Kewajiban mendirikan khilafah: Memahami pentingnya mendirikan Khilafah berdasarkan Sumber-sumber Islam
Romaan M Basit, Pusat Arsip & Penelitian Ahmadiyah
Penerjemah: Jusmansyah
- Khalifah Dalam Wacana Islam
- Mendefinisikan berbagai Jenis Kekhalifahan
- Persamaan Imamah dan Khilafah
- Bukti-bukti Kitab Suci tentang Kewajiban Mendirikan Khilafah (Fardhu)
- Pandangan Ulama Selama Berabad-abad dan Contoh Saqifah
- Memahami Fardhu Kifayah dan Implikasinya
- Peran Ahl al-Halli wa al-Aqdi dalam Mendirikan Khilafah
- Kesimpulan: Ketidakmungkinan yang Tampak pada Masa Kini
Bagi sebagian besar umat Islam, mendengar kata “kekhalifahan” langsung mengingatkan kita pada zaman keemasan Islam, yaitu masa ketika seluruh umat bersatu dan kuat di bawah satu pemimpin, yaitu khalifah, setelah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, saat ini, gagasan ini lebih terasa seperti daya tarik nostalgia daripada kenyataan. Sektarianisme telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan diperburuk karena adanya motivasi politik yang mendasarinya. Dengan pendekatan sektarian sentris di dalam Islam ini, impian mewujudkan satu kekhalifahan Islam tampaknya hampir mustahil.
Artikel ini mencoba untuk membuktikan bahwa mendirikan khilafah bukan sekadar ide optimis yang mungkin suatu hari nanti terwujud, melainkan kewajiban agama yang harus dipenuhi oleh umat Islam. Tugas mendirikan khilafah dalam Islam merupakan fardu kifayah (kewajiban kolektif).
Menurut Al-Quran, Hadits, dan sumber-sumber Islam selama berabad-abad, jika kewajiban mendirikan khilafah ini tidak dipenuhi oleh sebagian orang dalam masyarakat, seluruh umat akan tetap dalam keadaan berdosa. Konsekuensinya terlalu berat untuk diabaikan.
Lebih jauh lagi, seorang khalifah hanya dapat dipilih dan diangkat oleh majelis yang terdiri dari para pemimpin dan ulama yang memenuhi syarat yang dalam hadits dikenal sebagai Ahlul Halli wal Aqdi (أهل الحل والعقد). Sekumpulan orang-orang ini harus dipilih terlebih dahulu sebelum dipilihnya khalifah. Akan tetapi, masalahnya adalah dalam kondisi Islam yang terpecah saat ini, hampir mustahil untuk menyepakati siapa yang harus menjadi bagian dari majelis ini, apalagi memilih khalifah yang dapat diterima oleh semua orang.
Jadi apakah kewajiban ini dapat terwujud? Jika tidak, maka haruskah umat Islam terus hidup dalam kondisi dosa kolektif, seperti yang dijelaskan oleh para ahli hukum Islam? Pertanyaan-pertanyaan ini dan pertanyaan-pertanyaan lainnya akan menjadi dasar dalam penelitian ini.
Khalifah Dalam Wacana Islam
Jabatan khilafah memiliki arti penting dalam Islam. Setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun 632 M, kepemimpinan Islam berlanjut dalam apa yang diterima oleh mayoritas Muslim sebagai Khalifah Rasyidah (Khilafah yang mendapat petunjuk yang benar) yang berlangsung selama sekitar tiga puluh tahun. Setelah periode ini, kepemimpinan Islam, meskipun masih memengang gelar khalifah, secara bertahap luntur menjadi despotisme dan monarki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menubuatkan rangkaian peristiwa yang persis ini dengan kalimat yang jelas, dan dalam hadits yang sama, beliau juga menyebutkan bahwa kekhalifahan sejati sekali lagi akan tegak ‘berdasarkan ajaran (minhaj) kenabian’. Setelah mengatakan ini beliau diam, menandai berakhirnya hadits tersebut.[1]
Nubuat tentang kekhalifahan ala minhaajjun nubuwwah ini telah menjadi subjek penafsiran sepanjang sejarah Islam.
Salah satu contoh awal adalah khalifah Umayyah kedelapan, Umar bin Abdul Aziz (w. 720). Setelah memangku jabatan pada tahun 717, ia menerima sepucuk surat dari Habib bin Salim (w. 720), salah seorang perawi hadis tersebut. Ibn Salim menulis bahwa, menurut pendapatnya, nubuat tentang ‘khilafah ala minhaajjin nubuwwah‘ telah tergenapi ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah.[2]
Akan tetapi, jika kita menjadikan kebenaran Nabi dan kesahihan hadits yang disebutkan di atas sebagai dasar, teori ini tidak dapat berlaku, karena tidak ada satu pun dari dua periode pemerintahan yang disebutkan secara jelas itu terjadi. Pandangan ini juga telah dijelaskan oleh ulama hadits Salafi modern al-Albani (w.1999):
“Bagi saya, terlalu mengada-ngada jika hadits ini ditujukan kepada Umar bin Abdul Aziz, karena masa kekhalifahannya mendekati masa Khilafah Rasyidah, dan belum ada dua kerajaan, kerajaan yang kejam (mulk ad) dan kerajaan yang memaksa (mulk jabariyyah), dan Allah Maha Mengetahui.”[3]
Penafsiran lain dari hadis ini oleh sebagian ulama adalah kekhalifahan semacam itu baru akan berdiri setelah kemunculan Imam Mahdi di akhir zaman. Dua ulama kontemporer yang berpandangan seperti itu adalah Amin Muhammad Jamal ad-Din[4], seorang profesor di Universitas Al-Azhar, dan ulama Suriah Muhammad al-Yaqoubi.[5] Kelompok Ahmadiyah juga menyajikan penafsiran ini sebagai bukti legitimasi kekhalifahan mereka.
Sejak terpilihnya Abu Bakar ra pada tahun 632 hingga runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyyah yang memproklamirkan diri sendiri pada tahun 1924, secara konsisten telah ada berbagai manfestasi dan upaya untuk mendirikan kekhalifahan, beberapa di antaranya dipertanyakan.
Saat ini, sistem kekhalifahan formal dapat ditemukan di Jamaah Muslim Ahmadiyah, yang telah berjalan sejak 1908. Meskipun ada kontroversi seputar apakah ini adalah kekhalifahan yang sah atau tidak, tetapi hal ini juga terjadi pada semua kekhalifahan dalam sejarah Islam. Bahkan Khilafah Rasyidah, yang diterima, dihormati, dan dikenal oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia, juga tidak lepas dari berbagai kritikan tentang legitimasinya.
Tiga khalifah Rasyidah ditolak oleh sekelompok besar umat Islam, yaitu Syiah. Setiap kekhalifahan telah menghadapi penelitian yang ketat yang berujung pada penolakan oleh sebagian umat Islam, oleh karena itu, sekedar adanya kritisi bukanlah dasar penolakan.
Bagaimanapun, gagasan tentang mendirikan kembali khilafah merupakan hal yang jamak dalam Islam dan bukan konsep yang asing. Tetapi terdapat pertentangan dan perbedaan pendapat tentang definisi kekhalifhaan dan bagaimana ia diwujudkan; peran yang harus dijalankan oleh seorang khalifah, sifat-sifat yang harus dimilikinya, dan prasyarat awal yang dibutuhkan untuk mendirikan kekhalifahan. Pertanyaan-pertanyaan ini selalu dihadapi oleh para ulama di setiap zaman, tetapi perihal pentingnya mendirikan kekhalifahan secara bulat telah disetujui dan ditekankan dari masa ke masa.
Khilafah telah digambarkan oleh ahli tafsir Maliki al-Qurtubi (W.1273) sebagai ‘rukun dari rukun-rukunnya agama (din)’, atau sebagai “salah satu kewajiban terbesar agama” menurut Pembaharu Salafi Ibnu Taimiyyah (w. 1328), dan menurut ahli hukum dan mistikus Syafi’i al-Ghazali (w.1111) [6] sebagai “kebutuhan Syariat yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja.’
Istilah umum yang digunakan untuk kewajiban ini adalah fardhu kifayah, yang diterjemahkan sebagai kewajiban kolektif atau kewajiban yang mencukupi. Artinya sebelum sebagian orang dari umat Islam memenuhi kewajiban tersebut, maka semua umat Islam secara kolektif menanggung beban dosa karena tidak mengindahkannya. Kelompok khusus dalam umat yang bertugas untuk memenuhi kewajiban ini dalam hal kekhalifahan ini dikenal dengan ahlul halli wal aqdi (mereka yang melonggarkan dan mengikat,” merujuk pada mereka yang memiliki wewenang untuk membuat keputusan atas nama umat). Lebih jauh lagi, kematian seorang Muslim yang meninggal saat fardhu kifayah belum terpenuhi dapat digolongkan sebagai ‘kematian jahiliyah (kebodohan)” – sebagaimana hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.[7] Konsep ini akan dibahas panjang lebar.
