Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Rasulullah saw. – Pertempuran Bani Mustaliq dan Fitnah Besar
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 16 Agustus 2024 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
Dalam beberapa khotbah sebelumnya, dibahas tentang Gazwa (Pertempuran) Banu Mustaliq. Dalam rincian lebih lanjut, diriwayatkan bahwa sekembalinya dari Banu Mustaliq, ketika Rasulullah saw. melewati suatu tempat bernama Naqi’, beliau saw. melihat banyak rerumputan dan kolam. Ketika beliau saw. bertanya tentang airnya, seseorang menjawab: “Wahai Rasul Allah saw.! Ketika musim panas tiba, air menjadi berkurang dan air di kolam menurun.” Rasulullah saw. memerintahkan Hazrat Hatib bin Abi Balta’ah r.a. untuk menggali sumur dan mengubah Naqi’ menjadi padang untuk merumput.
Hazrat Bilal bin Harits Mazni r.a. ditunjuk sebagai pengawasnya. Ia berkata: “Wahai Rasulullah saw.! Sampai batas mana saya harus membuat padang untuk merumput?” Beliau saw. menjawab: “Saat terbit fajar, tempatkan seseorang yang bersuara keras di gunung dan buatlah padang untuk merumput dengan batas jangkauan suaranya, untuk semua kuda dan unta kaum Muslimin yang akan digunakan untuk Jihad.”
Demikianlah cara beliau mengukur luas wilayah tersebut. Hazrat Bilal r.a. berkata: “Wahai Rasulullah saw.! Apa petunjuk Anda tentang hewan-hewan gembalaan kaum Muslim secara umum?” Beliau saw. menjawab: “Mereka tidak akan memasuki [lahan-lahan] ini.”
Saya kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah saw.! Apa petunjuk Anda tentang orang-orang muslim yang lemah, baik laki-laki maupun perempuan, yang hanya memiliki sedikit domba dan kambing, dan tidak mampu membawanya ke tempat lain untuk digembalakan?” Beliau saw. bersabda: “Biarkan mereka merumput disana!” Dengan kata lain, beliau hanya mengizinkan orang-orang miskin untuk memasuki padang penggembalaan ini dan memerintahkan orang-orang kaya untuk menyiapkan tempat penggembalaan mereka sendiri; hanya hewan milik golongan yang diizinkanlah yang dapat merumput di sini. Padang penggembalaan ini terus dikelola hingga masa kekhalifahan Hazrat Abu Bakar r.a., Hazrat Umar r.a. dan Hazrat Utsman r.a.. Setelahnya, karena meningkatnya jumlah kuda dan unta, lokasinya dipindahkan.
Rasulullah Menyelenggarakan Pertandingan Olahraga untuk Para Sahabat
Rasulullah saw. berupaya keras untuk menjaga para sahabat agar tetap siaga dan bugar. Dari waktu ke waktu, beliau saw. selalu menyelenggarakan pertandingan olahraga di antara para sahabat, yang berfokus pada peningkatan keberanian, fisik, keyakinan, dan perjuangan [di jalan Allah]. Pertandingan semacam itu sangat meningkatkan tekad, keteguhan, semangat dan keberanian mereka. Jadi, pertandingan olahraga kerap diadakan saat itu.
Alhasil, Sekembalinya dari pertempuran Banu Mustaliq, ketika Rasulullah saw. mencapai Naqi’, di hari itu beliau saw. mengadakan perlombaan pacuan kuda dan unta di antara para sahabat. Unta beliau saw., Qaswah, yang ditunggangi oleh Hazrat Bilal bin Rabah r.a., unggul dalam berlari melawan unta-unta lainnya dan kuda beliau pun unggul di depan saat berpacu dengan semua kuda lainnya. Beliau saw. memiliki dua kuda. Satu kuda bernama Lizaz dan yang lainnya bernama Dharib. Hari itu, Dharib yang ikut dalam pertandingan. Hazrat Abu Sa’id r.a. menunggangi kuda beliau ini dan kuda ini keluar di urutan pertama.
Rasulullah saw Lomba Lari dengan Aisyah ra
Di sini juga kita menemukan peristiwa tentang Rasulullah saw. yang mengadakan pertandingan lari bersama Hz Aisyah r.a.. Dalam kitab Imta’ul-Asma’, tertera bahwa pada pertempuran ini, yakni saat perjalanan [pulang] dari pertempuran Banu Mustaliq, Rasulullah saw. mengadakan lomba lari dengan Hz Aisyah r.a.. Hz. Aisyah r.a. mengatur pakaiannya dan Rasulullah saw. juga melipat pakaiannya lalu mereka berlomba lari. Nabi saw. unggul berlari di depan Hz. Aisyah r.a. dan bersabda: “Ini adalah pembalasan karena sebelumnya kamu berlari lebih cepat dariku!”
Ucapan ini merujuk pada sebuah peristiwa Rasulullah saw. di masa lalu. Suatu kali, beliau saw. mengunjungi rumah Hz Abu Bakar r.a. dan beliau saw. melihat sesuatu di tangan Hz. Aisyah r.a.. Beliau Saw meminta untuk melihatnya, tetapi Hz. Aisyah r.a. menolak dan lari dari sana. Beliau saw. juga berlari ke arahnya tetapi tidak dapat mengejar Hz. Aisyah r.a.. Ini adalah peristiwa-peristiwa di sekitar kehidupan rumah tangga beliau saw.. Beliau saw. melakukannya untuk menjaga agar suasana rumah tangga beliau selalu hangat dan bahagia. Rasulullah saw. menjadi contoh teladan bagi kita dalam segala hal, dan ini juga menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berlaku keras kepada istrinya.
