Apa itu Ied Hakiki dan Bagaimana Meraihnya?
Khotbah Idul Fitri
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz Tanggal 30 Juli 2014 di Masjid Baitul Futuh, Morden, UK.
“Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك لـه، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
Bulan Ramadhan sudah berlalu dan hari ini, dengan karunia Allah Ta’ala, kita sedang merayakan ‘Id. Sesungguhnya kebanyakan dari antara kita berpengharapan Id ini akan menjadi sebuah ‘Id hakiki bagi mereka. Kebanyakan mereka yang memohon didoakan kepada saya menulis supaya Allah Ta’ala mengaruniai mereka ‘Id yang Hakiki, namun kebanyakannya lagi menganggap tujuan dari ‘Id Hakiki itu adalah segala macam cobaan dihilangkan dari mereka serta mereka senantiasa mendapatkan kebahagiaan.
Memang, ini juga merupakan ‘Id, tetapi seorang mukmin itu manakala sedang berpikir untuk memperoleh kebahagiaan yang permanen, sesungguhnya ia tahu benar kebahagiaan itu tersembunyi di dalam kesuksesan meraih ridha Allah dan nikmat-nikmat-Nya. Sesungguhnya meraih kebahagiaan-kebahagiaan yang abadi itu menuntut seseorang untuk menjadikan ‘Id sebagai ‘Id hakiki, dan jika tidak, maka pemahaman dan pengakuannya tadi sehubungan dengan ‘Id bahwa ia akan meraih ‘Id hakiki, sekali-kali tidak akan memenuhi sasarannya.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra telah membahas mengenai tema ini dengan panjang lebar, dan saya sudah mendapatkan beberapa tulisan beliau ra untuk disampaikan di hadapan Anda sekalian sekarang ini. Ketahuilah! ‘Id itu akan menjadi sebuah ‘Id hakiki bagi seorang mukmin yang menyempurnakan syarat-syaratnya. Kita merayakan ‘Idul Fitri yang datang setelah Ramadhan, lalu kita merayakan ‘Id yang lain yang dinamakan ‘Idul Adha, lalu Rasul (saw) telah menyebut Jumat sebagai ‘Id. Hadhrat Masih Mau’ud as juga telah bersabda, “Sesungguhnya kebanyakan orang melalaikan ‘Id ini, yaitu hari raya Jumat.”
Sabda beliau as tersebut merupakan suatu kenyataan. Kita melihat banyak orang tidak menaruh perhatian terhadap Jumat serta tidak terbiasa menghadirinya sebagaimana banyaknya menghadiri ‘Id-‘Id lain. Orang-orang merayakan ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha yang jatuh sekira dua seperempat bulan sesudah ‘Idul Fitri, lalu mengarahkan perhatian pada ‘Id berikutnya setelah kurang lebih 10 bulan, meskipun Allah Ta’ala telah menjadikan bagi kita satu ‘Id di setiap minggu [yaitu Jumat]. Kendatipun Allah Ta’ala tidak menggambarkan ‘Idul Jumat sebagai Id hakiki juga, sekiranya kita melaksanakan shalat Idul Jumat lalu kita melupakan hari-hari selebihnya yang Allah Ta’ala telah tetapkan kepada kita kewajiban-kewajiban harian, maka kita sama sekali tak akan meraih ridha Allah Ta’ala.
Sebenarnya, عيد الفطر ‘Idul Fitri – yang kita namakan العيد الصغير al-‘Id ash-shagīr (kecil) – dan عيد الأضحى Idul Adha – yang kita sebut العيد الكبير ‘Idul Kabīr (besar) – dan عيد الجمعة ‘Idul Jumat, semuanya ‘Id-‘id bersifat sementara, dan mustahil kita akan meraih ‘Id hakiki hanya semata-mata dengan merayakan ‘Id-‘Id ini. Allah Ta’ala telah menjadikan dalam ‘Id-‘id ini suatu pelajaran, “Kami telah menyediakan bagi kalian kesempatan untuk mencapai maqam keruhanian, maka janganlah kalian merasa sudah sedang dengan menjalani kebahagiaan merayakan kesempatan-kesempatan ini, justru ketahuilah oleh kalian bahwa kalian akan merasakan kebahagiaan yang hakiki apabila kalian mempelajari kesempatan kebahagiaan hakiki pada hari-hari lainnya yang jatuh di antara kesempatan-kesempatan [Id-id] ini.
Karena itu, janganlah kalian mengira dengan menunaikan shalat Jumat atau pun shalat ‘Id, kalian telah merayakan ‘Id hakiki dan mencapai maqam keruhanian yang kalian rindu-rindukan. Itu adalah pemikiran yang tanpa ilmu lagi bodoh. Perumpamaan pemilik pemikiran seperti ini adalah seperti mahasiswa atau pelajar yang menghabiskan liburan akhir pekannya – di hari Sabtu dan Ahad, atau di hari Jumat pada beberapa Negara Islam – lalu setelah selesai liburan, ia melupakan kewajibannya untuk pergi ke sekolah lagi. Jika ia melakukannya, tentu ia dimarahi ibu bapaknya dan akan dipaksa pergi ke sekolah. Ketika sampai di sekolah guru-gurunya akan memarahinya dan terkadang menghukumnya.”
Pendek kata, jika seseorang beranggapan, “Ramadhan telah berakhir. ‘Id sudah datang. Sekarang saya tidak memiliki kewajiban apa pun untuk menjalankan ibadah-ibadah dan huququl ‘ibād karena itu tertentu untuk bulan Ramadhan saja”, atau menganggap, “Saya telah berpuasa di bulan Ramadhan ini dan merayakan ‘Id, setelah hari ini saya tidak perlu untuk berpuasa di bulan Ramadhan manapun, saya tidak perlu lagi menjalankan shalat ‘Id atau shalat Jumat, dan saya tidak perlu menjalankan ibadah-ibadah diantara Jumat dan Jumat berikutnya,” Saya katakan jika ia berpikir demikian tentu ia telah menyia-nyiakan imannya dan mengalami kejatuhan dalam pandangan Allah Ta’ala.
