Konsep Wahyu dalam Islam

konsep wahyu dalam Islam

Konsep Wahyu dalam Islam

Maulana Abul-Ata, The Review of Religions, November 1994 

Makalah tentang hakikat wahyu ilahi ini dibacakan oleh Maulana Abul-Ata pada Pertemuan Tahunan (Jalsah Salanah) ke-79 Jamaah Muslim Ahmadiyah. Berikut adalah terjemahan bahasa Inggris oleh M. A. Ghauri.

“Dan tidaklah mungkin bagi manusia bahwasanya Allah berbicara kepadanya secara langsung kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang rasul untuk mewahyukan dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Mahaluhur, Mahabijaksana. Dan demikianlah Kami telah mewahyukan kepada engkau firman ini dengan perintah Kami. Engkau tidak mengetahui apa Kitab itu, dan tidak pula mengetahui apa iman itu. Akan tetapi, Kami telah menjadikannya—wahyu itu—cahaya, yang dengan itu Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki dari antara hamba-hamba Kami, dan sesungguhnya engkau pasti memberi petunjuk manusia ke jalan yang lurus.” (Al-Quran, As-Syura [42]: 52-53)

Allah Yang Maha Kuasa menyempurnakan agama melalui Al-Quran yang di dalamnya Dia berfirman:

“Hari ini telah Kusempurnakan agamamu bagimu, telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (QS Al-Ma’idah [5]:4)

Mengenai Al-Quran, Allah Ta’ala telah berjanji:

“Dan telah Kami turunkan kepada engkau Kitab ini untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk, rahmat serta kabar suka bagi orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah.” (QS An-Nahl [16]:90)

Di tempat lain, Allah Ta’ala berfirman mengenai Al-Quran:

“Seorang Rasul dari Allah yang membacakan lembaran-lembaran suci, yang di dalamnya ada perintah-perintah abadi.” (QS Al-Bayyinah [98]:3-4)

Al-Quran adalah Kitab yang tidak hanya membenarkan semua kitab suci sebelumnya, tetapi juga merupakan ringkasan dari kitab-kitab tersebut. Al-Quran juga disebut ‘Qaulun Faslun’, yang artinya ‘yang tidak akan pernah dimansukhkan.’ (Al-Mufradat). Singkatnya, Al-Quran adalah kitab terakhir dan tanpa sedikitpun keraguan, benar-benar Firman Allah, dan merupakan hukum yang sempurna. Kitab ini tidak memerlukan perubahan atau modifikasi apa pun dan menyelesaikan setiap masalah iman. Dapat dikatakan dengan tepat bahwa Al-Quran adalah satu-satunya sumber dari semua ajaran Islam, dan menurut kesepakatan umum sebagian besar ulama Muslim, Al-Quran tanpa ragu adalah Firman Allah.

Setiap hadits atau perkataan yang dianggap berasal dari Nabi Muhammad (saw) yang bertentangan dengan Al-Quran adalah keliru. Singkatnya, Al-Quran adalah Firman Allah dan Kode Hukum yang sempurna, sepenuhnya bebas dari perubahan, dan berisi solusi untuk setiap masalah agama. Tidak salah untuk menyatakan bahwa Al-Quran adalah satu-satunya sumber otoritas untuk setiap perintah dan arahan agama. Bahkan musuh-musuh paling keras dari Islam terpaksa mengakui bahwa Al-Quran yang kita miliki sekarang, kata demi kata dan secara keseluruhan, identik dengan Al-Quran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para pengikutnya. Al-Quran telah terjaga tanpa perubahan. Sir William Muir, seorang orientalis terkenal, menulis dalam bukunya Life of Muhammed:

“Tidak ada keraguan, baik secara internal maupun eksternal, kita memiliki teks yang sama dengan yang diberikan dan digunakan oleh Muhammad sendiri.” (Life of Muhammed, halaman 561)

Sumber informasi yang paling dapat diandalkan dan paling kuat mengenai ideologi Islam adalah Al-Quran. Al-Quran adalah sumber utama semua ideologi Islam, dan melalui sumber inilah agama disempurnakan. Apa pun pandangan ulama Muslim saat ini dan umat Islam awam serta apa pun kecenderungan pemikir sekuler, seorang Muslim sejati akan selalu menganggap pandangan Al-Quran sebagai pandangan yang paling benar.

12 Pertanyaan Mengenai Wahyu

Ketika kita mempelajari subjek ini secara mendalam, kita menemukan dua belas pertanyaan penting, yang jawaban memuaskannya akan memadai untuk menyelesaikan pertanyaan tentang ‘Wahyu’. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:

1. Apa itu wahyu dan apa definisi wahyu sebenarnya?

2. Bagaimana cara Allah berbicara dengan hamba-hamba-Nya?

3. Apakah kita menerima wahyu dalam bentuk kata-kata yang sesungguhnya?

4. Kapan wahyu pertama kali diterima?

5. Apakah wahyu terbatas pada suatu bangsa atau ras tertentu?

6. Apakah wahyu terbatas pada wilayah atau negara tertentu?

7. Apakah wahyu terbatas pada bahasa tertentu?

8. Apa yang istimewa dari wahyu Al-Qur’an?

9. Apa manfaat wahyu?

10. Apakah akan ada kebutuhan wahyu setelah Al-Qur’an?

11. Apakah ada dari para ulama Islam yang mengklaim telah menerima wahyu?

12. Apa status wahyu dari Al-Masih yang Dijanjikan dalam kaitannya dengan Al-Qur’an?

Pencarian Etimologis Kata “Wahyu” dan “Ilham”

Menurut etimologi, kamus-kamus menyatakan bahwa Wahyu dan Ilham adalah dua istilah yang berbeda. Kata Wahyu memiliki beberapa makna.

Menurut Munjid dan Aqrab, kata Wahyu memiliki makna sebagai berikut:

1. Menunjukkan.

2. Mengirim pesan.

3. Berbicara secara rahasia.

4. Berbicara secara rahasia atau di hadapan orang lain.

5. Wahyu dari Tuhan.

6. Menulis.

7. Mempercepat.

Para ahli bahasa berpendapat bahwa kata Wahyu terutama digunakan dalam percakapan Ilahiah antara Tuhan dan nabi-nabi atau wali-wali-Nya.

Hazrat Khalifatul Masih II radhiallahu anhu, setelah melakukan studi mendalam tentang berbagai kamus, menyatakan bahwa kata Wahyu artinya

1. Diutus untuk tugas tertentu.

2. Menanamkan suatu gagasan dalam pikiran orang lain.

3. Mencoba menjelaskan melalui isyarat atau tanda-tanda.

4. Mengirim pesan melalui utusan.

5. Mencatat

6. Berbicara secara rahasia.

7. Memerintah. (Tafsir Kabir, Surah Al-Zilzal, hlm. 418-419).

Makna harfiah dari kata Ilham adalah menelan atau meminum. Namun, ketika kata ini digunakan untuk Tuhan, ia berarti, wahyu, atau pengiriman kata. Menurut Al-Munjid, kata Ihaam artinya Wahyu, atau menurut Muntahil-i-Arab, AuhAllah artinya Allah mengutus malaikat dan mengirim wahyu melalui malaikat tersebut. Menurut Lisaan-al-Arab, kata Wahyu dulunya sering digunakan, tetapi kemudian mulai digunakan bersamaan dengan Ilham. Ahli bahasa Abu Ishaaq mengatakan bahwa Wahyu adalah menyampaikan sesuatu secara rahasia dan karena alasan yang sama, Ilham juga membawa makna yang sama. (Taj-ul-Uruus, jilid 10, hlm. 385).

