Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 04 Oktober 2019 (04 Ikha 1398 Hijriyah Syamsiyah/Shafar 1441 Hijriyah Qamariyah) di Baitul Atta Mosque, Komune Trie-Chateau, Departemen Oise, wilayah Picardie, Prancis.[1]
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Hari ini dengan karunia Allah Ta’ala Jalsah Anda sekalian sedang dimulai. Hadhrat Masih Mau’ud (as) menamai Jalsah sebagai pertemuan murni keagamaan. Maka dari itu, hendaknya menjadi jelas bagi setiap orang yang hadir bahwa hari ini kita berhimpun di sini untuk memperbaiki dan meningkatkan ilmu agama dan kerohanian kita; dan selama tiga hari kita berkumpul di sini dengan pusat perhatian bagaimana kita memperbaiki ilmu agama dan keadaan kerohanian kita. Jika pemikiran seperti ini tidak ada maka datang ke sini tidak ada faedahnya.
Di masa sekarang ini dunia tengah melupakan Allah Ta’ala, para pengikut setiap agama tengah menjauh dari agama mereka. Statistik setiap tahunnya menunjukkan bahwa setiap tahun sejumlah besar orang menyatakan pengingkaran terhadap keberadaan Allah Ta’ala [Atheisme = tidak mengakui keberadaan Tuhan] sampai-sampai keadaan umat Islam sendiri pun kita ketahui hanya sekedar namanya saja Muslim dan mereka tenggelam dalam keduniawian.
Dalam keadaan seperti ini jika kita yang telah menyatakan beriman kepada Imam Zaman; kita telah menerima beliau (as) yang sesuai nubuatan Nabi Muhammad (saw) telah diutus oleh Allah Ta’ala untuk melakukan pembaharuan agama di zaman ini; dan kita berjanji untuk menyempurnakan misi Masih Mau’ud dan Mahdi Ma’hud ini. Jika kita sendiri tidak memberikan perhatian pada perbaikan keadaan kita maka baiat kita kepada Masih Mau’ud (as) hanyalah sebuah pernyataan lahiriah saja yang kosong dari ruh; janji baiat kita hanyalah sekedar janji yang tidak kita tunaikan; berhimpunnya kita di sini untuk Jalsah hanyalah seperti perkumpulan duniawi saja. Dengan demikian, sangat penting bagi setiap Ahmadi untuk merenungkan hal ini. Kita perlu menimbang-nimbang diri kita dengan sebuah perenungan, jika seperti itu keadaan kita maka tidak ada faedahnya.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah menyampaikan kepada kita apa-apa yang menjadi tujuan penyelenggaraan Jalsah dan jika kita mengintrospeksi diri kita dengan merenungkan tujuan-tujuan tersebut maka kita tidak hanya akan memenuhi tujuan tiga hari Jalsah ini dan meraih doa-doa Hadhrat Masih Mau’ud (as) untuk orang-orang yang hadir dalam Jalsah ini, lebih dari itu, kita akan menjadikan itu bagian yang abadi dalam kehidupan kita dan memperindah dunia dan akhirat kita, dan tidak hanya keadaan diri kita sendiri, bahkan usaha kita untuk meraih amal-amal soleh dan mengamalkannya akan menjadikan anak keturunan kita di masa mendatang tegak di atas agama dan memiliki kedekatan dengan Allah Ta’ala serta akan meraih karunia-karunia Allah Ta’ala. Ketika dunia sedang menjauh dari Allah Ta’ala dan agama, anak keturunan kita akan dekat dengan Allah Ta’ala dan akan menjadi sarana untuk membawa dunia kepada Allah Ta’ala. Dengan demikian, jika kita ingin memenuhi janji baiat kita dan menyelamatkan anak keturunan kita, maka kita perlu untuk mengedepankan tujuan-tujuan dari pelaksanaan Jalsah ini. Perlu bagi kita untuk melewati tiga hari ini dengan janji bahwa sekarang perkara-perkara ini akan senantiasa menjadi bagian kehidupan kita.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) dalam menjelaskan mengenai tujuan-tujuan Jalsah bersabda, “Hendaknya pikirkanlah akhirat. Tujuan diselenggarakannya Jalsah adalah supaya mereka yang datang ke Jalsah dan tinggal dalam lingkungan Jalsah memikirkan kehidupan akhirat mereka. Hendaknya timbul rasa takut kepada Allah Ta’ala; hendaknya tercipta ketakwaan di dalam diri mereka; hendaknya tercipta kelembutan hati; hendaknya tercipta kecintaan dan persaudaraan satu sama lain; hendaknya tercipta kerendahan hati; hendaknya berdiri teguh di atas kebenaran dan sibuk dalam mengkhidmati agama.”