Sebelum menelaah dalil-dalil kitab suci dan ilmiah mengenai kewajiban mendirikan khilafah ini, penting untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah “kekhalifahan”, karena istilah ini telah digunakan dengan berbagai corak sepanjang sejarah Islam.
Mendefinisikan berbagai Jenis Kekhalifahan
Secara umum, terdapat banyak jenis kekhalifahan dalam sumber-sumber Islam. Dua jenis utama yang kita temukan dalam Alquran dan Hadits adalah “Khilafah Allah” (Khalifatullah) dan “Khalifah Nabi” (Khalifatun-nabi). Kata khalifah dalam bahasa Arab artinya penerus, wakil atau Khalifah – seseorang yang mengambil alih tugas orang lain, dengan bertindak atas nama mereka atau meneruskan misi mereka.
Para nabi adalah khalifah Allah, yang kita ketahui dari ayat-ayat bahwa Nabi Adam dan Daud disebut sebagai khalifah.[8] Demikian pula, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga datang sebagai Nabi Allah untuk menyucikan umat manusia dan mengajarkan kitab suci (yaitu Al-Qur’an) dan hikmah. Ini adalah tujuan utama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang didefinisikan oleh Al-Qur’an,[9] dan juga tujuan semua nabi.[10]
Untuk memahami konsep ini lebih dalam dengan istilah yang lebih sederhana, jika seseorang adalah seorang penjahit, orang yang melakukan pekerjaan yang sama setelahnya adalah khalifahnya. Jika seorang murid mengambil alih tugas memimpin kelas saat gurunya tidak ada, murid tersebut akan disebut khalifah dari gurunya. Demikian pula, orang yang menggantikan pekerjaan seorang nabi adalah khalifah nabi tersebut. Hazrat Mirza Bashir-ud-Din Mahmud Ahmad ra menjelaskan hal ini dalam bukunya Barakat-e-Khilafat (Berkah Khilafah).[11]
Ada sedikit kebingungan setelah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tentang siapa yang akan mengambil alih kepemimpinan dan melanjutkan misi kenabian. Dalam sehari, Abu Bakar disetujui sebagai kandidat yang cocok oleh para sahabat dan dipilih sebagai khalifah pertama Nabi. Dalam jangka sehari, Abu Bakar disetujui oleh para sahabat sebagai kandidat yang cocok dan dipilih sebagai khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pertama.
Periode Khalifah Rasyidun berakhir saat terbunuhnya Ali ra (w. 661), yang mengakhiri tiga puluh tahun kekhalifahan yang dinubuatkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah periode ini, “kekhalifahan” masih digunakan sebagai gelar, tetapi pada hakikatnya lebih seperti kerajaan duniawi, sebagaimana telah dinubuatkan. Ulama Hanafi al-Taftazani (w. 1390) menyebutkan bahwa setelah wafatnya Ali, “Muawiyah dan orang-orang setelahnya tidak akan menjadi khalifah yang sah, tetapi hanya raja dan penguasa.”[12] Dalilnya adalah hadis yang menyatakan bahwa kekhalifahan yang sah akan berlanjut setelah beliau wafat selama tiga puluh tahun.
Persamaan Imamah dan Khilafah
Sebelum melanjutkan, penting untuk mengklarifikasi hubungan antara istilah “khalifah” dan “imam,” serta “kekhalifahan” dan “imamah,” karena keduanya sering digunakan secara sinonim dan dapat dipertukarkan dalam konteks khusus ini.
Hal ini tidak hanya diperbolehkan oleh para ulama terdahulu, tetapi juga telah menjadi patokan standar. Al-Nawawi (w. 1277 M), seorang ahli hukum dan ulama hadis terkemuka dari mazhab Syafi‘i, adalah salah satu dari banyak ulama yang telah menjelaskan hal ini. Ia menulis:
“Dibolehkan menyebut imam dengan sebutan khalifah, imam, atau pemimpin kaum mukminin (amirul mu’minin).”[13]
Akan tetapi, yang dapat menimbulkan kebingungan adalah adanya dua jenis imamah: al-imamah al-sughra (imamah yang lebih rendah) dan al-imamah al-kubra (imamah yang lebih besar, yang juga dikenal sebagai al-imamah al-uzma). Istilah khilafah, sepanjang sejarah, identik dengan al-imamah al-kubra, yang merupakan jenis imamah khusus, bukan umum.
Tipe pertama dari imamah, yang bersifat umum dan dikenal sebagai al-imama al-sughra, telah dijelaskan dalam al-Mawsu‘a al-Fiqhiyya al-Kuwaytiyya (Ensiklopedia Fikih Islam Kuwait) sebagai berikut:
“Setiap pemimpin yang diikuti oleh suatu kaum, baik mereka yang berada di jalan yang lurus, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: “Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami,” atau mereka yang sesat, sebagaimana firman-Nya: “Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang mengajak ke neraka, dan mereka sekali-kali tidak akan ditolong pada hari kiamat.”
“Kemudian, istilah tersebut meluas penggunaannya, dan merujuk kepada siapa saja yang menjadi panutan atau pemimpin dalam bidang ilmu tertentu. Misalnya, Imam Abu Hanifah adalah panutan dalam fikih, dan Imam al-Bukhari adalah panutan dalam hadis.
“Namun, ketika istilah tersebut digunakan tanpa pembatasan apa pun, maka ia secara khusus merujuk kepada orang yang memegang posisi kepemimpinan terbesar, dan hanya diterapkan kepada orang lain dengan tambahan, seperti ‘imam bidang tertentu.’ Oleh karena itu, al-Razi (w. 1210) mendefinisikan imam sebagai: ‘Setiap orang yang diikuti dalam agamanya.’”[14]
Namun, Al-imama al-kubra berbeda dan khusus dalam penggunaannya. Telah dijelaskan sebagai berikut:
“Kepemimpinan Agung (al-imama al-kubra) secara terminologis merujuk pada kepemimpinan dalam masalah agama dan duniawi, sebagai khalifah yang menggantikan Nabi. Ia disebut ‘besar’ (kubra) untuk membedakannya dari kepemimpinan yang lebih rendah (al-imam al-sughra), yaitu kepemimpinan dalam salat. Tempat dan posisinya harus diperhatikan.”[15]
Dalam entri ensiklopedia, di bawah kata-kata yang saling terkait atau berkaitan, istilah khilafah telah disebutkan:
“Kata benda verbal (masdar) “khilafah” (خِلافَة) berasal dari kata khalafa (menggantikan, datang setelah), yang artinya: mengikuti seseorang atau mengambil alih tempat mereka. Siapa pun yang menggantikan orang lain disebut khalifah. Oleh karena itu, orang yang menggantikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melaksanakan syariat agama dan memimpin umat Islam dalam masalah agama dan duniawi disebut khalifah. Jabatan ini disebut khilafah atau imamah (kepemimpinan).
“Adapun definisi syar’i, ia bersinonim dengan imamah. Ibn Khaldun (w. 1406) mendefinisikannya sebagai ‘Tugas membimbing seluruh masyarakat sesuai dengan perspektif agama, dalam hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan rohani dan duniawi mereka.”[16]
Setelah menetapkan kategori-katergori yang luas ini, kini kita dapat beralih ke dalil-dalil kitab untuk memahami dasar kewajiban mendirikan khilafah, khususnya khilafah yang memenuhi janji kenabian untuk ‘berada di atas jalan kenabian’.
Bukti-bukti Kitab Suci tentang Kewajiban Mendirikan Khilafah (Fardhu)
– Al-Qur’an
Kewajiban mendirikan khilafah pertama-tama dapat ditetapkan dari Al-Quran, yang diyakini oleh umat Islam sebagai firman Allah yang tidak pernah berubah. Dalam hukum Islam, dalam hal pedoman hukum Al-Quran lebih utama daripada sumber-sumber lain, seperti hadits dan ijma‘ para ulama.