Dari pengkajian singkat ini, jelas bahwa Wahyu atau Ilham keduanya digunakan untuk percakapan Allah Ta’ala dengan manusia. Disebut Wahyu atau Ilham karena wahyu ini turun ke dalam hati orang yang bersangkutan, turun dengan cepat dan penuh keagungan. Meskipun ada orang lain di sekitar penerima, mereka tetap tidak menyadari apa yang sedang terjadi.

Wahyu atau Ilhaam? 

Para ulama Islam telah berupaya membedakan antara Wahyu dan Ilham. Mereka mengklaim bahwa pesan yang datang kepada seorang nabi adalah Wahyu, sedangkan yang datang kepada orang biasa adalah Ilham. Al-Qur’an tidak membuat perbedaan semacam itu. Hazrat Shah Ismail, seorang syahid, menulis:

Ilham adalah sama dengan yang diterima oleh para nabi, alaihimussalam, dan ia juga disebut Wahyu. Jika pesan-pesan semacam itu datang kepada orang lain, itu akan disebut tahdiits. Dalam Al-Qur’an, proses Ilham juga disebut Wahyu, baik itu datang kepada seorang nabi maupun seorang wali.” (Mansab-e-Imaamat, terjemahan Urdu, halaman 72).

Para sufi abad pertengahan, untuk membuat perbedaan, biasa menyebut pesan-pesan kepada para Nabi dengan kata Wahyu, dan yang diterima oleh bukan nabi disebut Ilham. Namun, mayoritas ulama Islam lebih suka menggunakan kedua istilah tersebut sebagaimana digunakan dalam Al-Qur’an dan tidak membuat perbedaan sama sekali.

Masih Mau’ud, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as) sang Hakim adil yang ditunjuk oleh Allah Ta’ala bersabda: “Mayoritas ulama Muslim tidak membuat perbedaan antara Ilham dan Wahyu, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak membuat perbedaan.”

Hazrat Khalifatul Masih II, ketika menjelaskan hal ini menjelaskan bahwa Wahyu dan Ilham adalah satu dan sama dan tidak ada perbedaan antara keduanya. Para Sufi biasa membuat perbedaan ini; pesan-pesan yang mereka terima dari Tuhan disebut Ilham agar orang awam tidak salah paham dan tersesat. Namun, sebenarnya tidak ada perbedaan antara Wahyu dan Ilham. (Tafsir Kabiir, Surah Al-Zilzal, hlm. 430).

Dalam terminologi Al-Qur’an, kata Wahyu sangat umum digunakan. Semua wahyu kepada para nabi serta kepada wali dan orang saleh disebut Wahyu dan kata ini digunakan dalam Al-Qur’an tidak kurang dari tujuh puluh kali. Misalnya, digunakan dalam kasus ibu Nabi Musa (as). Demikian pula, kata Ilham juga digunakan dalam arti yang sama; kedua kata ini memiliki makna yang sama dan tidak salah jika keduanya digunakan untuk tujuan yang sama.

Bagaimana Allah yang Maha Kuasa Berbicara?

Makna harfiah kata Wahyu dan Ilham menjelaskan bahwa keduanya digunakan untuk Firman Tuhan. Inilah cara Allah turun untuk berbicara dengan hamba-hamba-Nya. Pertanyaan yang muncul sekarang adalah: Bagaimana Dia berbicara dengan hamba-hamba-Nya? Harus dipahami bahwa Allah Ta’ala telah menyebutkan dengan jelas dalam Al-Qur’an:

“Dan tidaklah mungkin bagi manusia bahwasanya Allah berbicara kepadanya secara langsung kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang rasul untuk mewahyukan dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Mahaluhur, Mahabijaksana. (QS Asy-Syura [42]:52)

Oleh karena itu manusia dapat diangkat derajatnya melalui percakapan dengan Allah Ta’ala dalam tiga cara: (i) Melalui wahyu langsung. (ii) Langsung tetapi dari balik tabir, yaitu melalui mimpi atau kasyaf. (iii) Melalui Wahyu langsung, yaitu malaikat Allah turun dengan membawa pesan untuk hamba-hamba-Nya yang terkasih.

Al-Qur’an memilki banyak contoh dari ketiga jenis pesan ini. Kasyaf dan mimpi dijelaskan di berbagai tempat dalam Al-qur’an, dan mimpi para nabi serta mimpi orang shaleh lainnya disebutkan, menjelaskan bagaimana pesan-pesan ini diungkapkan dari ‘balik tabir’.

Kedua jenis wahyu ini — satu secara langsung dan yang lainnya dari balik tabir — juga disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Kedua jenis ini diterima oleh para nabi serta orang-orang saleh lainnya. Singkatnya, ketiga metode di atas yang Allah gunakan untuk berbicara dengan hamba-hamba-Nya dijelaskan dalam Al-qur’an. Terdapat berbagai macam jenis Wahyu. Hazrat Muslih Mau’ud, (Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ) dalam tafsirnya tentang Surah Al-Zilzal dari Al-Qur’an menyebutkan dua puluh tiga jenis wahyu, tetapi pada dasarnya ini adalah cabang dari tiga jenis di atas.

Lima Aspek Wahyu

Sekarang menjadi jelas bahwa Wahyu dan Ilham adalah pengalaman yang tersembunyi dari pandangan umum. Hanya orang-orang yang lebih tinggi derajatnya yang dapat mengalami fenomena ini, dan hanya mereka yang berhak menjelaskannya. Suatu ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya: “Bagaimana wahyu datang kepadamu?” Beliau menjawab, “Suara lonceng berdering terus-menerus berbunyi; terkadang datang seorang pria yang menyampaikan pesan – Firman Tuhan.” (Bukhari).

Hazrat Masih Mau’ud (as) menggambarkan hal ini dengan cara berikut, seraya menambahkan bahwa wahyu terdiri dari lima jenis. Beliau menulis:

“Jenis Ilham pertama adalah ketika Allah Allah Ta’ala ingin menyampaikan pesan-Nya kepada hamba-Nya; Dia melakukannya dengan lembut dan kadang-kadang dengan cara yang berlawanan – sangat keras. Dia membiarkan kata-kata itu diucapkan oleh lidah penerima dalam keadaan setengah tidur. Kata-kata wahyu jatuh pada lidah seperti hujan es jatuh pada permukaan yang keras. Wahyu jenis ini memiliki  keagungan dan semacam rasa kekaguman yang aneh. (Barahin Ahmadiyah, catatan kaki hlm. 223-224).

Jenis kedua adalah yang saya sebut Ilham  karena sifat-sifatnya yang luar biasa. Kapan pun Allah Ta’ala ingin menjawab doa segera, atau bahkan tanpa permohonan, maka hamba-Nya akan mengalami ketidaksadaran yang aneh, di mana penerima benar-benar lupa akan keberadaannya sendiri dan tenggelam dalam keadaan itu sehingga ia merasa seolah-olah tenggelam dalam kolam air. Tetapi ketika dia sadar dari kondisi itu, ia merasakan gema dari apa yang telah terjadi padanya. Ketika gema ini mereda, ia merasakan kata-kata aneh dan manis di lidahnya, dan keadaan itu tidak dapat digambarkan. (Barahin Ahmadiyah hlm. 36).