Allamah Ibnu Jawzi telah menyampaikan sebuah riwayat dari Hazrat Aisyah r.a.. Hz. Aishah r.a. meriwayatkan, “Aku pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah saw.. Saat itu, aku masih muda dan bertubuh ramping. Rasulullah saw. mengajak orang-orang untuk berlomba lari, dan mereka pun ikut melakukannya. Kemudian Rasulullah saw. bersabda kepadaku, ‘Ayo, kita berlomba lari’ Kami berdua pun berlomba lari dan aku unggul di depan.” Riwayat yang disampaikan pertama, mungkin saja merujuk pada kejadian yang beda.
Alhasil, ini merupakan peristiwa-peristiwa tentang perlakuan baik Nabi saw yang sering terjadi. Hz Aisyah r.a. kemudian berkata, “Kemudian, masa pun berlalu, dan berat badanku pun menjadi meningkat. Kemudian ada sekali lagi aku melakukan perjalanan bersama Rasulullah saw.. Pada kesempatan ini juga, beliau saw. menyuruh orang-orang agar bertanding lari dan semua orang pun melakukannya. Setelah itu, Rasulullah saw. bersabda kepadaku, ‘Ayo kita lomba lari.’ Kami pun berlomba lari dan di kesempatan itu beliau saw. menang. Saat itu beliau saw. tertawa dan bersabda: ‘Ini adalah untuk menebus kekalahan di pertandingan sebelumnya.’”
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. pun menerangkan peristiwa ini sebagai berikut:
“Rasulullah saw. juga biasa berlomba dengan istri-istri beliau. Pada suatu kesempatan, Rasulullah saw. dan Hazrat Aisyah r.a. berlomba di depan pasukan. (Mereka tidak berlomba lari di tempat terpisah, tetapi di depan pasukan.) Rasulullah saw. saat itu kalah, dan Hazrat Aisyah r.a. menjadi pemenangnya. Ketika mereka berdua berlomba lari di kesempatan lain, Rasulullah saw. yang menang dan Hazrat Aisyah r.a. kalah karena berat badannya yang meningkat. Atas kemenangan ini, beliau saw. bersabda, ‘Wahai Aisyah, kekalahanmu ini adalah balasan atas kekalahanku sebelumnya.’
Alhasil, Rasulullah saw. tidak menganggap berlomba dengan istri-istri beliau sebagai suatu hal yang tidak pantas, dan sesuatu yang telah diperkenankan oleh Islam tidak dapat dianggap sebagai suatu yang tidak pantas. Di masa dahulu, bahkan hingga saat ini, ada sebagian orang yang membeda-bedakan perlakuan terhadap istri mereka, dan mereka di masa kini pun secara keliru merasa malu atas hal-hal tertentu, seperti suami berjalan di depan, sedangkan istrinya ditinggalkan di belakang, atau berjalan agak jauh. Jika saat ini pun masih ada orang-orang seperti itu, maka ini adalah suatu pelajaran bagi mereka. Inilah perlakuan istimewa terhadap wanita yang telah diajarkan oleh Islam, dan merupakan suatu teladan yang telah ditegakkan oleh Rasulullah saw.
Fitnah Besar Terhadap Hz. Aisyah ra
Di dalam perjalanan ini, disebutkan juga tentang terjadinya suatu peristiwa fitnah besar (ifk), yang rinciannya adalah sebagai berikut:
“Ketika kembali dari pertempuran Banu Mustaliq, terjadi lagi cobaan yang sangat buruk yang dilakukan oleh orang-orang munafik, yaitu tuduhan palsu terhadap Hz. Ummul Mukminin, Hazrat Aisyah r.a., yang juga dikenal sebagai Peristiwa Ifk (fitnah besar). Di awal, diterangkan tentang peristiwa sumber air, yaitu ketika Abdullah bin Ubay mencoba untuk menimbulkan perselisihan; ini adalah peristiwa yang berbeda.
Menurut riwayat dalam Shahih Bukhari, Hazrat Aisyah r.a., ketika menerangkan rincian Peristiwa Ifk, menuturkan:
“Adalah kebiasaan Rasulullah saw. bahwa ketika beliau saw. hendak melakukan suatu perjalanan, beliau saw. biasa mengundi di antara para istri suci beliau, kemudian beliau akan membawa serta istri yang mendapat undian tersebut.” Hazrat Aisyah r.a. menuturkan, “Pada suatu kesempatan, untuk pergi ke suatu Gazwah, beliau melakukan undian diantara kami, dan undian tersebut jatuh pada diriku. Oleh karena itu, aku pun berkesempatan pergi bersama Rasulullah saw.. Saat itu sudah turun perintah berkenaan dengan Pardah (maksudnya peristiwa ini terjadi setelah turunnya perintah berjilbab).” Hz. Aisyah r.a. menuturkan: “Selama perjalanan ini, aku duduk di tandu yang diletakkan di punggung unta, dan jika berhenti, maka tandu itu akan diturunkan ke bawah. Kami terus melakukan perjalanan hingga ketika Rasulullah saw. selesai dari pertempuran, dan kami tengah di perjalanan pulang mendekati kota Madinah, pada suatu malam, Rasulullah saw. memerintahkan untuk berangkat. Ketika aku mendengar pengumuman ini, aku bangkit dan pergi ke satu sisi, menjauh dari pasukan.” Hz. Aisyah r.a. pergi keluar untuk menunaikan hajat.
