Suku Bani Israil yang Hilang
Oleh M. M. Ahmad
Tulisan ini dipresentasikan pada International Conference on Deliverance of Jesus from Cross yang diselenggarakan di Commonwealth Institute, London, pada tanggal 2-4 Juni 1978. Kemudian diterbitkan di The Muslim Sunrise, Summer 1991.
- Keyakinan Tentang Yesus dari Tiga Agama Besar
- Bukti dalam Kitab Suci dan Al-Qur’an
- Bukti dalam Penelitian Medis
- Pentingnya Kain Kafan Turin
- Mencari Suku Bani Israil yang Hilang
- Penduduk Provinsi Trans-Eropa – Afghanistan
- Penduduk Provinsi Seberang Sungai Efrat – Orang Kashmir
- Bukti dari Penulis dan Sejarawan tentang Migrasi Suku
- Perjalanan Yesus
- Makam Yesus di Kashmir
Tiga agama paling penting di dunia – Yudaisme, Kristen, dan Islam – memiliki ketertarikan dan keterlibatan yang mendalam, meskipun saling bertentangan, seputar Yesus. Di antaranya, ketiga agama tersebut mengklaim penganutnya merupakan mayoritas penduduk dunia. Konferensi kali ini dirancang untuk memfokuskan perhatian dunia pada masalah yang sangat penting sehingga kontroversi seputar pribadi Yesus dapat diselesaikan dan semua pencari kebenaran dapat melepaskan keyakinan mereka yang salah. Tentu saja hal ini merupakan ajakan bagi kita masing-masing untuk merenungkan masalah ini secara mendalam, mempertimbangkan secara obyektif fakta-fakta dan bukti-bukti sejarah yang ada saat ini, dan mengakui kebenaran meskipun hal tersebut bertentangan dengan keyakinan kita saat ini.
Teka-teki seputar penyaliban Yesus dan kehidupan pasca-penyalibannya di antara suku-suku Bani Israil yang hilang pertama kali diungkapkan melalui petunjuk Ilahi oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Masih Mau’ud, dalam bukunya “Jesus in India” yang ditulis sejauh 1899. Bukti mengenai subjek ini, yang dikumpulkan dari buku-buku lama, hanya memperkuat tesis yang telah ia kemukakan sekitar 80 tahun sebelumnya.
Kontroversi masih terus berlanjut, perbedaan-perbedaan masih ada, namun konsensus mengenai arah yang ditunjukkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud (Hazrat Mirza Ghulam Ahmad) pada akhir abad yang lalu, tidak dapat dipungkiri lagi. Kami percaya hanya masalah waktu saja sebelum dunia terpaksa mengakui kebenaran yang telah diwahyukan kepada beliau. Hal ini akan berdampak besar terhadap para penganut ketiga agama besar dunia dan akan sangat membantu mereka untuk mencapai titik temu yang akan melahirkan era ketenangan dan kedamaian yang diupayakan umat manusia tanpa henti, tetapi sejauh ini tidak berhasil.
Keyakinan Tentang Yesus dari Tiga Agama Besar
Penting di sini untuk merangkum secara singkat mayoritas penganut ketiga agama tersebut tentang Yesus.
Umat Yahudi sama sekali menolak Yesus, tidak ambil bagian dalam misi-Nya, bahkan mereka percaya bahwa menurut Perjanjian Lama, kematiannya di kayu salib adalah kematian yang terkutuk. (Ulangan 21:23)
Di sisi lain, Umat Kristen mengklaim bahwa Yesus mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia, ia bangkit dari kayu salib dan kemudian naik ke surga.
Sebagian besar umat Islam percaya bahwa Yesus tidak pernah disalib, naik ke langit secara fisik, dan akan turun kembali ke dunia untuk menghancurkan salib dan apa yang diperjuangkannya serta untuk memurnikan keimanan orang-orang mukmin.
Sama seperti umat Islam lainnya, Jamaah Ahmadiyah percaya bahwa Yesus adalah seorang nabi yang benar yang diangkat oleh Tuhan di antara suku Bani Israil. Penyaliban versi Ahmadiyah adalah Yesus tidak mati di kayu salib. Saat diturunkan dari kayu salib, ia masih hidup namun hanya dalam keadaan pingsan atau tidak sadarkan diri. Ia dibawa ke makam oleh sahabat karib dan pengikutnya. Salep dan ramuan penyembuhan diberikan pada lukanya dan kesehatannya pun pulih. Kemudian dia melakukan perjalanan ke Timur untuk mencari sepuluh Suku Bani Israil yang hilang dalam rangka memenuhi misi Ilahinya, dan beliau hidup sampai usia lanjut, meninggal dan dimakamkan di Kashmir. Berbagai keterangan seputara kedatangannya kedua kali tidak boleh ditafsirkan sebagai kembali dalam tubuh fisik, tetapi terkait dengan kedatangan seseorang yang akan datang dengan kekuatan dan spiritnya; dengan banyak kesamaan; dia akan memulihkan dan menghidupkan kembali keyakinan dan keimanan Umat Islam dan lainnya pada ajaran Islam yang sejati.
Sebelum saya kembali ke misi Ilahi yang dibawa Yesus untuk suku-suku Bani Israil yang hilang, ada baiknya untuk menunjukkan bahwa beliau tidak mati di kayu salib. Karena ini bukan topik utama pidato saya, dan tentu akan dibahas oleh pembicara lain, saya akan membatasi diri pada referensi singkat yang mendukung keselamatan Yesus dari salib. Hal ini dapat menjadi dasar (penelitian) tentang perjalanannya untuk mencari suku-suku bani Israil yang hilang pada periode kehidupan pasca-penyaliban.
Fakta bahwa Yesus tidak mati di kayu salib dapat dibuktikan berdasarkan bukti-bukti yang diambil dari sumber-sumber berikut:
- Kitab Suci dan Al-Qur’an;
- Bukti medis;
- Bukti sejarah lainnya.
Bukti dalam Kitab Suci dan Al-Qur’an
Mari kita periksa dulu bukti-bukti (Nabi Isa selamat dari Salib) yang diberikan oleh Kitab Suci dan Al-Quran
1). Pertama, nubuatan Yesus sendiri sebagaimana tercatat dalam Matius 12:39,40 dan Lukas 11:29,30. Tidak ada tanda yang diberikan selain tanda Nabi Yunus. Sebagaimana Yunus berada tiga hari tiga malam di dalam perut ikan paus, demikian pula anak manusia akan berada tiga hari tiga malam di dalam perut bumi. Sekarang sudah menjadi fakta yang diakui bahwa Yunus masuk hidup-hidup ke dalam perut ikan paus dan juga keluar hidup-hidup. Yesus memberitahu kita bahwa beliau akan berada di perut bumi dengan cara yang sama seperti Yunus masuk hidup-hidup ke dalam perut ikan paus. Dengan kata lain, dia akan masuk hidup-hidup ke dalam perut bumi dan keluar hidup-hidup. Tidak ada penafsiran lain yang dapat membuktikan kesamaan antara keduanya. Dengan menyebutkan kemiripannya dengan Nabi Yunus, Yesus menubuatkan akhir hidupnya sendiri, dengan menunjukkan bahwa ia tidak akan mati di kayu salib tetapi, seperti Yunus, ia hanya akan berada dalam keadaan tidak sadarkan diri.
