ALLAH TIDAK AKAN menciptakan Tuhan lain mirip wujud-Nya karena sifat Ke-Esaan dan sifat Tidak Ada Yang Menyamai-Nya yang bersifat kekal mencegah-Nya melakukan hal demikian. Namun Dia ada menciptakan contoh dari sifat Tanpa Tandingan itu dengan menciptakan salah seorang mahluk-Nya sebagai refleksi dari sifat-sifat-Nya yang dalam realitas hanya menjadi milik-Nya semata. Ada sebuah indikasi mengenai hal ini di Al-Quran dalam ayat:
تِلكَ الرُّسُلُ فَضَّلنا بَعضَهُم عَلىٰ بَعضٍ ۘ مِنهُم مَن كَلَّمَ اللَّهُ ۖ وَرَفَعَ بَعضَهُم دَرَجاتٍ ۚ
‘Inilah Rasul-rasul yang telah Kami lebihkan setengahnya dari yang lain, di antara mereka ada yang Allah swt bercakap-cakap dengan mereka dan setengahnya Dia hanya tinggikan derajatnya … (QS.2 Al-Baqarah: 254).
“Disini yang dimaksud dengan yang dilebihkan derajatnya adalah Yang Mulia Rasulullah saw kepada siapa telah dikaruniakan derajat tertinggi yang merupakan refleksi dari sifat-sifat Ilahi dan beliau menjadi cermin yang memantulkan Allah swt Dengan cara demikian telah dimanifestasikan secara sempurna kekhalifahan Ilahi untuk mana tidak saja telah diciptakan umat manusia tetapi juga keseluruhan alam. Hal ini merupakan masalah yang pelik dan para lawan kita yang tidak memahami masalah ini serta tidak mengenal rahasia-rahasia Tuhan, biasanya lalu bertanya-tanya bagaimana mungkin dari sekian juta manusia hanya satu saja yang dapat mencapai derajat khalifah Ilahi yang paling sempurna yang merupakan refleksi daripada Ketuhanan itu sendiri.”
“Bukanlah disini tempatnya untuk membahas secara rinci masalah ini, namun perlu dijelaskan agar menjadi terang bagi para pencari kebenaran, bahwa semua itu merupakan kaidah Ilahi yang sejalan dengan sifat Ketauhidan-Nya karena sifat Tunggal-Nya dalam penciptaan maka Dia juga memperhatikan ketunggalan. Jika kita renungi apa yang telah diciptakan-Nya secara mendalam, kita akan melihat bahwa keseluruhan ciptaan itu teratur sedemikian rupa sehingga merupakan sebuah garis lurus dimana ujung yang satu mencuat naik ke atas sedangkan ujung lainnya terbenam ke bawah. Pada ujung tertinggi adalah seorang manusia yang dalam kapasitas kemanusiaannya berada di atas seluruh umat manusia, sedangkan pada ujung yang paling rendah adalah para jiwa yang memiliki kapasitas yang demikian defektif sehingga mendekati derajat hewan yang tidak berperasaan.”
“Kalau kita meninjau alam material secara keseluruhan, kita akan melihat juga fenomena ini. Allah swt telah menyempurnakan ciptaan-Nya dengan memulai dari zarah paling kecil sampai kepada benda langit yang terbesar yaitu matahari. Dalam sistem material ini tidak diragukan bahwa Allah swt telah menciptakan matahari sebagai suatu benda yang akbar, berberkat dan bermanfaat dimana tidak ada benda lain yang menyamainya di tingkat paling tinggi. Dengan memperhatikan derajat yang tertinggi dan terendah dari sistem demikian yang secara kasat mata bisa diperhatikan, kita bisa memahami bahwa sistem kerohanian pun yang berasal dari Wujud-Nya, ternyata disusun dalam cara yang sama. Sistem kerohanian ini pun memiliki titik tertinggi dan terendahnya. Kinerja Allah swt dengan demikian selalu sama dan seimbang. Dia itu Maha Tunggal dan dalam manifestasi kinerja-Nya, Dia pun menyukai ketunggalan. Tidak ada tempat bagi kerancuan dan perpecahan. Betapa indah dan pantasnya Dia dalam metoda-Nya sehingga semua hasil kinerja-Nya mengikuti suatu sistem yang baku dan dipadankan satu dengan yang lain.”