Ringkasnya, ‘Id-‘Id ini tidak hanya datang supaya kita berbahagia semata. Sebenarnya ‘Id-‘Id itu datang supaya menarik perhatian kita bahwa maqam-maqam ruhani (tingkat kerohanian) juga bersifat relatif. Jika seseorang tidak menjadikan setiap Jumat dan setiap ‘Id sebagai ‘sebab’ untuk meningkatkan maqam kerohaniannya, tentu kesempatan-kesempatan ini akan menjadi ‘sebab’ kehancurannya bukan menjadi ‘sebab’ kebahagiaannya.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra menceritakan sebuah kisah mengenai seorang Ahmadi lama. Seorang pengurus Jemaat pergi kepadanya untuk memintanya memberikan sumbangan (iuran, candah) demi menutupi keperluan-keperluan Jemaat. Walaupun ia seorang yang berharta tetapi ia mengatakan: “Saya sudah sering memberikan berbagai candah dan saya pikir sekarang saya tidak usah memberikan candah apa pun.” Sebagai dampak [dari anggapannya itu] adalah ia meninggalkan menghadiri shalat di masjid. Beberapa saudaranya bertanya kepadanya tentang ketidak-hadiran shalatnya, ia menjawab: “Saya sudah banyak mengerjakan shalat. Suatu Pemerintahan saja mempersilakan Anda untuk pensiun tidak bekerja setelah sekian lama bekerja, lalu mengapa Allah tidak memperbolehkan saya berhenti mengerjakan shalat setelah sekian lama saya banyak mengerjakan shalat?” Demikianlah ia pun meninggalkan shalat di masjid.
Perhatikanlah! Bagaimana satu kesalahan menyebabkan seseorang melakukan kesalahan yang lain bahkan hingga melakukan perbuatan dosa. Anggapannya adalah pengorbanan-pengorbanannya yang sebelumnya sudah cukup dan memadai dan ia telah meraih kedudukan keruhanian yang sangat tinggi, atau telah menyempurnakan tujuan yang dimaksud dengan pengorbanan yang telah ia persembahkan. Maka, pemikiran ini telah menjadikannya menghilangkan kewajiban shalat-shalat juga yang merupakan sebuah ketetapan dan perintah dasar.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra melanjutkan dan bersabda: “Tetapi, Allah mengasihi Ahmadi ini ketika ia meninggal belum lama ini. Jika tidak, ia tentu akan menjadi orang yang lebih jauh mengatakan: ‘Kami telah beriman kepada Allah sudah sejak lama dan sekarang tidak perlu lagi mengimani-Nya lagi, bahkan saya harus berhenti dari beriman juga.’ Sekalipun orang Ahmadi ini luput mengerjakan perintah-perintah amaliah karena kematiannya, hanya ia tidak mahrum (luput) beriman kepada Allah dan meninggal dalam keadaan beriman. Demikianlah, di dunia juga terdapat contoh kaum seperti ini.
Ini merupakan kejadian besar dan nyata tetapi dalam hal ini ada contoh-contoh kecilnya juga. Kita dapati beberapa orang menginginkan berkhidmat kepada agama. Mereka berikan baktinya dengan penuh semangat. Mereka persembahkan beragam pengorbanan di jalan agama untuk suatu waktu, lalu semangat mereka mereda sekian lama dan menarik diri dari pengkhidmatan. Tidak diragukan lagi dalam hal ini ada beberapa sebab dan faktor di balik itu. Tetapi, seharusnya bagi seseorang itu, faktor-faktor ini tidak enghalanginya dari pengkhidmatan agama, sama saja apakah faktor-faktor ini berasal dari beberapa pengurus atau yang lainnya, karena ia hanya melaksanakan pengorbanan-pengorbanan, pengkhidmatan-pengkhidmatan serta amalan-amalan ini demi wajah Allah Ta’ala dan ridha-Nya saja.
Ada sekelompok orang yang jika diseru pada suatu pengkhidmatan, mereka tidak tertarik dan mengajukan berbagai keberatannya sejak awal, lalu mereka tertinggal dari pengorbanan harta, selanjutnya tertinggal juga dalam ibadah-ibadah atau datang ke masjid. Maka ini beragam bentuk. Ringkasnya, apabila seseorang itu tidak membiasakan melakukan kebaikan maka secara perlahan ia diluputkan dari itu. Selanjutnya, ia kehilangan karunia-karunia Allah Ta’ala karena ketidak-biasaannya itu.
Kekurangannya dalam melakukan ibadah-ibadah dan menunaikan huqūqul ‘ibād, umumnya terlihat setelah berhari-hari atau tidak berapa lama perihal mana orang-orang akan melihatnya mengalami kemunduran secara berangsur. Tetapi terkadang ia akan menjadi seorang yang lemah iman juga sebagaimana dalam contoh yang baru saja telah saya sampaikan. Maka, ‘Id ini harus menjadikan kita memeriksa diri kita dari sisi ini juga, supaya kita melihat bagaimana menjadikan kebahagiaan-kebahagiaan ‘Id itu abadi dan supaya kita mengetahui jalan-jalan yang memungkinkan kita senantiasa meraih karunia-karunia Allah.