2.) Perjanjian Lama mengatakan bahwa “orang yang mati di kayu salib terkutuk oleh Allah”. Kematian seperti ini tidak dapat dibayangkan oleh seorang nabi Allah yang benar dan kejadian seperti itu patut ditolak mentah-mentah hanya karena hal tersebut.
3). Setelah Yesus diturunkan dari salib, jenazahnya diserahkan kepada Yusuf dari Arimatea – seorang pria terhormat dan mulia di lingkungan itu yang memiliki pengaruh besar terhadap semua orang, termasuk orang Romawi. Ia adalah murid rahasia Yesus. Penyerahan tubuh Yesus kepadanya merupakan bagian dari rencana Pilatus untuk menyelamatkan Yesus, karena Pilatus, baik di bawah pengaruh mimpi istrinya maupun keyakinannya sendiri, bersikap baik terhadap Yesus. Tindakan permusuhan yang dilakukannya terhadap Yesus semata-mata karena takut kepada orang-orang Yahudi. Yusuf mendapati bahwa Yesus sebenarnya tidak mati, tetapi hanya tidak sadarkan diri, dan memindahkannya ke sebuah makam baru yang besar di sebuah taman di dekatnya.
4. Injil memberikan bukti lebih lanjut bahwa Yesus menampakkan diri kepada murid-muridnya setelah dugaan kematian, bukan dalam tubuh samawi, melainkan dalam tubuh daging dan tulang yang sama yang telah dipaku di kayu salib. Jadi, kita membaca bahwa Yesus menampakkan diri kepada kesebelas murid saat mereka sedang makan (Markus 16:9,14). Dan ketika mereka melihatnya, mereka mengira bahwa mereka telah melihat hantu. Tetapi, ia memperlihatkan tangan dan kakinya kepada mereka dan meminta mereka untuk memegangnya sambil berkata, “Hantu tidak ada tulang dan daging seperti yang kamu lihat ada padaku.” Lalu, ia mengambil sepotong ikan yang telah dipanggang dan sarang madu dari mereka dan memakannya di depan mata mereka (Lukas 24:39-43). Jelaslah bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan Yesus, seperti makan, minum, tidur, bercakap-cakap, dan melakukan perjalanan jauh, dilakukan dengan tubuh manusia dan bukan dengan tubuh surgawi. Ini membuktikan dengan pasti bahwa Yesus tidak naik ke surga secara jasmani.
Injil mengatakan bahwa Yesus hanya berada di kayu salib untuk waktu yang sangat singkat dan, karena kesucian hari Sabat pada hari berikutnya dan adanya badai pada sore itu, tubuhnya segera diturunkan dari kayu salib. Luka-lukanya diobati dengan minyak khusus dan setelah pulih, beliau menyelamatkan diri ke Galilea.
Mari kita lihat bukti apa yang diberikan Al-Quran tentang hal ini. Dinyatakan dalam Al-Quran:
Orang-orang Yahudi tidak membunuh Isa dan tidak pula mengakhiri hidupnya di kayu salib, tetapi mereka hanya ragu-ragu tentang akhir hidupnya. Dengan kata lain, mereka membayangkan bahwa Isa telah mati di kayu salib, padahal itu tidak benar.
Ayat lain dalam Al-Quran tentang Nabi Isa berbunyi sebagai berikut:
Ia akan dimuliakan di dunia ini dan di akhirat, dan akan menjadi salah satu dari mereka yang dekat kepada Allah. (QS. Al-Imran ayat 46)
Dengan kata lain, telah ditetapkan bahwa Nabi Isa akan memperoleh martabat, kehormatan, dan kebesaran di dunia ini dan juga di akhirat. Kehormatan dan kebesaran duniawi tentu saja tidak datang kepadanya di tanah kelahirannya, dan penggenapan bagian nubuat ini terjadi hanya setelah ia melakukan perjalanan ke Kashmir, di mana ia memperoleh martabat duniawi juga di antara suku-suku Bani Israil yang hilang.
Kemudian kita temukan dalam Kitab Suci Al-Quran kata-kata yang menunjukkan bahwa, dalam menjawab pertanyaan dari Tuhan, apakah dia telah mengajarkan orang-orang untuk menerima dia (yaitu Yesus) sebagai Tuhan, Yesus akan menyatakan:
… dan aku menjadi saksi dari tindakan mereka selama aku berada di antara mereka, tetapi sejak Engkau telah mematikan aku, Engkau-lah yang menjadi pengawas mereka. (Al-Maidah ayat 118)
Kata-kata ini memberitahu kita dengan jelas bahwa orang-orang Kristen meninggalkan ajaran Yesus setelah kematiannya. Dalam ayat lain, Kitab Suci Al-Quran mengisyaratkan perjalanannya ke Kashmir. Dikatakan:
… dan Kami berikan perlindungan kepada Yesus dan ibunya di tempat yang tinggi dengan lembah-lembah hijau dan sumber-sumber air mengalir. (QS Al-Mu’minun [23]:51)
Kata awa yang digunakan dalam bahasa Arab berarti memberikan perlindungan terhadap bahaya. Dengan demikian akan terlihat bahwa tesis tentang Yesus yang selamat dari salib, sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Injil, juga dikonfirmasi oleh ayat-ayat tentang subjek ini dalam Kitab Suci Al-Quran.
Bukti dalam Penelitian Medis
Sekarang mari kita lihat apa arti penelitian medis dan bukti tentang subjek ini.
Kita belajar dari Injil bahwa Yesus hanya dipaku di kayu salib selama sekitar tiga jam dan cara ini sama sekali tidak cukup untuk menyebabkan kematiannya. Saat itu adalah hari Jumat sore ketika Ia disalibkan. Hari berikutnya adalah hari Sabat dan Paskah orang Yahudi yang dilarang keras membiarkan siapapun dipaku di kayu salib pada hari suci tersebut. Kegelapan menyelimuti seluruh negeri dan orang-orang Yahudi, yang takut akan berdosa terhadap Tuhan dengan melakukan sesuatu pada Hari Suci, bergegas menurunkan badan Yesus. Beruntung bagi Yesus, meskipun para prajurit datang dan mematahkan kaki dan jari kaki kedua orang lainnya yang disalibkan pada saat yang sama, mereka tidak melakukan tindakan seperti itu kepada Yesus.
Bukti medis lebih lanjut diberikan oleh kisah tentang penusukan di bagian lambung Yesus dengan tombak oleh salah seorang prajurit pada saat badannya diturunkan dari kayu salib, ketika darah dan air mengalir keluar dari luka yang diakibatkannya. Aliran darah dari luka ini menunjukkan bahwa Yesus tidak mati di kayu salib, karena darah tidak mungkin mengalir keluar dari tubuh yang sudah mati.