“Dengan menemukan bukti di segenap penjuru dan setelah kami telaah sendiri, kami mengakui kadiah-Nya bahwa semua hasil kinerja-Nya, baik secara kerohanian maupun material, tidak baur dan rancu melainkan mengikuti suatu sistem yang bijak dan merupakan bagian dari suatu pengaturan yang dimulai dari titik terendah bergerak ke arah yang tertinggi, dimana metoda seragam ini disukai oleh Wujud-Nya. Dengan mengakui hal ini maka kami harus mengakui bahwa sebagaimana dalam sistem material yang dimulai dari sebutir zarah atau partikel, Tuhan telah membawa ciptaan-Nya sampai kepada bentuk yang akbar yaitu matahari yang mengandung kesempurnaan yang kasat mata, begitu juga kiranya dalam hal yang berkaitan dengan matahari kerohanian yang terletak di titik tertinggi dari garis lurus kerohanian.”
“Sekarang untuk meneliti siapakah manusia sempurna yang diandaikan sebagai matahari kerohanian tersebut, bukanlah suatu hal yang bisa dipecahkan semata-mata hanya berdasar logika saja. Dengan mengecualikan Allah swt yang memiliki kelebihan kemampuan dalam menyeimbangkan dan mengatur bermilyar-milyar mahluk-Nya serta membanding-bandingkan kemampuan spiritual dan sifatnya masing-masing untuk menetapkan siapa yang paling akbar dari antara sekalian mahluk tersebut, bagi manusia mustahil melakukannya berdasar penalaran belaka.”
“Untuk penelitian seperti itu, sarana yang paling tepat adalah Kitab-kitab yang diwahyukan dimana Allah swt beribu tahun sebelumnya telah menetapkan spesifikasi dari manusia sempurna tersebut. Seseorang yang hatinya dibimbing Allah swt dan yang meyakini wahyu dan merenungi nubuatan yang terdapat dalam Kitab Injil, tentunya akan mengakui bahwa yang dimaksud sebagai manusia sempurna yang menjadi matahari kerohanian, yang memenuhi persyaratan paling utama dan menjadi batu bata terakhir pada dinding kenabian adalah Yang Mulia Muhammad saw. Keluhuran derajat dari personifikasi kebaikan yang berada di titik tertinggi dari garis kerohanian yaitu Yang Mulia Nabi Muhammad saw ditetapkan melalui takdir Ilahi dan hal ini diperlihatkan secara nyata dalam manifestasinya. Sebagaimana yang dikemukakan Tuhan menyangkut derajat tinggi dari Nabi akbar ini bahwa:
تِلكَ الرُّسُلُ فَضَّلنا بَعضَهُم عَلىٰ بَعضٍ ۘ
‘Inilah Rasul-rasul yang telah Kami lebihkan setengahnya dari yang lain’ (QS.2 Al-Baqarah: 254).
“Melalui pujian demikian dimaksudkan bahwa titik tertinggi dari garis kerohanian dikaruniakan kepada Yang Mulia Nabi Suci Muhammad saw baik secara terbuka mau pun tersembunyi. Wujud lemah lembut yang menjadi personifikasi dari sifat kebaikan ini adalah lebih luhur dan lebih sempurna dibanding ketiga jenis orang-orang yang menjadi kekasih Allah swt dan disebut sebagai manifestasi sempurna dari sifat Ketuhanan.”
“Tiga bentuk kedekatan Ilahi digambarkan melalui tiga kemiripan yang jika kita telaah akan menjelaskan realitas tiga derajat kedekatan tersebut. Bentuk pertama dari kedekatan Ilahi digambarkan sebagai kemiripan hubungan di antara hamba dengan majikannya seperti firman Tuhan bahwa:
وَالَّذينَ آمَنوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ
‘Orang-orang yang beriman lebih kuat kecintaan mereka kepada Allah’ (QS.2 Al-Baqarah:166).
“Berarti bahwa mereka yang beriman, atau dengan kata lain hamba yang setia, mencintai Allah swt di atas segala-galanya. Sebagai hamba yang tulus dan setia dengan menyaksikan karunia dan berkat yang berkesinambungan serta mengenal sifat-sifat majikannya, perasaan kasih dan ketulusannya akan meningkat sedemikian rupa sehingga ia meniru segala sifat baik dan mengikuti jalan majikannya. Karena kasihnya di dalam hati, ia semata-mata hanya ingin memenuhi semua yang menjadi keinginan majikannya, begitu jugalah sikap dari seorang hamba yang setia kepada Allah Yang Maha Kuasa. Hamba tersebut yang melalui perkembangan sifat ketulusan dan kesetiaannya akan sampai kepada suatu tahapan dimana dirinya sendiri menjadi fana dan ia memperoleh warna dari Majikan-Nya tersebut.”
