Wawancara Khusus dengan Pimpinan Dunia Jamaah Muslim Ahmadiyah, oleh Amer Safir, London, UK (The Review of Religions, April 2020)
Bagi sebagian orang, cinta sejati itu adanya ketika di kampus atau universitas. Bagi kebanyakan lainnya, setelah bertahun-tahun melalui aplikasi pencari pasangan. Dan bagi sebagian lagi, melalui saran-saran orangtua maupun sahabat.
Satu hal yang pasti, menemukan cinta sejati adalah suatu hal utama dalam kehidupan kita di masa kini seperti juga di masa lalu. Pencarian akan pasangan hidup yang sempurna merupakan tujuan hidup yang sangat penting bagi kebanyakan orang. Dan sekalinya kita menemukan pasangan yang sempurna, pasang surutnya hubungan dapat menghabiskan banyak energi serta emosi. Tidaklah mengherankan jika sebagian besar kisah fiksi, film, lagu-lagu dan acara televisi memiliki tema yang berkaitan kuat dengan tema cinta dan hubungan asmara.
Namun bagaimana caranya untuk dapat menemukan pasangan hidup kita – seseorang yang bersamanya kita bisa menjalin hubungan mendalam dan menghabiskan sisa hidup untuk berbahagia bersama?
Tentu saja, cara yang akan kita lakukan dalam pencarian cinta sejati akan sangat berbeda satu sama lain, bergantung pada latar belakang, budaya, agama maupun pola didik.
Di sini di dunia Barat – termasuk juga masyarakat yang lebih tradisional – cara mencari jodoh telah berevolusi di era digital berteknologi canggih ini, di mana pencarian jodoh secara online sudah semakin umum. Di Inggris, lebih dari 7 juta orang terdaftar di situs-situs pencarian jodoh dan diperkirakan satu dari tiga hubungan asmara diawali dari online. Di Amerika Serikat, 40 juta orang diperkirakan menggunakan situs pencarian jodoh.
Sebaliknya, di komunitas Muslim, orang tua maupun sahabat sering memberikan saran mengenai pasangan yang dianggap cocok untuk pernikahan terencana. Hal tersebut jangan dipersamakan dengan ‘pernikahan paksa’, dimana pasangan muda mudi yang menikah tidak memiliki pilihan. Di sini saya merujuk kepada jutaan contoh pernikahan dimana para orang tua, sesepuh maupun sahabat, telah mengetahui seseorang dengan sangat baik dan memiliki pengalaman dalam hidup, memainkan peranan dengan membantu memberikan saran mengenai pasangan yang cocok dan selanjutnya pasangan itu sendiri yang mengambil keputusan dan pilihan mereka tanpa adanya tekanan. Jika keduanya telah sama-sama setuju, maka pasangan tersebut melanjutkan hubungan ke jenjang yang serius, yang benar-benar dimulai setelah mereka terikat secara resmi melalui upacara pernikahan. Hal ini tidak hanya terjadi di komunitas Muslim; bahkan saat ini di banyak masyarakat Hindu dan Sikh, sahabat dan keluarga berperan penting dalam memberikan saran dalam perjodohan.
Pada suatu masa, di dunia Barat telah menjadi tradisi ketika pria yang melamar meminta restu kepada orang tua perempuan yang ingin dinikahinya. Menariknya, berdasarkan sebuah survey di tahun 2016, 77% dari pria di Amerika Serikat meminta restu ayah maupun orang tua perempuan. Meskipun hal ini menunjukkan bahwa tradisi ini masih terjaga dan berjalan dengan baik di Barat, apakah tradisi ini masih memiliki nilai signifikansi yang serupa dengan masa lalu, yang di luar itu hanya formalitas? Untuk para pasangan Barat yang benar-benar menghargai budaya ini, maka ini menunjukkan bahwa pengaruh orang tua dalam hubungan anak mereka bukanlah hal yang khusus terjadi di masyarakat Islam.
Pacaran
Dalam pacaran, sepasang manusia mengembangkan ketertarikan serta ikatan secara lebih awal dalam hubungan, bahkan mungkin terjadi adanya kasus ‘cinta pada pandangan pertama’.