Kita juga memiliki bukti dalam ratusan buku kedokteran yang menerangkan salep yang disebut marham Isa yang artinya “salep Yesus”. Materia Medica dalam bahasa Yunani menyatakan bahwa salep ini pertama kali dibuat untuk luka yang dialami Yesus Kristus. Referensi tentang salep ini ditemukan dalam lebih dari seribu buku kedokteran termasuk buku terkenal “Qanun” karya Bu-Ali Sena” (Avicenna). Salep ini sangat cocok untuk menghentikan aliran darah dari luka luar.
Pentingnya Kain Kafan Turin
Penemuan kain kafan Turin baru-baru ini, yang sejarahnya berawal dari abad kesembilan di Yerusalem, merupakan penemuan luar biasa lainnya.
Prof. Max Frie, seorang kriminolog terkemuka dan direktur laboratorium ilmiah kepolisian Zurich, telah menguji kain kafan Turin untuk mengetahui serbuk sari yang menempel padanya, dan, setelah bertahun-tahun melakukan analisis yang cermat, menggunakan teknik yang paling canggih, telah mampu membangun gambaran terperinci tentang sejarah dan asal-usul kain kafan tersebut. Secara khusus, ia menemukan butiran kecil serbuk sari yang membatu pada kain kafan tersebut, yang setelah pengujian terperinci, ternyata berasal dari tanaman yang hanya ada di Palestina dua puluh abad yang lalu. Hasil penyelidikan Max Frie terhadap kain kafan ini dimuat dalam buku karya Faber-Kaiser Jesus Died in Kashmir yang diterbitkan pada tahun 1976. Penulisnya adalah seorang sarjana perbandingan agama yang telah menyusun berkas yang mengesankan yang mengisi sejumlah kekosongan Alkitab yang telah membingungkan para sarjana selama ratusan tahun. Izinkan saya mengutip bagian lain dari buku penulis ini:
…Setelah tujuh tahun penyelidikan mengenai kain kafan yang menutupi tubuh (Kristus), banyak ilmuwan telah sampai pada kesimpulan bahwa Yesus dikubur hidup-hidup. Para ahli menegaskan bahwa Kain Kafan Suci yang disimpan di Turin diletakkan di atas tubuh yang disalibkan yang mengalami penderitaan yang sama persis dengan Yesus, tetapi mereka menyatakan bahwa orang ini tidak mati di kayu salib, tetapi dikuburkan saat masih hidup. Dua puluh delapan noda darah pada kain kafan membuktikan hal ini. Para penyelidik meyakinkan kita bahwa mayat yang dibungkus kain kafan tidak dapat berdarah dengan cara seperti itu. Yesus dikubur hidup-hidup, kecuali jika ada Yesus kedua, dan ia dibuat mengalami penderitaan yang sama.
Dalam buku yang sama, penulis mengutip dari buku Kurt Berna dalam bahasa Jerman “Jesus Did Not Die on the Cross”. Penulis ini berbicara tentang pentingnya penemuan kain kafan ini bagi agama Kristen dan Yahudi – dan juga bagi Islam yang tidak disebutkannya – dan, dalam suratnya kepada Paus Yohanes XXIII, ia dengan jelas menyebutkan bahwa “…penemuan ini menunjukkan bahwa ajaran Kristen masa kini dan masa lalu tidak benar”. Kurt Burna juga menyimpulkan bahwa bukti medis menunjukkan bahwa Yesus tidak mati ketika dibungkus dengan kain kafan karena jika ia telah mati, tidak akan ada darah segar yang mengalir dari tubuhnya yang terluka dan meninggalkan bekas pada kain kafan tersebut.
Dengan demikian akan terlihat bahwa bukti gabungan dari Kitab Suci, Al-Quran, penelitian medis yang penting dan penelitian menarik baru-baru tentang kain kafan Turin dengan jelas menerangkan bahwa Yesus tidak mati di kayu salib.
Sekarang, jika Yesus tidak mati di kayu salib dan tidak naik ke Surga secara jasmani, ke mana dia pergi? Kami telah menunjukkan bahwa kisah kebangkitan dan kenaikan tubuhnya adalah mitos. Kebetulan, tidak seorang pun terpikir untuk menjelaskan mengapa ada selang waktu tiga hari antara pengangkatan tubuh dari salib dan ‘kebangkitan’ dan ‘kenaikan’ Yesus ke surga. Interval tiga hari ini, pada kenyataannya, hanya sesuai dengan perawatan medis dan pelariannya setelah mendapatkan kekuatan dari cobaan beratnya di kayu salib. Hal ini mengarahkan kita pada kisah perjalanannya untuk mencari suku-suku Bani Israil yang hilang.
Mencari Suku Bani Israil yang Hilang
Kita membaca dalam Alkitab bahwa Yesus Kristus diutus hanya “kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Matius 15:24) dan bahwa ia datang … “untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang”. (Lukas 19:10). Jika orang-orang Yahudi yang tinggal di Palestina dianggap sebagai orang yang hilang, maka orang-orang Israil yang telah menetap jauh tentu juga harus dianggap demikian, karena mereka telah hilang secara fisik maupun rohani. Yesus selanjutnya berkata bahwa ia datang untuk mencari apa yang hilang dan ini sama sekali tidak berlaku bagi siapa pun kecuali orang-orang Israil yang tinggal jauh dari Palestina. Orang-orang Yahudi Palestina berada di sekitar beliau dalam jumlah besar, jadi tidak perlu bagi beliau untuk mencari mereka.
Merupakan fakta sejarah bahwa Bani Israil terbagi menjadi 12 suku, dua suku berada di negeri tempat Yesus mengajarkan Injil dan disalibkan, dan 10 suku lainnya tersebar di negeri-negeri lain. Misi Ilahi yang ditugaskan kepada Yesus tidak akan lengkap, apalagi berhasil, tanpa kehadirannya di antara 10 suku yang tersisa yang mewakili mayoritas besar Bani Israil. Pilihannya di sini adalah mengakui bahwa Yesus gagal memenuhi misi Ilahinya – sebuah kontradiksi yang jelas terhadap istilah-istilah yang berkaitan dengan nabi mana pun – atau beliau memang melakukan perjalanan ke bagian dunia tempat menetap 10 suku yang tersisa yang mewakili mayoritas yang sangat besar,.
Terdapat bukti lain dalam Injil tentang Yesus yang pergi ke Timur. Bintang yang menunjukkan kelahirannya muncul di Timur (Matius 2:2). Dengan dituntun oleh bintang ini, beberapa imam melakukan perjalanan panjang dan mengunjungi tempat kelahirannya. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa mereka telah menunggu kemunculannya. Karena janji tentang kemunculan Mesiah dan tanda-tanda kedatangannya tidak diberikan kepada siapa pun kecuali orang Israil, oleh karena itu, orang-orang yang datang dari Timur setelah melihat bintang itu pastilah orang Israil.
Dikatakan bahwa orang-orang Kashmir, Afghanistan, sebagian India, dan tanah-tanah di sekitarnya merupakan suku-suku Bani Israil yang hilang. Mari kita periksa apakah pendapat ini dapat dibuktikan dengan bukti sejarah dan bukti lainnya.