“Bentuk kedua dari kedekatan kepada Tuhan adalah mirip dengan hubungan di antara bapak dan anak sebagaimana firman Allah swt :
اذكُرُوا اللَّهَ كَذِكرِكُم آباءَكُم أَو أَشَدَّ ذِكرًا ۗ
‘Berzikirlah kepada Allah sebagaimana kamu biasa menyanjung bapak-bapak kamu dahulu atau berzikirlah lebih banyak lagi’ (QS.2 Al- Baqarah:201).
“Ayat ini mengandung arti bahwa kita harus mengingat Allah Yang Maha Agung dengan kekhusukan kasih sebagaimana kita mengingat bapak-bapak kita. Perlu diperhatikan bahwa seorang majikan akan mulai menyerupai seorang bapak ketika kecintaan kepadanya menjadi demikian mendalam dan kecintaan itu sendiri kalis dari kepentingan diri sendiri. Pada saat demikian kecenderungan kasih dan rasa pertautan dengan yang dikasihi telah menjadi suatu yang alamiah dan memang sewajarnya bagi fitrat seseorang serta telah menjadi suatu kesatuan yang tidak lagi memerlukan suatu upaya secara sengaja. Sebagaimana seorang putra yang merasa ada hubungan kerohanian dengan bapaknya, begitu jugalah seorang muminin menganggap hubungannya dengan Tuhan. Sebagaimana seorang putra menunjukkan sifat-sifat bapaknya dan menyerupainya dalam perilaku dan kebiasaan, begitu pula seorang muminin.”
“Bentuk kedekatan yang ketiga adalah mirip dengan refleksi diri yang bersangkutan. Ketika seseorang melihat refleksi dirinya dalam sebuah cermin yang besar dan jernih, ia akan melihat refleksi dari keseluruhan diri dan sifat-sifatnya secara utuh. Begitu pula dalam kedekatan jenis yang ketiga ini, semua sifat-sifat Ilahi direfleksikan secara jelas dalam dirinya dan refleksi ini sifatnya lebih lengkap dan sempurna dibanding kemiripan-kemiripan tersebut di atas. Jelas kiranya bahwa seseorang yang melihat refleksi dirinya dalam sebuah cermin akan melihatnya persis sama dengan dirinya sendiri. Derajat kemiripan demikian tidak akan dapat diperoleh siapa pun melalui sarana apa pun, tidak juga bisa ditemukan dalam sosok seorang putra. Derajat kedekatan demikian hanya bisa dicapai seseorang yang berada seimbang di antara kedua ujung busur Ilahi dan pengkhidmatan atau perhambaan manusia. Ia sedemikian terikat kepada keduanya sehingga ia menjadi tali busur itu sendiri dan jika ia menarik diri dari keduanya maka ia menjadi sebuah cermin.”
“Cermin itu karena menghadap kepada dua arah, melalui refleksi memperoleh impresi Ilahi dari satu arah dan ke arah lainnya cermin itu akan melantunkan Nur dari semua berkat yang bisa diterima oleh umat manusia yang menyerapnya berdasar kemampuan kadar dirinya masing-masing. Hal ini diindikasikan dalam firman Tuhan bahwa:
﴾ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّىٰ ﴿٩﴾ فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ ﴿١٠
‘Kemudian ia mendekati Allah, lalu turun mendekati umat manusia. Maka jadilah ia seakan-akan seutas tali dua busur atau lebih dekat lagi’ (QS.53 An-Najm:9-10).