Hz. Aisyah r.a. menuturkan, “Ketika aku telah menunaikan hajat dan kembali ke arah unta, aku memeriksa leherku dan aku menyadari bahwa kalungku telah hilang.” Itu terbuat dari manik-manik Zafar. Zafar adalah sebuah gunung atau kota yang berada di dekat kota Sana’a di Yaman. Manik-manik buatan mereka masyhur. Hz. Aisyah r.a. menuturkan: “Kalungnya (mungkin) rusak dan jatuh di suatu tempat. Aku kembali untuk mencari kalungku dan karenanya aku menjadi tertinggal.” Hz. Aisyah r.a. menuturkan, “Sementara itu, orang-orang yang telah ditunjuk untuk mengangkat tanduku dan menaruhnya di punggung unta telah tiba dan mengira bahwa aku sudah ada di dalam tandu tersebut, lalu mereka pun mengangkatnya dan menaruhnya di atas unta, dan melanjutkan perjalanan bersama pasukan. Pada masa itu, perempuan-perempuan berbobot ringan dan tidak banyak daging di tubuhnya karena mereka hanya sedikit makan disebabkan oleh masa-masa yang sulit, dan karena itu, mereka tidak curiga bahwa aku belum berada di tandu. Saat itu, aku masih seorang wanita muda.”
“Alhasil, ketika aku kembali setelah menemukan kalungku, ternyata pasukan telah pergi” Yakni mereka yang membawa unta telah pergi, sementara Hz. Aisyah r.a. pun baru kembali setelah mencari dan menemukan kalungnya. Hz. Aisyah r.a. menuturkan: “Aku lalu kembali ke tempat berkemah sebelumnya, namun tidak ada seorangpun yang memanggilku. Semua telah pergi, dan aku tidak dapat melihat ada seseorang pun. Aku lalu kembali ke tempatku berada, yakni aku pergi ke tempat tendaku berada, sambil berpikir bahwa ketika orang-orang menyadari bahwa aku tertinggal, mereka pasti akan kembali. Oleh karena itu, aku duduk di tempatku berada dan aku mengantuk lalu tertidur. Kemudian Safwan bin Mu’attal Sulam Dhakwani yang berada di belakang pasukan (beliau memang bertugas untuk tetap berada di belakang pasukan supaya barang-barang yang jatuh, dll. dapat diamankan). Ketika beliau tiba dari di dekat tempat aku beristirahat di waktu pagi, beliau melihat ada seseorang yang sedang tidur sendirian. Karena beliau pernah melihatku sebelum turunnya perintah tentang pardah, beliau langsung mengenaliku.”
Hz. Aisyah r.a. menuturkan: “Beliau mengucapkan innālillāhī, dan karena ucapannya ini aku pun terbangun. Tatkala beliau mengenaliku, aku lantas menutup wajahku dengan cadar, dan demi Allah, kami tidak mengucapkan satu patah kata pun, dan aku tidak mendengar sepatah katapun darinya kecuali beliau membaca innālillāhī. Beliau lalu turun dari untanya dan menyuruh untanya berlutut di dekatku. Kemudian beliau meletakkan kakinya di atas kaki depan untanya. Aku lalu bangkit menuju unta itu dan menaikinya, sementara Hz. Safwan r.a. menuntun unta dengan tali pengikatnya dan berjalan di depan. Di waktu pertengahan siang hari yang panas dan terik, kami akhirnya sampai di tempat pasukan Muslim mendirikan kemah.”
Hazrat Aisyah r.a. menyatakan, “Telah binasalah orang yang dibinasakan, dan yang memiliki andil paling besar dalam fitnah adalah Abdullah bin Ubay bin Sulul.”
Urwah menuturkan, “Aku mendengar bahwa berita gunjingan biasa menyebar di kalangan pengikutnya, dan mereka saling memperbincangkan berita itu. Dia menyelidiki berita itu dan mendengarkannya dengan saksama sambil mencari tahu rinciannya sendiri.” Urwah juga menuturkan, “Demikian pula, tidak ada nama yang disebutkan secara khusus sebagai penyebar gunjingan ini, kecuali Hassan bin Tsabit, Mistah bin Utsatsah, Hamnah binti Jahsy dan mungkin beberapa orang lainnya yang aku tidak tahu namanya”. Ini adalah ucapan dari perawi. Jadi, yang melakukan hal ini adalah sekelompok orang tertentu, sebagaimana telah difirmankan oleh Allah Taala, dan orang yang paling bertanggung jawab atas fitnah tersebut adalah Abdullah bin Ubay bin Sulul.” Urwah menuturkan, “Hazrat Aisyah r.a. tidak menyukai siapa pun yang menjelek-jelekkan Hazrat Hassan r.a.; Hz. Aisyah r.a. kerap berkata, ‘Dialah yang mengatakan bahwa ayahnya, ayah dari ayahnya, dan kehormatannya adalah perisai yang melindungi kehormatan Nabi saw..’ Beliau memiliki pemikiran yang sangat suci dan memiliki hubungan yang sangat tulus serta pengabdian kepada Rasulullah saw., itulah sebabnya Hz. Aisyah r.a. tidak pernah tinggal diam jika mendengar hal-hal negatif yang dikatakan tentang beliau.”