Terkait:   Penciptaan dan Firman Allah

Jenis wahyu ketiga turun dengan sangat lembut ke hati atau pikiran seseorang; artinya secara tiba-tiba diilhamkan sebuah kata atau kalimat. Namun jenis ini tidak seindah jenis wahyu yang sudah dijelaskan sebelumnya. Sebenarnya, tidur adalah bagian penting untuk jenis wahyu ini. Sering kali wahyu ini turun ketika seseorang sepenuhnya terjaga dan tampak seolah-olah ada seseorang yang tiba-tiba menanamkan kata-kata ke dalam pikirannya, atau memercikkan kata-kata itu kepadanya. Sang Penerima benar-benar terjaga pada saat itu dan merasakan seolah-olah sebuah ide atau kalimat tiba-tiba masuk ke dalam pikirannya dan dia memiliki perasaan kuat bahwa itu berasal dari Tuhan. (Barahin Ahmadiyah hlm. 247).

Jenis keempat: Terkadang seseorang menerima kabar suka melalui mimpi yang selalu terbukti benar, atau terkadang malaikat menampakkan diri dalam wujud manusia dan menyampaikan Pesan Ilahi; terkadang pesan tersebut nampak tertulis di dinding atau pada selembar kertas atau batu dsb, yang merupakan informasi sebelumnya tentang apa yang akan segera terjadi. (Barahin Ahmadiyah, catatan kaki hlm. 248).

Jenis kelima: Ini adalah jenis yang tidak ada hubungannya dengan pikiran seseorang. Sebaliknya, seseorang mendengar suara yang jelas berasal dari balik tirai. Suara itu sangat manis dan menggembirakan, serta membuat penerima merasa sangat senang. Ketika penerima pertama kali mendengarnya, dia mulai bertanya-tanya dari mana datagnya surat itu, dan ia menoleh untuk melihat siapa yang berbicara begitu merdu. Kemudian dia tiba-tiba menyadari bahwa yang berbicara adalah malaikat. (Barahin Ahmadiyah, catatan kaki hlm. 258).

Apakah Wahyu Diterima dalam Bentuk Kata-kata Sebenarnya?

Sekarang kita sampai pada pertanyaan ketiga, yaitu: Apakah wahyu diterima dalam bentuk kata-kata yang nyata?

Sebagian dari jawabannya telah diberikan sebelumnya saat membahas jenis wahyu yang kedua.

Untuk memperjelas pokok bahasan ini, harus dipahami bahwa Tuhan yang telah memberikan manusia kemampuan untuk berbicara dan mengajarkan mereka sebuah bahasa untuk mengekspresikan dirinya, sebenarnya Dia sendiri-lah yang mampu berbicara dan memiliki penguasaan penuh atas setiap bahasa.

Sejak zaman dahulu, Dia telah berbicara kepada para nabi-Nya dalam bentuk kata-kata yang nyata. Filsuf yang berpandangan sempit akan mengajukan pertanyaan di sini bahwa jika Tuhan mampu berbicara, , artinya ia juga dapat dipatahkan. Lagipula, jika Tuhan tidak memiliki lidah, bagaimana Ia dapat berbicara?

Benar bahwa Tuhan, tidak terbatas pada ruang dan bentuk tertentu seperti manusia. Namun, Dia Mahakuasa dan dapat mengupayakan apapun. Dia mendengar, tapi Ia tidak memiliki telinga fisik. Begitu juga, Dia bisa berbicara meski tidak memiliki lidah manusia.

Para Filsuf seharusnya mempertimbangkan fakta bahwa setelah memberikan manusia kemampuan untuk berbicara, bagaimana mungkin Tuhan tidak memiliki sifat ini? Tuhan kita adalah Tuhan yang hidup kekal. Dia Mahakuasa, berbicara kepada mereka yang Dia cintai, dan menganugerahkan kepada mereka kekuatan serta sifat-sifat-Nya yang menguatkan.

Tidak diragukan lagi bahwa setiap aspek dari wahyu adalah sumber berkah terbesar bagi manusia. Namun, wahyu yang datang dalam bentuk kata-kata yang nyata melampaui semua kenikmatan dan menjadi sumber berkah kerohanian tertinggi. Pesan-pesan ini dijaga demi kebaikan umat manusia dan mengandung nubuat-nubuat, yang merupakan cara paling penting untuk membuktikan kebenaran kepada mereka yang tidak percaya akan keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Orang-orang yang meragukannya ditantang untuk membuat nubuat serupa jika mereka mampu. Oleh karena itu, wahyu memang terjadi dalam bentuk kata-kata, dan wahyu semacam ini adalah fenomena yang paling diberkati bagi umat manusia.

Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifah kedua Masih Mau’ud (as) menjelaskan:

“Wahyu yang diterima dalam bentuk kata-kata yang nyata merupakan jenis wahyu yang paling unggul di antara semua wahyu, dan kebenarannya tidak dapat diragukan. Keberkahan ini dapat diperoleh melalui pendengaran atau penglihatan seseorang. Wahyu, yang keaslian dan kebenarannya dapat dipastikan sepenuhnya oleh penerimanya—setiap kata dan setiap bunyi hurufnya dengan keyakinan penuh—pastilah berasal dari Allah Ta’ala sendiri. Jenis wahyu seperti itu melampaui semua jenis wahyu lainnya.” (Tafsir Kabir, Surah Al-Zilzal, hlm. 448)

Orang-orang yang tidak percaya wahyu secara lisan pada dasarnya menyangkal keberadaan Tuhan. Mereka bersikukuh bahwa apa yang disebut wahyu tidak lebih dari sekedar inspirasi pikiran. Mereka adalah kaum Brahmu Samaj, dan mereka sangat bangga dengan pemahaman ini. Demikian pula orang-orang memiliki pandangan yang sama.

Salah seorang ulama Bahai menyatakan:

“Ia (Muhammad Ali Bab) mulai menyebut karya tulisannya sebagai sesuatu yang diwahyukan dan mengklaimnya sebagai firman Tuhan. Namun, setelah penyelidikan yang saksama, terungkap bahwa sebenarnya ia sendiri tidak pernah mengklaim telah mendapatkan wahyu apa pun dari malaikat. (Bab-al-Hayat, hal. 4).

Jika seseorang merenungkan hal ini dengan mendalam, maka ia pasti akan menyadari bahwa mereka yang menyangkal sistem wahyu Ilahi ini sebenarnya telah kehilangan karunia besar dari Tuhan. Wahyu secara lisan adalah bukti yang sangat jelas tentang keberadaan Tuhan dan ke Maha kuasaanNya. Wahyu adalah anugerah yang menjadi dasar tegaknya bangunan keimanan.

Kapankah Sistem Wahyu Dimulai?

Berkaitan dengan topik yang dibahas kali ini, terdapat pertanyaan: Menurut ajaran Islam kapan sistem Wahyu dimulai?

Al-Qur’an memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Al-Qur’an menerangkan bahwa sistem wahyu dimulai beriringan dengan perkembangan umat manusia. Kebutuhan akan bimbingan dan petunjuk telah tertanam di dalam diri manusia dan merupakan hal yang telah mendarah daging. Manusia merasa gelisah hingga ia mengalami percakapan dengan Tuhan-Sang Penciptanya dan pencipta segala sesuatu, yang terasa menyenangkan dan menenangkan. Hubungan antara manusia dan Sang Penciptanya tertanam kuat hanya dengan adanya wahyu. Allah Allah Ta’ala berfirman kepada jiwa-jiwa: “Bukankah Aku Tuhanmu dan Pemeliharamu?” Semua jiwa menjawab dengan satu suara, “Tentu saja, kami bersaksi bahwa hanya Engkaulah Tuhan kami.” (Al-Qur’an, Surah Al-A’raf, Ayat 173).

Hazrat Masih Mau’ud (as) bersabda: 

“Engkau-lah satu-satunya yang telah memenuhi jiwa dengan cinta kepada-Mu; Itulah sebabnya mengapa kita mendengar kegemparan para pecinta-Mu di mana-mana.”