“Yang dimaksud adalah kondisi dimana beliau mi’raj ke atas hingga suatu titik terdekat kepada Allah swt sehingga antara diri beliau dengan Tuhan tidak lagi ada tabir yang menghalangi, untuk kemudian beliau turun kepada umat manusia sehingga juga tidak ada tabir di antara diri beliau dengan mereka. Karena kesempurnaan beliau dalam mi’raj dan dalam turunnya tersebut maka makam beliau itu seperti tali yang menghubungkan Ilahiah dan perhambaan manusia lebih dekat daripada yang bisa dibayangkan. Kedua garis busur itu jika digambarkan adalah sebagai berikut:
“Garis yang membagi sama sebuah lingkaran adalah tali di antara dua ujung busur. Garis ini menghubungkan Sang Maha Penyayang dan yang menerima anugerah dan garis ini mirip titik tengah lingkaran yang juga menjadi titik tengah tali busur tersebut. Titik inilah yang menjadi inti kalbu dari manusia sempurna yang terkait sama kepada ujung busur Ilahiah dan kepada ujung busur perhambaan manusia. Meskipun di tali yang menghubungkan kedua ujung busur itu memang ada titik-titik lain, kecuali khusus yang berkaitan dengan titik tengah tadi, titik-titik lainnya bisa menjadi posisi dari Nabi-nabi dan Rasul-rasul lainnya.”
“Titik tengah tersebut mencerminkan kesempurnaan fitrat luhur yang dimiliki penghulu dari tali busur itu yang tidak bisa dipadani oleh orang lain dalam pengertiannya yang murni, melainkan hanya bisa menjadi seseorang yang berbagi refleksi karena mengikuti dan kepatuhan kepada beliau. Nama dari titik tengah ini senyatanya adalah Hadhrat Muhammad saw yang menjadi sumber dari segala kebenaran di muka bumi ini.
Sesungguhnya garis dari tali busur tersebut telah mengembang dari titik tengah ini dimana spiritualitasnya merasuk ke seluruh tali busur, sehingga berkat suci telah dikaruniakan atas keseluruhan tali busur ini. Manifestasi pertama dan paling luhur sebagaimana dikemukakan para Sufi sebagai asma’ (nama-nama) Allah swt adalah titik tengah ini, yang dalam istilah para hamba Allah swt disebut sebagai maqãm dari Ahmad Mujtabã dan Muhammad saw Musthafã, sedangkan dalam istilah para filosof disebut sebagai logika primer[1]. Titik tengah ini memiliki hubungan yang sama dengan titik-titik lainnya di tali busur sebagaimana sifat Akbar dari Allah swt berkaitan dengan sifat-sifat Ilahi lainnya. Singkat kata, cermin yang merefleksikan manusia sempurna sebagai sumber dari segala kebenaran yang tersembunyi serta kunci bagi semua kepastian adalah juga menjadi logika primer dari semua misteri awal dan akhir serta ‘sangkan paran’ (logika yang mendasari) penciptaan titik tinggi dan titik rendah. Sulit untuk memvisualisasikannya karena semua berada di luar kemampuan nalar dan pemahaman. Sebagaimana semua kehidupan di alam menerima karunia dari sifat Kehidupan dari Allah Yang Maha Kuasa, dan semua mahluk menjadi eksis karena Wujud-Nya serta semua maksud adalah sebagai akibat dari Maksud-Nya, begitu jugalah dengan maqãm Yang Mulia Nabi Muhammad saw dengan karunia Allah swt, telah mempengaruhi semua tingkatan dan derajat tergantung dari fitrat dan kapasitas masing-masing. Karena titik maqam ini menggabung semua derajat Ilahi melalui refleksi serta semua derajat di dalam alam ini, maka begitu juga karena merupakan cerminan Ilahiah, makam tersebut mencerminkan derajat Ilahi sebagaimana sebuah refleksi di cermin mirip dengan aslinya yang merupakan sifat-sifat dasar Ilahi dimana fitrat kehidupan, pengetahuan, kemauan, kekuatan, pendengaran, penglihatan dan kemampuan berbicara tercermin di sana secara lengkap dan sempurna.”
“Titik tengah yang berada di antara Tuhan dengan ciptaan-Nya yang menjadi makam dari penghulu kita Muhammad saw tidak bisa dibatasi hanya kepada firman Allah swt saja sebagaimana julukan yang diberikan kepada Yesus as. Maqam Muhammadi menggabungkan dalam wujudnya refleksi dari semua derajat Ilahi. Karena itulah mengapa Yesus as. telah diserupakan sebagai putra karena adanya kekurangan pada sifat diri beliau mengingat sosok Yesus as tidak menjadi manifestasi dari sifat-sifat Ilahi dan hanya mencerminkan satu cabang dari berbagai cabang yang ada. Sebaliknya dengan realitas dari Muhammad saw yang menjadi manifestasi lengkap dan sempurna dari semua sifat Ilahi. Karena pertimbangan inilah maka Yang Mulia Rasulullah saw dalam Kitab-kitab samawi ditamsilkan sebagai refleksi daripada Tuhan yang Maha Agung yang mengatasi status seorang bapak terhadap anak. Kekurang sempurnaan ajaran Yesusa.s. dibanding kesempurnaan ajaran Al-Quran adalah juga karena masalah ini mengingat rahmat yang kurang sempurna akan dikaruniakan kepada sosok yang juga kurang sempurna, sedangkan rahmat yang sempurna hanya dikaruniakan kepada sosok yang sempurna pula.”