Izinkan saya mulai dengan kutipan dari buku kedua Esdras:
“Dan seperti yang engkau lihat bahwa ia mengumpulkan banyak orang yang suka kedamaian kepadanya, mereka adalah sepuluh suku yang ditawan dari tanah mereka sendiri pada masa Hosea, sang raja, yang ditawan oleh Salmanesar, Raja Asyur, dan ia membawa mereka menyeberangi sungai, saat mereka tiba di negeri lain. Namun mereka berunding di antara mereka sendiri bahwa mereka akan meninggalkan banyak orang kafir dan pergi ke negeri yang lebih jauh… agar mereka dapat mendirikan arca-arca mereka yang tidak pernah mereka tempatkan di negeri mereka sendiri. Dan mereka memasuki Efrat melalui lorong sungai yang sempit, kemduian Yang Mahatinggi menunjukkan tanda-tanda bagi mereka, dan menahan banjir sampai mereka menyeberang. Karena untuk melalui negeri itu ada jalan yang panjang, bahkan selama satu setengah tahun (perjalanan); dan wilayah yang sama disebut Asareth.
Ini menunjukkan bahwa kesepuluh suku tersebut tidak kembali ke “tanah air” mereka, tetapi meninggalkan tempat mereka ditahan ke suatu tempat yang bagi mereka tampak lebih jauh dari tanah air mereka sendiri, yaitu lebih jauh ke arah Timur, ke suatu tempat yang disebut Asareth.
Konfirmasi dari apa yang telah dinyatakan di atas dapat ditemukan dalam “Tabaqat-i-Nasiri” yang menyatakan:
“…pada masa dinasti Shansabi, suatu bangsa yang disebut Bani Israil (Anak-anak Israil) biasa tinggal di Asareth dan terlibat dalam perdagangan. Thomas Ledlie dalam bukunya, “More Ledlian”, yang menulis tentang asal-usul orang Afghanistan, memberikan alasan yang meyakinkan untuk menghubungkan Asareth dengan Distrik Hazara di Provinsi Perbatasan Barat Laut Pakistan; dan wilayah Kashmir berbatasan dengan wilayah Hazara. Namun, batas lama Asareth di Swat berada tepat di tepi seberang sungai Indus, dan, lebih tinggi di dekat Chilas, berbatasan dengan wilayah Kashmir.
St. Jerome, yang menulis pada abad kelima era Kristen saat membahas Penyebaran Israil, menyatakan … “Sampai hari ini kesepuluh suku itu tunduk kepada Raja-raja Persia dan penawanan mereka tidak pernah berakhir”.
Sarjana terkemuka lainnya, Dr. Alfred Edersheim, dalam bukunya yang berjudul The Life and Times of Jesus the Messiah, mengatakan bahwa sejumlah besar orang Israil, diperkirakan mencapai jutaan, mendiami provinsi-provinsi di seberang Efrat – sebagian besar dari kesepuluh suku itu pada zaman Kristus, seperti juga pada zaman kita, hilang dari bangsa Ibrani.
Kita membaca dalam Ensiklopedia Yahudi di bawah judul Suku-suku: “Abraham Farissol mengidentifikasi Sungai Gangga dengan Sungai Gozan dan berasumsi bahwa Bani-Israil dari India adalah keturunan dari kesepuluh suku yang hilang”.
Penduduk Provinsi Trans-Eropa – Afghanistan
Mari kita cermati lebih dekat sejarah penduduk wilayah ini.
Klaim orang Afghanistan sebagai Bani Israil tidak hanya didasarkan pada tradisi. Klaim tersebut didukung oleh monumen-monumen kuno, prasasti lama, dan karya-karya sejarah yang masih dapat ditemukan dalam manuskrip yang mereka miliki. Dalam buku-buku sejarah ini, silsilah suku-suku Afghanistan dijelaskan dengan sangat rinci.
Manuskrip tertua yang tersedia bagi kita adalah “rauzat uo Albab fi Tawarikh-ul-Akabir wal Ansab” – Taman Orang-Orang Terpelajar dalam Sejarah Tokoh-Tokoh Besar dan Silsilah – oleh Abu Suleman Daud bin Abul Fazal Muhammad Albenaketi yang ditulis pada tahun 717 H. di mana penulis menelusuri garis keturunan orang Afghanistan hingga ke bangsa Israil.
Bukhtawar Khan dalam sejarah universalnya yang paling berharga “Mirat-ul-Alam” – Cermin Dunia, memberikan kisah yang jelas tentang “Perjalanan Bangsa Afghanistan dari Tanah Suci ke Ghor, Ghazni, Kabul, dan tempat-tempat lain di Afghanistan.” Demikian pula Hafiz Rahmat bin Shah Alam dalam “Khulasat-ul-Ansab” dan Fareed-ud-Din Ahmad dalam “Risala-i-Ansab-i-Afghana” menceritakan sejarah bangsa Afghanistan dan membahas silsilah mereka. Keduanya membuktikan bahwa bangsa Afghanistan adalah keturunan Israil melalui Raja Talut.
Sir Alexander Burnes dalam bukunya “Travels into Bokhara” yang diterbitkannya pada tahun 1835 menyatakan: “Bangsa Afghanistan menyebut diri mereka Bani Israil, yaitu anak-anak Israil. Orang-orang Afghanistan tampak seperti orang Yahudi dan adik laki-lakinya menikah lagi dengan janda saudara laki-lakinya yang lebih tua.”
Orang-orang Afghanistan memiliki perasaan yang kuat terhadap bangsa Yahudi yang setidaknya akan menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki keinginan untuk mengklaim, tanpa alasan yang tepat, sebagai keturunan dari bangsa Yahudi. Penulis yang sama, ketika ia dikirim sebagai utusan Inggris ke Istana Kabul pada tahun 1837, menanyai Raja Afghanistan tentang asal usul bangsanya dan tidak meragukannya.
Demikian pula, Dr. Joseph Wolff, dalam bukunya “Narrative of a Mission to Bokhara in the Years 1843-1845” “sangat terkesan dengan kemiripan yang dimiliki oleh Yusuf Zayes dan Khaibaries, dua suku Afghan mereka, dengan orang-orang Yahudi”. Hal yang sama ditegaskan oleh J.B. Farser dalam bukunya “An Historical and Descriptive Account of Persia and Afghanistan” yang diterbitkannya pada tahun 1843, dan saya kutip:
Menurut tradisi orang-orang Afghanistan sendiri, mereka percaya bahwa mereka adalah keturunan orang-orang Yahudi… Mereka menjaga kemurnian agama mereka sampai mereka memeluk Islam.
Sekali lagi, kita memiliki bukti dari George Moore dalam karyanya yang terkenal “Lost Tribes” yang diterbitkan pada tahun 1861. Ia mengutip banyak fakta untuk membuktikan bahwa suku-suku ini dapat ditelusuri hingga ke orang-orang Afghan dan Kashmir. Setelah memberikan perincian tentang karakter orang Israil yang mengembara, ia berkata:
‘Dan kita menemukan bahwa karakter alami Israil muncul kembali dalam seluruh kehidupan dan realitasnya di negeri-negeri tempat orang-orang menyebut diri mereka Bani Israil dan secara universal mengklaim sebagai keturunan Suku-suku yang Hilang. Nomenklatur suku dan distrik mereka, baik dalam geografi kuno, maupun saat ini, menegaskan tradisi alami universal ini. Terakhir, kita memiliki rute bangsa Israil dari Media ke Afghanistan dan India yang ditandai oleh serangkaian stasiun perantara yang memuat nama beberapa suku dan dengan jelas menunjukkan tahapan perjalanan mereka yang panjang dan sulit.”