Hazrat Aisyah r.a. selanjutnya menjelaskan, “Selama sebulan setelah kami tiba di Madinah, aku jatuh sakit.” Jadi, seusai perjalanan dan semua orang tiba di Madinah, Hz. Aisyah r.a. menuturkan bahwa beliau jatuh sakit. Hz. Aisyah r.a. berkata: “Orang-orang lalu sibuk membicarakan apa yang dituduhkan oleh penuduh. Aku saat itu sama sekali tidak menyadarinya. Aku jatuh sakit di rumah dan tidak tahu apa-apa tentang ini. Apa yang membuatku benar-benar gelisah saat sakit ini adalah aku tidak melihat corak kasih sayang Rasulullah saw. yang biasanya aku lihat. Selama sakit ini, Rasulullah saw. mendatangiku, menyapaku, menanyakan kabarku, lalu beliau pergi. Hanya itu saja. Tidak ada perlakuan istimewa yang lebih selain itu, dan ini yang membuatku sangat gelisah.”
“Aku saat itu tidak mengetahui mengenai gunjingan jahat tersebut sampai saat aku mulai merasa kesehatanku lebih baik dan mulai pergi keluar bersama Ummu Mistah untuk menunaikan hajat di tempat yang ditentukan. Kami tidak akan berangkat kecuali pada jam-jam malam. Ini terjadi sebelum kamar mandi dibangun di rumah kami sendiri.” Yakni untuk menunaikan hajat, perempuan biasa pergi keluar pada malam hari. Di masa itu orang-orang tidak memiliki kamar mandi di rumah mereka. Hz. Aisyah berkata, “Saat itu, kami mengikuti kebiasaan Arab. Merupakan kebiasaan kita untuk pergi ke hutan belantara untuk menunaikan hajat, karena kami merasa tidak nyaman jika memiliki tempat di rumah kami sendiri untuk itu.” Namun akhirnya, hal ini menjadi hal biasa, dan kamar mandi mulai dibangun di rumah-rumah penduduk.
Hazrat Aisyah r.a. melanjutkan, “Aku pergi bersama Ummu Mistah – dia adalah putri Abu Ruhm bin Muttalib bin Abdul Manaf. Ibunya adalah putri dari Sakhr bin Amir, bibi Hazrat Abu Bakr Siddiq r.a., dan nama putranya adalah Mistah bin Uthathah bin Ubadah bin Muttalib. Ketika Ummu Mistah dan aku kembali ke rumah setelah kami menunaikan hajat, Ummu Mistah terjebak dalam jubahnya, tersandung, dan berkata, ‘Celakalah Mistah.’ Aku berkata kepadanya, ‘Apa yang Anda katakan itu tidak baik. Apakah Anda menjelek-jelekkan orang yang ikut serta di Perang Badar?’ Dia menjawab, ‘Wahai wanita lugu, pernahkah kamu mendengar apa yang dia katakan?’ Aku bertanya padanya, ‘Apa yang dia katakan?’ Ummu mistah menjawab: dia memberitahukan kepadaku cerita yang disebarkan oleh para pemfitnah itu.” Hazrat Aisyah r.a. menceritakan, “Setelah mendengar ini, aku menjadi semakin sakit.”
Dalam riwayat lain, peristiwa tentang pergi menunaikan hajat ini dijelaskan sebagai berikut: Hazrat Aisyah r.a. menuturkan, “Aku pergi ke luar untuk menunaikan hajat dan Hazrat Ummu Mistah ikut bersamaku. Dia jatuh tersandung dan berseru, ‘Semoga Mistah binasa.’ Aku bertanya padanya, ‘Apakah Anda benar-benar mengutuk anak Anda sendiri?’ Mendengar hal ini, Ummu Mistah terdiam.”
Ummu Mistah kemudian tersandung untuk kedua kalinya dan kemudian berkata: “Terkutuklah Mistah !” Aku berkata kepadanya: “Anda mengutuk anak Anda sendiri?” Ummu Mistah kemudian tersandung untuk ketiga kalinya dan berkata: “Semoga Mistah binasa!” Aku kemudian memarahinya, dan mungkin kemudian ia memikirkannya, dan karena linglung, ia tersandung.” Hz. Aisyah r.a. berkata: “Ketika aku memarahinya, ia berkata: ‘Aku tidak mengutuk dia, tetapi kamu. Aku mengutuk dia hanya karena kamu. Aku memikirkannya, dan itu terlintas dalam pikiranku dan aku mengatakannya. Aku bertanya padanya: ‘Mengapa karena aku?’”
Hazrat Aisyah r.a. menuturkan: “Ia kemudian memberitahuku tentang seluruh kejadian tersebut.” Jadi, Ummu Mistah memberi tahu Hazrat Aisyah r.a. tentang masalah ini. “Aku bertanya kepadanya: ‘Apakah ini benar-benar apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang?’ Ummu Mistah berkata: ‘Ya, aku bersumpah demi Allah.’ Setelah itu aku kembali ke rumah. Saat itu telah hilang sirna tujuanku sebelumnya untuk meninggalkan rumah dan kini aku tidak membutuhkan apa pun. Ketika aku kembali ke rumah, Rasulullah saw. mendatangiku. Beliau mengucapkan salam kepadaku dan bersabda: ‘Bagaimana keadaanmu?’ Aku bertanya kepada Nabi saw.: “Apakah engkau mengizinkan aku pergi ke rumah orang tuaku?” (Hz. Aisyah r.a. berkata) aku ingin memastikan kebenaran berita ini dari kedua orangtuaku.” Ibnu Hisyam menerangkan bahwa ketika Hazrat Aisyah r.a. pergi ke rumah orang tuanya, Hz. Aisyah r.a. saat itu belum mengetahui perihal gunjingan keji tersebut dan kejadian bersama Ummu Mistah pun terjadi setelah Hazrat Aisyah r.a. pergi ke rumah orang tuanya. Kendati demikian, kedua riwayat tersebut memang ada. Kemudian Hz. Aisyah berkata, “Rasulullah saw. memberiku izin.”