“Mengenai sifat kemiripan Yang Mulia Nabi Muhammad saw kepada Allah swt dikemukakan dalam Al-Quran pada ayat:
﴾ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّىٰ ﴿٩﴾ فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ ﴿١٠
‘Kemudian ia mendekati Allah lalu turun mendekati umat manusia. Maka jadilah ia seakan-akan seutas tali dua busur atau lebih dekat lagi’ (QS.53 An-Najm:9-10).
“Yang dimaksud dalam hal ini adalah dimana Nabi Suci saw karena kedekatan beliau kepada Allah swt adalah seperti seutas tali yang menghubungkan kedua ujung busur atau bahkan lebih dekat lagi. Jelas yang dimaksud bahwa titik tertinggi dari tali busur itu adalah ujung busur Ilahiah dimana ketika keseluruhan kalbu Muhammad saw yang karena demikian dekat dan jernih hubungan beliau telah miraj ke atas mendekati samudra Ilahiah dimana beliau tenggelam dalam samudra tidak bertepi itu sehingga seluruh partikel manusiawinya lebur dalam samudra tersebut. Kedekatan demikian bukanlah suatu hal yang baru melainkan merupakan suatu hal yang telah ditetapkan jauh sebelumnya dan patut disampaikan melalui Kitab-kitab samawi dan wahyu-wahyu yang dituliskan, sebagai manifestasi Ilahiah yang sempurna dan sebagai cermin yang merefleksikan Tuhan itu sendiri. Ayat lain dalam Al- Quran yang menggambarkan kedekatan tersebut adalah:
إِنَّ الَّذينَ يُبايِعونَكَ إِنَّما يُبايِعونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوقَ أَيديهِم ۚ
‘Sesungguhnya orang-orang yang baiat kepada engkau sebenarnya mereka baiat kepada Allah swt . Tangan Allah swt ada di atas tangan mereka’ (QS.48 Al-Fath:11).
“Orang-orang yang mengikrarkan baiat kepada Yang Mulia Rasulullah saw melakukannya dengan cara meletakkan tangan mereka di atas tangan beliau. Dalam ayat ini secara metafora Tuhan menyamakan Yang Mulia Rasulullah saw sebagai perwakilan Tuhan sendiri dan mengutarakan tangan beliau sebagai tangan-Nya.
Pernyataan ini digunakan berkaitan dengan Yang Mulia Rasulullah saw karena kedekatan beliau yang amat sangat kepada Tuhan. Hal ini juga di indikasikan dalam ayat:
وَما رَمَيتَ إِذ رَمَيتَ وَلٰكِنَّ اللَّهَ رَمىٰ ۚ
‘Bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah Yang melempar’ (QS.8 Al-Anfal:18).
Indikasi yang sama juga dikemukakan dalam ayat:
۞ قُل يا عِبادِيَ الَّذينَ أَسرَفوا عَلىٰ أَنفُسِهِم لا تَقنَطوا مِن رَحمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغفِرُ الذُّنوبَ جَميعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الغَفورُ الرَّحيمُ
‘Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang telah berdosa terhadap jiwa mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang”’ (QS.39 Az-Zumar:54).
“Yang jelas bahwa umat manusia bukanlah hamba-hamba dari Yang Mulia Rasulullah saw , bahkan semua Nabi dan yang bukan Nabi adalah hamba dari Allah swt, namun karena Yang Mulia Rasulullah saw adalah yang terdekat kepada Allah swt maka istilah ini digunakan dalam kasus beliau. Dengan cara yang sama Allah Yang Maha Agung telah memberikan gelar-gelar atas Yang Mulia Rasulullah saw yang sebenarnya merupakan sifat-sifat Ilahi. Yang Mulia diberi nama Muhammad saw yang berarti yang amat terpuji. Kenyataannya pujian akbar itu milik Allah Yang Maha Kuasa, tetapi dikaruniakan kepada Yang Mulia Rasulullah saw sebagai cerminan. Dengan cara yang sama Nabi Suci saw dalam Al-Quran telah diberi gelar Nur yang mencerahkan seluruh dunia, Rahmat yang memelihara alam dari kerusakan, serta Pengasih dan Penyayang yang merupakan nama-nama dari Allah swt Di banyak tempat dalam Al-Quran ada di indikasikan atau dinyatakan secara jelas bahwa Yang Mulia Rasulullah saw adalah manifestasi sempurna daripada sifat-sifat Ilahi dan ucapan beliau adalah firman Tuhan, sedangkan kedatangan beliau sebagai kedatangan Tuhan.”