Oleh karena itu, sungguh benar bahwa tanpa wahyu dan firman Tuhan, manusia sebagai makhluk ciptaan terbaik, akan terus gelisah.

Jika kita tidak diizinkan untuk melihat Sang Kekasih, apakah kita dapat dianugerahi percakapan dengan-Nya? Maka, kita akan puas dengan tanda-tanda keagungan dan keindahan Sang Kekasih kita.

Untuk alasan inilah Allah Allah Ta’ala berbicara dengan orang-orang terdahulu kita, menjadikan manusia sebagai perwujudan sifat-sifat-Nya, dan meninggikan derajatnya melalui wahyu. Hal ini disebutkan beberapa kali dalam kitab suci Al-Qur’an.

Oleh karena itu, pandangan Islam dalam hal ini adalah wahyu bermula dari manusia yang berakal budi dan dia dimuliakan dengan kehormatan ini. Kaum Hindu juga memiliki keyakinan yang sama. Mereka berpendapat bahwa wahyu pertama kali diberikan kepada Brahma—manusia pertama yang menerima wahyu Veda—dan setelah itu, pintu berkah ini ditutup rapat.

Apakah Wahyu Terbatas pada Bangsa Tertentu?

Pertanyaan kelima yang muncul terkait dengan masalah ini adalah: Apakah wahyu turun terbatas hanya pada satu bangsa tertentu atau beberapa orang terpilih saja?

Hampir semua agama selain Islam mengklaim bahwa wahyu Ilahi hanya diberikan kepada mereka. Kaum Sanatan—sebuah sekte Hindu di India—percaya bahwa Brahma-lah yang dianugerahi wahyu Ilahi. Kaum Arya Samaj mengklaim bahwa kehormatan ini diberikan kepada empat orang berikut: Agni, Waayo, Angar, dan Adeet. Mereka menolak gagasan bahwa ada orang lain yang juga dapat menerima kehormatan tersebut. Kaum Yahudi berpendapat bahwa semua nabi dan utusan Tuhan harus dibangkitkan dari kalangan Bani Israel. Pandangan Kristen, lebih kurang, sama dengan pandangan orang Yahudi. Mereka mengklaim bahwa merekalah orang Israel sejati, dan merekalah yang berhak atas kedudukan sebagai anak Allah, kemuliaan, perjanjian, pemberian Hukum, ibadah, dan janji-janji; mereka juga mewarisi leluhur dan keturunan mereka. Semua ini adalah karena iman mereka kepada daging dan darah Kristus, yang di atas segala sesuatu, diberkati selamanya. (Roma 2:9, 4-5)

Islam tidak sependapat dengan pandangan ini dan menyatakan bahwa wahyu tidak terbatas hanya pada suatu bangsa tertentu atau pada suatu kaum saja.

Allah Allah Ta’ala adalah Pencipta seluruh umat manusia dan Dia-lah satu-satunya Pemelihara mereka. Dia menciptakan udara, cahaya, dan rezeki untuk semua orang. Matahari yang Dia ciptakan memberikan cahaya kepada setiap orang dan setiap orang menghirup udara-Nya.

Dengan cara yang sama, cahaya rohani-Nya mencakup semuanya. Semua orang menerima manfaat nya dan berkembang. Tidak ada kaum yang tidak diutus utusan Tuhan dan tidak ada yang tidak dihormati dengan adanya orang-orang di antara mereka yang berkomunikasi dengan Tuhan, serta memberikan petunjuk yang benar bagi saudara-saudara mereka. Semua orang terhormat ini pantas mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang benar. Allah Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an: “Tidak ada satu kaum pun, melainkan telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan.” (QS. Fatir [35]: 25).

Di tempat lain dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah bangkitkan dalam setiap umat seorang rasul dengan ajaran, Sembahlah Allah dan jauhilah thagut.” (QS An-Nahl [16]: 37). 

Ayat-ayat ini meyakinkan kita bahwa Allah Ta’ala telah mengutus para rasul-Nya kepada setiap kaum dan memuliakan mereka dengan wahyu-Nya, tanpa memandang kasta, warna kulit, atau kepercayaan. Islam menolak keras gagasan bahwa wahyu hanya terbatas pada satu ras tertentu atau hanya diberikan kepada segelintir orang saja.

Setelah mengutus para rasul-Nya kepada setiap kaum dengan petunjuk khusus yang sesuai dengan kondisi mereka, Allah Ta’ala akhirnya mengutus seorang rasul yang menjadi Pemberi Peringatan universal. Dia diberikan pesan Ilahi untuk semua ras dan bangsa. Pemberi peringatan universal ini adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang diperintahkan oleh Allah: “Katakanlah: Wahai manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua, Tuhan yang memiliki kerajaan langit dan bumi.”

Pesan ini ditujukan kepada setiap kaum dan setiap ras, dan mereka semua harus menerima beliau sebagai rasul sejati dari Allah. Jika mereka menaati beliau, mereka pasti akan mencapai tujuan penciptaan manusia. Jika mereka mengikuti beliau, karunia Ilahi akan diberikan kepada semua hamba-Nya yang taat.

Pesan di atas sudah pasti tidak terbatas pada satu ras atau satu kaum saja. Pesan ini mencakup seluruh umat manusia. Ini adalah undangan menuju jamuan rohani yang penuh berkah, yang mengundang setiap pria dan wanita tanpa terkecuali. Siapa pun yang memiliki pemahaman untuk menghargai kebenaran, hendaknya menerima undangan yang istimewa ini.

Apakah Turunnya Wahyu Terbatas Hanya pada Wilayah Tertentu?

Sekarang kita sampai pada pertanyaan keenam terkait dengan topik kita. Ajaran Islam adalah sebagai berikut: 

Sebelum kedatangan Islam, Allah Ta’ala telah mengutus pemberi peringatan-Nya secara terpisah di antara berbagai kaum di berbagai negeri. Beberapa di antaranya kemudian memiliki asumsi yang sangat keliru bahwa hanya mereka yang merupakan umat pilihan Tuhan, dan bahwa petunjuk yang diberikan kepada mereka tidak dimaksudkan untuk kaum lain, serta mereka sendirilah satu-satunya umat pilihan Tuhan. Mereka bahkan mengklaim bahwa di masa depan, Tuhan hanya akan mengutus rasul dari kalangan mereka dan bukan dari kaum lain.

Mereka yang meyakini Veda di India dengan tegas memegang pandangan ini, dan mengklaim bahwa hanya negeri mereka yang merupakan tanah terpilih—Tanah Ishwara, Sang Dewa. Mereka juga mengklaim bahwa hanya Bharat yang merupakan tanah yang dicintai oleh dewa Ishwara. Mereka juga berpendapat bahwa tidak ada pemberi peringatan yang diutus ke negeri lain kecuali India. Di sisi lain, orang Yahudi mengklaim bahwa hanya merekalah ras yang terpilih dan Palestina adalah satu-satunya tanah terpilih.

Hanya dalam Islam setiap nabi dipandang dengan penuh hormat dan cinta, dan kesemuanya dipercayai sebagai utusan Tuhan yang sejati. Para nabi dahulu datang kepada umat di setiap negeri hingga tiba saatnya ketika seluruh umat manusia akan hidup bersatu dalam suatu persaudaraan. Sarana komunikasi telah menjadi lebih mudah, dan kini memungkinkan seluruh umat manusia untuk hidup sebagai satu keluarga besar. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memutuskan untuk mengutus rasul-Nya yang paling mulia, shallallahu ‘alaihi wasallam, yang diperintahkan untuk menyampaikan pesan universal—Islam, agama cinta dan perdamaian. Inilah sebabnya mengapa Islam tidak menutup hakikat wahyu yang penuh kenikmatan ke dalam botol yang tersegel rapat. Karena ini adalah saripati yang paling manis dan paling menyenangkan, seluruh manusia harus menikmati nikmat besar dari Allah Ta’ala ini.