Dalam riwayat lain, Hazrat Aisyah r.a. menerangkan: “Beliau saw. mengirim seorang pelayan bersamaku. Ketika aku sampai di rumah, ibuku, Ummu Rumman, sedang ada di bawah, sedangkan ayahku ada di lantai atas sedang membaca Al-Qur’an.” Ini adalah riwayat Sahih Bukhari.
Hazrat Aisyah r.a. berkata: “Aku berkata kepada ibuku: ‘Ibuku sayang, apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang?’” Ibu Hz. Aisyah menjawab: “Wahai putriku tercinta! Janganlah memperhatikan hal itu, karena demi Allah, tidak ada seorang wanita menawan pun yang dicintai oleh suaminya yang mempunyai istri-istri lain juga, kecuali istri-istrinya yang lain akan menggunjingnya.” Hazrat Aisyah r.a. berkata: “Subhānallāh! Apakah orang-orang benar-benar telah mengatakan hal-hal ini tentangku?”
Dalam riwayat lain, Hazrat Aisyah r.a. menuturkan: “Hazrat Abu Bakr r.a. mendengar suaraku dan saat itu beliau berada di lantai atas tengah membaca Al-Qur’an. Beliau turun ke bawah dan berkata pada ibuku, ‘Ada apa dengannya?’ Ibuku menjawab, ‘Dia telah mendengar fitnah yang tersebar tentang dirinya.’ Mendengar hal ini, mata Hazrat Abu Bakr r.a. berkaca-kaca. Beliau berkata: ‘Putriku sayang! Aku bersumpah kepadamu bahwa kamu harus kembali ke rumahmu.’” Hazrat Aisyah r.a. berkata: “Aku telah kembali ke rumah.”
Hazrat Aisyah r.a. menuturkan: “Aku lantas menangis sepanjang malam. Hari sudah pagi, tapi air mataku tak kunjung berhenti. Aku tidak dapat tidur sepanjang malam. Saat fajar tiba, aku masih menangis.” Hazrat Aisyah r.a. menuturkan: “Ketika terjadi tenggat waktu dalam turunnya wahyu, Rasulullah saw. memanggil Hz. Ali bin Abi Ṭalib r.a. dan Hz. Usamah bin Zaid r.a. untuk meminta pendapat mereka. Beliau saw. bertanya kepada keduanya apakah beliau harus meninggalkan istrinya. (Yaitu meninggalkan Hazrat Aisyah r.a.). Usamah bin Zaid r.a. menyarankan Rasulullah saw. untuk menempuh cara agar membebaskan istri beliau dari semua tuduhan tersebut dan Rasulullah saw. sendiri juga mengetahui tentang ini. Hazrat Usamah r.a. berkata: ‘Beliau adalah istri engkau yang suci dan kami tidak mengetahui apa pun selain kebaikan dan kebaikan darinya.’ (Kami hanya mengetahui kebaikan tentangnya, jadi sebaiknya jangan sama sekali berpikir untuk meninggalkannya.)” Menurut salah satu riwayat, Hazrat Usamah bin Zaid r.a. berkata: “Ini sungguh suatu kepalsuan dan tidak berdasar.”
Adapun Hazrat Ali r.a. berkata: “Wahai Rasulullah saw.! Allah Taala tidak ingin menyulitkanmu dan masih banyak wanita selain Aisyah r.a.. Meskipun demikian, tanyakan pada pelayan; mungkin ia mengetahui sesuatu dan ia akan mengatakan fakta sebenarnya.” Hazrat Ali r.a. menyatakan sedikit keraguannya mengenai masalah ini. Rasulullah saw. lalu memanggil Barirah, yang merupakan pelayan rumah tangga. Beliau saw. bersabda: “Apakah
Anda pernah melihat sesuatu pada diri Aisyah r.a. yang mungkin dianggap mencurigakan?” Barirah menjawab, “Demi Zat Yang mengutus engkau dengan membawa kebenaran, aku belum pernah melihat sesuatu yang buruk pada dirinya; kecuali karena usianya yang masih muda, ia memang agak ceroboh. Seringkali ia membiarkan adonan roti terbuka sementara ia tertidur, lalu kambing di rumah datang dan memakannya.” yaitu, Hz. Aisyah cepat tertidur dan sedikit ceroboh, tapi selain itu, tidak ada keburukan apapun dalam diri beliau.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa salah seorang sahabat Nabi saw. menegur pelayan itu dan menyuruhnya untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Rasulullah saw., hingga orang itu berulang kali bertanya kepadanya mengenai masalah ini. Ia menjawab, “Maha suci Allah! Demi Allah, yang aku ketahui tentang beliau hanyalah sebagaimana pengetahuan seorang ahli emas tentang emas yang murni. Aku hanya selalu menemukan kebaikan dalam diri beliau.”
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw. juga bertanya tentang Hazrat Aisyah r.a. kepada Ummu Aiman. Beliau menjawab, “Aku menjaga telinga dan mataku agar tetap terlindungi. Aku selalu beranggapan baik tentang Aisyah dan hanya menemukan kebaikan dalam dirinya.”