Di dalam Surah Al-Baqarah terdapat percakapan antara Allah dan malaikat tentang pengangkatan seorang khalifah di bumi:
Dan ‘ingatlah’ ketika Tuhan engkau berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi”, mereka berkata “Apakah Engkau hendak menjadikan di bumi orang yang akan membuat kerusakan dan akan menumpahkan darah di dalamnya, padahal kami bertasbih dengan pujian Engkau dan kami mensucikan Engkau?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”[17]
Al-Qurtubi (w. 1273), ulama Andalusi-Maliki, seorang ahli tafsir yang dikenal dengan tafsirnya menyimpulkan kewajiban tersebut dari ayat ini:
“Ayat ini merupakan dalil yang kuat untuk memiliki pemimpin dan khalifah yang ditaati, sehingga ia menjadi tumpuan bagi keutuhan masyarakat dan terlaksananya hukum-hukum khilafah. Tidak ada satupun Imam dalam Islam yang berselisih pendapat tentang wajibnya memiliki pemimpin seperti itu, kecuali apa yang diriwayatkan dari al-Asamm [si Tuli], yang hidup sesuai dengan makna namanya dan memang tuli terhadap syariat, dan mereka yang sependapat dengannya yang mengatakan bahwa khilafah hanya boleh dan bukan wajib jika masyarakat melaksanakan sendiri semua kewajibannya tanpa memerlukan seorang penguasa untuk menegakkannya.
Dalilnya dapat ditemukan dalam firman Allah Ta’ala: “Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi’ dan ayat-ayat lainnya (QS. 38:26, QS. 24:55).
“Semua ini menunjukkan bahwa [kekhalifahan] adalah wajib dan merupakan salah satu pondasi dari rukun-rukun agama.”[18]
Ulama yang mempertanyakan adalah Abd ar-Rahman bin Kaysan yang dikenal dengan nama al-Asamm (w.816), seorang Mu’tazilah yang tinggal di Basra dan tidak menganggap pengangkatan khalifah sebagai suatu kewajiban. Al-Juwaini (w.1085), ahli fikih Syafi’i terkemuka dan teolog As’ari, juga menggolongkannya bahwa orang yang berpendapat seperti itu sebagai orang yang menyimpang dan dikatakan bahwa sebelumnya telah ada ijma‘ semua ulama yang menentang pandangannya, yang mengatakan bahwa hal itu memang kewajiban.[19]
Dalam ayat di atas, al-Qurthubi merujuk pada ayat 56 Surah an-Nur sebagai bukti lebih lanjut tentang kewajiban mendirikan khilafah, di mana Allah menjanjikan kepada orang-orang beriman bahwa Dia akan mendirikan khilafah:
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari antara kamu dan berbuat amal saleh, bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka itu khalifah di bumi ini, sebagaimana Dia telah menjadikan khalifah orang-orang yang sebelum mereka; dan Dia pasti akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah Dia ridai bagi mereka; dan pasti Dia akan memberi mereka keamanan dan kedamaian sebagai pengganti sesudah ketakutan mencekam mereka. Mereka akan menyembah Aku, dan mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu dengan Aku, dan mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu dengan Aku, dan barangsiapa ingkar sesudah itu, mereka itulah orang-orang durhaka.
– Sumber-sumber Hadits
Penjelasan lain juga terdapat dalam sumber-sumber hadits. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan telah bersabda bahwa orang yang meninggal tanpa baiat di lehernya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah (umumnya diterjemahkan sebagai kebodohan, tetapi lebih tepatnya adalah kondisi sebelum Islam, yaitu kondisi non-Muslim), dalam tempat lain disebutkan bahwa orang yang meninggal tanpa mengenali imam zamannya, maka ia meninggal karena kematian jahiliyah.[20]
Para ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa mendirikan khilafah adalah wajib. Hadits ini juga menyelesaikan masalah turunannya; ketika seorang khalifah terpilih, maka harus berbaiat kepadanya.
Al-Syawkani (w 1834) adalah seorang ulama Sunni terkemuka yang memiliki spesialisasi di banyak bidang, termasuk tafsir, hadis, dan fikih. Beliau dipandang sebagai pendukung aliran Athari yang berpengaruh serta ulama terkenal gerakan reformis Salafi. Beliau menggunakan hadits ini sebagai dalil dan juga mengaitkannya dengan Ahmad bin Hanbal (w. 855), at-Tirmidzi (w. 892), Ibnu Khuzayma (w. 923) dan Ibnu Hibban (w. 965), antara lain:
“Di antara dalil yang paling kuat tentang kewajiban mengangkat imam dan berbaiat kepadanya adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad [ibn Hanbal], al-Tirmidzi, Ibnu Khuzaima, dan Ibnu Hibban dalam sahihnya dari hadits al-Harits al-Asy’ari dalam lafalnya (bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda), ‘Barangsiapa yang meninggal dunia sementara tidak ada imam jamaah di atasnya, maka sesungguhnya kematiannya adalah kematian jahiliyah.’ Al-Hakim juga meriwayatkannya dari Ibnu Umar dan Mu‘awiyah dan al-Bazzar meriwayatkannya dari Ibnu Abbas.”[21]
Di sini muncul pertanyaan tentang apa sebenarnya arti dan makna mati jahiliyyah. Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 1449), dalam karya agungnya Fath al-Bari – sebuah tafsir terkemuka atas Sahih al-Bukhari – telah menguraikan makna kalimat ini:
“Yang dimaksud dengan ‘meninggal secara jahiliyyah’ […] adalah meninggal dalam kondisi sesat seperti orang-orang di masa jahiliyyah yang tidak memiliki imam yang adil dan taat karena mereka tidak memiliki konsep seperti itu. Hal ini bukan berarti seseorang meninggal dalam sebagai kafir – melainkan ia meninggal dalam kondisi tidak taat.”[22]
Dapat dipastikan bahwa orang yang meninggal tanpa bersumpah setia (baiat) kepada khalifah, maka ia meninggal dalam ketidaktaatan, yang merupakan dosa. Untuk berbaiat, khalifah harus hadir terlebih dahulu.
Al-Taftazani menjelaskan bahwa umat Islam yang hidup di masa ketika belum ada khalifah yang terpilih, akan terjerumus ke dalam ketidaktaatan dan akibatnya akan mati dalam keadaan jahiliyah. Dalam pemahamannya, tidak ada khalifah yang benar dan sah setelah periode Rasyidin:
“Setelah para khalifah yang benar, umat [Muslim] dalam kondisi tidak memiliki seorang imam, sehingga seluruh masyarakat jatuh ke dalam ketidaktaatan, dan kematian mereka sama dengan kematian orang-orang jahiliyah.”[23]
Ia juga menyatakan bahwa terdapat ijma‘ tentang masalah ini:
“Terdapat ijma’ (ulama) tentang kewajiban mengangkat imam. Perbedaan pendapat hanya pada pertanyaan apakah kewajiban itu dari sisi Allah atau manusia, dan apakah berdasarkan dalil tekstual atau rasional. Sikap yang benar adalah hal itu merupakan kewajiban bagi manusia berdasarkan teks, berdasarkan sabda beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam), ‘Barangsiapa meninggal tanpa mengenal imam pada zmaannya, maka ia mati seperti orang jahiliyyah, dan karena umat (yakni para sahabat) menjadikan pengangkatan imam sebagai hal yang paling utama setelah wafatnya Nabi, sehingga mereka lebih mengutamakannya daripada pemakaman [Rasulullah saw]; demikian pula setelah wafatnya setiap imam, dan juga karena banyaknya kewajiban syariat lainnya yang bergantung padanya.”[24]
Ulama Hanafi Abu Syakur as-Salimi (w. 1066) juga menggunakan hadis untuk mendukung kewajiban ini dan hal itu merupakan ijma’ di antara para ulama umat:
“Ketahuilah bahwa khilafah adalah masalah yang pasti [dalam agama] dan kepemimpinan politik adalah masalah yang pasti dan ditetapkan oleh syariat. Umat wajib mengangkat imam untuk mereka sendiri. Hal ini dibuktikan oleh Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ umat. Adapun Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu.’ [4:59] Adapun Sunnah, ketika Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) wafat, para sahabat, Muhajirin dan Anshar berkumpul di sebuah tempat milik Bani Sa’ida al-Khazraji dan mengatakan: “Kami mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang meninggal tanpa ada imam di atasnya, maka ia mati karena mati jahiliyyah.””[25]
Banyak ulama lain dari berbagai madzhab juga mengutip hadis ini, atau variasi lain hadits ini, sebagai bukti kewajiban mendirikan khilafah. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as (w. 1908), pendiri Jamaah Ahmadiyah, mengutip hadis ini dalam bukunya Dururat al-Imam (Kebutuhan akan Imam). Beliau menulis:
“Perlu diketahui bahwa sebuah hadis yang sahih bersaksi bahwa orang yang tidak mengenal Imam zamannya, maka ia akan mati karena kebodohan. Hadis ini cukup untuk membuat hati orang yang saleh mencari Imam zaman, karena mati dalam kebodohan adalah kemalangan yang sangat besar, sehingga tidak ada keburukan atau kesialan yang berada di luar jangkauannya. Oleh karena itu, sesuai dengan wasiat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ini, menjadi kewajiban setiap pencari kebenaran untuk terus berjuang mencari Imam yang sejati.”[26]
Banyaknya yang merujuk hadits ini menunjukkan signifikansinya dalam wacana hukum dan teologi Islam. Alasan dari dampak beratnya – yakni mati jahiliyyah adalah karena pengangkatan khalifah dianggap fardhu kifayah, sebagaimana akan dibahas nanti. Jika kewajiban komunal ini tidak terpenuhi seluruh masyarakat akan terus berdosa dan mati dalam keadaan berdosa.