Terkait:   10 Sifat yang Dapat Menghalangi Hubunganmu dengan Allah

Inilah gagasan yang menarik hati setiap orang karena penuh dengan akal sehat. Orang-orang bijak akan mengakui kebenaran ini dan mengharapkan agar wahyu Tuhan dapat menjangkau setiap sudut dan pelosok dunia.

Apakah Wahyu Terbatas pada Bahasa Tertentu?

Pertanyaan ketujuh adalah apakah wahyu terbatas pada satu bahasa tertentu atau beberapa bahasa saja.

Menurut keyakinan yang diajarkan oleh Veda, firman Tuhan hanya boleh diwahyukan dalam bahasa Sanskerta. Mereka mengklaim bahwa pada awal setiap siklus keberadaan, Ishwar atau Tuhan berbicara dan memberikan petunjuk untuk siklus baru, dan Dia hanya berbicara dalam bahasa Sanskerta karena tidak ada bahasa lain yang layak mendapatkan kehormatan ini.

Orang Yahudi memiliki pandangan mereka sendiri dan berpendapat bahwa Tuhan hanya berbicara dalam bahasa Bani Israel.

Berbeda dengan pandangan di atas, Islam menyatakan bahwa Allah adalah Maha Kuasa. Semua bahasa berasal dari-Nya, dan Dia Maha Mengetahui seluruh bahasa. “Tanpa keraguan, Allah mengetahui semua bahasa.” (Bukhari). 

Al-Qur’an menyebutkan: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, wahai Nabi, maka katakanlah kepada mereka, Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa kepada-Ku apabila dia berdoa kepada-Ku.” (QS Al-Baqarah [2]: 187).

Terkait dengan wahyu-Nya kepada para nabi, Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan tidaklah Kami utus seorang rasul, melainkan dengan wahyu dalam bahasa kaumnya, supaya dapatlah ia membuat segalanya jelas bagi mereka.” (QS Ibrahim [14]: 5).

Islam mengajarkan bahwa setiap kaum memiliki nabi mereka sendiri, dan masing-masing dari mereka diberikan ajaran dalam bahasa mereka sendiri. Oleh karena itu, wahyu tidak terbatas pada satu bahasa tertentu atau satu kaum saja. Pesan-pesan Ilahi diwahyukan kepada setiap kaum dalam bahasa mereka masing-masing.

Ketika dalam kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas, Allah Allah Ta’ala memutuskan bahwa seluruh umat manusia di bumi harus memiliki satu aturan hukum yang sama, Dia mengutus nabi-Nya yang paling dikasihi ke dunia ini untuk menyampaikan sebuah agama yang akan menjadi aturan hukum bagi seluruh dunia. Untuk aturan hukum terakhir ini, Dia memilih bahasa yang paling kaya dan paling fasih di antara semua bahasa—bahasa Arab—ibu dari segala bahasa. Dia juga membuka pintu bagi semua bahasa agar kaum Muslimin dari semua bangsa dapat mendengar suara Ilahi yang merdu melalui wahyu dalam bahasa mereka masing-masing.

Bahkan di zaman ini, putra spiritual Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang telah diberikan tugas Ilahi, telah dianugerahi dengan wahyu dalam berbagai bahasa.

Ini adalah bukti nyata mengenai bahasan ini bahwa Allah berbicara kepada hamba-hamba-Nya yang dicintai dalam semua bahasa, dan tidak ada bahasa tertentu yang dikhususkan untuk wahyu Ilahi. Yang diperlukan untuk meraih nikmat ini adalah hati yang penuh dengan cinta dan semangat kepada Allah Ta’ala.

Keistimewaan Wahyu Al-qur’an

Pertanyaan kedelapan terkait wahyu adalah: Mengapa wahyu Al-Qur’an lebih unggul daripada semua wahyu sebelumnya? 

Perlu diingat bahwa semua wahyu sebelumnya terbatas pada kaum yang kepadanya wahyu-wahyu ini diturunkan. Wahyu-wahyu tersebut tidak mencakup setiap kebutuhan seluruh umat manusia. Namun, wahyu Al-Qur’an tidak terbatas pada satu kaum saja. Wahyu ini mencakup seluruh umat manusia sepanjang masa. Karena alasan inilah, Allah Ta’ala telah berjanji untuk menjaganya—baik teksnya maupun penafsiran yang benar. 

Kebenaran lain yang tiada bandingnya tentang wahyu Al-Qur’an adalah ia mencakup semua kebenaran yang terkandung dalam kitab-kitab suci sebelumnya dan juga memuat nubuatan tentang semua peristiwa penting di masa depan hingga Hari Kiamat. Nubuatan-nubuatan ini terus-menerus tergenapi dari waktu ke waktu dan menjadi bukti kebenaran serta keaslian Al-Qur’an.

Keistimewaan lain dari Al-Qur’an adalah para pengikut sejatinya diberikan kehormatan istimewa berupa kedekatan dengan Allah Ta’ala dan dapat berkomunikasi dengan-Nya. Allah telah memberikan janji dalam Al-Qur’an:

“Tidakkah engkau lihat, bagaimana Allah membuat perumpamaan satu kalimah yang baik? Kalimah itu seperti sebatang pohon yang baik, yang akarnya kokoh kuat dan cabang-cabangnya menjulang ke langit. Ia memberikan buahnya pada setiap waktu dengan izin Tuhannya.” (QS Ibrahim [14]:25-26).

Inilah keistimewaan yang tidak diberikan kepada kitab suci sebelumnya. Dalam Islam, telah ada ribuan wali dan orang saleh yang menikmati karunia dan keistimewaan ilahi yang agung ini.

Hazrat Masih Mau’ud telah menulis terkait hal ini: 

“Dengarlah! Aku memberikan bukti kepada kalian tentang ketinggian rohani yang hanya dapat diperoleh melalui Al-Qur’an. Semua kitab sebelumnya kini telah usang. Hanya ada satu Kitab sekarang di bawah langit yang dapat memungkinkan seseorang untuk menyaksikan wajah paling menawan dari Tuhan kita yang Maha Pengasih. Tidak ada kitab lain yang kini dapat melakukan mukjizat ini. Hanya ada satu Kitab yang dapat membantu seseorang melihat wajah dari Yang Paling Dicintai. Semua kitab lain kini kehilangan keistimewaan besar ini. Hanya ada satu Kitab di bawah langit yang dapat memberikan kalian kehormatan untuk menyaksikan wajah Yang Tercinta, Allah Yang Maha Kuasa.” (Haqiiqat-ul-Wahi, hlm. 100, catatan kaki)

Allah Ta’ala telah menetapkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai sosok yang melaluinya Allah Ta’ala menguji kebenaran rohani hamba-hamba-Nya yang sejati. Allah telah menganugerahkan cap kenabian kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang belum pernah diberikan kepada siapa pun sebelumnya. Inilah alasan mengapa beliau disebut sebagai Khatamun Nabiyyin’.

Artinya dengan mengikuti beliau dengan taat, seseorang bahkan dapat mencapai derajat tertinggi sebagai seorang nabi. Maksudnya, dengan menaati beliau, melalui petunjuk beliau, dan dengan penuh ketaatan kepadanya, seseorang dapat meraih derajat kenabian yang tinggi. Ini adalah keistimewaan yang tidak dapat diperoleh dengan mengikuti nabi mana pun sebelum beliau.