Hubungan itu kemudian berkembang seiring waktu. Terkadang pasangan tersebut memilih untuk tinggal dan hidup bersama sebelum membuat komitmen formal apapun, bahkan pasangan tersebut memiliki anak bersama. Mereka mungkin pada akhirnya memutuskan untuk menikah, meskipun tentunya tidak semuanya memilih untuk melakukan hal tersebut.
Di Eropa Barat angka pernikahan turun namun angka kelahiran anak di luar nikah meningkat. Angka ini sangat kontras dengan yang lain, sebagai contoh, di berbagai komunitas Kristen tradisional di Amerika Serikat begitu pula di Amerika Selatan. Namun yang patut dicatat adalah biasanya pernikahan yang dilakukan setelah masa pacaran, pasangan tersebut biasanya telah menjalin hubungan yang mendalam.
Perjodohan dalam Islam
Di sisi lain, pada pernikahan dengan perjodohan, awalnya pasangan biasanya belum mengenal satu sama lain dengan baik. Perjodohan biasanya didasarkan pada kesamaan ketertarikan, dan pada akhirnya calon pasangan tersebut yang menentukan apakah mereka bersedia menerima orang yang dikenalkan kepada mereka sebagai calon pasangan. Meskipun mereka diberi kesempatan untuk berkenalan serta bercakap-cakap satu sama lain dalam lingkungan yang pantas sebelum menikah, dalam hal ini, para calon pasangan akan benar-benar saling mengenal satu sama lain setelah menikah.
Jadi, di saat mereka masing-masing memiliki pengalaman yang terbatas, hubungan mereka akan benar-benar meningkat setelah menikah, jadi hubungan mereka berangsur-angsur akan terus berkembang.
Dalam buku beliau yang berjudul “Matrimonial Issues and Their Solutions”, Hazrat Mirza Masroor Ahmad (Ayyadahullahu Ta’aala binashrihil ‘aziiz) Pimpinan Muslim Ahmadiyah Seluruh Dunia, telah memberikan penjelasan dengan sangat fasih dan memberikan garis besar secara komprehensif mengenai tata cara perjodohan umat Islam.
Dalam Islam, perjodohan dalam pernikahan tidak hanya didasarkan pada keberuntungan serta menebak-nebak calon pasangan potensial yang terbaik. Namun aspek rohani juga memiliki peranan yang sangat besar. Ditambah lagi, semacam tes kelayakan juga dilakukan dengan tujuan agar calon pasangan semakin mengenal satu sama lain lalu para sahabat dan anggota keluarga memberikan masukan mereka demi kebaikan para calon pasangan.
Selanjutnya kedua calon pasangan tersebut harus berdoa dengan serius untuk memohon kepada Allah agar menolong mereka dalam menentukan apakah calon pasangan mereka merupakan orang yang tepat untuk dijadikan pasangan hidup mereka.
Beberapa orang telah ditunjukkan berbagai mimpi yang diartikan oleh mereka sebagai petunjuk mengenai apakah baik bagi mereka untuk melanjutkan hubungan tersebut atau tidak. Namun, tidak mesti, setiap orang akan ditunjukkan mimpi mengenai jalan yang akan ditempuh; terkadang bisa berupa perasaan yang muncul dalam hati mereka sebagai jawaban atas doa-doa mereka kepada Allah yang membantu mereka dalam menentukan langkah. Bagaimanapun juga, hubungan kepada Allah merupakan landasan utama dalam setiap hubungan umat Islam.
Seperti yang dijelaskan Huzur (Ayyadahullahu Ta’aala binashrihil ‘aziiz) dalam buku beliau, pada saat Pernikahan Islam atau akad nikah, ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan terdapat lima kali yang menyebutkan tentang KETAKWAAN. Jika setiap pasangan selalu ingat bahwa Allah senantiasa mengawasi mereka, maka mereka tidak akan melakukan hal yang dapat menyakiti satu sama lain dan akan selalu jujur kepada masing-masing pasangan.
Selain itu, ajaran Islam begitu menekankan bagaimana suami dan istri harus memperlakukan satu sama lain dengan penuh cinta, saling memaafkan dan kebaikan. Yang Mulia Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda bahwa ‘yang terbaik dari antara kalian adalah dia yang bersikap paling baik kepada istrinya.’