Pandangan Ulama Selama Berabad-abad dan Contoh Saqifah
Selain bukti tekstual dari Al-Quran dan Hadits yang telah disebutkan, urgensi para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyikapi masalah kepemimpinan setelah wafatnya beliau merupakan contoh mendasar bagi kewajiban mendirikan khilafah.
Peristiwa Saqifah, di mana para sahabat lebih mengutamakan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah daripada pemakaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, menunjukkan betapa pentingnya, urgensinya, dan beratnya kewajiban ini.[27]
Peristiwa ini senantiasa telah digunakan sebagai bukti oleh para ulama Islam lintas generasi untuk menyatakan bahwa pengangkatan khalifah merupakan salah satu kewajiban kolektif (fardu kifayah) yang sangat penting bagi umat Islam.
Al-Ghazali (w. 1111), yang termasuk dalam madzhab fikih Syafi’i dan madzhab teologi Asy’ari, yang hidup di bawah pemerintahan Abbasiyah pada masa ketika kekhalifahan menjadi pembahasan utama, menyatakan:
“Perlu diketahui dari generasi awwalin, bagaimana para sahabat bersegera mengangkat imam (khalifah) dan mengikat janji setia (baiat) setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Perlu diketahui bagaimana mereka meyakini bahwa hal ini adalah kewajiban yang mutlak (fardhu), hak dan amanat yang harus segera dilaksanakan dan mendesak. Perlu diketahui juga bagaimana mereka meninggalkan persiapan pemakaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan kesibukan mereka dalam mengangkat imam.”[28]
– Pandangan ulama klasik (600-1200)
Ulama terkemuka di berbagai madzhab pemikiran Islam senantiasa menegaskan sifat wajib mendirikan khilafah, yang menggambarkan kesepakatan yang luas tentang pentingnya kepemimpinan dalam menjaga keimanan dan membimbing masyarakat Muslim sesuai dengan hukum Islam. Berikut ini bukanlah daftar yang lengkap, tetapi menyajikan tokoh-tokoh penting untuk menunjukkan kesepakatan yang luas ini.
Pandangan yang menyatakan bahwa mendirikan khilafah adalah fardhu kifayah tidak hanya berlaku pada mazhab tertentu dalam Islam. Ibnu Hazm (w. 1064), ahli fikih Andalusia dari mazhab Zahiri tekstualis, menekankan bahwa meskipun terdapat berbagai kelompok teologis yang muncul pada masa awal Islam, terdapat kebulatan suara dalam masalah ini:
“Semua kaum Sunni (ahlus sunnah), semua kaum Murji’ah, semua kaum Mu’tazilah, semua kaum Syi’ah, dan semua kaum Khawarij telah sepakat tentang sifat wajib imamah dan wajib bagi masyarakat untuk tunduk pada pemimpin yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di antara mereka dan memerintah sesuai dengan aturan-aturan Hukum Suci yang dibawa oleh Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam).”[29]
Abu Mansur al-Baghdadi (w. 1037), ahli fikih Syafi’i dan teolog Asy’ari, mengemukakan pendapat serupa, dengan mengatakan bahwa mayoritas Sunni, termasuk teolog (mutakallimun) dan ahli fikih (fuqaha‘), bersama dengan Syiah, Khawarij, dan sebagian besar Mu’tazilah, menganggap pendirian khilafah dan berbaiat kepada khalifah sebagai suatu kewajiban.[30]
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 855), pendiri salah satu dari empat mazhab utama Sunni, diriwayatkan mengatakan bahwa jika tidak ada imam perselisihan pasti akan terjadi. Menurut Imam Ahmad, tidak diperbolehkan pula bagi siapa pun untuk bermalam sambil merasa dirinya bebas dari perintah seorang imam, terlepas dari apakah imam itu berakhlak baik atau rusak.[31]
Abu al-Hasan al-Asy‘ari (w. 936), yang memisahkan diri dari gerakan Mu‘tazilah dan mendirikan mazhab pemikiran Asy‘ari yang menyandang nama yang sama, berpendapat bahwa imamah adalah ketetapan dan keharusan yang diketahui melalui wahyu dan para sahabat sepakat dengan suara bulat tentang keharusan ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Baghdadi.[32]
Pandangan ini juga digaungkan oleh para ulama Maturidi seperti Abu Syakur as-Salimi (w. 1066) dan al-Bazdawi (w. 1100), yang membuktikan bahwa, terlepas dari pandangan teologis yang berbeda, terdapat kesepakatan lintas mazhab tentang pandangan ini.[33]
Al-Juwayni (w. 1085) menyoroti urgensi para sahabat untuk menekankan perlunya seorang imam, khalifah, atau pemimpin atas masalah umat lainnya.[34]
Al-Ghazali (w. 1111), dalam Fadha’ihul Baatiniyyah-nya, mengandalkan peristiwa tersebut untuk menyatakan bahwa khilafah dan imamah merupakan suatu keharusan bagi keberlangsungan Islam:
“[Para sahabat] tahu bahwa seandainya jika suatu masa berlalu tanpa ada seorang imam di atas mereka, maka mungkin mereka akan tertimpa suatu kejadian yang tercela.. Mereka kemudian akan terjerumus dalam musibah besar yang di dalamnya terdapat pertentangan dan perbedaan pendapat, yang kemudian diikuti oleh ketundukan terhadap perbedaan pendapat.
“[…] Maka, sudah menjadi dalil yang qath’I bahwa pengangkatan imam merupakan keharusan bagi tegaknya Islam..”[35]
Al-Ghazali tidak hanya menekankan pokok bahasan ini, ia juga telah mendedikasikan satu bab penuh dalam bukunya al-Iqtisad fil I’tiqad untuk membahas khilafah dan imamah.
Al-Qurthubi, sebagaimana disebutkan sebelumnya, mengutip ijma’ para sahabat sebagai bukti yang kuat tentang kewajiban khalifah. Ia menganggap pengangkatan seorang khalifah penting untuk menjaga persatuan dan pemerintahan umat Islam.