Walhasil, inilah tujuan kita berkumpul di sini pada hari ini. Sesuai dengan sabda beliau (as), setiap orang yang menjadi pengikut beliau, baik itu laki-laki, perempuan, tua, muda, harus sedemikian rupa memikirkan akhirat hingga taraf di mana hal-hal duniawi tidak memiliki kedudukan apa-apa dibandingkan dengannya. Ketika tinggal di lingkungan duniawi seperti ini maka ini merupakan suatu tugas yang besar dan suatu tantangan yang berat yang memerlukan jihad besar untuk bisa memenuhinya.
Perhatian terhadap akhirat baru bisa tercipta apabila memiliki keyakinan yang sempurna terhadap Dzat Allah Ta’ala dan juga memiliki keyakinan bahwa kehidupan ini hanya beberapa tahun saja. Paling lama manusia hidup 80 tahun, 90 tahun, atau maksimal 100 tahun. Akan tetapi, itu pun tidak setiap orang bisa mencapai usia tersebut. Banyak sekali orang yang jauh sebelum usia-usia tersebut telah berlalu dari dunia ini, setelah itu ada kehidupan akhirat yang kekal. Walhasil, seorang yang bijak adalah ia yang mengorbankan sesuatu yang sifatnya sementara demi sesuatu yang kekal. Namun yang terjadi adalah kita mengorbankan kehidupan yang kekal ini untuk kehidupan sementara; dan kemudian orang-orang duniawi ini menganggap dirinya sendiri sebagai paling bijak. Walhasil, seorang beriman melakukan kebalikannya dari itu dan memang harus demikian. Barulah dapat dikatakan sebagai seorang beriman. Ia memiliki rasa takut kepada Allah Ta’ala di dalam hatinya; kecintaan kepada Allah Ta’ala unggul di atas semua kecintaan-kecintaan duniawi.
Rasa takut itu bukan dikarenakan akan adanya hukuman dalam kehidupan setelah mati melainkan supaya jangan sampai Allah Ta’ala murka kepada diri kita; dan ketika gejolak cinta itu ada, barulah manusia akan berusaha untuk mengamalkan perintah-perintah Allah Ta’ala. Setiap amal perbuatannya di dunia ini dilakukan dengan memperhatikan akhirat. Ia memiliki keyakinan bahwa Tuhannya-lah yang akan menyediakan sarana-sarana pemeliharannya; Tuhannya-lah yang akan menganugerahkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya, di dalamnya mencakup segala macam nikmat, baik itu duniawi maupun rohani. Jika ia menunaikan hak ibadah kepada-Nya dan mengganggap Tuhan-lah Pemilik segala kekuatan lalu ia senantiasa tunduk di hadapan-Nya maka ia akan mendapatkan bagian dari nikmat-nikmat-Nya, insya Allah. Jika ia menjalani hidup sesuai dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, ia akan menjadi pewaris karunia-karunia-Nya. Jika ia taat sepenuhnya pada Allah Ta’ala dan tegak di atas ketakwaan, memenuhi hak Allah Ta’ala dan hak hamba-hamba-Nya maka Allah Ta’ala tidak akan marah kepadanya.
Walhasil, pemikiran seperti inilah dan pengamalan yang sesuai dengan inilah yang secara pasti sesuai janji Allah Ta’ala akan menjadikannya meraih nikmat-nikmat dan karunia-karunia-Nya. Dan orang-orang yang memiliki pemikiran seperti inilah yang dikatakan berjalan di atas ketakwaan, yaitu mereka yang mengamalkan seluruh perintah Allah Ta’ala; yang hati mereka lembut dikarenakan setiap saat di dalam hatinya ada Allah Ta’ala; yang memiliki kecintaan satu sama lain demi Allah Ta’ala. Artinya, kecintaan dan rasa persaudaraan mereka bukan karena ada motif pribadi melainkan hanya dan hanya untuk Allah Ta’ala semata.
Demikian juga orang yang berjalan di atas ketakwaan adalah yang di dalam dirinya ada kerendahan hati, namun bukanlah kerendahan hati yang hanya diperlihatkan kepada orang yang dari sisi kedudukan dan harta lebih besar dari dirinya; bukan kerendahan hati yang diperlihatkan kepada orang yang lebih tinggi dalam hal kedudukan atau kepada orang kaya saja melainkan kerendahan hati yang diperlihatkan kepada orang-orang lemah dan miskin; dan ini lah orang-orang yang setiap saat berdiri di atas kebenaran dan percaya hanya qoul sadid atau perkataan jujurlah yang akan sampai kepada Allah Ta’ala sedangkan kebohongan akan membawa kepada syirik; dan ketika seseorang memikirkan akhirat, takut kepada Allah Ta’ala dan mengetahui hakikat ketakwaan, bagaimana bisa ia berkata bohong setelah mengaku sebagai beriman, dan orang-orang yang meraih perkara-perkara tersebut dan memahami ruh kebaikan-kebaikan inilah yang pada hakikatnya sibuk dalam pengkhidmatan terhadap agama. Jika tidak demikian, pengkhidmatan tersebut hanyalah untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi saja. Kita melihat di kalangan umat Islam ratusan ribu ulama yang nampak dari luar sedang melakukan pekerjaan-pekerjaan atas nama agama, namun dari dalam mereka sedang melakukan kezaliman atas nama agama, diri mereka kurang dalam ketakwaan, tidak nampak rasa takut kepada Allah Ta’ala dalam diri mereka, mereka lebih menghargai kesenangan-kesenangan duniawi dibandingkan akhirat, lantas mereka membawa-membawa nama Tuhan dan akhirat.