“Dalam konteks ini salah satu ayat Al-Quran berbunyi:
وَقُل جاءَ الحَقُّ وَزَهَقَ الباطِلُ ۚ إِنَّ الباطِلَ كانَ زَهوقًا
‘Katakanlah: “Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sesungguhnya kebatilan itu pasti akan lenyap”’ (QS.17 Bani Israil:82).
“Dalam ayat ini yang dimaksud dengan Kebenaran adalah Allah Yang Maha Agung, Kitab Suci Al-Quran dan Yang Mulia Rasulullah saw, sedangkan yang dimaksud dengan kebatilan adalah Syaitan, kelompok pengikut syaitan dan ajaran-ajaran syaitan. Dalam hal ini Allah Yang Maha Kuasa telah menyertakan Yang Mulia Rasulullah saw beserta Nama-Nya sendiri dan kedatangan Yang Mulia Rasulullah saw dianggap sebagai kedatangan Allah swt dimana dengan kedatangan agung demikian maka Syaitan dengan segala lasykarnya telah dikalahkan dan ajarannya direndahkan.
Karena kemiripan yang sempurna demikian maka Al-Quran mengungkapkan dalam surah Ali Imran bahwa Tuhan telah mengambil perjanjian dari semua Nabi-nabi terdahulu bahwa wajib bagi mereka untuk mengimani kebesaran dan keagungan Yang Mulia Rasulullah saw dan memberitahukannya kepada umat mereka. Atas dasar pertimbangan inilah maka sejak Nabi Adam as sampai dengan Nabi Isa as semua Nabi-nabi dan Rasul-rasul mengakui kebesaran dan keagungan Yang Mulia Rasulullah saw. Nabi Musa as menyatakan bahwa Tuhan datang dari gunung Sinai, bangkit dari Seir dan bersinar dari gunung Paran [2], mengindikasikan secara jelas bahwa manifestasi dari Keagungan Ilahi mencapai kulminasinya di Paran dan bahwa matahari kebenaran bersinar penuh dengan segala keagungannya di gunung Paran. Kitab Taurat mengungkapkan bahwa yang dimaksud Paran adalah daerah pegunungan Mekkah dimana Ismaila.s. yang menjadi nenek moyang Yang Mulia Rasulullah saw bertempat tinggal [3]. Hal ini dikonfirmasikan oleh peta geografis. Bahkan para lawan kita juga mengakui bahwa tidak ada Nabi lain yang telah dibangkitkan di Mekkah kecuali Yang Mulia Rasulullah saw Karena itu bayangkan betapa jelasnya Musa as bersaksi bahwa matahari kebenaran akan bersinar dari gunung Paran dengan memancarkan sinarnya yang teramat terang dan bahwa kemajuan Nur kebenaran akan mencapai puncaknya dalam wujud beliau yang berberkat itu.”
“Intisari dari keseluruhan ini adalah untuk menunjukkan bahwa derajat kedekatan kepada Allah swt itu ada tiga macam dan yang ketiga itu menggambarkan manifestasi sempurna dari sifat-sifat Ilahiah yang merupakan cermin yang merefleksikan Tuhan dan semua itu terkait kepada penghulu dan junjungan kita Yang Mulia Nabi Muhammad saw yang Nurnya telah mencerahkan beribu-ribu batin serta membersihkan tidak terbilang kalbu manusia dari kegelapan dan menuntun mereka kepada Nur yang abadi.”
“Seorang penyair mengemukakannya sebagai:
Muhammad dari Arab, Raja dua dunia,
dengan perbatasan yang dijaga Rohul Kudus.
Aku tak ‘kan menyebutnya Tuhan, namun
mengenali wujudnya adalah mengenal Tuhan.