Abu Ya‘la bin al-Farra’ (w. 1066), seorang ulama terkemuka madzhab Hanbali yang banyak menulis tentang topik ini dalam kitabnya al-Ahkam al-Sultaniyya, juga mengutip ijma’ para sahabat sebagai dalil. Ia menambahkan bahwa jika diskusi dan perdebatan semacam itu tidak terjadi di antara para sahabat selama peristiwa Saqifa, maka dapat dikatakan bahwa mendirikan khilafah bukanlah suatu kewajiban.[36]
Al-Syahrastani (w. 1153), seorang pengikut Asy‘ari dari mazhab Maliki, menyajikan pemilihan semua Khalifah Rasyidah sebagai bukti:
“Ketika kewafatan Abu Bakar sudah dekat, ia berkata [kepada para sahabat], ‘Bermusyawarahlah di antara kalian tentang masalah ini [tentang kekhalifahan]’. Ia kemudian menggambarkan sifat-sifat ‘Umar [memujinya] dan memilihnya sebagai khalifah. Sama sekali tidak terlintas dalam hatinya, atau hati siapa pun, bahwa boleh tidak ada imam. Ketika kewafatan ‘Umar sudah dekat, ia menjadikan masalah itu sebagai masalah musyawarah antara enam orang, dan mereka sepakat memilih ‘Utsman, dan setelah itu memilih ‘Ali. Semua ini menunjukkan bahwa para sahabat, yang awal dan terbaik di antara umat Islam, sepakat bahwa memiliki seorang imam adalah suatu keharusan. […] ijma‘ semacam ini merupakan bukti yang tegas (dalil qathi‘) tentang kewajiban imamah.”[37]
Al-Baghawi (w. 1122), seorang ulama Syafi‘i dan mufassir Al-Quran yang terkenal, menjelaskan bahwa apabila umat Islam mengalami masa yang tidak memiliki pemimpin, maka menjadi kewajiban bagi para pembuat dan pencabut keputusan-keputusan umat (Ahlul Halli wal Aqdi) di antara mereka untuk mengumpulkan dan menunjuk seorang imam.[38]
Ulama klasik lainnya yang menekankan kewajiban ini termasuk al-Mawardi (w. 1058), al-Nasafi (w. 1142), dan al-Nawawi (w. 1277).[39]
– Ulama post-klasik dan modern awal dalam rentang waktu Islam (1300-1700)
Ibnu Taimiyyah (w. 1328), ulama dan teolog terkemuka Hanbali, menulis dalam kitabnya al-Siyasah al-Shar‘iyyah:
“Penting untuk diketahui bahwa jabatan yang bertanggung jawab untuk mengatur masyarakat merupakan salah satu kewajiban agama yang paling besar. Bahkan, tidak ada penegakan agama atau dunia kecuali melalui jabatan tersebut.”[40]
Al-Taftazani (w. 1390), ulama Hanafi dan teolog Asy‘ari, menyatakan imamah sebagai “kewajiban terpenting” bagi umat Islam.[41]
Mansur al-Buhuti (w. 1641), seorang ulama dan ahli fikih Mesir aliran Hanbali, secara tegas menyebut pembentukan imam besar – yaitu khalifah – sebagai fardhu kifayah dalam bukunya Kashshaf al-Qina.[42]
Ulama terkemuka lainnya yang menegaskan bahwa mendirikan khilafah sebagai kewajiban kolektif pada periode ini antara lain Ibnu Taimiyah (wafat tahun 1328), al-Iji (wafat tahun 1355), Ibnu Khaldun (wafat tahun 1406), Ibnu Hajar al-Haytami (wafat tahun 1567), ar-Ramli (wafat tahun 1596), dan al-Haskafi (wafat tahun 1677).[43]
– Pendapat modern (1700-an dan seterusnya)
Syah Waliullah al-Dehlawi (w. 1762) menulis dalam bukunya al-Hujjat al-Baligha:
“Ketahuilah bahwa wajib bagi umat Islam untuk memiliki seorang khalifah dalam jamaahnya untuk kepentingan-kepentingan yang tidak mungkin terpenuhi kecuali dengan keberadaannya…”[44]
Al-Shawkani (w. 1834) memahami pentingnya peristiwa Saqifa terkait pengangkatan seorang imam, dan hal itu pun dengan urgensi.[45]
Rashid Ridha (w. 1935), reformis dan intelektual abad ke-19, menyoroti sikap bulat generasi awal dalam memandang pembentukan khilafah sebagai fardhu kifayah:
“Orang-orang saleh umat Islam terdahulu (salaf), kaum Sunni, serta kelompok dari aliran-aliran lainnya telah sepakat bahwa kedudukan imam – yakni, pengangkatannya sebagai wali amanat atas umat, adalah wajib bagi umat Islam menurut syariat […] jabatan khalifah adalah fardhu kifayah dan mereka yang berkewajiban untuk hal ini adalah ahlul halli wal aqdi dalam umat.”[46]
Sarjana Mesir Abdul Rahman al-Juzayri (w. 1941) menyatakan bahwa keempat Imam sepakat bahwa mengangkat seorang khalifah adalah wajib, dan umat Islam tidak dapat memiliki dua Imam secara bersamaan.[47]
Muhammad bin Ibrahim al-Tuwaijri, seorang ulama Salafi kontemporer dari Burayda, menggambarkan kekhalifahan sebagai kewajiban kolektif dengan peran khusus yang diberikan kepada dua kelompok tertentu:
“Kekhalifahan merupakan kewajiban bersama dan ditujukan kepada dua kelompok orang: Badan konsultatif (ahl al-syura) yang bertanggung jawab untuk memilih khalifah, dan mereka yang memenuhi syarat untuk kepemimpinan (ahl al-imamah), yang harus siap untuk memangku peran khalifah jika terpilih.”[48]
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as telah menekankan di banyak kesempatan tentang pentingnya dan kewajiban mendirikan khilafah. Dalam bukunya Dururat al-Imam (Kebutuhan akan Imam), beliau mengutip hadis tentang mengenali Imam zaman, dan konsekuensi berat jika tidak melakukannya, sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Dalam buku Al-Wasiyyat, beliau membahas pandangannya tentang dua manifestasi Ilahi: yang pertama adalah kenabian dan yang kedua adalah kekhalifahan yang menggantikan seorang nabi. Beliau juga berpandangan bahwa kekhalifahan “berdasarkan ajaran kenabian” akan berlanjut setelah kedatangan Imam Mahdi.
Hazrat Mirza Bashir-ud-Din Mahmud Ahmad ra, penerus kedua Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as, juga menulis tentang urgensi mendirikan kekhalifahan, yang sejalan dengan contoh praktis para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Persoalan khilafah memang sangat penting dan harus segera diselesaikan.”[49]
Akan tetapi, pendapat ini tidak luput dari pertentangan dalam wacana intelektual Islam. Ada ulama seperti Hatim al-Asamm (sebagaimana disebutkan sebelumnya), sebagian dari kalangan Khawarij, dan sebagian lagi dari kalangan Qadari, yang secara halus, dan terkadang secara tegas, menentang urgensi bahkan kewajiban mendirikan kekhalifahan.
Meskipun terdapat pendapat-pendapat yang berbeda, sebagian besar pendapat para ulama lintas abad dan mazhab mendukung pandangan bahwa mendirikan kekhalifahan adalah fardhu kifayah. Contoh praktis para sahabat selama peristiwa Saqifa semakin menggarisbawahi urgensi dan pentingnya kewajiban ini.
Karena singkatnya pembahasan, referensi dari para ulama berikut, yang juga berpendapat bahwa mendirikan khilafah adalah suatu kewajiban, tidak disertakan dalam artikel ini dan dapat dijadikan bacaan tambahan: Ulama Hanafi termasuk Abu Syakur al-Salimi, al-Bazdawi, al-Kasani, al-Andakani, al-Qutlubagha; Ulama Syafi’i Abu al-Abbas ibn al-Rifaa dan Jalal al-Din al-Mahalli; dan ulama Maliki Ibn Abdillah al-Tamimi al-Siqilli (w. 1061).
Memahami Fardhu Kifayah dan Implikasinya
Dalam Islam, tindakan yang harus dilakukan disebut wajib. Kewajiban ini diklasifikasikan menjadi dua jenis: kewajiban individu (fardhu ain), yang hanya berlaku untuk individu, seperti shalat wajib dan puasa, dan kewajiban kolektif (fardhu kifayah), yang wajib dipenuhi oleh umat Islam secara kolektif.
Fardhu kifayah adalah kewajiban yang jika ditunaikan oleh sebagian umat Islam, maka membebaskan yang lainnya dari tanggung jawab pribadi. Itulah sebabnya fardhu kifayah juga dikenal sebagai kewajiban yang mencukupi, karena diperlukan jumlah orang yang cukup untuk menunaikannya, dan mereka cukup untuk tujuan ini. Akan tetapi, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh masyarakat dianggap berdosa. Contohnya adalah shalat jenazah, shalat Idul Fitri, dan masalah yang sedang dibahas: mendirikan khilafah.
Ulama Hanbali Ibnu al-Lahham (w. 1400), dalam bukunya al-Qawaid wa al-Fawaid al-Usuliyyah, mendefinisikan masing-masing jenis kewajiban dan menjelaskan perbedaan antara keduanya:
“Jika suatu kewajiban diharuskan untuk dilakukan oleh setiap orang secara khusus atau oleh orang yang ditunjuk (seperti dalam kewajiban khusus Nabi), maka kewajiban tersebut tergolong fardhu ain (kewajiban individu). Akan tetapi, jika tujuan kewajiban tersebut hanya untuk melaksanakan kewajiban itu sendiri, terlepas dari siapa yang melakukannya, maka kewajiban tersebut disebut fardhu kifayah (kewajiban bersama).