Manfaat Wahyu

Pertanyaan kesembilan yang berkaitan dengan hal ini adalah: Apa saja manfaat dan berkah dari wahyu? 

Setelah memahami pentingnya wahyu, menjawab pertanyaan ini menjadi cukup sederhana. Wahyu, dapat kita katakan, adalah percakapan antara Allah dan hamba-Nya yang melalui percakapan tersebut hamba memperoleh pengetahuan pasti bahwa Tuhannya ridha kepadanya.

Selain manusia wahyu merupakan satu-satunya petunjuk bagi makluk selain manusia. Allah Allah Ta’alaberfirman dalam Al-Qur’an:

“Dan Tuhan engkau telah mewahyukan kepada lebah ‘Buatlah sarang di gunung-gunung, pada pohon-pohon dan di tempat-tempat yang manusia buat. Kemudian makanlah dari segala buah-buahan, dan tempuhlah jalan yang ditunjukkan Tuhan kepada engkau dan yang dipermudahkan bagi engkau.’ Keluarlah dari perutnya minuman beraneka warna. Di dalamnya ada daya penyembuh bagi manusia. Sesungguhnya dalam yang demikian itu ada tanda-tanda bagi orang-orang yang merenungkan. (QS An-Nahl [16]:69-70).

Semua ajaran para nabi sepenuhnya didasarkan pada wahyu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk mengatakan: Dan jika aku mendapat petunjuk, maka hal itu disebabkan apa yang telah diwahyukan Tuhanku kepadaku.” (QS Saba [34]:51).

Terkait dengan peristiwa-peristiwa di akhir zaman, Allah Ta’ala memberi tahu kita tentang kemajuan material yang sebelumnya tidak terpikirkan di masa yang akan datang: “Semua ini akan terjadi karena wahyu Allah.” (QS Az-Zalzalah [99]:6).

Ini artinya semua yang akan terjadi pada saat itu akan berada di bawah arahan wahyu dari Allah Ta’ala. Singkatnya, wahyu dari Allah Ta’ala adalah sumber utama segala ilmu pengetahuan dan sains, serta semua keberkahan materi maupun spiritual berasal dari wahyu. Nabi Allah adalah poros utama umat manusia, dan semua ajaran serta nasihat selalu didasarkan pada wahyu. Seluruh struktur alam semesta ini dibangun atas dasar wahyu yang diberikan kepada para nabi-Nya. Oleh karena itu, wahyu adalah tanda Allah Ta’ala yang paling dapat dipercaya dan paling menerangi. Merupakan sebuah fakta yang jelas dan paling dapat dipercaya bahwa tanpa wahyu, seseorang tidak akan pernah dapat dibimbing menuju Tuhan yang Benar dan Abadi.

Alam semesta ini membantu kita untuk berpikir bahwa seharusnya ada Sang Pencipta dari keberadaan yang begitu luas ini. Namun, tidak ada bukti yang pasti dan dapat diandalkan yang tersedia bahwa Sang Pencipta benar-benar ada. Alam semesta ini hanya memberikan kesimpulan logis bahwa seharusnya ada Tuhan. Hanya melalui wahyu-lah segel kepastian dapat diberikan pada asumsi logis kita bahwa Sang Pencipta harus ada.

Berkenaan dengan anak lembu yang mulai disembah oleh Bani Israil selama ketidakhadiran sementara Nabi Musa, Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:

“Apakah mereka tidak berpikir bahwa patung itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak pula memberi mereka petunjuk kepada jalan apa pun? Mereka menjadikannya sebagai sembahan.” (QS Al-A’raf [7]: 149). 

Oleh karena itu, agar menjadi Tuhan yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri, sangatlah penting bagi Tuhan yang benar untuk mampu berbicara dengan umat manusia dan menyampaikan petunjuk-Nya melalui wahyu.

Apakah Kita Memerlukan Hukum Tambahan Setelah Al-Qur’an?

Pertanyaan kesepuluh yang berkaitan dengan subjek wahyu adalah: Apakah perlu ada hukum baru yang diwahyukan setelah Al-Qur’an? 

Harus diingat bahwa Al-Qur’an, sebagaimana yang kita yakini, adalah kitab hukum yang lengkap dan sempurna yang tidak dapat dimansukhkan. Oleh karena itu, pertanyaan mengenai hukum baru sama sekali tidak relevan. Tidak ada kebutuhan untuk menetapkan hukum baru, begitu pula tidak diperlukan nabi baru dengan hukum baru. Hal ini adalah fakta yang sepenuhnya didasarkan pada Al-Qur’an – firman Allah, dan juga didukung oleh konsensus ulama Muslim. Para ulama Islam di masa lalu telah menjelaskan bahwa makna utama dari ungkapan Khataman-Nabiyyin dan Laa Nabiya Ba’da adalah tidak akan ada nabi yang datang setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang akan mencabut dan membatalkan hukum Al-Qur’an – Islam.

Jadi sekarang, hanya wahyu yang tidak membawa syariat yang dapat datang. Al-Qur’an adalah syariat Islam yang sempurna dan lengkap, dan tidak akan ada syariat baru di masa depan. Al-Qur’an telah berulang kali menyatakan bahwa para wali dan orang bijak dalam Islam pasti akan dihormati dengan wahyu yang tidak membawa hukum syariat. Allah Yang Maha Pemurah telah memberikan janji yang teguh bahwa pengikut sejati Al-Qur’an dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam akan diangkat ke derajat orang-orang yang dicintai Allah:

“Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara orang-orang yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni nabi-nabi, sidiq-sidiq, syahid-syahid, dan orangorang saleh, dan mereka itulah sahabat yang sejati.” (QS. An-Nisa, 4:70).

Dan Allah berfirman kembali dalam Al-Qur’an:

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak akan ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. Orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka ada kabar suka dalam kehidupan di dunia dan juga di akhirat, tak ada perubahan pada firman-firman Allah, itulah kemenangan yang besar.” (QS Yunus, 10:63-65)

Dan kemudian difirmankan dalam Al-Qur’an

“Sesungguhnya orang-orang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka istiqamah, malaikat-malaikat turun kepada mereka seraya berkata,  “Janganlah kamu takut dan jangan pula bersedih; dan berilah kabar suka tentang surga yang telah dijanjikan kepadamu. Kami adalah sahabat-sahabatmu dalam kehidupan dunia dan akhirat, dan bagi kamu di dalamnya terdapat apa yang dirimu sangat inginkan, dan bagi kamu di dalamnya terdapat apa yang kamu minta. (QS. Fushilat, 41:31-32).

Ayat-ayat ini menerangkan dengan sangat jelas bahwa pintu wahyu non-syariat akan tetap terbuka bagi setiap muslim sejati; dan para ulama serta orang-orang suci Islam akan terus dimuliakan dengan berkat besar ini dari Allah. Hadis-hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengungkapkan hal yang sama mengenai wahyu. (Lihat Mishkat al-Masabih).

Jadi, menurut Al-Qur’an pohon suci ini berkembang dengan cara yang paling gemilang dan memberikan buah manisnya kepada para orang beriman sejati, dan berkat besar Allah ini akan terus berlanjut selama dunia ini masih ada.

Terkait:   Laa Ilaha Illallah (Tiada Tuhan Selain Allah)

Apakah Ada Ulama Islam yang Mengklaim Telah Menerima Wahyu?

Sekarang kita sampai pada pertanyaan kesebelas, yaitu: Apakah wahyu masih berlanjut? Dan apakah ada para wali mengklaim mendapatkan kehormatan ini?