Moore kemudian melanjutkan dengan mengatakan:
“Sir William Jones, Sir John Malcolm dan misionaris Chamberlain, setelah penyelidikan penuh, berpendapat bahwa Sepuluh Suku bermigrasi ke India, Tibet dan Kashmir melalui Afghanistan.”
Moore hanya menyebutkan tiga penulis terkemuka tentang subjek tersebut. Namun, referensi didapatkan dari Jenderal Sir George Macmuun, Kol. G. B. Malleson, Kol. Failson, George Bell, E. Balfour, Sir Henry Yule, dan Sir George Rose. Mereka semuanya, secara independen sampai pada kesimpulan yang sama.
Di antara penulis yang lebih baru tentang asal-usul orang Afghanistan, Dr. Alfred Edersheim menyatakan sebagai berikut:
“Penyelidikan modern telah menunjuk kepada orang-orang Nestorian dan belakangan, dengan bukti yang hampir meyakinkan (sejauh yang memungkinkan), kepada orang-orang Afghanistan sebagai keturunan dari suku-suku yang hilang.”
Demikian pula, Sir Thomas Holditsh, dalam bukunya, “The Gates of India” mengatakan:
“Namun ada satu kaum penting (yang masih banyak yang bisa diceritakan) yang menyebut diri mereka Bani Israil, yang mengaku sebagai keturunan Kush dan Ham, yang telah mengadopsi pembauran aneh Hukum Musa dalam Tata Tertib perilaku mereka, yang (setidaknya beberapa bagian) merayakan hari raya yang sangat berkaitan dengan Paskah, yang membenci Yahudi (Jew) dengan kebencian tradisional, dan belum ada seorang pun yang mampu menunjukkan asal usul lain selain yang mereka klaim, suatu klaim dengan kekuatan yang tinggi, dan bangsa ini adalah penduduk Afghanistan dan Kashmir yang sangat banyak.”
Penduduk Provinsi Seberang Sungai Efrat – Orang Kashmir
Oleh karena itu, harus diakui bahwa bukti etnis dan sejarah, baik kuno maupun modern, menetapkan bahwa orang Afghanistan adalah keturunan suku Bani Israil yang hilang. Hal yang sama berlaku bagi orang Kashmir, yang garis keturunannya dapat ditelusuri kembali ke suku Israil sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa kutipan yang dikutip di atas. Orang Kashmir juga mengklaim sebagai Bani Israil (yaitu, Anak-anak Israil) dan menyebut diri mereka Kashar yang merupakan kata Ibrani yang berarti benar. Namun, mari kita selidiki lebih lanjut klaim ini dan memeriksa bukti sejarah dan bukti lain apa yang tersedia untuk mendukungnya.
Tiga sejarawan awal Kashmir, yaitu Mulla Nadiri (1378-1416) dalam bukunya Tarikh Kashmir (Sejarah Kashmir), Mulla Ahmad dalam bukunya Waqqya-i-Kashmir (Peristiwa Kashmir), dan Abdul Qadar Bin Qazi-ul-Quzat Wasil Ali Khan dalam bukunya Hashmat-i-Kashmir, semuanya secara tegas menyatakan bahwa penduduk Kashmir adalah keturunan Israil. Penulis terakhir yang disebutkan menambahkan bahwa mereka datang dari Tanah Suci.
Selain ketiga sejarawan Muslim Kashmir ini, cendekiawan Hindu seperti Pandit Narian Kaul dalam bukunya Guldasta-i-Kashmir dan Pandit Ram Chand Kak dalam karyanya Ancient Monument of Kashmir menggambarkan orang Kashmir sebagai orang yang memiliki garis keturunan Yahudi.
Pandit Jawaher Lal Nehru, mantan Perdana Menteri India dan seorang sarjana sejarah terkemuka, dalam bukunya Glimpses of World History menulis: “Di seluruh Asia Tengah, di Kashmir, Ladakh, Tibet, dan bahkan lebih jauh ke Utara, masih ada kepercayaan kuat bahwa Yesus atau Isa pernah berkelana di sana.”
Francis Bernier (seorang pejabat istana di Istana Kaisar Aurang Zeb) menyatakan bahwa penduduk Kashmir menurutnya mirip dengan orang Yahudi, karena memiliki wajah dan perilaku orang Israil.
S. Manoutchi, seorang dokter yang melayani Kaisar Aurang Zeb, menguatkan Francis Bernier dan menyatakan: “meskipun … kita tidak menemukan sisa-sisa agama Yahudi di Kashmir, ada beberapa jejak ras yang merupakan keturunan orang Israil.”
George Foster dalam karyanya yang terkenal Letters on a Journey from Bengal to England, 1973, menulis:
“Saat pertama kali melihat orang Kashmir di negeri mereka sendiri, saya membayangkan dari pakaian mereka, corak wajah mereka yang panjang dan berwibawa, dan bentuk janggut mereka, bahwa saya telah datang di antara bangsa Yahudi.”
Pendeta Claudius Buchanan berbicara tentang penemuan manuskrip kuno Musa dalam bahasa Ibrani yang ditulis pada gulungan kulit sepanjang 48 kaki dan yang menurutnya dibawa dari Kashmir.
Para pakar Kashmir mengklaim bahwa mereka datang dari Persia dan sekitarnya dan sebagian dari mereka telah menetap di Pantai Malaber. Henry Wilson dalam bukunya Travels in Himalayan Provinces menulis: “… ciri fisik dan etnis, yang begitu jelas membedakan orang Kashmir dari semua ras di sekitarnya, selalu menarik perhatian pengunjung lembah dan mereka secara universal menghubungkan mereka dengan orang Yahudi.”
Mayor H. W. Bellew dalam bukunya “Kashmir in Kashgar” mengacu pada pakaian pria dan wanita Kashmir dan ciri-ciri mereka dan menyimpulkan dari fakta-fakta ini dan fakta-fakta lainnya bahwa mereka adalah keturunan orang Yahudi.
Serupa dengan itu, Tn. Cowley Lambert dalam bukunya “A Trip to Kashmir and Laddakh” mengacu pada penampilan fisik orang Kashmir dan menyimpulkan bahwa mereka memiliki corak wajah Yahudi yang sangat jelas.
Demikian pula, Tn. James Milne dalam bukunya “The Road to Kashmir” menyatakan bahwa ketiga ras (Afghanistan, Afridi, dan Kashmir) memiliki ciri-ciri dan kulit yang besar dan seperti elang yang digambarkan dengan baik sebagai orang Yahudi yang kalem.