“Disebut demikian (kifayah atau kecukupan) karena pelaksanaannya oleh sebagian orang cukup untuk menghilangkan beban dosa dari yang lain.”[50]
Al-Zarkashi (w. 1392) menjabarkan tujuan masing-masing: Fardhu ain dimaksudkan untuk menguji orang-orang yang diwajibkan untuk melaksanakannya, karena fardhu ain mengharuskan setiap orang untuk memenuhi kewajibannya secara pribadi. Sebaliknya, tujuan fardhu kifayah adalah untuk memastikan tindakan itu dilakukan, terlepas dari siapa yang melakukannya.[51]
Untuk lebih menjelaskan perbedaan antara keduanya, Ibnu al-Lahham mengutip pernyataan ulama Sunni Shihab al-Din al-Qarafi (w. 1285). Ia menjelaskan bahwa manfaat fardhu ain akan berulang dengan pengulangannya, seperti shalat lima waktu. Manfaatnya terletak pada penyerahan diri kepada Allah, bertasbih kepada-Nya, berbincang-bincang dengan-Nya, merendahkan diri di hadapan-Nya, dan berdiri di hadirat-Nya. Manfaat-manfaat ini bertambah seiringnya banyaknya shalat yang dilakukan.[52] Peningkatan pahala ini tidak hanya terbatas pada amalan wajib saja, tetapi juga berlaku pada amalan sunah seperti shalat witir, puasa di hari-hari yang baik, tawaf, dan bersedekah.
Fardhu kifayah, di sisi lain, al-Qarafi menjelaskan, mengacu pada kewajiban yang manfaatnya tidak bertambah dengan pengulangan, seperti menyelamatkan orang yang tenggelam. Setelah satu orang memenuhi kewajiban, penyelamat kedua yang masuk ke dalam air tidak memberikan manfaat tambahan apa pun. Oleh karena itu, dalam hukum Islam hal ini digolongkan sebagai fardhu kifayah untuk menghindari pengulangan dalam tindakan tersebut.
Karena mendirikan khilafah hukumnya fardhu kifayah, maka jika tidak dilaksanakan dan tidak ada yang memikul tanggung jawabnya, maka seluruh umat Islam menanggung beban dosa secara kolektif. Hal ini juga telah dijelaskan sebelumnya oleh ulama Syafi’i al-Mawardi (w. 1058), dan ulama Hanbali Abu Ya’la bin al-Farra’ (w. 1066).[53]
Ibnu al-Lahham berpendapat bahwa cukuplah bagi kewajiban fardhu kifayah untuk gugur jika ada dugaan kuat (ghalabat al-zann) bahwa kelompok lain telah menunaikannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Ya’la bin al-Farra‘, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain.[54]
Peran Ahl al-Halli wa al-Aqdi dalam Mendirikan Khilafah
Ahlul halli wal aqdi memegang peranan penting dalam mendirikan khilafah. Istilah ini, dalam pengertian teknis terkait pengangkatan khalifah dan imam, tidak digunakan selama masa hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada masa empat Khalifah Rasyidah, istilah ini mulai digunakan, tetapi dalam pengertian umum, merujuk pada wakil dan penguasa berbagai daerah yang telah ditunjuk oleh para khalifah. Belakangan, istilah ini mulai digunakan dalam pengertian teknis.
Salah satu penggunaan istilah dalam pengertian teknis yang paling awal adalah oleh Abul Hasan al-Asy‘ari, yang menggambarkan para sahabat yang mengakui kekhalifahan Hazrat Ali ra sebagai “ahlul halli wal aqdi para sahabat.”[55]
Di samping al-Mawardi dan Abu Ya’la ibn al-Farra, banyak cendekiawan yang menyebutkan perlunya kelompok ini. Cendekiawan dan reformis Mesir modern Rasyid Rida menulis bahwa pendirian kekhalifahan adalah fardhu kifayah, dan “mereka yang berkewajiban untuk memenuhinya adalah ahlul halli wal aqdi umat.”[56]
Tetapi siapakah sebenarnya mereka, dan terdiri dari orang-orang seperti apakah badan elektoral ini? Definisi kelompok berikut dapat ditemukan dalam Kuwaiti Encyclopaedia of Islamic Jurisprudence:
“Istilah ahl al-hall wa al-aqd mengacu pada individu-individu berpengaruh di antara para ulama, pemimpin, dan tokoh masyarakat terkemuka yang memastikan tercapainya tujuan pemerintahan, yaitu, kemampuan dan kewenangan untuk mengelola urusan secara efektif. Frasa tersebut berasal dari kata menyelesaikan (hall) dan mengikat (aqd) berbagai masalah.”[57]
Dengan cara yang sama, ulama Hanbali kontemporer Muhammad bin Ibrahim al-Tuwaijri, dalam Ensiklopedia Fikih Islam-nya, menulis:
“Pemilihan dan sumpah setia kepada khalifah dilakukan oleh ahlul halli wal aqdi – orang-orang yang berwenang, termasuk para ulama, pemimpin, dan tokoh terkemuka yang saleh. Mereka bertindak atas nama bangsa dalam memilih khalifah, sebagaimana kaum Muhajirin dan Ansar memilih Khalifah Rasyidah.”[58]
Tanggung jawab memilih khalifah merupakan tanggung jawab yang berat. Oleh karena itu, ada beberapa kualitas yang harus ada pada orang-orang yang membentuk badan pemilihan ini. Kualitas-kualitas ini telah dikumpulkan dalam Kuwaiti Encyclopaedia dari berbagai sumber, seperti al-Ahkam al-Sultaniyyah karya al-Mawardi:
- Keadilan: Ini mencakup semua syarat yang diperlukan untuk keadilan dan kejujuran dalam memberikan kesaksian, seperti beragama Islam, berakal sehat, dewasa, bersih dari dosa (fisq) dan memiliki intergritas akhlak yang sempurna.
- Pengetahuan: Mereka harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk membedakan siapa yang memenuhi syarat untuk posisi imamah berdasarkan persyaratan yang diperlukan untuk pemimpin.
- Penilaian dan kebijaksanaan yang baik: Hal ini penting untuk memilih individu yang paling berkualitas dan cocok untuk menjadi imam.
- Mereka haruslah orang-orang yang memiliki otoritas dan pengaruh (syawka) yang pendapatnya diikuti oleh umat dan keputusannya dipatuhi sehingga tujuan pemerintahan dapat tercapai secara efektif.
- Ketulusan dan kesungguhan untuk kemajuan umat Islam.
Terdapat pendapat dari kalangan ulama, seperti al-Mawardi, yang menulis dalam kitab al-Ahkam al-Sultaniyya bahwa ada satu kelompok dari dalam ahlul halli wal aqdi yang akan dipercayakan dengan tugas memilih khalifah, yaitu ahl al-ikhtiar. Ahl al-ikhtiar bisa saja terdiri dari semua anggota ahlul halli wal aqdi, atau hanya sebagian kecil dari mereka.[59]
Pengangkatan ahl al-ikhtiar dapat dilakukan dengan dua cara. Baik khalifah yang mengangkat mereka secara langsung, seperti ketika Umar ra menunjuk enam orang dari ahlul halli wal aqdi untuk memilih satu di antara mereka sebagai khalifah berikutnya bagi kaum muslimin setelahnya. Atau, jika khalifah tidak menunjuk kelompok ahl al-ikhtiar tertentu, maka mereka yang mampu hadir dari ahlul halli wal aqdi cukup untuk melakukan pemilihan – artinya, siapa pun yang hadir dan mampu hadir. Dalam hal ini, kehadiran mereka setara dengan penunjukan formal.[60]
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Muslim tentang jumlah ahlul halli wal aqdi yang dibutuhkan dan diperlukan untuk mendirikan khilafah. Ini adalah jumlah orang yang dibutuhkan dalam kesepakatan agar khilafah menjadi sah.
Salah satu pendapat adalah bahwa khilafah tidak sah sebelum mayoritas ahlul halli wal aqdi dari setiap wilayah sepakat, yang menjamin penerimaan luas dan kepatuhan kolektif kepada pemimpin. Pandangan ini dipegang oleh mazhab Hanbali. Ahmad bin Hanbal menyatakan, “Pemimpin yang sah adalah orang yang disetujui semua orang, dengan mengatakan, ‘Inilah pemipin kami.’”[61]
Pandangan lain mengatakan bahwa setidaknya harus ada lima anggota yang sepakat untuk membentuk kepemimpinan. Kelima anggota tersebut harus secara kolektif menunjuk pemimpin, atau salah satu dari mereka melakukannya dengan persetujuan dari empat anggota lainnya.