Jawaban atas pertanyaan ini memerlukan banyak waktu untuk memberikan penjelasan seadil-adilnya. Selama tiga belas abad terakhir, ada ribuan wali dan kekasih Allah yang dianugerahi kehormatan besar ini. Karena ketaatan mereka yang sempurna kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan karena mereka mengikuti jejak guru tercinta mereka, mereka dianugerahi berkah besar ini. Orang-orang seperti itu ditemukan di setiap negara dan dalam setiap periode. Di sini, kami hanya akan mengutip tiga puluh nama wali yang hidup setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

  • Hazrat Junaid dari Baghdad
  • Hazrat Imam Abu Hanifa
  • Hazrat Imam Syafi’i
  • Hazrat Imam Ahmad bin Hambal
  • Hazrat Imam Muhammad Baqar
  • Hazrat Imam Ja’far Saadiq
  • Hazrat Kh. Abul Hassan Kharqaani
  • Hazrat Sayyad Ali Hajveri
  • Hazrat Abul Qasim Qasheeri
  • Hazrat Sh. Abdul Hassan Kharqaani
  • Hazrat Sh. Shahabuddin Suhrawardi
  • Hazrat Sh. Muhyiddin Ibn Arabi
  • Hazrat Khwaja Qutbuddin Bakhtiyarkaki
  • Hazrat Khwaja Nizamuddin Auliya
  • Hazrat Sayyad Abdul Karim Aljeli
  • Hazrat Kh. Bahauddin Naqshbandi
  • Hazrat Khwaja Muhammad Paarsa
  • Hazrat Allama Jalaluddin Sayuuti
  • Hazrat Sayyid Abdul Qadir Jailani
  • Hazrat Shah Nematullah Wali
  • Hazrat Jalaluddin Makhdum Jahanivan
  • Hazrat Sh. Abdul Quddos Gangohi
  • Hazrat Sh. Abdul Wahhab Al-Sheraani
  • Hazrat Sheikh Ahmad Mujaddid Alir-Thaani
  • Hazrat Kh. Muhammad M’asoom
  • Hazrat Shah Abdul Rahim
  • Hazrat Shah Waliullah
  • Shah Abdul Ghani
  • Hazrat Mu’een-ud-Deen Chishti
  • Hazrat Maulvi Abdullah of Ghazni

Nama-nama di atas diberikan secara acak; para wali sendiri telah menyebutkan dalam tulisan mereka tentang berkah besar dari Tuhan ini. Sebenarnya, jumlah orang-orang yang memiliki keistimewaan rohani seperti ini mencapai ribuan. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa tidak mungkin bagi semua agama lain di dunia menunjukkan jumlah wali sebanyak yang telah lahir dalam Islam.

Para wali Islam inilah yang disebut oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam nubuatan beliau, bahwa mereka akan setara dalam kedudukan rohani dengan para nabi dan tokoh-tokoh besar atau leluhur Bani Israil. Sebagai contoh, Hazrat Muinuddin pernah berkata:

“Roh Kudus berhembus dalam diriku setiap saat; aku tidak mengklaimnya, tetapi aku merasakannya di dalam diriku, seperti Isa.”

Tidak diragukan lagi bahwa sejumlah besar wali Allah telah diberkahi dengan wahyu. Namun, harus diingat bahwa selalu ada perbedaan antara wahyu seorang nabi dan wahyu seorang wali. Hazrat Masih Mau’ud (as) bersabda: 

“Inti dari apa yang ingin saya sampaikan adalah bahwa di kalangan para pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, wahyu adalah suatu fakta yang tak dapat disangkal, yang besarnya tidak dapat dibandingkan dengan para nabi lainnya. Selain itu, merupakan sebuah kebenaran juga bahwa wahyu para nabi dan rasul Allah selalu terang benderang, berada pada tingkat tertinggi, dan memiliki kejernihan yang tiada bandingannya: wahyu tersebut menghilangkan kegelapan akan keraguan sebagaimana sinar matahari mengusir kegelapan. Namun, wahyu para wali hanya dapat diandalkan ketika diterima berulang kali, dan pengulangan inilah yang membuatnya dapat dipercaya. Wahyu-wahyu ini turun kepada para wali seperti tetesan hujan dan meyakinkan penerimanya akan kebenarannya.  (Barahiin-e-Ahmadiyya, hlm. 234, catatan kaki).

Wahyu-Wahyu Hazrat Mirza Ghulam Ahmad

Pertanyaan terakhir terkait dengan wahyu adalah mengenai wahyu yang diturunkan kepada para wali dan hamba-hamba pilihan Allah yang paling mulia. Yang paling terkemuka di antara mereka adalah seseorang yang disebut sebagai Masih Mau’ud dan Imam Mahdi – sosok yang paling dimuliakan karena untuknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan agar menyampaikan salam kepadanya. (Mishkat-al-Masabih).

Al-Qur’an menggambarkan kedatangan Nabi Isa yang Dijanjikan sebagai kedatangan kedua dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri: ‘Dialah yang telah mengutus di antara orang-orang yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri… dan di antara mereka yang belum bergabung dengan mereka…’ (Surah Al-jumuah, Ayat 3-4). Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan masa Al-Masih yang Dijanjikan sebagai salah satu dari dua masa terbaik dalam Islam.

Dalam kumpulan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Imam Muslim menyatakan bahwa Al-Masih yang Dijanjikan akan menjadi pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga memiliki kedudukan sebagai nabi, serta disebutkan bahwa dia juga akan diberkahi dengan wahyu. Penulis ‘Ruuh-al-Ma’ani’ mengatakan bahwa Al-Masih yang Dijanjikan akan dimuliakan dengan wahyu.

Saat membahas subjek wahyu, Hazrat Masih Mau’ud (as) mengatakan bahwa ada tiga tingkatan wahyu yang berbeda. Berkaitan dengan tingkatan ketiga, beliau bersabda: ‘Tingkatan ketiga ini diberikan kepada orang-orang dengan derajat rohani tertinggi yang termasuk dalam lingkaran mereka yang diberikan manifestasi Ilahi… Hanya mereka yang mendapatkan izin untuk masuk kehadirat Allah Yang Maha Kuasa; dan kata ‘Wahyii’ hanya dapat diterapkan pada jenis wahyu yang mereka alami.’ (Haqiqat-ul-Wahyi, hlm. 51).

Tentang wahyunya sendiri, Hazrat Masih Ma’ud as menulis,

‘Saya, atas karunia Allah, dan tentu saja bukan menganggap hal ini sebagai hak saya pribadi, telah dianugerahi kehormatan tinggi ini yang telah diberikan sebelum saya kepada para nabi di masa lalu—orang-orang pilihan Allah. Saya tidak mungkin mencapai kehormatan ini jika saya tidak berjalan di jejak langkah guru saya, Pemimpin dan yang paling dihormati dan dimuliakan, Nabi Suci Muhammad, shallallahu ‘alaihi wasallam, pilihan Allah Yang Maha Kuasa. Apa pun yang telah saya capai, telah saya lakukan dengan berjalan di jejak langkahnya, dan saya tahu dengan pasti bahwa tidak ada manusia yang bisa mendekat kepada Allah kecuali dia mengikuti beliau.’ (Haqiqatul-Wahyi, hlm. 64-65).

Karena alasan inilah wahyu yang diterima Hazrat Masih Mau’ud as memiliki standar kemurnian tertinggi dan dan memilki mutu yang sama dengan yang diterima oleh para nabi besar sebelumnya.