Allah Ta’ala menghendaki untuk senantiasa mengaruniai hamba-hamba-Nya dan juga mengaruniainya tanpa hisab (perhitungan). Dia akan memasukkan hamba-hamba-Nya ke dalam surga-surga yang kekal abadi dan memberikan kesenangan yang tanpa putus kepada mereka. Tuhan Islam itu bukanlah sebagaimana Tuhan yang dikemukakan agama-agama yang lain karena tidak kuasa untuk memberikan kepada kita surga-surga yang kekal abadi karena surga-Nya tak bisa untuk jumlah penghuninya yang sebesar itu atau karena perbendaharaan-Nya habis atau berkurang. – na‘ūdzu billāh – Sekali-kali tidak, bahkan Tuhan Islam itu akan menganugerahkan surga di dunia ini dan di akhirat juga, tetapi dengan syarat membiasakan dan dawam mengerjakan kebaikan-kebaikan.
Karena itu, kita harus berupaya untuk meraih surga yang kekal abadi. Allah Ta’ala berfirman: وَ أَمَّا الَّذِيْنَ سُعِدُوْا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِيْنَ فِيْهَا مَادَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَ اْلأَرْضُ إِلاَّ مَا شَاءَ رَبُّكَ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوْذٍ (Tetapi mengenai orang yang bernasib baik, maka mereka berada di dalam surga; mereka akan kekal di dalamnya selama langit dan bumi ada kecuali apa yang Tuhan engkau kehendaki. Pemberian yang tiada putus-putusnya.” (QS : Hūd, 11:109) Maksudnya, orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan itu akan berada di dalam surga kekal selamanya di dalamnya kecuali apa yang Tuhan engkau kehendaki, maka ganjaran mereka adalah ganjaran yang tiada putusnya, tiada akhir dan surga yang tidak akan mengalami fana. Inilah Tuhan kita yang akan mengumumkan, “Apa-apa yang Kami anugerahkan kepada ahli surga, Kami akan mengaruniai mereka selamanya dan bukan untuk memintanya kembali dari mereka, maka ganjaran Kami itu abadi selalu ada, karunia Kami adalah karunia yang tidak ada putusnya.”
Maka, kalian perhatikan, Allah Ta’ala di ayat ini memberitahukan ganjaran ahli surga itu tidak akan terputus dan habis. Hakikatnya ini adalah ‘Id hakiki bagi orang mukmin, maksudnya balasan yang tidak ada akhir dan tiada putusnya. Inilah ‘Id abadi yang tidak ada akhirnya dan tiada putusnya. ‘Id yang tiada putus ini adalah surga abadi yang merupakan ganjaran bagi seorang mukmin. Jadi, ‘Id hakiki yaitu seorang mukmin akan meraih surga abadi dan mencapai suatu maqam yaitu surga, karena itu adalah maqam hamba hakiki milik Allah Ta’ala. Surga ini sesungguhnya terpelihara dengan membiasakan dan dawam menjalankan amal-amal saleh, adapun ia yang tidak melestarikan amal-amal salehnya, maka ia akan luput dari surga ini.
Sayangnya, kebanyakan penduduk dunia tidak memahami rahasia ini, maka orang-orang ahli tasawuf menciptakan konsep yang keliru dan dalil-dalil yang salah di antara orang-orang Muslim, mereka beranggapan, “Kini tidak perlu lagi melakukan amal-amal saleh disebabkan telah berhasil berjumpa Allah Ta’ala.” Anggapan mereka itu membuat kebanyakan orang Muslim pengikutnya berpandangan bahwa orang yang telah sampai pada maqam keruhanian yang kuat tidak perlu beramal serta tidak perlu lagi mengerjakan amal-amal saleh. Apabila salah seorang penganutnya membutuhkan sesuatu, ia pergi kepada mursyidnya (pembimbing ruhaninya), orang alim atau yang dianggap syekh oleh mereka dan meminta doa darinya atau pun meminta sesuatu yang dianggap jimat supaya ia menjadi pewaris karunia-karunia Allah Ta’ala. Mereka benar-benar membawa konsep-konsep dan akidah-akidah seperti ini serta – sebagaimana telah tadi saya sampaikan – orang yang dianggapnya mursyid itu mengatakan, “… Kita telah sampai kepada kedudukan ruhani yang tinggi yang mana kita tidak perlu lagi menjalankan berbagai ibadah.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra menyebutkan kisah seseorang yang terkena pengaruh orang-orang fakir dan zuhud [maksudnya orang-orang tasawuf] semacam ini. Orang ini mendatangi beliau dan berkata: “Saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan?”
Hudhur bersabda: “Silakan! Apa yang ingin Anda tanyakan?”
Ia berkata: “Jika seseorang naik sebuah sampan untuk dapat sampai ke tepi sebuah sungai, maka apakah yang harus ia lakukan ketika telah mencapainya? Untuk pertanyaan ini hanya ada dua jawaban; apakah ia akan turun dari sampan atau ia tetap duduk di sampan. Jawaban orang berakal mana pun dalam keadaan normal adalah, sesampainya di tepi [sungai], ia harus turun.”
Orang ini sebenarnya ingin mengajukan – sebagaimana anggapannya – pertanyaan yang tidak jelas dan sebuah teka-teki yang sulit kepada Hudhur. Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda, “Seharusnya jawaban langsung saya untuknya adalah: ‘Sesampainya ke tepi [sungai], hendaknya ia turun dari sampan.’ Tetapi sekiranya saya katakan itu kepadanya tentu pertanyaan berikutnya adalah, ‘Apabila seseorang telah sampai kepada Allah, apa perlunya ia menjalankan ibadah dan beramal?’”
Hudhur II ra bersabda: “Pertanyaan ini diajukan kepada saya sehingga Allah memberikan saya pemahaman akan maksud yang sebenarnya, dan Dia menempatkannya dalam kalbu saya. Saya katakan padanya: ‘Apabila sungai dimana orang yang naik sampan itu bertepi maka ia harus turun dari sampan itu ketika telah sampai. Hal itu karena yang dikatakan adalah seseorang akan turun ketika mencapai tepi. Tetapi apabila sungai tersebut tidak memiliki tepi, ia harus ingat, kapan pun dan dimana saja ia turun dari sampan, maka ia tenggelam.’ Ia kebingungan terpengaruh setelah mendengar jawaban saya. Ia diam sebentar dan merenung sejenak, lalu berkata: ‘Jika demikian, jawaban Anda maksudnya ialah harus melaksanakan ibadah-ibadah ini secara dawam!”