Tujuan
Subjek perhatian saya di sini adalah bagaimana konsep dari ‘cinta sejati’ dapat sesuai dengan berbagai kerangka hubungan percintaan – di sisi lain adalah pacaran dan pernikahan cinta (love marriage) – dan di sisi lainnya adalah pernikahan yang diatur (perjodohan). Saya ingin mendalami bagaimana ‘cinta sejati’ dapat diukur dari berbagai perbedaan tradisi tersebut. Sangat menarik bagi saya bahwa terdapat berbagai pemahaman yang sangat berbeda tentang cinta itu sendiri.
Untuk memahami filosofi dalam menemukan cinta sejati dalam Islam, saya mendapatkan kehormatan serta kesempatan yang sangat istimewa untuk mengajukan beberapa pertanyaan ini kepada Huzur (Ayyadahullahu Ta’aala binashrihil ‘aziiz), Pimpinan Jamaah Muslim Ahmadiyah sedunia, Khalifah kelima dari Masih Mau’ud (as). Jamaah Muslim Ahmadiyah meyakini bahwa pendirinya, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as), adalah Al-Masih dan Mahdi Yang Dijanjikan yang ditunggu-tunggu oleh semua pengikut agama.
Baru-baru ini kami telah mempublikasikan sebuah wawancara yang luar biasa mencerahkan bersama Hazrat Mirza Masroor Ahmad (Ayyadahullahu Ta’aala binashrihil ‘aziiz) di Review of Religions, mengenai ganja, kesehatan mental dan larangan hijab di sekolah-sekolah, yang memberikan perspektif unik mengenai isu-isu aktual ini. Apa yang membuat hal ini luar biasa adalah cara Huzur menggabungkan berbagai pengetahuan rohani dan ilmu-ilmu sekuler dengan logika dan rasionalitas.
The Review of Religions sangat berterimakasih kepada Huzur yang telah bersedia memberikan banyak sekali waktu beliau yang sangat berharga di sela-sela kesibukan beliau yang luar biasa untuk memberikan pencerahan tentang masalah yang sangat relevan ini. Kami berharap semoga pembaca dapat mendapat manfaat besar dari jawaban-jawaban Huzur.
Wawancara bersama Yang Mulia, Hazrat Mirza Masroor Ahmad (Ayyadahullahu Ta’aala binashrihil ‘aziiz), Pimpinan Jamaah Muslim Ahmadiyah Sedunia
Amer Safir: Huzur, saya sudah membaca buku Tuan yakni ‘Matrimonial Issues and Their Solutions‘ dan telah membuat catatan-catatan yang terperinci. Huzur telah membahas mengenai pernikahan dan tata-cara hubungan dalam Islam dengan sangat detil. Huzur membahas cakupan mengenai tiga kategori – rohani, yang tampak dari apa yang disampaikan Huzur bahwa pada saat akad nikah, ayat-ayat Al-Qur’an tentang ketakwaan dibacakan dan pasangan tersebut harus selalu memastikan bahwa mereka senantiasa mempertahankan hubungan mereka dengan Sang Pencipta. Yang kedua, Huzur berbicara mengenai aspek-aspek akhlak, seperti selalu bicara jujur, ramah dan pemaaf terhadap pasangan. Dan terakhir, Huzur juga membahas aspek-aspek praktis seperti bagaimana cara menyesuaikan diri kepada mertua dan nasihat-nasihat yang serupa.
Huzur, dari pemahaman saya yang terbatas perihal buku Huzur, dalam konsep Islam terdapat sebuah kerangka yang perlu diterapkan untuk terwujudnya hubungan yang sukses, yang meliputi akhlak, rohani dan praktik sehari-hari.
Huzur, pertanyaan saya adalah mengenai cara menemukan ‘cinta sejati’ dalam Islam. Di dunia Barat suatu hubungan sering dibangun sejak awal perkenalan. Orang-orang berkata bahwa mereka telah menemukan ‘cinta pada pandangan pertama’ lalu hubungan mereka pun berlanjut dengan cara demikian. Sebaliknya, dalam dalam Islam, dalam suatu hubungan, masing-masing belum saling mengenal dengan baik, dan hubungan itu kemudian secara bertahap semakin berkembang.