Sekali lagi, Hazrat Masih Mau’ud as bersabda:

‘Saya bersumpah atas nama Allah bahwa Dialah yang telah menganugerahkan kehormatan kepadaku untuk berbicara dengan-Nya sebagaimana Dia telah menganugerahkan kehormatan ini kepada Nabi Ibrahim, Ishaq, Ismail, Yakub, Yusuf, Musa, Isa, dan kemudian terakhir kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang kepadanya Dia berbicara dengan penuh kasih sayang. Dan kehormatan yang diberikan kepada saya semata-mata karena beliau (saw). Jika saya bukan pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan jika saya tidak mengikuti jalan beliau, saya tidak mungkin bisa mencapai kesuksesan besar ini, meskipun amalku mungkin telah menumpuk lebih tinggi dari semua gunung di bumi”. (Tajalliyat Ilahiyyah, hlm. 24).

Di tempat lain, Hazrat Masih Mau’ud (as) bersabda: ‘Mukhatabah Ilahiyah denganku ini benar adanya. Jika saya mulai meragukannya bahkan untuk sesaat, saya akan menjadi seorang kafir dan kehidupan akhirat saya akan hancur sepenuhnya. Firman Allah yang diwahyukan kepada saya adalah secerah matahari dan cahayanya yang menyilaukan. Dengan cara yang sama, saya tidak bisa meragukannya sedikitpun, karena wahyu ini datang kepada saya dari Allah Yang Maha Kuasa, dan saya percaya padanya sebagaimana saya percaya pada Kitab Allah.’ (Tajalliyat Ilahiyyah, hlm. 25).

Hazrat Masih Mau’ud (as) dalam banyak puisinya menyebutkan keyakinannya yang teguh terhadap wahyu yang diterimanya dari Allah Yang Maha Kuasa. Dia percaya pada kebenaran wahyunya sendiri sebagaimana dia percaya pada wahyu para nabi sebelum dia. Beliau menulis:

Meskipun banyak nabi telah berlalu 

Aku tidak lebih rendah dari mereka dalam hal apa pun.

Aku mewarisi keimanan yang teguh dari Yang Terpilih Allah. 

Aku telah diurapi dengan cara yang sama 

seperti kekasihku yang paling cantik. 

Iman yang dimiliki Isa dalam wahyunya sendiri 

yang dikirimkan Tuhan padanya.

Dan keimanan yang dimiliki Musa pada Taurat .

Dan keimanan yang dimiliki Rasulullah, yang merupakan Pemimpin para Nabi

Aku, aku yakin sepenuhnya, sama sekali tidak lebih rendah dari mereka.

Siapa pun yang menyebutnya dusta, maka dialah yang paling celaka.

Namun, aku adalah cermin Allah yang Maha Penyayang, 

Yang melaluinya kalian dapat melihat Tuhan Madinah.

Wahyu yang diterima oleh Hazrat Masih Mau’ud (as) merupaka bentuk  wahyu yang sempurna dan cerminan sejati dari Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat nubuatan-nubuatan yang berkaitan dengan setiap negeri dan setiap masa di masa depan.

Semua ini akan terbukti benar pada waktunya—banyak yang telah terbukti benar—dan menjadi bukti yang tak terbantahkan tentang kebenaran Islam. Ini adalah tanda-tanda yang sangat jelas dan akan terus menjadi bukti dan menegaskan kebenaran Islam dan Al-Qur’an yang paling cemerlang. Ini berarti wahyu tersebut juga akan menjadi bukti cemerlang bagi Islam.

Saya akan menutup artikel ini dengan dua kutipan dari tulisan-tulisan Hazrat Masih Mau’ud (as). Beliau menulis:

Saya akan merasa berbuat aniaya terhadap umat manusia seandainya pada saat ini saya (kami) tidak menyatakan bahwa derajat yang definisi-definisinya telah saya uraian dan martabat mukalamah dan mukhatabah yang baru saja saya terangkan secara rinci itu, anugerah Ilahi telah melimpahkannya kepada saya, supaya saya memberi penglihatan kepada orang-orang yang buta, dan kepada para pencari memberitahukan alamat sesuatu yang telah hilang itu, dan memperdengarkan kabar suka kepada mereka yang mengakui kebenaran mengenai mata air suci yang disebut-sebut oleh banyak orang namun sedikit yang menemukannya.

Saya ingin meyakinkan para pendengar bahwa Tuhan –yang dengan menemukan-Nya timbul keselamatan dan kebahagiaan abadi bagi manusia– sama sekali tidak akan dapat ditemukan tanpa mengikuti ajaran Al-Quran Syarif. Ah, seandainya orang-orang melihat apa yang telah saya lihat, mendengar apa yang telah saya dengar, dan meninggalkan dongengan-dongengan serta berlari ke arah kebenaran. (Filsafat Ajaran Islam, hlm. 128).

Dalam sebuah pengumuman, ‘Undangan kepada Kebenaran,’ yang ditujukan kepada para pengkhotbah Kristen, Hazrat Masih Mau’ud as bersabda:

Begitu juga pada zaman ini, Nabi suci ini kerap dijadikan sasaran hinaan, dan untuk itu ghairat Tuhan akan bergejolak, lebih bergejolak dibanding dengan masa-masa dahulu. Dia telah mengutusku sebagai Al Masih Yang Dijanjikan agar aku dapat memberi persaksian ke seluruh dunia mengenai kebenaran nubuatan-nubuatan beliau. Jika aku menda’wakan diri dengan tanpa disertai dalil, aku adalah pendusta. Namun jika Tuhan disertai dengan tanda-tanda-Nya memberikan kesaksian bagiku dengan cara demikian, yakni, jika di zaman ini dari timur sampai ke barat, dari utara sampai selatan tidak ada tandingannya, tuntutan keadilan dan ketakwaan adalah manusia mesti menerimaku beserta segenap ajaranku.

Allah Ta’ala telah memperlihatkan tanda-tandanya yang jika sekiranya semua tanda itu diperlihatkan pada umat-umat yang telah dibinasakan dengan melalui air, api dan udara, mereka pasti tidak akan binasa. Namun dengan apakah aku harus memberikan permisalan kepada orang-orang di zaman ini? Mereka pun seperti halnya umat-umat yang tidak beruntung itu, yang memiliki mata namun tidak melihat, memiliki telinga namun tidak mendengar, dan memiliki akal namun tidak memahami.

Aku menangis demi mereka, namun mereka menertawakanku; aku memberi air kehidupan kepada mereka, namun mereka menghujaniku dengan api. Allah Ta’ala tidak hanya menampakkan Diri kepadaku dengan melalui Kalam-Nya saja, melainkan disertai dengan perbuatan-Nya. Dia memperlihatkan pekerjaan padaku dan akan memperlihatkannya sedemikian rupa sehingga sebelum seseorang manusia memperoleh karunia khas-Nya, bagi dia pekerjaan-Nya itu tidak akan nampak. Orang-orang telah meninggalkanku, namun Allah Ta’ala menerimaku. Siapa yang berani tampil dihadapanku untuk memperlihatkan tanda-tanda itu? Aku telah muncul agar Allah Ta’ala memanifestasikan Diri-Nya melalui perantaraanku.

Dahulu Tuhan seumpama khasanah yang tersembunyi, namun kini Dia mengutusku dan berkehendak untuk membungkam segenap orang atheis dan orang-orang ingkar yang mengatakan bahwa Tuhan tidak ada. Namun, wahai orang-orang yang kucintai! Bagi kalian yang sibuk dalam mencari Tuhan, aku memberikan kabar suka kepada kalian bahwa Tuhan sejati yang telah menurunkan Kitab Suci AlQur’an, Tuhan itulah telah zahir kepadaku dan setiap saat menyertaiku. (Haqiqat-ul-Wahyi, hlm. 618-620)

Segala puji bagi-Nya yang merupakan Tuhan semesta alam.

Sumber: Alislam.org
Penerjemah: Mayang Asri Rahmat Tunisa

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.