Orang ini telah mendengar dari beberapa orang yang mengaku dirinya fakir [maksudnya orang-orang tasawuf] bahwa shalat itu dikerjakan demi sampai kepada Allah Ta’ala, maka tidak perlu melaksanakan shalat untuk sampai kepada Allah Ta’ala.
Dalam hal ini peristiwa serupa telah diceritakan oleh Hadhrat Khalifah Awal (ra) berkenaan dengan saudarinya yang terpengaruh orang-orang fakir macam ini. Saudarinya itu mengatakan: ‘Aku sudah baiat kepada seseorang mursyid. Karena itu, aku tidak perlu melakukan amal-amal. Jika Allah Ta’ala meminta pertanggung-jawabanku mengenai sesuatu setelah mati, akan kukatakan kepada-Nya: “Dikarenakan mursyid anu telah mengambil tanggung jawab semua amal perbuatanku diatas pundaknya maka sekarang tak akan mungkin seorang pun dapat mencegahku memasuki surga.”’
Anggapan-anggapan semacam inilah yang umumnya populer di kalangan orang-orang yang menganggap hal-hal sebagai berikut: ‘Kami tidak akan melaksanakan puasa kecuali untuk berjumpa Allah. Tidak akan shalat kecuali untuk meraih perjumpaan dengan Allah Ta’ala. Tidak ada perlunya bagi orang yang sampai kepada Allah untuk menunaikan shalat-shalat, tidak pula puasa dan tidak pula amalan yang lainnya; zakat juga ditunaikan untuk sampai kepada Allah dan orang yang sudah sampai kepada Allah tidak perlu urusan-urusan semacam ini.’
Dengan pemikiran ini, manusia terus menjauh dari kebaikan yang lainnya juga karena mereka beranggapan, ‘Aku mengamalkannya untuk berjumpa Allah dan selanjutnya jika sudah berjumpa Allah tidak perlu lagi untuk mengupayakannya. Ketika manusia telah sampai kepada Allah, untuk apa lagi ia bersusah payah mengupayakan amal ibadah dan amal saleh secara dawam. Kebaikan-kebaikan itu hanyalah sebagai sebuah kendaraan yang mengantarkan supaya sampai ke tempat yang dituju. Apakah setelah sampai di tempat yang dituju masih perlu mengajak duduk di dalam kendaraan? Tidak, justru merupakan kebodohan, jika orang terus-menerus duduk di dalam kendaraannya setelah sampai di rumah dengan dalih tujuannya sampai ke rumah, dan ya, ia sudah sampai di rumahnya, hanya saja ia tetap duduk di dalam kendaraan ini dan tidak perlu untuk keluar dari kendaraan itu.’
Jika rumah yang dituju itu terbatas, turun dari kendaraan adalah perkara yang masuk akal dan hal ini berhubungan dengan rumah-rumah duniawi, tetapi apabila rumah yang dimaksud tidak ada batasnya, maka insan hendaknya berpikir di mana saja ia turun dari kendaraannya serta merta ia tenggelam.
Dalam hal ini sedemikian banyak orang yang tidak termasuk pengikut para mursyid dan orang-orang yang mengganggap dirinya fakir tetapi mereka mengadopsi paham-paham tersebut. Timbullah tindakan-tindakan seperti ini dari antara mereka. Mereka terus-menerus menyembunyikan diri dan akan muncul pada suatu hari, karena amalan-amalan mereka secara otomatis akan membuat mereka muncul. Mereka menyangka sekarang tidak perlu lagi mengerjakan shalat setelah sebelumnya dawam mengerjakan shalat selama beberapa hari. Mereka berpuasa untuk beberapa hari lalu menganggap mereka tidak perlu lagi berpuasa. Mereka bederma dan bersedekah untuk beberapa hari lalu mereka menganggap apa-apa yang mereka sedekahkan itu sudah cukup dan memadai bagi mereka.
[Jika pemahaman mereka ini diamalkan di semua segi], sama sekali tidak akan terbayangkan keadaan mereka dalam urusan duniawi. Mereka makan sekedarnya. Sekarang mereka tidak perlu untuk makan sedikit jua pun. Mereka minum minuman dan sari buah secukupnya lalu tidak perlu lagi meminum air dan tidak pula sari buah. Sebagaimana mereka tidak membutuhkan sesuatu yang lain untuk menjaga agar tetap hidup, mereka tidak akan pernah mengenakan pakaian-pakaian musim dingin, tidak pula pakaian-pakaian musim panas sesuai keadaan cuaca karena dalam hidup mereka, mereka merasa cukup mengenakan pakaian yang ada padanya. Apabila mereka berpikir pada sisi ini, sebenarnya mereka menganiaya dirinya sendiri atau orang-orang yang dikasihinya, dan karib kerabatnya akan menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang kacau pikirannya lalu memasukannya di rumah sakit jiwa.
Setiap orang berakal berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmaninya untuk memelihara kehidupannya, akan tetapi ia tidak akan mengerahkan segala daya upaya seperti ini untuk meraih kekuatan ruhani; bahkan umumnya dikatakan: “Kami telah melaksanakan amal-amal yang mencukupi di dalamnya”, atau orang-orang menghilangkan perhatian terhadap hal-hal ini, maka mereka cenderung terhadap kemalasan. Tetapi, tidak selamanya terjadi mereka melupakan makanan atau melupakan mengenakan pakaian yang bagus menghadapi kesiapan mereka pergi bekerja.