Hazrat Aisyah r.a. menuturkan, “Rasulullah saw. juga menanyakan kepada istri suci beliau, yaitu Hazrat Zainab binti Jahsy r.a. tentangku. Beliau saw. bertanya kepada Hazrat Zainab r.a., ‘Apa yang engkau ketahui tentang apa yang tengah dibicarakan ini, atau apa pandangan engkau tentang hal ini?’ Beliau menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah saw.! Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku, aku melihatnya dengan penuh kesadaran, dan aku dapat melihat dan mendengar dengan baik. Demi Allah, tidak ada yang kuketahui tentangnya kecuali kebaikan. Aku hanya menyaksikan kebaikan dalam dirinya.’”
Hazrat Aisyah r.a. menerangkan, “Di antara semua istri Nabi saw., Zainab adalah satu-satunya yang kerap bersaing denganku dan sedikit banyak menjadi sainganku. Namun karena ketakwaannya, Allah Taala melindunginya dari hal ini [yakni ikut dalam fitnah ini.]”
Hazrat Aisyah r.a. lalu menerangkan, “Hamnah, adiknya berperang demi mereka dan binasa bersama orang-orang yang juga binasa.” Dengan kata lain, ia tidak mendapatkan kesudahan yang baik.
Hazrat Aisyah r.a. menerangkan, “Demi Allah, orang yang dituduh, yaitu Safwan bin Mu’attal, subhanallah, ia mengatakan, ‘Demi Allah yang hidupku berada di tangan-Nya, aku tidak pernah melepaskan kain dari seorang wanita pun.’” yaitu ia tidak pernah melakukan hubungan dengan wanita mana pun. Hazrat Aisyah r.a. menuturkan, “Kemudian dia syahid di jalan Allah.” Yaitu ia adalah sosok yang saleh sehingga ia pun mencapai kedudukan syahid.
Allamah ibnu Ishaq menyatakan: bahwa Ummu Ayyub, istri Hazrat Abu Ayyub Khalid bin Zaid Ansari, berkata kepadanya, “Wahai Abu Ayyub! Pernahkah kamu mendengar apa yang dikatakan orang tentang Aisyah ?” Abu Ayyub menjawab, “Ya, aku memang pernah mendengarnya dan itu semua dusta. Wahai Ummu Ayyub, maukah kamu melakukan perbuatan seperti itu?” Ummu Ayyub menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan pernah melakukan perbuatan seperti itu.” Abu Ayyub berkata, “Aisyah jauh lebih unggul dan lebih baik darimu. Jadi, Bagaimana dia bisa melakukan tindakan seperti itu?”
Disebutkan dalam Shahih Bukhari bahwa pada peristiwa ini ada seorang dari kalangan Ansar yang berkata, “Ya Allah, Maha Suci Engkau. Bukanlah pekerjaan kami untuk menyebarkan hal ini. Wahai Allah, Maha Suci Engkau, ini adalah fitnah yang sangat besar.” Ini juga merupakan riwayat dari Bukhari. Penulis tafsir Bukhari, Allamah Ibn Hajar menyatakan bahwa Hazrat Abu Ayyub Ansari mengatakan pernyataan ini dan Hazrat Ubay bin Ka’b meriwayatkan bahwa hal ini ia katakan kepada istrinya, Hazrat Ummu Tufail.
Hazrat Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa pada hari yang sama, Rasulullah saw. berdiri di mimbar dan mengungkapkan ketidaksenangan beliau terhadap Abdullah bin Ubay. Beliau saw. bersabda, “Wahai umat Islam, aku sangat berduka atas keluargaku. Adakah di antara kalian yang mampu mengakhiri hal ini? Demi Allah, aku tidak mengetahui apa pun tentang keluargaku kecuali kebaikan, dan aku juga menganggap orang yang disebutkan yaitu Safwan bin Mu’attal adalah orang yang saleh.” Dengan kata lain, Nabi saw. juga memberikan kesaksian yang mendukung pria tersebut (Hz. Safwan r.a.). “Dia hanya datang ke keluargaku dengan bersamaku dan dia menemaniku dalam semua perjalananku.” Hazrat Aisyah r.a. menuturkan, “Mendengar hal ini, Hazrat Saad bin Muadh r.a., yang berasal dari kalangan Bani Abdu Ash’al, berdiri. Menurut sebagian orang, itu adalah Hazrat Usaid bin Hudair r.a.. Beliau berkata, ‘Wahai Rasulullah saw.! Aku akan melindungimu dari ini.’” Ketika Nabi saw. mengungkapkan kesedihan dan kegelisahannya di depan orang-orang, maka sahabat ini berdiri dan menyatakan bahwa ia akan berusaha melindungi Nabi saw. dari tuduhan palsu ini dan dari kesedihan yang menimpa beliau saw. karena keluarga beliau. Beliau berkata, “Jika dia berasal dari suku Aus, aku akan memenggalnya; dan jika dia termasuk di antara saudara kami, kaum Khazraj, maka kami pun siap melakukan apa yang Anda akan perintahkan.”
Hazrat Aisyah r.a. menuturkan, “Seseorang dari kalangan Khazraj berdiri, dan ibu Hassan, yang berasal dari salah satu cabang suku ini, adalah saudara perempuan dari ayahnya. Orang ini adalah Sa’d bin Ubadah dan beliau adalah kepala suku Khazraj .”