Dengan demikian, ruh perkara-perkara itulah yang diperlukan. Hal tersebut ialah yang Hadhrat Masih Masih Mau’ud (as) ingin ciptakan dalam diri kita. Itu bukanlah kulit melainkan ruhnya atau isinya. Kita harus mengintrospeksi diri kita dengan memperhatikan apakah kita ikut serta dalam Jalsah dengan niat seperti itu? Dan apakah di dalam diri kita ada suatu gejolak untuk meraih tujuan-tujuan itu? Jika dikarenakan kelemahan-kelemahan manusiawi di masa lalu dari diri kita ada kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan untuk meraih hal-hal tadi, maka di masa mendatang dengan tekad yang baru kita harus siap untuk berusaha semaksimal mungkin menciptakan kebaikan-kebaikan tersebut dan menegakkannya.
Hari ini kita berjanji akan lebih memikirkan akhirat dibandingkan dunia. Kita akan lebih mementingkan rasa takut kepada Allah Ta’ala dan kecintaan kepada-Nya di atas segala sesuatu. Kita akan berusaha semaksimal mungkin berjalan di atas jalan-jalan halus ketakwaan; kita akan menciptakan di dalam hati kita kelembutan terhadap orang lain; kita akan sedemikian rupa meningkatkan kecintaan dan persaudaraan satu sama lain sehingga menjadi suatu suri teladan; kita akan meningkat dalam hal kerendahan hati dan ketawadu’an; kejujuran dan qoul sadid akan menjadi suatu ciri khas kita, sehingga setiap orang mengatakan para Ahmadi lah yang senantiasa berkata benar, berkata jujur dan untuk melakukan itu mereka siap menanggung kerugian terbesar sekalipun. Kita akan sedemikian rupa sibuk dalam pengkhidmatan agama sehingga menjadi suatu percontohan dan kita akan berusaha lebih dari sebelumnya untuk menyampaikan pesan agama Allah Ta’ala kepada setiap orang di lingkungan kita. Kita akan sampaikan kepada mereka apakah Islam yang hakiki itu. Jika kita berhasil memenuhi janji kita ini dan menjalani hidup kita sesuai dengan ini, maka sesungguhnya kita telah memenuhi janji baiat kita.
Oleh karena itu, pada hari ini marilah kita buat pedoman amalan kita untuk meraih hal-hal tersebut. Orang-orang yang memikirkan akhirat dan memiliki rasa takut kepada Allah Ta’ala pertama-tama akan memberikan perhatian pada upaya menjaga ibadah-ibadah mereka. Ia akan melihat apa tujuan yang Allah Ta’ala tetapkan bagi kehidupannya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ Wa maa khalaqtul jinna wal insa illaa liya’buduwn artinya, ‘Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia semata mata untuk beribadah kepada-Ku.’ (Surah adz-Dzaariyaat, 51:57).”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menerjemahkan ayat ini sebagai berikut, “Artinya, ‘Aku telah menciptakan jin dan manusia agar mereka mengenali-Ku dan menyembah-Ku.’ Jadi, menurut ayat ini tujuan sebenarnya hidup manusia adalah untuk menyembah Allah Ta’ala dan meraih ma’rifat Allah Ta’ala serta menjadi milik Allah Ta’ala. Jelas bahwa manusia tidak memperoleh kedudukan untuk –dengan ikhtiarnya– menetapkan sendiri tujuan hidupnya.
Sebab manusia bukan atas kemauannya sendiri datang dan pula bukan atas kemauannya sendiri akan kembali, melainkan hanyalah makhluk (hasil ciptaan), sedangkan Dia Yang menciptakan serta menganugerahkan kemampuan yang cemerlang dan lebih tinggi kepadanya dibandingkan dengan seluruh hewan, Dia jugalah yang telah menetapkan suatu tujuan hidup baginya.