Namun, mereka melupakan tanggungjawab-tanggungjawab dan kewajiban-kewajiban mereka terhadap kehidupan ruhani mereka. Maka, jika mengingatkan di depan mereka tentang surga-surga Allah ialah dengan berkata: ‘Siapa saja yang beriman kepada Allah, ia ingin berjumpa Allah. Ia pun harus mendapatkan nikmat-nikmat Allah juga. Tetapi ia tidak menaruh perhatian untuk menunaikan tanggungjawab-tanggungjawab yang berkaitan dengan nikmat-nikmat tersebut, padahal sebagaimana makanan jasmani itu termasuk sesuatu yang penting untuk kehidupan manusia secara lahiriah, demikian pula makanan ruhani yang berupa shalat, puasa, sedekah dan candah-candah termasuk hal yang penting untuk kehidupan ruhani.’
Beberapa orang mengemukakan pelbagai pandangannya, mereka menganggap sekarang telah mengayunkan langkah untuk menjalin hubungan langsung dengan Allah Ta’ala sehingga merasa tidak perlu menjalankan huqūqul ‘ibād (memenuhi hak-hak sesama hamba) dan tidak pula huqūqullāh, (memenuhi hak-hak Allah), tidak pula Nizam Jemaat dan tidak pula baiat kepada Khilafat. Sesungguhnya orang-orang semacam itu menjadikan ruhani mati. Dengan begitu, mereka tidak akan mendapatkan sesuatu pun selain fantasi kehidupan ruhani. Mereka sedang menyangka mencapai maqam-maqam keruhanian yang agung, tetapi kenyataannya tidak demikian. Mereka telah menyangka ‘Id yang ditetapkan waktunya itu [Idul Fitri, Idul Adhha dan Idul Jumat] sebagai ‘Id abadi mereka sehingga mereka menyia-nyiakan kehidupan ruhani mereka. Hal yang sebenarnya adalah, ‘Id abadi itu diraih seseorang setelah kematiannya atau ia mendapatkannya setelah menerima kematian di dalam kehidupannya, maka ia memenuhi setiap perhatian darinya untuk meraih ridha Allah Ta’ala, bahkan ia membuat orang lain cenderung untuk mempraktikkan perkara-perkara ini di dalam kehidupannya dan menjalankan hal-hal ini menjadi bagian dari kehidupannya.
Ketahuilah! Beramal itu bukan karena ganjaran (pahala atau upah), justru itu merupakan makanan yang harus menjadi bagian untuk memelihara kesehatan ruhani, ibarat makanan jasmani yang tidak boleh tidak merupakan bagian untuk memelihara kesehatan jasmani. Seorang juara, untuk lebih menguatkan dirinya, ia berusaha supaya makanannya menjadi lebih baik dari sebelumnya, demikian pula penting sekali memperbaiki amal-amal yang diperintahkan Allah kepada kita dengan mengupayakannya untuk meningkatkannya. Tidaklah mungkin meninggalkan amal-amal karena satu hal.
Apabila kita perhatikan ibadah-ibadah yang sifatnya lahiriah, kita menjalankan peningkatan ibadah pada hari ‘Id dengan menunaikan enam shalat di hari ‘Id alih-alih lima dan kita didorong untuk mendengarkan khotbah juga. Maka ‘Id yang Islami atau ‘Id ruhani itu bukanlah meninggalkan beramal tetapi nama lain untuk meningkatkan amal, dan perkara ini berlanjut di alam ukhrawi juga. Hanya saja seorang mukmin itu dalam hal ini akan meraih ‘Id yang tetap dan terus-menerus. Ia sama sekali tak akan menyia-nyiakan nikmat-nikmat yang akan dinikmatinya. Dalam hal ini sebenarnya ia akan menjalankan amal-amal juga betapa pun ia hanya akan melaksanakan apa-apa yang Allah kehendaki. Hal ini sudah disebutkan di dalam surah Yā Sīn,: إِنَّ أَصْحَابَ اْلجَنَّةِ الْيَوْمَ فِيْ شُغُلٍ فَاكِهُوْنَ — “Sesungguhnya para penghuni surga pada hari itu akan bersenang-senang dalam kesibukan mereka.” (QS. Yā Sīn, 36:56). Maksudnya, mereka menjadi orang-orang yang sibuk dalam amal dan berbahagia dengan sampainya mereka di surga.
Mereka akan menjadi orang-orang yang sibuk dalam zikir Ilahi – [mengingat keilahian] dan itu merupakan salah satu amalan mereka. Dikarenakan amal-amal inilah yang secara tekun mereka amalkan, mereka mendapatkan nikmat-nikmat yang terus-menerus. Karena itu boleh jadi penganugerahan nikmat kepada seorang mukmin hakiki itu akan merubah pemberian nikmat yang dawam di dunia ini juga. Orang yang menerima kematian pada kehidupan dunia ini, ia akan mendapatkan nikmat-nikmat yang dawam di dunia ini juga, karena ia akan melihat Hari Kebangkitan di dunia ini juga. Di dalam Al-Quran disebutkan mengenai tuntutan setan dimana ia berkata: قَالَ أَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (Iblis berkata : “Berilah aku tangguh hingga hari mereka akan dibangkitkan.” – QS. Al-A‘rāf, 07:15) maksudnya, “Biarkanlah aku menyesatkan mereka hingga suatu hari dimana mereka akan sampai pada hari kebangkitannya.” Yaumul Ba’ts (Hari Kebangkitan) ini menimbulkan perbedaan pemahaman. Sebagian orang menyatakan di dunia ini dan yang lainnya menuturkannya di akhirat. Adapun para kekasih Allah, maka Hari kebangkitan itu menemui mereka di dunia ini. Hari Kebangkitan ini datang kepada Nabi (saw) di dunia ini, maka beliau (saw) menerima ‘Id yang dawam di dunia ini. Tetapi, apakah Nabi (saw) meninggalkan amalan-amalan setelah itu? Apakah Nabi (saw). meninggalkan fardhu-fardhu yang telah diwajibkan Allah Ta’ala kepadanya? Sekali-kali tidak! Justru Nabi (saw) meningkatkan penunaian nafal-nafal juga dan beliau (saw) terus-menurus meningkatkannya hari demi hari.