Hazrat Aisyah r.a. menuturkan, “Dia sebelumnya adalah orang yang baik, namun pada saat dia diliputi kemarahan dan sebagai tanggapan terhadap Sa’d, dia berkata kepadanya, ‘Demi Allah, kamu telah mengatakan dusta, kamu tidak akan membunuhnya, dan kamu juga tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya. Jika orang itu berasal dari sukumu, kamu pasti tidak senang jika ia terbunuh.’ Hazrat Usaid bin Hudair r.a. berdiri; ia merupakan sepupu dari Sa’d, dan ia berkata kepada Sa’d bin Ubadah, ‘Kamu telah berbohong. Demi Allah, kami pasti akan membunuhnya. Kamu adalah seorang munafik, karena kamu bertengkar demi kepentingan orang-orang munafik.’”
Hazrat Aisyah r.a. menuturkan, “Perselisihan terjadi di antara para sahabat mengenai masalah ini.” Hz. Aisyah r.a. menuturkan: “Antara suku Aus dan Khazraj sedemikian rupa memanas sehingga mereka siap berperang satu sama lain saat Nabi Muhammad saw. berdiri di mimbar.” Beliau menuturkan: “Rasulullah saw. terus menenangkan mereka hingga akhirnya mereka terdiam, dan kemudian beliau saw. pun lalu terdiam.” Hazrat Aisyah r.a. menuturkan, “Aku terus menangis sepanjang hari itu. Air mataku tidak mau berhenti, dan aku tidak bisa tidur. Orang tuaku mendampingiku, dan aku menangis selama dua malam satu hari, dengan air mata yang tak henti-hentinya. Dalam keadaan tidak bisa tidur, hingga aku merasa hatiku akan meledak karena kesedihan. Selama cobaan berat ini, kedua orang tuaku duduk bersamaku sementara aku menangis, dan seorang wanita Ansari meminta izin untuk mengunjungiku. Aku memberikan izin, dan wanita itu duduk dan mulai menangis di sampingku.”
Hazrat Aisyah r.a. menuturkan, “Saat kami berada dalam keadaan ini, Rasulullah saw. datang mengunjungiku. Beliau mengucapkan salam dan kemudian duduk.” Hazrat Aisyah r.a. menuturkan, “Sejak gunjingan tersebut tersebar, Beliau saw. tidak pernah duduk bersamaku.” Dengan kata lain, sejak peristiwa ini terjadi, beliau saw. hanya mengucapkan salam dari kejauhan, menanyakan keadaan, lalu kemudian pergi. Hazrat Aisyah r.a. melanjutkan, “Beliau saw. tetap seperti ini selama sebulan dan selama itu beliau saw. tidak menerima wahyu Ilahi mengenaiku.”
Hazrat Aisyah r.a. melanjutkan, “Rasulullah saw. membaca Tasyahud setelah duduk dan kemudian bersabda, “Wahai Aisyah! aku telah mendengar ini dan itu tentangmu. Jika kamu tidak bersalah, Allah pasti akan membenarkanmu. Tetapi jika kamu telah berbuat salah,
maka mohonlah ampunan kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya, karena apabila seorang hamba mengaku dan bertaubat, maka Allah akan memberikan rahmat kepadanya.”
Hazrat Aisyah r.a. menjelaskan, “Ketika Rasulullah saw. selesai mengucapkannya, air mataku berhenti mendengar ini dan aku tidak lagi merasakan setetes pun air mataku. Aku kemudian berkata kepada ayahku, Hazrat Abu Bakar r.a., ‘Mohon berikanlah jawaban atas namaku kepada Rasulullah saw. tentang apa yang beliau katakan tentangku.’ Ayahku menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak tahu harus berkata apa kepada Rasulullah saw.. Aku tidak mengerti apa yang harus kukatakan.’ Aku kemudian memohon pada ibuku untuk menanggapi apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw., namun ibunya juga berkata, ‘Demi Allah, aku tidak tahu harus berkata apa kepada Rasulullah saw..’ (Beliau juga memberikan jawaban yang sama). Kemudian aku sendiri berkata, ‘Aku masih seorang perempuan muda dan tidak tahu banyak tentang Al-Qur’an. Demi Allah, aku tahu bahwa apa yang Anda sekalian dengar telah tertanam di hati. dan mungkin Anda semua sekarang telah menganggapku buruk dan menganggap bahwa [fitnah] itu benar. Jika aku mengatakan bahwa aku tidak bersalah dan aku tidak melakukan hal seperti itu, Anda semua tidak akan mempercayaiku; dan jika aku mengakui sesuatu hal, sedangkan Allah Maha Tahu bahwa aku bersih darinya dan aku pasti tidak melakukannya, maka Anda sekalian akan mempercayaiku dan Anda akan mengatakan bahwa aku bersalah dan aku sedang bertobat.” Hz. Aisyah r.a. menuturkan: “Aku berkata, ‘Demi Allah, aku tidak menemukan perumpamaan bagi diriku sendiri, selain seperti ayah Yusuf tatkala beliau berkata:
فَصَبْرٌ جَمِيْلٌ ۗوَاللّٰهُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ
Yakni, “Sekarang, kesabaran yang hakikilah yang terbaik untukku. Dan Allah sajalah yang dapat dimintai pertolongan terhadap apa yang kalian ceritakan.”’ (12:19)
“Setelah mengatakan ini, aku berbalik ke samping dan berbaring di tempat tidur. Allah mengetahui bahwa aku tidak bersalah, dan Dia akan membebaskanku dari tuduhan yang dituduhkan kepadaku. Namun demi Allah, aku tidak pernah membayangkan bahwa Allah Taala akan menurunkan wahyu sesuatu tentang diriku, yaitu wahyu yang akan dibacakan nanti. Aku menganggap kedudukan diriku tidaklah layak bahwa Allah Taala mengatakan sesuatu secara khusus tentangku, aku hanya berharap agar Rasulullah saw. mendapat mimpi di mana Allah Taala akan membuktikan bahwa aku tidak bersalah.” Aku tahu bahwa Allah Taala akan membukakan kepada beliau saw. bahwa aku tidak bersalah, tetapi aku tidak menyangka bahwa Allah Taala akan menurunkan ayat Al-Qur’an mengenai hal ini. Hz. Aisyah menuturkan, “Demi Allah, sebelum Rasulullah saw. meninggalkan tempat duduknya dan sebelum ada orang di rumah tangganya yang pergi, beliau saw. menerima wahyu Ilahi dan pada diri beliau terjadi keadaan yang sedemikian rupa sehingga meskipun hari itu dingin, keringat beliau saw. bercucuran bagaikan mutiara karena beratnya kalam Ilahi yang diwahyukan kepada beliau saw..”