Huzur, bagaimana Islam mendefinisikan ‘cinta sejati’? Apakah ‘cinta pada pandangan pertama’ hanyalah sebuah khayalan belaka? Atau, jika saya diizinkan untuk bertanya, bagaimanakah konsep cinta dari budaya Barat dapat disesuaikan kepada kerangka Islam yang telah Huzur garis bawahi dalam buku mengenai perhubungan tersebut? Apakah konsep cinta dalam budaya Barat dapat sesuai dengan kerangka berpikir Islam, ataukah hanya sekedar khayalan belaka?
Hazrat Mirza Masroor Ahmad(Ayyadahullahu Ta’aala binashrihil ‘aziiz), Pimpinan Jamaah Muslim Ahmadiyah Sedunia: ‘Ada sebuah anekdot mengenai seorang gadis yang sangat cantik, dengan rambut panjang dan bergelombang, sangat menarik dan sehat fisiknya. Ada seorang laki-laki yang sangat suka padanya dan diajukanlah lamaran pernikahan. Sang ayah dari gadis tersebut tidak menyetujuinya dan kemudian mengatakan kepada anak laki-laki, “Kamu tidak benar-benar mencintai putriku; Engkau hanya menyukai kecantikan dan penampilan luarnya saja.”
Anak laki-laki itu bersikeras, “Tidak, tidak, bukan seperti itu; sungguh aku sangat mencintainya.”
Maka sang ayah pun memutuskan untuk memberi putrinya suatu perawatan yang membuatnya jatuh sakit. Perutnya terganggu dan tubuhnya menjadi sangat lemah, kurus kering, dan sakit-sakitan. Sang ayah lalu memotong ikatan rambut gadis itu dengan gunting. Singat kata, penampilan fisik keseluruhan sang anak perempuan menjadi tampak sangat menyedihkan. Kemudian sang ayah berkata kepada anak laki-laki:
“Sekarang lihat, inilah anak perempuanku. Apakah kamu masih mencintainya? Jika kamu memang mencintainya, maka silahkan, nikahilah dia”.
Dalam keadaan tersebut laki-laki itu pun mulai memberikan beragam alasan untuk tidak melanjutkan. Lalu sang ayah meletakkan seluruh rambut anaknya dalam sebuah mangkuk. Lalu ia berkata kepada laki-laki itu,
“Sekarang seluruh rambutnya telah dipotong dan jelas kecantikannya telah hilang, dan engkau mengatakan bahwa engkau tidak lagi mencintainya. Maka kemarilah, ambillah mangkuk berisi rambut ini dan milikilah semuanya, karena hal inilah yang engkau benar-benar ‘cintai’. Jadi pergilah, dan bawa semua ini bersamamu.”
Hal tersebut hanyalah perasaan cinta yang dangkal. Yang terjadi di masyarakat sekarang, moral serta karakter merupakan aspek yang direndahkan dan tidak dipedulikan, bukannya menjadi perhatian utama dalam kasih sayang. Sedangkan materi serta keistimewaan duniawi, sebagaimana pernah ditulis seorang penyair, hanya bersifat sementara dan cepat memudar dan kemudian hilang, dan kecintaan terhadapnya juga hanya sesaat. Hal ini bukanlah cinta sejati. Oleh karena itu, seseorang perlu membangun cinta yang merupakan cinta yang sejati.
Dikisahkan bahwa suatu kali putera dari Ali (ra) bertanya kepada beliau, ‘Apakah engkau mencintaiku?’ Ali (ra) pun menjawab, ‘Ya’. Putera beliau pun bertanya, ‘Apakah engkau mencintai Allah?’ Ali (ra) menjawab, ‘Ya’. Putera beliau pun bertanya, ‘Bagaimana bisa dua cinta itu dapat berdampingan?’ Ali (ra) pun menjelaskan, ‘Kecintaanku kepada Allah-lah yang telah menciptakan dalam diriku kecintaan kepada orang lain.”