Tidak peduli apakah manusia mengerti atau tidak mengerti tujuan itu, akan tetapi tujuan penciptaan manusia tidak diragukan lagi yaitu untuk menyembah Allah Ta’ala dan meraih ma’rifat-Nya serta menjadi fanã (larut) di dalam Allah Ta’ala…”[2]
Apakah cara ibadah dan penyembahan yang diajarkan tuhan kepada kita? Yakni mendirikan shalat. Allah Ta’ala berfirman: إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا () ‘innash shalaata kaanat ‘alal mu-miniin kitaabam mauquutaa.’ – Artinya, “Sesungguhnya telah ditetapkan bagi umat Muslim untuk melaksanakan shalat pada waktunya.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Saya sangat mencintai shalat pada waktunya.”
Artinya, melaksanakan shalat pada waktunya adalah penting. Namun, pada zaman ini kita perhatikan karena alasan kecil saja seringkali manusia tidak mempedulikan untuk shalat pada waktunya. Tidak hanya itu, bahkan ada juga yang tidak melaksanakanya sama sekali. Bukannya melaksanakan 5 waktu, tapi malahan 4 waktu atau 3 waktu. Ia memperlihatkan kemalasan padahal Allah Ta’ala telah menyatakan kepada orang beriman untuk menjaga shalat lima waktu.
Allah Ta’ala berfirman: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ ‘Haafizhuu ‘alash shalawaati wash shalaatil wustha’ – “Jagalah shalat-shalat kalian dan khususnya shalat yang berada di pertengahan. Dan berdirilah di hadapan Allah dengan patuh.” (Surah Al-Baqarah, 239) Namun sebagian orang terkadang disebabkan pekerjaan atau bisnis meninggalkan shalat Zhuhur dan ashar. Kadang disebabkan acara TV atau acara pribadi lainnya menyia-nyiakan shalat magrib dan isya. Meninggalkan shalat subuh dengan alasan mengantuk.
Perlu bagi kita untuk meninjau diri sendiri, apakah kita tengah melaksanakan perintah Tuhan atau tidak? Setelah melaksanakan sahalat berjamaah pada acara tertentu Jemaat atau pada bulan Ramadhan beranggapan bahwa kami telah melaksanakan perintah Tuhan, sehingga setelah itu jika dapat atau tidak dapat melaksanakannya teratur sepanjang tahun, tidaklah mengapa. Namun dengarkanlah dan perhatikanlah, apa yang difirmankan oleh Allah dan RasulNya berkenaan dengan keutamaan shalat. Allah Ta’ala berfirman: إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ () ‘Innamaa ya’muru masaajidallaahi man aamana billaahi wal yaumil aakhiri..’ Terjemahan ayat ini sebagai berikut: “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari akhir…” (Surah At-Taubah: 18)
Hadhrat Rasulullah bersabda: إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسْجِدَ فَاشْهَدُوا لَهُ بِالإِيمَانِ . قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : (إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ) ‘idzaa raaitumur rajula ya’taadul masjida fasyhaduu lahu bil iimaan.’ – “Ketika kalian melihat seseorang biasa pergi-pulang untuk melaksanakan shalat di masjid, berikanlah kesaksian terhadap keimanan orang tersebut karena Allah Ta’ala telah berfirman, ‘Yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah mereka yang beriman kepada Allah dan akhirat’.[3]
Pada lahiriahnya kita semua menyatakan telah beriman kepada Allah, namun menurut pandangan Allah dan Rasul-Nya, seorang beriman adalah mereka yang memakmurkan rumah Allah, untuk itu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dalam hal ini menjadi jelas bahwa tidak cukup dengan hanya datang ke masjid saja bahkan suatu keharusan datang ke masjid disertai keyakinan terhadap Allah Ta’ala dan hari akhirat. Siapa yang melakukan demikian maka akan memiliki rasa takut kepada Allah. Setelah datang di masjid dia tidak akan menciptakan kekisruhan, mereka tidak akan tergolong kepada jamaah shalat yang shalatnya menjadi penyebab turunnya laknat baginya. Bukannya meraih keridhaanNya, jamaah shalat seperti itu akan menarik murka Ilahi. Namun, mereka yang memperhatikan akhirat dan memiliki rasa takut kepada Allah, merekalah yang memiliki ketakwaan sejati. Hati mereka lembut dan dipenuhi kecintaan, kasih sayang dan persaudaraan. Di dalam diri mereka terdapat kerendahan hati, teguh dalam kebenaran dan menablighkan ajaran Islam yang damai. Masjid-Mesjid mereka bukanlah tempat yang mengerikan dan bukan biang kekisruhan. Karena itu, Allah ta’ala berfirman, لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ () “Berdirilah untuk shalat hanya di Masjid yang berpondasikan takwa, bukan masjid yang dibangun untuk menciptakan kekacauan…” (Surah at-Taubah, 9:108)