Baru-baru ini, Sir Francis Younghusband, yang selama bertahun-tahun menjadi Perwakilan Inggris di Kashmir, menulis:
“Di sini dapat dilihat tipe-tipe patriarki tua yang baik, seperti yang kita membayangkan para pahlawan Israel di masa lalu. Beberapa orang, memang, mengatakan… bahwa orang-orang Kashmir ini adalah suku-suku Bani Israil yang hilang dan tentu saja seperti yang telah saya katakan, terdapat corak Alkitab yang nyata dapat dilihat di mana-mana di Kashmir dan khususnya di desa-desa dataran tinggi. Di sini gembala Israil yang menggembalakan kawanan ternaknya dapat dilihat kapan saja.”
Kita juga menemukan seorang misionaris Kristen yang tinggal di Kashmir selama bertahun-tahun (C. E. Tyndale Biscoe) yang berpendapat: “…orang-orang Kashmir termasuk suku-suku Bani Israil yang hilang karena banyak dari mereka memiliki hidung Yahudi, juga kecintaan mereka terhadap uang dan keinginan kuat untuk mengalahkan tetangga.”
John Noel dalam sebuah artikel di Majalah Asia pada tahun 1930 dengan judul The Heavenly High Snow Peaks of Kashmir (Puncak Salju Tinggi Surgawi Kashmir) menulis tentang orang-orang Kashmir sebagai berikut:
“Mereka tampak lebih sempurna sebagai orang Yahudi daripada orang-orang Yahudi paling murni yang pernah Anda lihat; bukan karena mereka mengenakan gaun seperti jubah yang berkibar yang sesuai dengan gambaran Anda tentang pakaian Alkitab, tetapi karena wajah mereka memiliki ciri-ciri orang Yahudi. Kebetulan yang aneh – atau apakah itu suatu kebetulan? – adalah terdapat tradisi yang kuat di Kashmir atau hubungannya dengan orang-orang Yahudi. “
Seorang penulis India baru-baru ini, Tn. V. Rangacharya, dalam bukunya History of Pre-Moslem India menggambarkan penduduk Kashmir hingga Perbatasan Barat Laut Kashmir sebagai orang-orang yang sangat Yahudi.
Di sini, kita memiliki akumulasi bukti sejarah yang sangat banyak yang berasal dari sejumlah besar sarjana yang independen dan objektif, dari berbagai negara, yang menganut agama yang berbeda, semuanya menegaskan hubungan dekat orang Kashmir dengan keturunan Israil mereka. Bukti tersebut terlihat dalam ciri-ciri etnis, yang tidak dapat direkayasa atau dibuat-buat oleh siapa pun, dari pakaian yang mereka kenakan, dari nama-nama orang yang mereka bawa, dari nama-nama tempat tinggal mereka– sungguh merupakan cerminan yang meresap dari asal-usul dan masa lalu mereka. Bila bukti-bukti yang banyak ini dilihat dalam konteks yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Kitab Suci tentang subjek tersebut; dapat disimpulkan bahwa suku Bani Israil yang hilang memang menetap di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Afghanistan dan Kashmir serta sebagian wilayah India, seperti Pantai Bombay dan Malabar.
Bukti dari Penulis dan Sejarawan tentang Migrasi Suku
Kita memiliki bukti dari Al-Qur’an dan Kitab Suci. Kita juga memiliki bukti dari penulis dan sejarawan terkemuka, baik kuno maupun modern, tentang migrasi dan pemukiman suku Bani Israil yang hilang di tanah baru yang jauh dari rumah asli mereka. Namun, dalam mencari fakta dan kebenaran, mari kita lihat apakah ada bukti lain yang tersedia tentang subjek mereka.
Merupakan fakta sejarah yang terkenal bahwa orang-orang yang bermigrasi membawa serta adat istiadat, tradisi, dan, terkadang, nama-nama tempat di tanah air asal mereka. Nama-nama tersebut terdistorsi, dan adat istiadat mengalami beberapa perubahan di lingkungan baru atau karena berjalannya waktu, tetapi meskipun demikian, mereka masih memiliki jejak asal-usul mereka yang cukup. Bukti-bukti semacam ini sendiri mungkin tidak cukup untuk menetapkan proposisi tertentu secara jelas, tetapi pada saat yang sama tidak dapat diabaikan sebagai tidak relevan atau tidak bernilai. Saya kutip di bawah ini beberapa nama suku dan tempat di Kashmir, Afghanistan, di wilayah Barat Laut Pakistan saat ini, di Gilgit, Ladakh; daerah yang sangat mirip dengan nama-nama Alkitab dan menunjukkan asal-usul mereka dari Israil.
Nama-nama ini merupakan replika dari nama-nama Alkitab atau sangat mirip dengan nama-nama tersebut. Terjadinya deviasi kecil merupakan hasil dari waktu dan perubahan bahasa serta beberapa distorsi. Tidak seorang pun melakukan perjalanan bahkan dalam jarak pendek di negeri-negeri ini tanpa menjumpai anggota suku atau nama tempat atau monumen yang secara historis membawanya kembali ke periode Alkitab.
Khawaja Nazir Ahmad dalam bukunya “Jesus in Heaven on Earth” sebenarnya telah mencantumkan sekitar 405 nama seperti itu di Afghanistan, Kashmir dan beberapa bagian Pakistan dan India yang menunjukkan kemiripan yang kuat dan asal-usul yang sama dengan nama-nama Alkitab. Mereka yang tertarik dapat menggunakan penelitian yang berharga ini.
Bukti linguistik yang kuat semakin diperkuat dan tercermin dalam adat istiadat dan kebiasaan yang tetap bertahan meskipun telah berlalu berabad-abad dan terjadi perubahan agama. Baik orang Afghanistan maupun Kashmir menjalankan adat istiadat, kebiasaan, dan merayakan hari raya yang menunjukkan kemiripan dengan orang Yahudi. Kumpulan terperinci tentang hal-hal tersebut juga tersedia dalam buku yang baru saja saya sebutkan.
Sekali lagi, warisan dan leluhur yang sama tercermin dalam struktur perahu Kashmir dan dayung berbentuk hati yang biasa digunakan untuk mendayung Mayor T. R. Swinburne dalam bukunya A Holiday in the Happy Valley. Bukti yang tidak biasa ini saja dapat menghubungkan orang Kashmir dengan suku-suku Bani Israil yang hilang. Sekali lagi, ketiga suku tersebut menamai sub-suku mereka dengan berbagai hewan dan mempraktikkan metode irigasi yang asal usulnya dapat ditelusuri kembali ke bangsa Israil dan Mesir.
Bukti tentang kesamaan leluhur dan warisan juga dapat ditemukan dalam sesuatu yang tertanam lebih dalam dalam tradisi, cerita rakyat, dan dongeng yang terkait dengan cerita-cerita yang bercita rasa dan asal-usul Yahudi. Ada sebuah sumur di Afghanistan dan juga di Kashmir yang disebut Chahi Babal, yaitu Sumur Babilonia, yang dikaitkan dengan malaikat seperti Harut dan Marut.
Penemuan arkeologis juga menunjukkan arah yang sama tentang leluhur yang sama dan tembikar yang ditemukan di Afghanistan dan Kashmir sangat mirip dengan yang ditemukan di Babilonia dan dikaitkan dengan orang-orang Yahudi.