Dalam hal ini, cinta kepada orang lain menjadi hal yang sekunder dan cinta kepada Allah mengambil tempat utama serta menjadi dominan. Hal inilah yang merupakan cinta yang bersifat rohani.
Lebih jauh, kita menemukan, sebagai contoh, di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala telah memberikan izin bagi laki-laki untuk memiliki empat orang istri, dalam kondisi tertentu. Namun Allah Ta’ala juga mengajarkan kepada kita untuk bersikap adil kepada seluruh istri kita. Allah Ta’ala mengetahui bahwa merupakan hal yang mustahil bagi seorang manusia mencintai semua orang secara adil, seperti yang sering terjadi, jadi wajar mencintai yang satu lebih dari yang lain. Namun, ungkapan kasih sayang secara lahiriah-lah yang harus sama terhadap mereka semua. Kalian harus membagi satu hari untuk setiap istri. Kalian harus memperlakukan semua anak dari tiap istri dengan cara yang sama.
Singkatnya, seseorang haruslah memperhatikan cara mereka dalam mengungkapkan perasaan serta sentimen pribadi. Cinta berasal dari hati, namun seseorang tidak seharusnya menunjukkan cinta secara lebih tinggi untuk satu istri daripada yang lain, karena jelas, hal ini hanya akan menghancurkan hati mereka. Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Mengetahui aspek ini.
Suatu ketika Aisyah (ra) [istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam], berkata kepada Rasulullah, mengenai Khadijah (ra) [istri pertama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah wafat) bahwa beliau adalah seorang wanita yang sudah tua, maka mengapa Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) masih saja mengingat-ingat beliau, padahal Allah Ta’ala telah menganugerahi beliau dengan istri-istri yang lebih muda, dan lebih cantik? Yang Mulia Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda kepada Aisyah (ra) untuk tidak berkata seperti itu dan bersabda “Khadijah (ra) mendukung aku saat seluruh dunia menolakku. Dan Allah Ta’ala pun menganugerahi aku dengan anak hanya dari beliau”.
Jadi di sini, kita saksikan bahwa bagi Hazrat Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam), rasa cinta beliau kepada wujud Allah Ta’ala adalah yang tertinggi. Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) secara khusus memperhatikan fakta bahwa karunia Allah Ta’ala pertama kali diwujudkan melalui Khadijah (ra). Beliau adalah wanita yang pertama menerima Rasulullah dan melaluinya juga, keturunan Rasulullah lahir.
Meskipun Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) sangat mencintai Aisyah (ra), beberapa tuduhan mengatakan bahwa beliau menikahi Aisyah (ra) di usianya yang masih muda. Namun kita menyaksikan bahwa ketika Aisyah (ra) menyampaikan komentar negatif mengenai istri beliau yang lain, Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) pun menunjukkan sikap kurang senang. Beliau bersabda, ‘Aisyah, jika apa yang barusan kau ucapkan tersebut diletakkan di lautan, maka air di lautan tersebut akan menjadi pahit.’ Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) menjelaskan bahwa Aisyah (ra) haruslah menahan diri dari menyampaikan komentar-komentar tersebut. Dengan demikian, Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) tidak serta merta selalu setuju dengan apapun yang diucapkan oleh Hazrat Aisyah (ra).
Kami menemukan contoh lain yang tidak berhubungan secara langsung dengan hal ini namun masih relevan untuk dibahas.
Seorang istri Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) yang sudah berusia lanjut, Maimunah (ra), yang wafat setelah 50 tahun sejak kewafatan Hazrat Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam). Beliau membuat satu permohonan bahwa jika ia wafat ia meminta untuk dimakamkan di tempat yang sama di luar Mekkah ketika ia pertama kali bertemu Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) [dalam perjalanan] dan beliau dilamar oleh Hazrat Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) di lokasi tersebut.
Jika memang benar terdapat perbedaan besar dalam perlakuan beliau terhadap istri lebih tua, maka tentu istri beliau yang berusia lanjut ini (Maimunah ra) tidak akan begitu mengenang Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) dan memiliki rasa sayang yang begitu mendalam kepada beliau, meskipun 50 tahun telah berlalu. Namun ia benar-benar mencintai Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam).