Siapa yang memakmurkan masjid sembari teguh diatas ketakwaan, mereka juga akan memenuhi kewajiban huquuqullah dan huquuqul ‘ibaad. Di dalam memberikan kabar suka terhadap orang seperti itu Rasulullah (saw) bersabda: إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ : انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ “Sesungguhnya amal perbuatan seorang hamba yang pertama kali akan dihisab (dimintai pertanggungjawaban, penilaian) pada hari kiamat adalah shalatnya.” Maksudnya, Allah akan memerintahkan malaikat untuk melihat shalat hambaNya, apakah ia shalat ataukah tidak? “Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala mengatakan, ’Lihatlah apaka hamba-Ku tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan-amalannya yang lain akan dihisab dan dipertimbangkan seperti itu.”[4]
Dalam hal ini Allah Ta’ala menyebut “Hamba-Ku” karena mereka berusaha sendiri untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dan berusaha untuk memenuhi hak beribadah kepada-Nya. Meskipun demikian, disebabkan tuntutan manusiawi sehingga pasti ada kelemahan sehingga terkadang lupa dan terkadang timbul keadaan dimana untuk memaafkannya dan untuk memberikan timbangan berat atas kebaikan hambaNya, Allah Ta’ala memperlakukan hambaNya dengan penuh kasih sayang dan ampunan dengan menghitung ibadah nafal sebagai ibadah wajib. Sekarang perhatikan, orang yang melaksanakan ibadah nafal adalah mereka yang dengan penuh ketulusan memiliki rasa takut pada Allah Ta’ala. Ibadah nafal bukanlah ibadah yang dilakukan di luar (di tengah keramaian) melainkan dilakukan dalam kesendirian dan tersembunyi. Kebaikan ini dilakukan oleh orang yang takut kepada Allah Ta’ala dan merekalah yang disebut hambaku oleh Allah ta’ala.
Dari hamba-hamba tersebut dapat saja timbul kekeliruan, namun kekeliruan itu tidak berlangsung terus-menerus. Mereka berusaha untuk memperbaiki kekeliruan itu. Demikianlah perlakuan kasih sayang Allah Ta’ala. Di satu sisi diberitahukan shalat bukanlah sesuatu yang sepele dan shalat seseorang akan dinilai paling awal sehingga berikanlah perhatian untuk melakukannya. Seiring dengan itu dikatakan juga, “Jika sembari melangkah diatas jalan takwa dan berusaha untuk memenuhi hak ibadah kepada-Ku, maka ibadah nafal yang kalian lakukan, ganjarannya akan terhitung sebagai ibadah wajib dan Aku akan tutupi kamu dengan cadar ampunan.”
Jadi, dimana terdapat kabar suka tersebut dan diberikan harapan untuk pengampunan, di sana untuk menarik karunia Allah ta’ala telah ditekankan pelaksanaan ibadah-ibadah nafal. Alhasil, orang beriman adalah mereka yang memiliki rasa takut kepada Allah ta’ala dan demi menarik karunia-Nya, di satu sisi dia menaruh perhatian terhadap ibadah fardhu dan di sisi lainnya juga terhadap ibadah nafal yang dengannya kekurangan yang terdapat dalam ibadah fardhu dapat terpenuhi. Jadi, merekalah orang-orang yang memiliki rasa takut sejati terhadap Allah, melangkah diatas jalan takwa dan berkat ketakwaan itulah ia menaruh perhatian untuk melakukan kebaikan-kebaikan lainnya.
Hati mereka lembut kepada satu sama lain. Bukannya saling menuntut balas, perhatian mereka tertuju untuk memaafkan satu sama lain. Untuk meraih kasih sayang Ilahi mereka memperlakukan satu sama lain dengan kasih sayang. Di dalam hati mereka timbul kerendahan hati. Timbul ruh pengurbanan demi satu sama lainnya. Untuk itu setiap kita perlu untuk menganalisa diri, apakah hal hal tersebut ada dalam diri kita yakni seorang hamba yang hakiki selalu berusaha untuk menyerap berbagai jenis kebaikan.
Jika dalam diri seseorang tidak terdapat gejolak rasa cinta untuk saudaranya, berarti tidak terdapat ketakwaan hakiki dalam dirinya. Siapa yang tidak ada kelembutan hati dalam dirinya, hendaknya mengkhawatirkan keadaan seperti itu. Siapa yang di rumahnya, istri dan anak-anaknya merasa tidak nyaman, berarti orang seperti itu kosong dari ketakwaan. Begitu juga para istri yang tidak memenuhi tanggungjawab terhadap suami dan anak-anaknya malah menuntut hal-hal yang tidak jaiz, berarti hatinya kosong dari ketakwaan. Jadi, dalam hubungan sesama, barangsiapa yang memperlakukan dengan kecintaan dan kelembutan demi Allah Ta’ala, merekalah yang teguh diatas ketakwaan sejati.