Selain itu, pendapat ketiga menyatakan bahwa tidak diperlukan jumlah tertentu. Menurut madzhab Hanafi dan Syafi‘I meyakini bahwa kepemimpinan dapat ditetapkan dengan menunjuk sekelompok ahlul halli wal aqdi tanpa menyebutkan jumlah pastinya.[62]
Tugas yang harus dilaksanakan oleh ahlul halli wal aqdi tidak hanya mengangkat khalifah, yang telah menjadi ijma di kalangan ulama Sunni tanpa ada perbedaan pendapat sebagaimana dinyatakan oleh al-Mawardi, tetapi juga, jika pemimpin terpilih tidak hadir ketika pemimpin yang ada saat itu meninggal, ahlul halli wal aqdi bertanggung jawab untuk memanggilnya. Selama ketidakhadirannya, mereka juga dapat menunjuk seorang wakil untuk bertugas sementara atas nama khalifah hingga ia tiba. Mereka berjanji setia kepada wakil ini, menurut al-Mawardi, sebagai perwakilan, bukan sebagai khalifah penuh.[63]
Penting untuk dicatat bahwa konsep pemberhentian khalifah sangat diperdebatkan, dan tidak ada kesepakatan di antara para ulama tentang masalah ini. Sebagian berpendapat bahwa ahlul halli wal aqdi memiliki kewenangan untuk memberhentikan seorang khalifah karena alasan yang sah, seperti pelanggaran hukum Islam yang jelas, sebagian lainnya sangat menentang hal ini, dengan alasan bahwa hal itu mengarah pada ketidakstabilan dan fitnah (perselisihan).
Ini secara praktis berarti ahlul halli wal aqdi adalah orang-orang yang memegang kendali mutlak dan bukan khalifah, karena mereka memiliki kekuasaan untuk menggulingkannya. Melawan syariat bisa jadi subjektif, sebagaimana yang cukup jelas dalam keadaan umat saat ini, dan jika ia menentang syariat mereka yang berbeda, maka mereka dapat menyingkirkannya.
Kemudian, tinjauan atas peristiwa-peristiwa sejarah menyingkapkan perbedaan lebih jauh antara ahl al-syura dan ahlul halli wal aqdi. Karakteristik dari ahl al-syura adalah “pengetahuan,” sedangkan karakteristik ahlul halli wal aqdi adalah “otoritas” (shawka, atau kekuatan).
Diriwayatkan bahwa Abu Bakar akan berkonsultasi dengan orang-orang seperti Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’b, dan Zaid bin Tsabit ketika menghadapi masalah-masalah penting. Semua sahabat ini dikenal karena mengeluarkan keputusan-keputusan agama selama kekhalifahan Abu Bakar, dan ia meminta nasihat mereka, menjadikan mereka dari kalangan ahl al-syura.
Di sisi lain, di antara mereka yang turut serta dalam membaiat Abu Bakar di Saqifa dari ahlul halli wal aqdi adalah Bashir bin Sa‘d. Akan tetapi, Bashir tidak dikenal sebagai salah seorang ulama yang mengeluarkan putusan-putusan agama di antara para sahabat. Sebaliknya, ia berpengaruh dan disegani di sukunya, Khazraj. Dikatakan bahwa, ia adalah orang pertama dari kaum Ansar yang membaiat Abu Bakar di hari Saqifah.[64]
Karena tampaknya mustahil untuk memilih ahlul halli wal aqdi, memilih khalifah dari seluruh umat Islam di dunia berubah menjadi fantasi romantis belaka. Dengan demikian, mendirikan khilafah menjadi tugas yang mustahil secara manusiawi, di mana campur tangan Tuhan harus berlaku, membawa kita kembali pada janji Allah dalam Surah an-Nur.
Kesimpulan: Ketidakmungkinan yang Tampak pada Masa Kini
Kita telah melihat bahwa mendirikan kekhalifahan adalah fardhu kifayah – sebuah keputusan yang bersumber dari Al-Quran, Hadits, dan contoh praktis dari para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Berdasarkan sumber-sumber ini, para ulama Islam sepanjang masa telah sepakat bahwa mendirikan khilafah adalah suatu keharusan. Kesetiaan (baiat) juga harus diikrarkan kepada khalifah sebagaimana hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sebagai fardhu kifayah kewajiban ini, memiliki implikasi serius: jika tidak dipenuhi oleh kelompok yang cukup dari kalangan umat – dalam hal ini, ahlul halli wal aqdi (mereka yang memenuhi syarat untuk memilih pemimpin) – seluruh umat menanggung beban dosa kolektif. Lebih jauh lagi, mengabaikan kewajiban ini dapat mengakibatkan kematian “jahiliyyah” sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang disepakati semua orang sebagai keadaan yang berbahaya secara rohani.
Namun, di dunia Muslim yang terpecah-pecah saat ini, pembentukan kekhalifahan yang dapat diterima oleh semua umat Islam tampaknya hampir mustahil. Gagasan untuk membentuk ahlul halli wal aqdi yang kredibel yang diterima oleh semua orang, apalagi yang menyetujui seorang pemimpin tunggal dengan legitimasi universal, berada di luar realitas politik dan sektarian saat ini.
Kebuntuan inilah yang menunjukkan bahwa pemilihan khalifah seperti itu tidak mungkin terjadi tanpa campur tangan Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam Surah an-Nur. Dalam janji yang terdapat dalam ayat 56, Allah Ta’ala sendiri mengambil tanggung jawab untuk melaksanakan tugas ini.
Hal ini tidak mengurangi kebutuhan akan ahlul halli wal aqdi. Mereka hanyalah sarana tindakan Allah. Ini adalah satu-satunya cara umat Islam akan mulai bersatu di bawah satu kepemimpinan. Allah tidak hanya menjanjikan kekhalifahan dan berhenti di situ, melainkan melalui tata bahasa Arab, menekankan dan menandaskan fakta ini dengan sangat jelas. Hazrat Mirza Bashir-ud-Din Mahmud Ahmad ra menulis:
“Dalam ayat ini [an-Nur: 56], janji Allah Ta’ala disebutkan dengan kata-kata wa’ada-Allah [Allah berjanji], dan kemudian janji pemberian khilafah ini ditekankan dengan perintah lam (lam tawkid) dan perintah nun (nun tawkid). Ayat ini memberi tahu kita bahwa Allah sendiri akan melakukan hal ini, dan pasti akan melakukannya. Kemudian ayat tersebut berlanjut dengan mengatakan bahwa Allah pasti, pasti, akan memberikan kemuliaan kepada khalifah tersebut. Dan kemudian dikatakan bahwa Allah pasti, sangat pasti, akan mengubah ketakutan menjadi kedamaian. Oleh karena itu, dengan menggunakan kata imperatif (kata perintah) lam dan kata imperatif nun sebanyak tiga kali, pokok bahasan tersebut telah ditegaskan dengan sangat kuat bahwa Allah sendirilah yang akan mewujudkan hal ini, dan tidak seorang pun atau apa pun yang akan ikut campur.”[65]
Dalam konteks ini, Jemaat Muslim Ahmadiyah memberikan contoh modern: jabatan kekhalifahan dan telah berdiri pada tahun 1908. Tidak diragukan lagi bahwa terdapat perbedaan teologis dan perbedaan pendapat di seluruh dunia Islam mengenai kekhalifahan ini, tetapi Namun, adanya pemeriksaan kritis tidak berarti kepalsuan – setiap kekhalifahan di masa lalu telah mendapatkan kritikan, termasuk kekhalifahan rasyidah.
Definisi yang tepat tentang seperti apa seharusnya seorang khalifah, dan bagaimana seharusnya khalifah terlihat dan berfungsi, tidak pernah ada kesepakatan. Terdapat perbedaan pendapat dalam hampir setiap masalah yang terkait dengan hal ini, jadi menolak seorang pengklaim kekhalifahan hanya karena adanya kritikan bukan hanya tidak adil dan tidak masuk akal, tetapi juga tidak memiliki integritas akademis.
Kita tahu bahwa pasti akan ada kekhalifahan yang berdasarkan “ajaran kenabian”. Sebagian ulama meyakini hal ini akan terjadi setelah kemunculan Imam Mahdi, sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengklaim sebagai Imam Mahdi dan Pembaharu yang Dijanjikan di akhir zaman, dan setelahnya, kekhalifahan berlanjut dengan cara yang sama seperti yang terjadi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Persamaannya ada di sana. Apakah klaimnya sah atau tidak adalah pertanyaan yang dibenarkan, tetapi pertanyaan yang memerlukan penyelidikan menyeluruh dan tidak bias.
Mengingat beratnya kewajiban dan konsekuensi dari mengabaikannya, sikap pasif bukanlah pilihan. Intinya adalah sebelum umat Islam bersatu di bawah satu khalifah dan berjanji setia kepadanya, keadaan umat tidak akan membaik.
