenti, karena pertempuran adalah hasil dari kebodohan. Tidak ada dosa, keburukan, atau kejahatan yang tidak ditimbulkan oleh kebodohan, dan tidak ada kebajikan, kesalehan, atau kebaikan yang tidak dibawa oleh ilmu pengetahuan ke dunia ini.

Terkait:   Siapakah seorang Khalifah itu dan Bagaimana Pemilihannya?

Jika setiap Ahmadi mencapai hal ini, maka orang-orang akan mulai melihat surga di dunia ini. Kita jelas tidak bisa mewujudkan surga ruhani akhirat secara harfiah di dunia ini, tetapi setidaknya kita bisa menunjukkan surga ini kepada mereka. Jika setiap Ahmadi mencapai derajat ini, maka semua orang juga pasti ingin masuk surga ini.

Karena begitu banyak orang di dunia ini yang tampaknya hanya melihat neraka ke mana pun mereka memandang, mereka pun bunuh diri. Tetapi jika mereka telah melihat surga, mereka tidak akan pernah bunuh diri. Jika para Ahmadi membangun surga seperti itu, maka orang-orang di dunia akan segera bergabung dengan kita.

Membangun surga adalah tugas besar, tetapi saat ini di Jamaah kita masi terdapat beberapa anggota yang bertengkar karena alasan-alasan sepele. Allah telah membangun semacam surga melalui seorang nabi, tetapi jika kita bertengkar dengan sesama, kita akan menebang pohon-pohon surga yang sudah ada itu dengan tangan kita sendiri. Jangan pernah ada yang mengatakan bahwa tidak akan berpengaruh jika mereka hanya menebang satu pohon. Karena jika semua orang mulai berpikir seperti itu, maka tidak akan ada lagi pohon yang tersisa ‘surga’. Kemudian Allah akan mengutus nabi lain untuk membangun ‘surga’ yang lain.

Tingkatan terendah dari empat tingkatan tersebut adalah shalih, atau orang yang hidup dengan layak di lingkungan yang telah Allah tetapkan. Oleh karena itu, wajib bagi seluruh anggota kita untuk mencapai tingkatan salih dan berperilaku dengan tepat di lingkungan dan situasi mereka, baik melalui perkataan maupun perbuatan. Jika seseorang merasa tidak mampu, maka setidaknya ia harus berusaha mengembangkan kemampuan untuk menjadi seorang salih, karena Allah juga memperhitungkan usaha.

Dalam kondisi apa pun, saya tidak dapat menerima gagasan bahwa seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan masih berjuang melawan fitratnya yang jahat tidak akan dianggap menang dan Allah tidak akan mengampuni orang tersebut. Oleh karena itu, setiap anggota Jamaah ini, setidaknya, harus berjuang dan berikhtiar untuk mengembangkan kemampuan menjadi seorang shalihin [orang-orang yang saleh].

Saya berdoa kepada Allah Taala semoga Dia menganugerahkan kepada seluruh Jamaah ini kemampuan untuk memperjuangkan keempat tingkatan ini dan semoga Dia menempatkan setiap orang minimal di salah satunya.

(Awalnya diterbitkan di Al-Fazal, 18 Agustus 1931)

Penerjemah: Dildaar Ahmad Dartono, Muballigh Muslim Ahmadiyah di Jemaat lokal Piyungan-Bantul-Daerah Istimewa Yogyakarta

Sumber: Review of Religions

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.