Hari Kebangkitan ini datang juga kepada Hadhrat Masih Mau’ud as di kehidupan dunia tetapi apakah beliau as meninggalkan amal-amal yang Allah perintahkan kepada beliau as? Apakah ibadah-ibadah beliau as berkurang? Apakah beliau as meninggalkan pekerjaan menyiarkan agama? Apakah beliau as meninggalkan pengkhidmatan terhadap agama? – inilah pekerjaan-pekerjaan yang Dia sebutkan yang merupakan maksud-maksud pengutusannya – sekali-kali tidak! Beliau as tidak pernah meninggalkannya. Bahkan, beliau as meningkatkannya seiring hari-hari dan kegembiraannya pun meningkat pula.
Sesungguhnya seorang mukmin, apabila ia menjadi mukmin hakiki, ia akan merasakan kegembiraan dengan bertambahnya penunaian satu shalat pada hari ‘Id. Adapun bagi orang yang tidak ada pengetahuan tentang ‘Id dan ia tidak mengetahui hakikat ibadah-ibadah maka ia akan berkata: “Apakah musibah yang saya hadapi ini? Yang mana mereka mengatakan kepada saya, ‘Saya mengerjakan shalat yang keenam pada hari ‘Id’. Yaitu lima shalat fardhu sebelum ini tetapi hari ini shalat itu menjadi enam dengan shalat ‘Id. Sesungguhnya kami telah mengenakan pakaian yang baik, makan-minum dan merayakannya dengan riang gembira, kami kelilingi pasar-pasar, mendatangi ladang-ladang, cukuplah ini bagi kami.” Jadi, hal yang atas mereka tidak terbayang suatu keadaan [يَوْمُ يُبْعَثُوْنَ] – hari dibangkitkan, mereka akan menganggap berat hal-hal ini.
Maka kita dari sisi duniawi kita juga dapat melihat mereka yang mencintai pekerjaan mereka, sama saja apakah mereka itu para dokter, para insinyur atau pun yang lainnya, bersedia bekerja siang malam, artinya sebagian dari mereka bersedia berkhidmat melalui profesi mereka selain juga mencari penghasilan. Sesungguhnya dokter-dokter kita juga memainkan peran untuk berbakti kepada sesama. Melalui pengkhidmatan itu mereka senang dan berbahagia karena telah membaktikan waktu yang sangat lama untuk tujuan ini dan mereka berbakti pada kemanusiaan. Demikian pula para insinyur kita pergi ke Negara-negara Afrika dan sebagian di antaranya bekerja di sana terkadang delapan belas jam terus-menerus dengan segala kebahagiaan. Setelah menyelesaikan pekerjaan itu mereka bersedia juga untuk bekerja pada hari berikutnya. Jika mereka tidak berbahagia tentu mereka takkan bersedia bekerja pada bidang ini.
Kebahagiaan sejati itu tersembunyi pada waktu seseorang tidak merasa jemu atau terbebani untuk beramal (bekerja), bahkan ia bekerja secara dawam siang malam serta tidak menganggapnya sebagai beban atas dirinya bahkan berbahagia karenanya. Tidak diragukan lagi dalam hal ini ada orang-orang yang meraih kebahagiaan hakiki sebagai buah beramal, dan mereka berbahagia telah berbakti kepada sesama makhluk. Landasan yang menjadi dasarnya adalah apabila kalbu berbunga-bunga merupakan faktor pendorong untuk kebahagiaan dan kegembiraan baginya, dan jika keceriaan muka dan kebahagiaan di dalam kalbu tidak tercipta, setiap amal yang diperbuat oleh insan akan nampak sebagai sebuah penderitaan.
Nabi (saw) menyebut keimanan itu merupakan keceriaan kalbu maksudnya iman yang sempurna itu akan melahirkan buah kebahagiaan kalbu dan keceriaan hati. Oleh karena itu, orang yang menikmati ‘Id hakiki adalah ketika ia merasakan kebahagiaan dalam beramal dan tidak menganggapnya sebagai beban. Ketika itu perhatiannya yang dawam pada ibadah menjadi penyebab kebahagiaannya, saat itu pengorbanan-pengorbanan menjadi sebab kebahagiaan dan kegembiraannya serta tidak nampak sulit untuknya, sama saja apakah itu pada jalan Allah, pada jalan untuk sesama atau pun pada jalan Nizam Jemaat. Maka apabila itu semua telah diraih oleh seseorang, ia meraih ‘Id yang permanen, dan jika tidak, ‘Id-id selain itu akan bersifat temporer dan sementara waktu saja.
Bagaimanakah para Sahabat Nabi mempersembahkan pengorbanan-pengorbanan? Tidak terdapat keterpaksaan atau sifatnya sebentar dalam pengorbanan-pengorbanan para Sahabat, melainkan mereka mempersembahkannya dengan hati yang riang gembira dan berlangsung untuk waktu yang lama. Diriwayatkan mengenai seorang Sahabat Nabi (saw). Ia masuk Islam pada masa kanak-kanak ketika usianya 12 atau 13 tahun. Ia seorang anak tunggal dan sangat disayang oleh orangtuanya. Tetapi, setelah masuk Islam ibu bapaknya mulai bersikap keras dan memperlakukannya dengan sangat kasar. Setiap kali tiba waktu makan, ibunya melemparkan makanan kepadanya sebagaimana melemparkan untuk anjing atau binatang. Anggapan ibunya, jika ia memberinya makanan di tempat makan, maka tempat makan itu akan menjadi najis. Seperti itulah ibunya memperlakukan ia.