Tanpa mengakui Imam zaman dan mengikrarkan kesetiaan tulus (baiat) kepada kekhalifahan, setiap Muslim menanggung risiko mati jahiliyah dan akibatnya jatuh dalam keadaan berdosa. Tidak ada Muslim waras yang menginginkan hal ini, jadi ini bukan masalah yang bisa dibiarkan begitu saja dan tidak perlu dikhawatirkan. Ini sangat penting, dan sudah saatnya umat Islam menanggapinya dengan serius.
Oleh karena itu, di satu sisi, kewajiban mendirikan khilafah tetap ada, sementara di sisi lain, umat terus bergulat dengan perpecahan yang hebat. Konsekuensi dari tugas yang diabaikan ini sangat besar dan terlalu serius untuk diabaikan. Setiap Muslim harus melakukan penelitian sendiri dan tidak menolak sesuatu hanya berdasarkan desas-desus dan prasangka belaka.
Sumber: Alhakam.org
[1] Musnad Ahmad, Vol. 5, Hadits 23885
[2] Ibid
[3] Al-Albani, Silsila al-Hadith al-Sahiha
[4] Amin Muhammad Jamal ad-Din, Al-Qol al-Mubeen fi al-Ashrat al-Sughra li Yaum al-Din, hal. 128-131
[5] “Shaykh Muhammad Al-Yaqoubi: Refuting ISIS (FULL)”, www.youtube.com, 24 February 2016
[6] Al-Qurtubi, al-Jami‘ li al-Ahkam al-Quran, Vol. 1, hal. 264-265; Ibn Taymiyya, al-Siyasah al-Shar‘iyyah, hal.129; Al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-Itiqad, hal. 199
[7] Sahih Muslim, Kitabul Imarah, Hadits 1851a; Musnad Ahmad, Vol. 4, Hadits 16876
[8] Surah al-Baqarah, Surah 2 ayat .31; Surah Sad, Surah 38: ayat 27
[9] Surah al-Baqarah, Surah 2: ayat 152
[10] Hazrat Mirza Bashir-ud-Din Mahmud Ahmad, Barakat-e-Khilafat (Keberkatan Khilafat)
[11] Ibid
[12] Al-Taftazani, Syarh al-Aqaid al-Nasafiyyah, p. 242
[13] Al-Nawawi, al-Rawdat al-Talibin, 10:49
[14] The Kuwaiti Encyclopaedia of Islamic Jurisprudence, di bawah entri ‘imamate’
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Surah al-Baqarah, Surah 2: ayat 31
[18] Al-Qurtubi, al-Jami‘ li al-Ahkam al-Quran, Vol. 1, hal. 148-149
[19] Al-Juwayni, Ghiyath al-Umam fi-Iltiyath al-Zulam, hal. 22–23
[20] Sahih Muslim, Kitabul Imrah, Hadits 1851a; Musnad Ahmad, Vol. 4, Hadits 16876
[21] Al-Shawkani, al-Sayl al-Jarrar al-Mutadaffiq ala Hada’iq al-Azhar, Vol. 1, hal. 936
[22] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, Tafsir Hadits 6530, 13/7
[23] Al-Taftazani, Syarh al-Aqaid al-Nasafiyyah
[24] Al-Taftazani, Syarh al-Aqaid al-Nasafiyyah, hal.353-354
[25] Al-Salimi, Al-Tamhid fi Bayan al-Tawhid, hal. 309
[26] Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Dururat al-Imam (Perlunya Imam), hal. 1
[27] Al-Tabari, Tarikh, Vol. 2, hal. 452
[28] Al-Ghazali, Fada‘ih al-Batiniyya wa-Fada‘il al-Mustazhiriyya, hal.171
[29] Ibn Hazm, al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwaʿ wa al-Nihal, 4:148
[30] Al-Baghdadi, Usul al-Din and al-Farq bayn al-Firaq
[31] “Dilarang bermalam”: Al-Barbahari, Sharḥ al-Sunnah, hal. 77; “Perselisihan tidak dapat dihindari”: Abu Bakr al-Khallal, al-Sunnah, hal. 32 (#11)
[32] Cf. Lambton, Ann K. S., State and Government in Medieval Islam: An Introduction to the Study of Islamic Political Theory – The Jurists, hal. 77-78
[33] Al-Salimi: disebutkan sebelumnya; Al-Bazdawi, Usul al-Din, hal. 191
[34] Ibn al-Rif‘ah, Kifayat al-Nabih, 18:4
[35] Al-Ghazali, Fada‘ih al-Batiniyya wa-Fada‘il al-Mustazhiriyya, hal.171
[36] Abu Ya‘la ibn al-Farra‘, al-Ahkam al-Sultaniyya, hal. 19
[37] Al-Shahrastani, Nihayat al-Iqdam fi Ilm al-Kalam, Vol. 1, hal. 268
[38] Al-Baghawi, al-Tahdhib fi Fiqh al-Imam al-Shafi‘i, 7:264.
[39] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyya; al-Nasafi, al-Aqa’id al-Nasafiyyah, p.354; al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, 12:205 & 7:36
[40] Ibn Taymiyyah, al-Siyasah al-Shar’iyyah, hal.129
[41] Al-Taftazani, Syarh al- Aqa’id al-Nasafiyyah, hal.353-354
[42] Al-Buhuti, Kashshaf al-Qinaa’ an Matn al-Iqnaa’, 6:158
[43] Al-Iji, al-Mawaqif fi Ilm al-Kalam, 3:579-580; Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, Chapter 3, Section 26; Ibn Hajar al-Haytami, al-Sawaa’iq al-Muhriqah, 1:25; al-Ramli, Ghayat al-Bayan fi Sharah Zabd ibn Raslan, 1:15; al-Haskafi and Ibn Abidin, Radd al-Muh ala al-Durr al-Mukhtar, 1: 548 (Hasyiya [anotasi] Ibn Abidin pada karya Haskafi)
[44] Shah Waliullah al-Dehlawi, Hujjat Allahi al-Baligha, 2:229
[45] Al-Shawkani, al-Sayl al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘ala Hada’iq al-Azhar, 1:936
[46] Rashid Rida, al-Khilafa aw al-Imamah al-Uzma, (From the Nation State to the State of the Khilafah: Renewal of ‘Islamic Legal Politics’”. The State in Contemporary Islamic Thought, hal. 73, 81.)
[47] al-Juzayri, al-Fiqh ala al-Mathahib al-Arba’a, 5:416
[48] Muhammad ibn Ibrahim al-Tuwaijri, Encyclopedia of Islamic Jurisprudence, Vol. 5, hal. 286.
[49] Hazrat Mirza Bashir-ud-Din Mahmud Ahmad, Barakat-e-Khilafat (Keberkatan Khilafat), hal. 21
[50] Ibn al-Lahham, Al-Qawa‘id wa al-Fawa’id al-Usuliyyah, Qa’idah 49, hal. 253
[51] Al-Zarkashi, Al Bahr al-Muhit, 1:242
[52] Al-Qarafi, Al-Furuq, Vol. 1, p. 166; Ibn al-Lahham, Al-Qawaid wa al-Fawa’id al-Usuliyyah, Qa’idah 49
[53] Abu Ya‘la ibn al-Farra‘, al-Ahkam al-Sultaniyya, hal. 19-20; Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyya, hal. 5-6
[54] Ibn al-Lahham, Al-Qawa‘id wa al-Fawa’id al-Usuliyyah, Qa’idah 49
[55] Abu al-Hasan al-Ash‘ari, al-Ibanah an Usul al-Diyana, hal. 258 (diambil dari Ummatics.org)
[56] Rashid Rida, al-Khilafa aw al-Imamah al-Uzma, (From the Nation State to the State of the Khilafah: Renewal of ‘Islamic Legal Politics‘”. The State in Contemporary Islamic Thought, hal. 73, 81.)
[57] The Kuwaiti Encyclopaedia of Islamic Jurisprudence, di bawah “ahl al-hall wa al-aqd”
[58] Muhammad ibn Ibrahim al-Tuwaijri, Encyclopaedia of Islamic Jurisprudence
[59] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyya
[60] The Kuwaiti Encyclopaedia of Islamic Jurisprudence
[61] Abu Ya‘la ibn al-Farra‘, al-Ahkam al-Sultaniyya
[62] Abu Mansur Abdul Qahir al-Baghdadi, Usul al-Din; Abu Ya‘la ibn al-Farra‘, al-Ahkam al-Sultaniyya; Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyya
[63] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyya
[64] Ibn Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahaba
[65] Hazrat Mirza Bashir-ud-Din Mahmud Ahmad, Mansab-e-Khilafat, hal. 60