Monumen-monumen tua di Kashmir menceritakan kisah yang sama. Kuil-kuil kuno di Kashmir tidak banyak memiliki kesamaan dengan arsitektur Buddha atau Brahmana dan lebih mirip dengan sinagoge dan pedimen Yahudi yang berasal dari Suriah. G. T. Vrine dalam bukunya “Travels in Kashmir, Laddakh and Iskardoo” mengajukan pertanyaan apakah kuil-kuil Kashmir tidak dibangun oleh arsitek Yahudi. Demikian pula, Dr. James Ferguson, seorang pakar arsitektur India dan Timur, mencatat sebagai hal yang menarik bahwa kuil-kuil di Kashmir lebih mirip, setidaknya dalam rencana, dengan kuil Yahudi daripada bangunan lain yang diketahui.
Ada juga Takhte Sulaiman yang terkenal di Srinagar yang dikaitkan dalam tradisi Kashmir dengan kunjungan Raja Solomon dan digambarkan sebagai replika persis takhta Absalom, putra ketiga David, di Hutan Efraim tidak jauh dari Yerusalem.
Banyaknya bukti tentang pemukiman suku-suku Bani Israil yang hilang di Kashmir, Afghanistan, dan wilayah sekitarnya memang sangat kuat. Hal ini dapat ditemukan dalam buku-buku agama, buku-buku sejarah, dan penelitian oleh para penulis kuno dan modern yang berasal dari berbagai negara dan agama yang berbeda. Para penganut agama-agama ini sangat berbeda pendapat tentang banyak hal mendasar dalam kehidupan dan agama, tetapi menunjukkan kebulatan suara dan konsensus yang langka tentang asal-usul orang Afghanistan dan Kashmir dari garis keturunan Israil kuno.
Bukti-bukti tersebut memang sangat lengkap. Hal ini tercermin dalam ciri-ciri khas mereka, dalam bahasa, nama, pakaian, adat istiadat, tradisi, cerita rakyat, tembikar, arsitektur, monumen – bahkan dalam setiap aspek kehidupan dan aktivitas manusia yang dapat dibayangkan. Sulit untuk menolak atau mengabaikan banyaknya bukti ini tanpa adanya alasan yang kuat dan setidaknya bukti yang menunjukkan sebaliknya.
Perjalanan Yesus
Misi yang dibawa Yesus adalah mencari, berkhotbah, dan menyelamatkan suku-suku Bani Israil yang hilang. Setelah selamat dari salib dan merasakan bahaya karena tetap tinggal di tempat penganiayaannya, kita mendapati beliau melakukan perjalanan dengan menyamar ke Damaskus melalui Yudea, Samaria, Nazaret, dan ke Laut Tiberius untuk mencari suku-suku Israil yang hilang. Tempat di mana Yesus pertama kali tinggal selama sekitar dua mil dari Damaskus bahkan hingga hari ini dikenal sebagai Maqam-i-Isa (yang berarti tempat peristirahatan atau persinggahan Yesus). Tempat ini awalnya disebut Rabwah.
Mir Muhammad Khawand Shah Ibn-i-Muhammad menulis dalam buku terkenalnya “Rauza-tus-Safa fi Sirat-ul-Ambia wal Muluk wal Khulafa” (Taman Kesucian mengenai biografi para Nabi, Raja, dan Khalifah) bahwa orang-orang Yahudi mengusir Yesus dari kota itu dan Yesus serta Maria berangkat ke Suriah. Dari Suriah, Yesus melakukan perjalanan ke Mosul dan kemudian ke Aleppo.
Disebutkan bahwa selama perjalanannya, Yesus melakukan perjalanan secara diam-diam dengan nama Yuz Asaf. Kata Yuz berarti Yusu (yang berarti Yesus) dan Asaf dalam bahasa Ibrani berarti pengumpul, yaitu, orang yang harus mengumpulkan domba-domba Israil yang hilang.
Selanjutnya, kita mendengar tentang Yesus di Iran. Dikatakan bahwa Yuz Asaf datang ke negara ini dari Barat dan berkhotbah di sana dan banyak yang mempercayainya. Ucapan Yuz Asaf sebagaimana dicatat dalam tradisi Iran mirip dengan ucapan Yesus. (Agha Mustafai, Ahwali Ahalian-i-Para, 219).
Kita kemudian dapat melacak Yesus di Afghanistan: Di Ghazni (Afghanistan Barat) dan di Jalabad (di ujung tenggara Afghanistan) ada dua panggung yang menyandang nama Yuz Asaf, karena ia duduk dan berkhotbah di sana.
Kita kemudian menemukan kutipan dari Acta Thomae yang mencatat kehadiran Yesus dan Thomas di Taxila, di Pakistan saat ini.
Yesus, ibunya Maria, dan Thomas melanjutkan perjalanan menuju Murree di Pakistan. Maria meninggal di sana dan dimakamkan di puncak bukit yang dikenal sebagai Pindi-Point. Kota Murree hingga tahun 1875 disebut Mari dan dinamai menurut namanya. Makamnya yang bersebelahan dengan Menara Pertahanan bahkan hingga saat ini disebut: Mai Mari da Asthan – tempat peristirahatan Bunda Maria.
Kita hampir dapat melacak dengan pasti masuknya Yesus ke Kashmir melalui sebuah lembah yang disebut Yusu Margh, yang dinamai menurut namanya dan di mana ras Yudu (Yahudi) masih dapat ditemukan. Lembah itu terletak di jalur berkuda yang dilalui oleh para pedagang yang datang, umumnya dengan berjalan kaki, dari Kaghan dan Afghanistan. Lembah Kaghan di satu sisi menyentuh Kashmir dan di sisi lain perbukitan Murree. Aish Muqam (sekitar 47 mil dari Srinagar) tidak jauh dari Yusu Margh. Bahkan, lembah itu terletak di jalur yang sama. Aish atau Ashush adalah pembelokan dari Issa (Yesus).
Ada fakta penting lainnya, lebih dari segalanya, membuktikan bahwa Yesus memang datang ke Kashmir. Di bawah ini saya berikan beberapa nama yang dikenal dalam sejarah dan geografi Kashmir:
- Aish Muqam
- Arya-Issa
- Issa-Brar
- Issa-eil
- Issa Kush
- Issa Mati
- J-yes-Issa
- J-yes-Issa-vara
- Kal-Issa
- Ram-Issa
- Yusu-dha
- Yusu-dhara
- Yusu-gam
- Yusu-hatpura
- Yusu-kun
- Yusu-maidan
- Yusus-mangala
- Yusu-marg
- Yusu-nag
- Yusu-para
- Yusu-raja
- Yusu
- Yusu Varman
Makam Yesus di Kashmir
Kita telah menelusuri kehidupan Yesus dari pelariannya di kayu salib hingga perjalanan beliau dan tempat tinggalnya di pegunungan Afghanistan dan Lembah Kashmir dalam pencarian suku-suku Bani Israil yang hilang dan dalam pemenuhan misi Ilahi yang diserukannya. Bukti lain yang menentukan untuk mendukung hal ini diberikan oleh penemuan makamnya di Mohalla Khaniyar di Srinagar. Makam itu disebut Rauzabal dan digambarkan sebagai makam Yuz Asaf, sang nabi, yang juga disebut sebagai Shahzada Nabi (Pangeran Nabi). Penemuan dan wahyu ini dilakukan oleh Masih Mau’ud (as) melalui petunjuk Ilahi dan penelitian. Di sini sekali lagi kita menemukan bukti kuat yang mendukung pernyataan tersebut. Kita menemukan deskripsi makam tersebut dalam buku British Resident in Kashmir (Sir Francis Younghusband):
“Di Kashmir, sekitar 1.900 tahun yang lalu, tinggallah seorang santo bernama Yuz Asaf, yang berkhotbah dalam bentuk perumpamaan dan menggunakan banyak perumpamaan yang sama seperti yang digunakan Kristus, seperti, misalnya, perumpamaan tentang penabur. Makamnya berada di Srinagar … dan teorinya adalah bahwa Yuz Asaf dan Yesus adalah orang yang sama. Ketika orang-orang tampak seperti orang Yahudi yang tegas, sungguh mengherankan jika teori semacam itu ada.”