Apa yang menjadi mendasari kecintaan dan kasih sayangnya yang mendalam kepada Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam)? Hal tersebut adalah perlakukan penuh kasih sayang dari Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) kepadanya. Meskipun beliau seorang janda dan dari negeri yang berbeda, Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) memberikan derajat, cinta, serta rasa hormat yang begitu tinggi, sehingga ketika mengenang cinta Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam), sebelum ia meninggal, ia memutuskan bahwa ia ingin kembali dan dibaringkan di tempat yang sama ketika ia pertama kali bertemu Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam). Ini adalah cinta sejati.
Amer Safir: Bagaimana Huzur menjelaskan konsep ‘cinta pada pandangan pertama’ di masa kini sebagai lawan dari pernikahan terencana (perjodohan)?
Hazrat Mirza Masroor Ahmad (aba), Pemimpin Jamaah Muslim Ahmadiyah Sedunia: Sebagian dari apa yang kita lihat yang digambarkan sebagai cinta di dunia saat ini adalah fantasi belaka. Ini adalah fantasi – yakni cara pernikahan karena cinta (love marriage) maupun hubungan kasih yang berasaskan jenis ‘cinta’ ini. Sering dinyatakan bahwa pernikahan dengan perjodohan seharusnya ditiadakan. Padahal justru 65% dari perceraian terjadi dari pernikahan berasaskan ‘cinta’ tersebut, sedangkan pernikahan yang terencana justru memiliki tingkat perceraian yang lebih rendah.
Di Inggris Raya (UK), kita menyaksikan Pangeran Charles menikahi Putri Diana. Namun beliau meninggalkannya dan mengejar hubungan lain. Pangeran Andrew menikahi Sarah Ferguson, namun pernikahan itu juga berakhir setelah beberapa tahun saja.
Jadi jenis ‘cinta’ apakah ini, dan apa hasilnya?
Kita menemukan bukti tambahan mengenai gagasan ini dengan dukungan data serta statistik. Terdapat dugaan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merajalela di kalangan Umat Islam. Namun di Inggris Raya, Jerman, serta negara-negara barat lainnya, kita menemukan sejumlah besar kasus kekerasan rumah tangga di antara penduduk asli negara-negara tersebut. (Di Inggris Raya dalam setahun terakir hingga Maret 2018, sekitar 1.3 juta wanita mengalami kekerasan dalam rumah tangga menurut Crime Survey for England and Wales dan dikutip oleh Badan Statistik Nasional Inggris Raya. Di Jerman, satu orang wanita terbunuh setiap tiga harinya oleh pasangan atau mantan pasangan, berdasarkan statistik dari Menteri Pemberdayaan Wanita, Franziska Giffey, yang menyebutnya sebagai “jumlah yang tak terbayangkan”, dan dirilis dalam Deutsche Welle, kantor berita dalam negeri Jerman. Di Amerika Serikat, rata-rata 20 orang mengalami kekerasan fisik oleh pasangannya. Dalam kurun waktu setahun, hal tersebut setara dengan 10 juta wanita dan pria, menurut laporan National Coalition Against Domestic Violence.)
Hal tersebut sekedar mencerminkan kasus yang terlaporkan maupun tercatat, namun mungkin banyak lagi yang tidak melaporkan kasus mereka. Meskipun jika demi mengikuti argumen yang ada, bahwa presentase kekerasan dalam rumah tangga berjumlah seimbang baik itu dalam pernikahan Muslim dan non-Muslim, bagaimana kita bisa menyalahkan agama ketika hal yang sama terjadi juga di negara-negara ini?
Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah menuntun kita supaya menerapkan ketakwaan. Nasihat ini tidak hanya untuk para pemuda, namun juga bagi para pemudi. Selanjutnya, Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) saat memberikan nasihat pada Umat Islam bersabda bahwa orang-orang biasanya menikah karena melihat kencantikan lahiriah, status keluarga ataupun kekayaan dari sang wanita. Namun seorang mukmin sejati akan memandang dari segi ketakwaan dan kesalehan sang wanita.
Amer Safir: Huzur, apakah sepasang pria dan wanita diperbolehkan untuk saling melihat satu sama lain sebelum menikah berdasarkan Islam?