Beberapa orang-orang Ahmadi juga mendapatkan perlakuan serupa di Pakistan ketika para penentang kita mengatakan bahwa jika orang-orang Ahmadi makan di tempat-tempat makannya, maka itu akan menjadi najis.
Walau bagaimana pun, Sahabat yang disebutkan tadi tetap teguh dan kukuh pada keimanannya. Akibatnya, ibu bapaknya mengusirnya dari rumah dan memintanya meninggalkan Muhammad (saw) jika ingin kembali ke rumah. Sahabat tadi imannya kuat. Ia memilih meninggalkan rumah daripada meninggalkan Nabi (saw). Ia ikut hijrah ke Habsyi (Etiopia) seperti yang saya duga.
Ketika ia kembali setelah sekian tahun, ibunya mengirim pesan kepadanya bahwa ia ingin berjumpa dengannya. Sahabat yang usianya sangat belia ketika berpisah dari ibu bapaknya itu mengira hati ibunya sudah sedikit lunak sebagai akibat dirinya terpisah dengannya buah tinggal lama di perantauan dan sekarang tidak harus terbelenggu seperti masa sebelumnya. Maka, ia pergi menemui ibunya, ibunya mendekapnya di dadanya penuh kasih sayang, lalu berkata: “Putraku, ibu harap sejak kini engkau tidak akan pergi kepada pembawa agama baru itu.” Mendengar perkataan itu, Sahabat tersebut segera melepaskan ibunya dan berkata: “Saya pikir, kemarahan dan dendam itu telah hilang dari hati ibu selama keberadaan saya di pengasingan. Tetapi, rupanya ibu tetap sebagaimana dulu adanya. Namun demikian, saya tidak bisa meninggalkan Muhammad Rasulullah (saw) demi ibu.” Ia mengatakan itu dan berlalu dari sana dan tidak pernah melihat ibunya setelah itu semasa hidupnya.
Pendeknya, ‘Id hakiki adalah yang di dalamnya insan merasakan kelezatan dalam beramal, maksudnya ia merasa bahagia ketika mempersembahkan pengorbanan-pengorbanan dan ia bersedia untuk mati di dalam api serta selamanya tidak berpikir untuk meninggalkan beramal. Ketika suatu bangsa atau seseorang mencapai martabat ini, ‘Id mereka akan menjadi ‘Id yang hakiki dan mereka akan menyempurnakan semua tujuan, baik urusan agama maupun dunia.
Hadhrat Masih Mau’ud as. sudah datang untuk menciptakan ‘Id hakiki ini dan beliau mengharapkan ‘Id ini terlihat ada di antara kita. Tetapi, ini akan terwujud ketika kita tidak meninggalkan sedikit pun amal dengan menganggap bahwa itu merupakan suatu beban bagi kita dan kita tidak akan lalai dalam mempersembahkan berbagai macam pengorbanan. Tidak diragukan lagi, dengan karunia Allah Ta’ala, kebanyakan anggota Jemaat memahami hal ini dengan baik. Terkait hal-hal yang berhubungan dengan ibadah, mereka menunaikan kewajibannya sebagaimana mestinya dengan sebaik-baiknya dan berupaya secara sungguh-sungguh untuk membuat Allah Ta’ala ridha. Tetapi dalam hal ini penting untuk tetap memperhatikan perkara ini dengan baik. Maka apabila kita ingin meraih kemajuan standar Jemaat, dari sisi Jemaat kita harus berupaya supaya kecenderungan dan ketertarikan dalam ibadah-ibadah tetap istiqamah juga setelah ‘Id sebagaimana pada bulan Ramadhan.
Tidak diragukan lagi, mayoritas Jemaat memahami ruh pengorbanan-pengorbanan dengan sebaik-baiknya. Jikalau ada seseorang di antara kita yang tidak memahami maka ia akan diberikan pemahaman dengan baik dan benar perihal pengorbanan itu sehingga ia akan mempersembahkan pengorbanan-pengorbanan harta secara khusus dan pengorbanan itu akan menjadi sebab bagi kemajuan imannya. Mayoritas Jemaat mendengar dan menyadari bahagianya mempersembahkan pengorbanan harta dan pengorbanan waktu mereka, namun mereka tidak menaruh perhatian sebagaimana mestinya untuk menjadikan keadaan ruhaninya menjadi lebih baik dengan menjalankan shalat lima waktu tepat pada waktunya sebagai wujud mengorbankan waktu untuk tujuan itu. Hal ini harus menjadi perhatian agar kita menjadi ahli surga yang selalu mengingat Allah dan juga mengubah waktu pagi dan petangnya menjadi sebuah ‘Id. Kita berdoa kepada Allah Ta’ala supaya Dia memberi kita taufik untuk itu.
Saya sudah menyampaikan mengenai pengorbanan-pengorbanan harta, tetapi harus diketahui, para anggota Jemaat tidak lalai dalam mempersembahkan pengorbanan-pengorbanan jiwa juga dan mereka persembahkan itu untuk meraih ridha Allah Ta’ala. Terutama para Ahmadi di Pakistan, mereka mempersembahkan jiwanya setiap hari dan tidak melepaskan keimanannya. Seorang ibu dan dua orang putrinya yang masih kecil mempersembahkan pengorbanan ini beberapa hari sebelumnya. Mengenai pengorbanan harta, sebenarnya para Ahmadi yang berdomisili di tempat tersebut sudah mempersembahkannya ketika rumah-rumah mereka dijarah dan dibakar. Dari titik ini semua Ahmadi di tempat dan gang tersebut telah mempersembahkan pengorbanan-pengorbanan harta.[1]
Allah Ta’ala berfirman mengenai orang-orang yang mempersembahkan pengorbanan-pengorbanan jiwa mereka karena mereka itu tidaklah mati : بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ (… bahkan sebenarnya mereka itu hidup; di sisi Tuhannya mereka diberikan rezeki – QS. Āli ‘Imrān, 03:170) kalaulah demikian, Allah Ta’ala telah mengaruniakan maqam yang tinggi kepada Syuhada dan mereka telah sampai kepada derajat dimana kedudukan-kedukan mereka terus-menerus mengalami peningkatan.