“Alangkah beruntungnya manusia yang beriman kepada Yang Mulia Nabi Muhammad saw dan menerima beliau sebagai penghulu serta Kitab Al-Quran sebagai petunjuknya. Ya Allah, berkatilah penghulu dan junjungan kami Muhammad saw beserta segenap pengikutnya dan para sahabatnya. Segala puji hanya bagi Allah Yang telah menuntun hati kita kepada kekasih-Nya, kepada kasih terhadap Rasul-Nya dan kasih kepada hamba-hamba-Nya.
Ketika sinar rembulan mengerling hati kami,
Hati kami yang gelap merona jadi perak cemerlang.
Setiap saat rahmat menyatu Kekasih-ku selalu mengundang, Meski mereka yang menentang menghadang jalan.
Siang dan malam aku bersimpuh bagai debu di jalan Kekasih-ku, Tanda apa lagi yang mengisyaratkan kehormatan dan rezeki terhormat. (Surma Chasm Arya, Qadian, 1886; Rohani Khazain, vol. 2, hal. 232-301, London, 1984).
***
“KITAB SUCI AL-QURAN telah menjelaskan hal ini dalam alegori yang cantik berbunyi:
اللَّهُ نورُ السَّماواتِ وَالأَرضِ ۚ مَثَلُ نورِهِ كَمِشكاةٍ فيها مِصباحٌ ۖ المِصباحُ في زُجاجَةٍ ۖ الزُّجاجَةُ كَأَنَّها كَوكَبٌ دُرِّيٌّ يوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُبارَكَةٍ زَيتونَةٍ لا شَرقِيَّةٍ وَلا غَربِيَّةٍ يَكادُ زَيتُها يُضيءُ وَلَو لَم تَمسَسهُ نارٌ ۚ نورٌ عَلىٰ نورٍ ۗ يَهدِي اللَّهُ لِنورِهِ مَن يَشاءُ ۚ وَيَضرِبُ اللَّهُ الأَمثالَ لِلنّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيءٍ عَليمٌ
‘Allah adalah Nur seluruh langit dan bumi. Perumpamaan Nur-Nya adalah seperti sebuah relung yang di dalamnya ada suatu pelita. Pelita itu ada dalam suatu semprong kaca. Semprong kaca itu seperti bintang yang gemerlapan. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari sebatang pohon kayu yang diberkati ialah pohon zaitun yang bukan di timur dan bukan di barat, yang minyaknya hampir-hampir bercahaya walaupun api tidak menyentuhnya. Nur di atas Nur. Allah memberi bimbingan menuju Nur- Nya kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Dan Allah mengemukakan tamsil-tamsil untuk manusia dan Allah mengetahui segala sesuatu’ (QS.24 An-Nur:36).
“Dengan demikian berarti bahwa Allah swt itu adalah Nur dari langit dan bumi, dengan pengertian bahwa setiap Nur yang mewujud dalam keluhurannya maupun kedalamannya, baik dalam rohani atau pun jasmani, apakah milik pribadi atau hasil perolehan, baik yang tersembunyi maupun yang terbuka, apakah bersifat internal atau pun eksternal, semuanya merupakan karunia dari rahmat-Nya. Semua itu menjadi indikasi bahwa rahmat umum dari Tuhan seru sekalian alam mencakup keseluruhan dan tidak ada satu pun yang dikecualikan sebagai penerima berkat karunia-Nya. Dia adalah sumber segala berkat dan kuasa primer dari semua Nur dan sumber mata air dari segala rahmat. Wujud-Nya adalah penopang dari keseluruhan alam dan menjadi tempat berlindung bagi semua mahluk baik yang berderajat tinggi mau pun yang rendah. Dia telah membawa semuanya keluar dari kegelapan ketiadaan dan menganugerahkan kepadanya jubah eksistensi. Tidak ada lagi wujud lain yang eksis dengan sendirinya dan bersifat abadi, atau bukan penerima rahmat- Nya. Bumi, langit, manusia, hewan, batu-batuan, pepohonan, rohani dan jasmani, semuanya memperoleh eksistensi dari rahmat-Nya.”