Hazrat Mirza Masroor Ahmad (aba), Pemimpin Jemaat Muslim Ahmadiyah Sedunia: Seseorang boleh mencari tahu mengenai seluk-beluk dari keluarga calon pasangan serta perilaku mereka di rumah. Diizinkan juga untuk melihat penampilan satu sama lain.
Suatu ketika di zaman Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) seorang laki-laki datang untuk melamar dan bertanya apakah dirinya boleh melihat sang perempuan. Sang ayah sangat murka dan berkata ‘siapa dirinya yang meminta melihat putriku’ dan ia mengatakan bahwa ia akan memukulnya. Namun, ketika putrinya mengetahui bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah memberikan izin untuk pertemuan tersebut, maka ia pun melangkah maju, dan laki-laki pun merespon dengan menundukkan kepalanya. Menanggapi hal tersebut, sang perempuan menerima pinangannya tanpa syarat.
Amer Safir: Huzur, apakah solusi yang diberikan Islam untuk usia sebelum pernikahan, misalnya, ketika pemuda yang memiliki dorongan jasmani yang kuat?
Hazrat Mirza Masroor Ahmad(aba), Pimpinan Jemaat Muslim Ahmadiyah Sedunia: Ini merupakan hukum alam – yang bahkan kita temukan di antara para hewan – bahwa saat seseorang mencapai usia dewasa maka mereka mulai berpikir untuk membangun hubungan fisik. Allah Ta’ala telah menetapkan usia dewasa atau pubertas. Islam mengajarkan bahwa daripada seseorang terjerumus pada kemaksiatan serta perbuatan yang merusak moral, maka menikahlah pada usia tersebut.
Kita mengamati bahwa dalam masyarakat saat ini, sekitar 70% perempuan muda yang menjalin hubungan dengan anak laki-laki – banyak muncul permasalahan sebagai akibat dari hal ini yang berujung pada banyak masalah setelahnya. Inilah sebabnya mengapa Islam mengajarkan untuk menikah pada usia muda – walaupun dalam hal ini banyak tuduhan bahwa kita telah mempromosikan pedofilia.
Amer Safir: Huzur, dulu kami pernah ditanya mengenai orang-orang yang melakukan perilaku kepada diri mereka sendiri seperti masturbasi untuk kesenangan diri – yang terkait dengan dengan pornografi yang merajalela di masyarakat. Bagaimana peran Islam dalam hal ini?
Hazrat Mirza Masroor Ahmad (aba), Pimpinan Jemaat Muslim Ahmadiyah Sedunia: Pada umumnya, informasi yang tersedia di berbagai website kesehatan sering menjelaskan bahwa melakukan hal tersebut dapat meningkatkan kemampuan maupun kekuatan pria dan hal itu tidak masalah. Namun, para ahli kesehatan di masa lampau mengatakan sebaliknya bahwa hal tersebut mengakibatkan kelemahan, dan ini merupakan fakta. Orang yang melakukan tindakan ini akan menderita karena ketika mereka kemudian mencoba melakukan secara alami, mereka tidak berhasil melakukannya karena mereka kehilangan hasrat atau mereka mengalami ejakulasi dini.
Yang kedua, tanyalah siapapun yang melakukan tindakan ini, dan mereka akan memberi tahumu bahwa mereka akan membayangkan orang lain saat melakukan masturbasi. Mereka harus berfantasi tentang orang lain pada saat melakukan hal tersebut untuk membangkitkan gairah mereka.
Inilah mengapa Hazrat Masih Mau’ud (as) telah menjelaskan mengenai ‘Zinah pikiran’. Hal ini terjadi ketika seseorang berkhayal tentang orang lain yang tidak dapat mereka gapai, sehingga satu-satunya cara untuk memenuhi hasrat itu adalah dengan berkhayal lebih jauh lagi. Ini adalah ‘zinah pikiran’ dan inilah sebabnya Islam telah melarang kita dari menuruti hal-hal yang merusak akhlak dan tidak terpuji seperti itu.
Sumber: Alislam.org – ‘True Love’ and the ‘Perfect life Partner…?
Penerjemah: Irfan Adiatama