Hadhrat Rasulullah (saw) (عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم) bersabda, إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ لِجَلاَلِي الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّي “Pada hari kiamat Allah ta’ala akan berfirman: ‘Dimanakah mereka yang saling mencintai satu sama lain demi untuk kemuliaan dan keluhuranKu? Pada hari ini tidak ada naungan lain selain dari naunganKu pada hari kiamat, Aku akan memberikan tempat pada mereka dalam naungan rahmatKu.’”[5]
Siapa saja yang melaksanakan perintahNya demi Allah ta’ala, memiliki gejolak kecintaan terhadap satu sama lain, merekalah yang akan menarik kasih sayang Allah Ta’ala.
Dalam kata lain, barangsiapa yang tidak melakukan demikian, maka mereka dapat menjadi sasaran murka Ilahi. Untuk itu setiap kita perlu untuk menciptakan ruh tersebut dalam diri kita. Kita menyuarakan motto Love for all hatred for none”, perlu bagi kita untuk pertama tama menzahirkan motto tersebut dalam keluarga dan lingkungan kita supaya kita menjadi orang yang menyampaikan pesan tersebut kepada duni dalam corak yang hakiki dan ini merupakan amalan yang dengan sedikit usaha saja, tanpa memerlukan satu mujahadah, kita dapat meraih tempat dibawah naungan rahmat Ilahi.
Nasihat yang Rasulullah (saw) sampaikan dalam berbagai kesempatan untuk menegakkan kedamaian dan meningkatkan kasih sayang, kecintaan dan persaudaraan yang mengenai itu beliau (saw) pernah bersabda: الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ ‘Al-Muslimu akhul Muslimi laa yazhlimuhu wa laa yuslimuhu.’ – “Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya, ia tidak berbuat aniaya kepadanya dan tidak juga meninggalkannya sendiri. وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ wa man kaana fi hajati akhihi kanaLlahu fi hajatihi Siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah Ta’ala memenuhi kebutuhannya. وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ‘wa man farraja ‘an Muslimin kurbatan farrajaLlahu ‘anhu kurbatan min kurubaati yaumil qiyaamah.’ – “Siapa yang menjauhkan keresahan dan kesusahan seorang Muslim maka Allah akan menjauhkan kegelisahan dan kesusahan darinya pada hari Qiamat.
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ‘Wa man satara Musliman satarahuLlaahu yaumal qiyaamah.’ – “Dan siapa yang menutupi aib (kesalahan atau kelemahan) seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari di dunia dan di akhirat.”[6]
Allah ta’ala memandang kita dengan pandangan kasih sayang dan rahmat-Nya kepada kita dalam berbagai cara dan memberikan sarana pengampunan kepada kita. Manusialah yang memancing murka Ilahi disebabkan ketidaklayakannya, egoisme dan sifatnya yang keras kepala. Jadi, hal ini sangat mengkhawatirkan dan harus menjadi bahan pemikiran.
Pada hari-hari jalsah ini, dimana gejolak dan fikiran ita tengah condong pada kebaikan, kita datang di kesini disertai pemikiran bahwa kita akan menghadiri jalsah, mendengarkan perkara perkara kebaikan, untuk itu kita hendaknya menganalisa diri, seiring dengan huququllah, berikan juga perhatian pada pemenuhan huququl ibad. Berusahalah untuk mengenali hakikat kelembutan hati, mencintai sesama dan kerendah-hatian. Ini Menjadi satu keperluan bagi kita karena kita telah mengikat janji baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as). Janji itu diantaranya akan menjauhi syirik, akan melaksanakn shalat wajib dan ibadah ibadah nafal.
Kita juga telah berjanji bahwa kita tidak akan menimpakan kesusahan apapun kepada makhluk Allah pada umumnya, khususnya umat Muslim disebabkan oleh gejolak hawa nafsu kita. Tidak hanya untuk sesama Muslim atau sesama anggota Jemaat saja, mulailah dari rumah kita, harus terjalin satu sama lain dalam rumah tangga lalu kepada umat Muslim. Selanjutnya bagi makhluk pada umumnya juga. Dalam hati kita harus terpancar gejolak rasa cinta bagi setiap orang. Kita harus bersih dari gejolak hawa nafsu, kita harus memperlakukan bawahan dengan baik, sehingga jika bawahan kita dapat mengukur kepribadian kita, jika ingin. Mereka ingin melihat yakni apakah standar perilakunya sesuai dengan apa yang dikatakan atau tidak. Jika memang standarnya sesuai dengan apa yang mereka saksikan, baru kita dapat menyatakan bahwa kita adalah mukmin hakiki dan melaksanakan hak baiat.
Syarat baiat lainnya yang kita ikrarkan adalah akan meninggalkan takabbur sepenuhnya dan menempuh kehidupan dengan kerendahan hati dan kelembutan. Hadhrat Masih Mau’ud (as) tidak hanya menjelaskan perihal menciptakan kerendahan hati dan kelembutan sebagai salah satu tujuan diselenggarakan Jalsah. Bahkan, diantara janji baiat yang kita ikrarkan kepada beliau salah satunya adalah akan mengarungi kehidupan dengan kerendahan hati dan kelembutan. Walhasil, merupakan kewajiban kita untuk memenuh janji tersebut dan ini merupakan langkah awal untuk menuju pada kebenaran yakni memenuhi janji baiat yang telah kita ikrarkan.