Menurut Sirat Ibn Hisyam, Hazrat Aisyah r.a. menuturkan, “Beliau saw. lalu ditutupi dengan selimut dan bantal kulit diletakkan di bawah kepala beberkat beliau. Ketika aku melihat ini, aku sama sekali tidak gelisah, karena aku tahu bahwa aku tidak bersalah.” Hazrat Aisyah r.a. mengatakan: “Aku tahu Tuhan sedang menurunkan wahyu dan aku tidak perlu khawatir karena aku tahu aku tidak bersalah. Jika memang turun wahyu, Allah Taala pasti akan menyatakan aku tidak bersalah dan Allah Taala tidak akan menganiaya diriku. Sedangkan orang tuaku, demi Zat yang nyawa Aisyah ada di tangan-Nya, ketika Nabi saw. sedang menerima wahyu, aku mengira kedua orang tuaku akan tidak sadar; mereka berdua sangat ketakutan. Mereka khawatir kalau-kalau Tuhan menurunkan ayat yang menguatkan apa yang dikatakan orang-orang. Kemudian, ketika wahyu telah berakhir, Rasulullah saw. duduk dan menyeka keringat di keningnya.”
Allah Membebaskan Hazrat Aisyah (ra) dari Tuduhan Palsu
Hazrat Aisyah r.a. menuturkan, “Ketika keadaan Rasulullah saw. yang seperti ini selesai, beliau saw. tersenyum, dan kata-kata pertama yang beliau sabdakan adalah, ‘Wahai Aisyah! Allah telah menegaskan bahwa kamu tidak bersalah!’” Hazrat Aisyah r.a. menuturkan, “Ibuku berkata kepadaku, ‘Bangkitlah dan pergilah menemui Nabi saw..’ aku menjawab, ‘Tidak. Demi Allah, aku tidak akan mendatangi beliau saw., karena aku hanya akan memanjatkan pujian kepada Allah Taala.” Hazrat Aisyah r.a. menuturkan, “Allah Taala menurunkan:
اِنَّ الَّذِيْنَ جَاۤءُوْ بِالْاِفْكِ
‘Sesungguhnya orang-orang yang menyebarkan fitnah yang besar’.
Ini semuanya ada sepuluh ayat dari Surat al-Nur yaitu ayat 12-21.
Ketika Allah Taala menyatakan bahwa aku tidak bersalah dalam wahyu ini, Hazrat Abu Bakar Siddiq, yang secara rutin memberikan bantuan kepada Mistah bin Atsatsah karena kekerabatan dan kemiskinannya, berkata: ‘Mistah termasuk di antara orang-orang yang melontarkan tuduhan tersebut; Demi Allah, aku tidak akan lagi memberikan bantuan kepada Mistah setelah fitnahnya terhadap Hazrat Aisyah .’ Kemudian Allah Taala menurunkan:
وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai harta dan kecukupan di antara kamu bersumpah.” (An-Nur:23)
Seluruh ayat diturunkan sampai, غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ yakni, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Hz. Abu Bakar r.a. yang sebelumnya menyatakan tidak akan memberikan bantuannya lagi, ketika ayat ini turun beliau r.a. berkata, “Mengapa tidak? Demi Allah, aku menghendaki bahwa Allah menutupi kesalahan-kesalahanku.” Lalu beliau kembali memberi uang kepada Mistah seperti yang biasa beliau berikan padanya sebelumnya. Beliau juga mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan pernah berhenti membantunya.”
Ini adalah rincian dari peristiwa ifk/Fitnah Besar. Selebihnya akan disebutkan di kemudian hari, Insya Allah.
Permohonan Doa
Hari ini, sekali lagi, saya ingin mengingatkan Anda untuk terus berdoa. Berdoalah bagi para Ahmadi di Bangladesh; semoga Allah Taala segera memperbaiki keadaan mereka.
Doakan juga para Ahmadi di Pakistan; semoga Allah Taala segera memperbaiki keadaan mereka.
Berdoalah bagi mereka yang tertindas di Palestina; semoga Allah Taala mengasihi mereka. Semoga Allah Taala memberikan akal budi kepada para pemimpin dunia Islam; semoga mereka memenuhi hak-hak rakyatnya dan tidak melakukan kekejaman terhadap mereka. Janganlah bertindak aniaya, karena akibat tindakan aniaya itulah para musuh menjadi berani melakukan tindakan aniaya terhadap umat Islam, karena mereka mengetahui bahwa pemerintah Islam pun tidak memenuhi hak-hak rakyatnya, jadi bagaimana mereka bisa menyerukan keadilan dari umat Islam? Semoga Allah Taala mengasihi umat Islam.
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd. dan Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. Editor: Mln. Muhammad Hasyim