Kapten C. N. Enrique dalam bukunya “The Realms of God” mengatakan:
“Selama tinggal di Srinagar, saya menemukan sebuah tradisi aneh mengenai beberapa makam di kota itu. Ada satu makam yang dikatakan sebagai makam Kristus.”
Syekh Al-Said-us-Sadiq, yang hidup pada abad ketiga dan keempat era Muslim, dan yang menulis lebih dari 200 buku, menulis sebagai berikut:
“Kemudian Yus Asaf, setelah berkelana di banyak kota, tibalah ia di negeri yang disebut Kashmir. Ia berkelana jauh di sana dan tinggal di sana serta menghabiskan sisa hidupnya di sana, hingga ajal menjemputnya, dan ia meninggalkan tubuh duniawinya dan diangkat menuju Cahaya. Namun, sebelum kematiannya, ia memanggil seorang muridnya, Ba’bad (Thomas), yang biasa melayaninya dan dilayani dengan baik dalam segala hal. Ia (Yuz Asaf) menyampaikan wasiat terakhirnya kepadanya dan berkata: Waktuku untuk meninggalkan dunia ini telah tiba. Laksanakan tugasmu dengan baik dan janganlah berpaling dari kebenaran, dan shalatlah dengan teratur. Ia kemudian memerintahkan Ba’bad (Thomas) untuk menyiapkan makam di atasnya (di tempat ia meninggal). Ia kemudian meluruskan kakinya ke arah Barat dan kepalanya ke arah Timur, lalu meninggal. Semoga Allah memberkahinya.”
Abdul Qadir bin Qaziul-Quzat Wasil Ali Khan menulis dalam bukunya Hashmat-i-Kashmir:
“… makam tersebut digambarkan oleh orang-orang di lokasi tersebut sebagai makam seorang nabi dari kaum ahli kitab yang mana kata-kata tersebut umumnya ditujukan kepada orang-orang Kristen.”
Mulla Nadiri, sejarawan Muslim pertama Kashmir, menulis tentang Takhte Sulaiman di dinding sisi yang mengelilingi tangga. Salah satu dari mereka berkata: “Pada saat ini Yuz Asaf mengumumkan kenabiannya, tahun kelima puluh empat”; dan yang lain berkata: “Dia adalah Isa”, Nabi Bani Israil.”
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan hampir 1400 tahun yang lalu, bahwa agama Kristen tidak akan merosot dan kemuannya tidak akan terhambat hingga Almasih yang Dijanjikan yang di tangannya salib ditakdirkan untuk dihancurkan, muncul di dunia.
Nubuat ini menunjukkan bahwa pada masa Hadhrat Masih Mau’ud, akan ada penemuan-penemuan seperti itu yang akan menjelaskan doktrin Kristen tentang penyaliban dan kenaikan ke surga yang akan disingkirkan karena bukti-bukti yang sangat banyak dari Kitab Suci, penelitian medis, dan penemuan-penemuan lainnya.
Saat ini telah tiba dan sedang terjadi. Seperti bulan di malam pertama, semua orang tidak dapat melihatnya, tetapi sampai kapan? Prasangka dan kesalahpahaman yang terakumulasi dan mengakar yang dipelihara dan dipertahankan selama hampir 2.000 tahun telah mulai sirna.
Sesungguhnya, kebenaran mulai menegaskan klaimnya yang lambat tetapi tak terbantahkan dan tak ak terelakkan untuk diakui. Lihatlah badai yang menyambut tulisan Hadhrat Masih Mau’ud tentang subjek tersebut sekitar 80 tahun yang lalu. Lihatlah seberapa banyak dari apa yang beliau ungkapkan kepada dunia yang menentang itu diterima secara diam-diam saat ini.
Sisanya juga pasti akan diakui seiring dengan menyebarnya pengetahuan dan runtuhnya rintangan prasangka serta anggapan yang terbentuk sebelumnya di hadapan penemuan-penemuan baru dan kebenaran.
Kemudian bangsa-bangsa di seluruh dunia akan mulai mengakui kebenaran dan tanah akan dibersihkan untuk meletakkan fondasi tatanan dunia baru yang akan membebaskan manusia dari konflik-konflik yang merugikan dan pertikaian sengit yang menghambat pencapaian tujuan penciptaan manusia.
Izinkan saya mengakhiri pidato saya dengan beberapa kata-kata nubuat dari Masih Mau’ud dalam bukunya “Tuzkiratush-Shahadatain.”
“Tiga abad dari sekarang tidak akan berlalu sebelum mereka yang menunggu kedatangan Isa ibnu Maryam, apakah mereka Muslim ataupun Kristen, benar-benar melepaskan akidah palsu itu dalam kekecewaan dan keputusasaan yang besar. Kemudian yang akan menang hanyalah satu agama di seluruh dunia dan hanya akan ada satu pemimpin agama. Aku diutus untuk menabur benih yang ditanam dengan tanganku. Ia akan tumbuh dan terus berkembang dan tidak akan ada yang dapat menghentikannya.”
Tentang Penulis
Mirza Muzaffar Ahmad lahir pada tahun 1913 di Qadian, Punjab, India dan merupakan cucu dari Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Masih Mau’ud. Ia menjadi direktur Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (Bank Dunia) pada tahun 1972 dan pada tahun 1974 menjadi Wakil Sekretaris Eksekutif Komite Pembangunan Bersama.
Tn. M. M. Ahmad meraih gelar Sarjana Seni (BA) di Government College, Lahore, diikuti dengan gelar Sarjana Seni (Hons) di Universitas London. Ia menjadi pengacara di Middle Temple.
Ia bergabung dengan India Civil Service dan memegang sejumlah jabatan penting di Pemerintah. Pada tahun 1966 ia diangkat menjadi Wakil Ketua (dengan pangkat menteri) Komisi Perencanaan Pemerintah Pakistan. Pada tahun 1971 ia diangkat menjadi Penasihat Keuangan (dengan pangkat Kabinet) untuk Presiden Pakistan.
Sumber: Alislam.org – The Lost Tribes of Israel
Penerjemah: Seruni Fauzia Lestari