Kita harus selalu membaca janji baiat dan perhatikanlah, apakah kita benar-benar teguh diatasnya dan apakah kita berusaha untuk hidup selaras dengan itu? Jika tidak demikian, pengakuan bahwa kita akan memperbaiki dunia berarti keliru. Maka dari itu, sebelumnya kita harus berusaha untuk memperbaiki diri. Jika tidak, kita akan termasuk golongan orang-orang yang perkataannya tidak sesuai dengan amal perbuatannya dan Allah ta’ala tidak menyukai orang-orang seperti itu. Bukannya memberikan pembenaran akan kejujuran kita, justru amal perbuatan kita malah mendustakannya.
Jika ucapan dan amal perbuatan kita bertentangan, pengakuan untuk mengkhidmati agama dan pernyataan upaya-upaya untuk itu akan terbukti keliru. Tidak diragukan lagi, Hadhrat Masih Mau’ud (as) adalah benar dan pendakwaan beliau benar. Memang Allah Ta’ala menjanjikan kesuksesan kepada beliau. Memang Allah Ta’ala berjanji kepada beliau untuk memberikan Jemaat orang-orang mukhlis. Akan tetapi, jika keadaan kita demikian, maka kita tidak akan termasuk golongan penolong Jemaat beliau (as). Jadi untuk meraih keberkatan baiat, perlu mengevaluasi diri. Tujuan jalsah yang telah beliau (as) jelaskan, perlu untuk direnungkan. Sungguh beruntung kita mendapatkan taufik untuk merenungkan dalam tiga hari jalsah ini. Pada hari-hari jalsah ini kita perlu untuk menginterospeksi diri. Bukan melewatkan waktu dengan mengobrol kesana-kemari, kita harus menaruh perhatian pada doa, istighfar dan shalawat. Dengan begitu kita baru akan meraih manfaat hakiki.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Segenap Jemaat saya dimana pun mereka berada hendaknya menyimak hal ini dengan seksama yaitu siapa saja yang masuk Jemaat ini dan menjalin hubungan kesetiaan dan ketaatan dengan saya, hal ini bertujuan supaya mereka dapat sampai pada derajat tinggi kebaikan, kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada kerusakan, kejahatan, dan keburukan dapat mendekati mereka.”
Inilah standar ketakwaan. Tidak ada jenis keburukan apapun di dalam diri mereka.
Beliau (as) bersabda: “Mereka disiplin dalam mendirikan shalat lima waktu berjamaah, tidak berkata berkata dusta, tidak menyakiti siapapun dengan lisannya, tidak melakukan kejahatan apapun, tidak terbetik sedikitpun dibenaknya untuk melakukan kejahatan, ketidak adilan, kefasadan dan kekisruhan. Walhasil, jauhilah segala jenis maksiyat, dosa, ketidak selarasan antara perbuatan dengan amalan dan segenap gejolak hawa nafsu dan perbuatan yang tidak jaiz. Jauhilah segala jenis keburukan dan gejolak hawa nafsu, jadilah hamba Allah ta’ala yang berhati suci, rendah hati dan tidak ada keburukan, jadilah orang yang hatinya suci, tidak ada keburukan, rendah hati dan tidak ada fitrat buruk dalam wujudnya.
Hendaknya rasa simpati terhadap segenap manusia menjadi prinsip hidupnya. Takutlah kepada Allah Ta’ala, selamatkanlah lidah, tangan dan pemikiran dari segala jenis kekotoran, perbuatan fasad dan pengkhianatan. Tegakkanlah shalat lima waktu dengan sangat dawam dan tinggalkanlah perbuatan zalim, aniaya, merampas, memakan suap, merampas hak orang lain dan keberpihakan. Merampas hak orang lain adalah keliru, bersikap berat sebelah adalah keliru yang dapat merugikan orang lain, tingalkanlah semua itu. Janganlah bergaul dengan orang-orang buruk.”
Para pemuda hendaknya ingat begitu juga para orang tua supaya memperhatikan jangan sampai anak kita bergaul dalam lingkungan yang buruk karena akan membuatnya menjadi seperti mereka.
“Jika di kemudian terbukti, karena terkadang tidak dapat diketahui bagaimana pergaulannya, yakni jika terbukti bahwa orang yang biasa bergaul dengannya, bukan orang yang taat dalam menjalankan perintah Tuhan, tidak memperdulikan huququl ibad, kejam, jahat dan berperangai buruk, maka lazim bagimu untuk menjauhkan keburukan tersebut dari kalian, tinggalkanlah pergaulan dengan orang itu.