Kita berdoa kepada Allah Ta’ala supaya Dia senantiasa menganugerahi pengaruh-pengaruh baik pengorbanan-pengorbanan mereka pada keluarga mereka, kerabat mereka yang meninggalkan mereka di belakang mereka, dan semoga akan nampak pengaruh-pengaruh baik itu pada kita para anggota Jemaat juga. Tidaklah mungkin seorang insan dapat melukiskan kesedihan yang menimpa seorang ibu yang orang-orang kejam telah menjadikan kedua putrinya yang masih kecil menjadi sasaran keaniayaan mereka. Sebenarnya dengan sang itu itu menanggung kesedihan ini dengan sabar dan tabah merupakan pengorbanannya yang besar terutama bilamana saja itu menimpanya sehari sebelum ‘Idul Fitri ketika ia mempunyai harapan untuk menyertai anak-anaknya dalam kebahagiaan ‘Id.
Kita berdoa kepada Allah Ta’ala supaya Dia segera menindak keras mereka yang menyakiti ibu-ibu itu melalui anak-anaknya. Berdoalah kalian kepada Allah supaya mereka yang mendapat musibah dan menderita karena guncangan kesedihan, Allah mengilhami kesabaran yang elok dan mengganti dengan ganti yang lebih baik kepada ibu yang sedang menderita itu.
Demikian juga doakanlah orang-orang yang sedang sakit atau luka, semoga Allah memberikan kesembuhan yang sempurna, segera dan tidak meninggalkan sakit. Seorang ibu Ahmadi yang terluka dalam keadaan yang sangat kritis, diperkirakan tidak lama lagi akan melahirkan, tetapi janin itu meninggal dalam perutnya karena kejadian yang dihadapinya lalu dikeluarkan dengan jalan operasi. Demikian pula doakanlah untuk syuhada di jalan Ahmadiyah, semoga Allah mengangkat derajat-derajat mereka dan menerima pengorbanan-pengorbanan mereka serta memperlihatkan kepada kita Tanda-tanda kemenangan Ahmadiyah yang luar biasa dengan cepat. Inilah ‘Id yang akan kita rayakan ketika kemenangan yang saya sebutkan tadi dan yang untuk tujuan itu Allah Ta’ala mengutus Masih Mau’ud as..
Doakanlah untuk kebebasan para tahanan di jalan Allah, dan doakanlah mereka yang mempersembahkan pengorbanan-pengorbanan harta semoga Allah Ta’ala memberkati harta kekayaan dan jiwa mereka semua dengan keberkatan yang tidak terhitung dan tidak terbilang. Doakanlah untuk orang-orang yang sakit dan orang-orang yang membutuhkan, doakanlah juga untuk mereka yang mewakafkan hidupnya berbakti kepada Jemaat, demikian juga mereka yang dengan suka rela mengkhidmati Jemaat, maka ingatlah mereka semua di dalam doa-doa kalian semoga Allah Ta’ala memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, hajat keinginan mereka dan menghilangkan kesulitan-kesulitan mereka. Berdoalah juga kepada Allah Ta’ala secara khusus semoga Dia memberikan taufik kepada kita semua untuk menjalankan perintah-perintah-Nya dan kita menjadi orang yang merayakan ‘Id hakiki dan kita menjadi saksi sebuah ‘Id yang akan mengangkat panji Muhammad (saw) berkibar di dunia yang sangat majemuk.
Inilah kebahagiaan kita yang sejati. Adapun perayaan ‘Id yang biasa kita rayakan, maka itu adalah perkara yang sudah ditetapkan waktunya tetapi kita diperintahkan untuk merayakannya juga. ‘Id yang hakiki yaitu yang memotivasi insan pada amalan yang senantiasa berlanjut terur-menerus, maksudnya ia akan tetap menaruh perhatian menjalankan secara permanen, inilah tujuan kita atau harus senantiasa menjadi tujuan kita. Kita berdoa kepada Allah Ta’ala semoga memberikan taufik kepada kita semua untuk itu. Saya mengucapkan Selamat Hari Raya kepada semua Ahmadi yang berada di seluruh dunia dan saya berdoa kepada Allah Ta’ala semoga menjadikan ‘Id ini beberkat bagi kita dari berbagai sisi dan berbagai segi. Semoga Allah Ta’ala memelihara kita dari segala kesusahan dan kesedihan dan memberikan nikmat kebahagiaan sejati kepada kita. Amin. [Abkary Munwanna]
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ ‑ وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ أُذكُرُوْااللهَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Hudhur V atba kemudian bersabda, ‘Doa kar le’ – “Mari kita berdoa!” Hudhur V atba bersama jamaah lalu berdoa bersama, di akhir doa Hudhur V atba kemudian bersabda, ‘Aamiin’ lalu meninggalkan ruangan masjid setelah mengucapkan عَلَيْكُمْ اَلسَّلاَمُ “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”
[1] Peristiwa ini merujuk pada penyerangan terhadap Ahmadi di Gujranwala pada 28 Juli 2014. Sebagai dampak pembakaran rumah-rumah Ahmadi, satu ibu syahid, dua anak-anak juga syahid. Seorang ibu lagi keguguran dan wafat beberapa waktu kemudian. Delapan wanita dan anak-anak terluka. Sehari sebelumnya beberapa Ahmadi laki-laki juga dianiaya di kompleks yang sama.