Setiap Ahmadi harus bergaul dalam lingkungan dan pertemanan yang baik.
“Jauhilah orang yang membahayakan dan janganlah berkeinginan untuk menimpakan kerugian kepada pengikut suatu agama atau bangsa atau grup manapun. Jadilah pemberi nasihat yang baik bagi setiap orang.”
Jika ingin memberikan nasihat, maka jadilah penasihat sejati yang memberikan nasihat layaknya penasihat yang baik. Yakni ucapan dan perbuatan kalian harus sedemikian rupa sehingga nasihat yang disampaikan dapat berpengaru baik dan tidak ada sikap berat sebelah.
“Hendaknya sekali kali jangan sampai orang-orang jahat, buruk, pengacau dan berperangai buruk berada dalam perkumpulan kalian dan jangan sampai orang seperti itu tinggal dalam rumah kalian sehingga suatu hari dapat menyebabkan kalian tergelincir.
Beliau (as) bersabda: “Menjadi tugas bagi setiap orang di dalam Jemaat saya untuk mengamalkan segenap wasiyat ini dan hendaknya dalam perkumpulan perkumpulan kalian tidak ada kekotoran, sibuk mengolok-olok dan mencemooh, melangkahlah di bumi ini dengan kebaikan hati, kesucian fitrat dan pemikiran bersih, janganlah menyerang siapapun dengan cara-cara yang tidak jaiz, redamlah gejolak nafsu, jika ada perbincangan masalah agama, berbincanglah dengan menggunakan kata-kata yang lembut dan cara-cara beradab. Jika ada yang bersikap bodoh, ucapkan salam lalu tinggalkan perkumpulan seperti itu. Allah ta’ala menghendaki untuk menjadikan kalian sebagai sebuah Jemaat yang dapat menjadi teladan dalam hal kebaikan dan ketakwaan bagi segenap dunia. Berhati hatilah dan jadilah orang yang pada kenyataannya baik hati, rendah hati dan shaleh. Kalian akan dikenali dengan shalat lima waktu dan keadaan akhlak luhur kalian.”
Apa yang menjadi tanda pengenal kalian? Itu ialah kalian melaksanakan shalat lima waktu dengan dawam dan akhlak kalian sangat luhur. Jika semua ini terlahir dalam diri kalian, maka ketahuilah bahwa kamu telah memenuhi hak baiat.
“Siapa yang di dalam dirinya terdapat benih keburukan, ia tidak akan teguh dalam nasihat ini.”
Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita semua untuk dapat memenuhi hak baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as), semoga kita dapat memenuhi segala nasihat dan harapan beliau dan semoga kita dapat meraih manfaat sebanyak banyaknya Dari jalsah ini sehingga menjadi orang-orang yang menata keadaan ruhani, akhlaki dan keilmuan kita dan semoga kebaikan kebaikan tersebut senantiasa teguh dalam diri kita.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah : Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK) dan Mln. Hashim; Editor: Dildaar Ahmad Dartono.
[1] Trie-la-Ville adalah salah satu desa kecil di utara Prancis. Tempat ini kemudian ditunjuk sebagai salah satu komune dalam département di Oise. Commune merupakan tingkat terendah dari pembagian administratif di Republik Prancis. Kata commune dalam bahasa Prancis muncul pada abad ke-12, dari Bahasa Latin Pertengahan, communia, berarti sekumpulan kecil orang yang berbagi kehidupan sehari-hari, dari Bahasa Latin communis, sesuatu yang dikerjakan bersama. Komune Prancis secara kasar sama dengan kotamadya/kota di Amerika Serikat atau Gemeinden di Jerman. Komune Prancis tidak memiliki kesamaan di Britania Raya, memiliki status di suatu tempat antara distrik dan paroki sipil Inggris. Sebuah komune Prancis dapat berupa kota berpenduduk 2 juta jiwa seperti Paris, kota kecil dengan 10.000 jiwa, atau hanya desa berpenduduk 10 jiwa.
[2] Filsafat Ajaran Islam (Islami Ushul ki Filasafi, Ruhani Khazain, jilid 10, h. 414.
[3] Jaami at-Tirmidzi (جامع الترمذي), (كتاب تفسير القرآن عن رسول الله صلى الله عليه وسلم):عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ”
[4] Sunan Abi Daud no. 864, riwayat Harits bin Qubaishah
[5] Muwatta (موطأ مالك), Kitab tentang rambut (كتاب الشعر).
[6] Sunan Abi Daud, Kitab tentang Adab (كتاب الأدب), bab persaudaraan (باب الْمُؤَاخَاةِ); Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), (كتاب المظالم), (باب لاَ يَظْلِمُ الْمُسْلِمُ الْمُسْلِمَ وَلاَ يُسْلِمُهُ):عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ سَالِمًا، أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ـ رضى الله عنهما ـ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