“Yang dikemukakan dalam ayat tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa semua itu merupakan rahmat yang bersifat umum. Rahmat ini mencakup keseluruhan sebagaimana laiknya dalam suatu lingkaran. Untuk menjadi penerima dari rahmat ini tidak diperlukan persyaratan apa pun. Dibandingkan dengan sifat rahmat ini ada rahmat yang bersifat khusus yang memiliki persyaratan dan hanya dikaruniakan kepada pribadi-pribadi yang memang memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menerimanya. Yang dimaksud adalah manusia-manusia sempurna seperti para Nabi, dimana Nabi yang terbaik dan paling luhur adalah Yang Mulia Nabi Muhammad saw. Karena rahmat ini merupakan kebenaran yang hakiki maka Allah swt setelah mengemukakan tentang rahmat yang bersifat umum, lalu mengungkapkan tentang rahmat yang bersifat khusus dengan tujuan guna menegaskan Nur dari Nabi Suci dalam sebuah alegori agar lebih mudah dicerna. Nur tersebut diuraikan sebagai: ‘Perumpamaan Nur-Nya adalah seperti sebuah relung’ dimana yang dimaksud adalah relung dada Yang Mulia Rasulullah saw Dalam relung ini ada sebuah pelita yang berarti wahyu Ilahi. Pelita itu ada dalam sebuah semprong kaca yang jernih seperti bintang gemerlapan, yang berarti hati Yang Mulia Rasulullah saw yang suci dan bersih yang karena fitratnya bersih dari segala kekotoran dan kesuraman, seumpama cermin yang bening yang hanya berhubungan dengan Allah swt saja. Cermin tersebut cemerlang seperti bintang gemerlapan yang bersinar di langit dengan segala keagungannya, yang berarti bahwa hati Yang Mulia Rasulullah saw itu demikian jernih dan beningnya sehingga Nur internalnya mencuat ke permukaan luar dan mengalir seperti air. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari sebatang pohon kayu yang diberkati yaitu pohon zaitun. Hal ini mengandung arti bahwa wujud Yang Mulia Rasulullah saw merupakan gabungan dari berbagai ragam rahmat dan berkat dimana semuanya tidak terkungkung pada suatu masa atau tempat atau pun jurusan bahkan akan mengalir terus secara abadi dan tidak akan pernah dihentikan. Pohon yang diberkati tersebut bukan berasal dari timur atau pun barat, mengandung arti bahwa fitrat Yang Mulia Rasulullah saw tidak ada kelebihan atau pun kekurangan, melainkan diciptakan dengan cetakan yang sempurna. Yang dimaksud dengan minyak dari pohon yang diberkati yang menyalakan pelita wahyu adalah daya penalaran yang cemerlang beserta sifat-sifat akhlak yang luhur dari Yang Mulia Rasulullah saw dan akhlak beliau ini dihidupi oleh sumber mata air daya nalar beliau yang jernih. Yang dimaksud dengan pelita wahyu tersebut dinyalakan oleh akhlak luhur Yang Mulia Rasulullah saw adalah rahmat wahyu turun atas akhlak beliau tersebut dan akhlak itu juga yang menjadi penyebab dari turunnya wahyu.”
“Dalam hal ini juga terdapat indikasi bahwa rahmat berupa wahyu tersebut sejalan dengan fitrat dari Yang Mulia Rasulullah saw dengan pengertian bahwa wahyu turun sejalan dengan fitrat seorang Nabi kepada siapa wahyu itu akan diturunkan. Sebagai contoh, temperamen dari Nabi Musa as menggambarkan keagungan dan kemurkaan, sehingga karenanya Kitab Taurat diwahyukan dalam kerangka sebagai kaidah-kaidah kemegahan kekuasaan. Adapun Nabi Isa as memiliki temperamen yang rendah hati dan lemah lembut dan karenanya Kitab Injil mengajarkan kerendahan hati dan kelembutan. Adapun temperamen Yang Mulia Rasulullah saw adalah mantap dalam keadaan yang paling sulit sekali pun. Sifat beliau tidak selalu lemah lembut dalam segala situasi, tidak juga murka setiap saat, melainkan merupakan perpaduan yang bijak yang muncul menurut tuntutan situasi pada setiap saat. Karena itulah maka Kitab Al-Quran diwahyukan dalam acuan yang tepat dan moderat yang menggabungkan ketegasan dengan kelembutan, keterpesonaan dengan kasih sayang, serta kekerasan dengan kelembutan. Dalam ayat tersebut Allah swt telah mengungkapkan bahwa pelita wahyu Al-Quran itu dinyalakan dari minyak sebuah pohon yang diberkati yang tidak berasal dari timur atau pun barat, melainkan sejalan dengan temperamen moderat dari Yang Mulia Rasulullah saw dimana sifat beliau tidak segalak temperamen Nabi Musa as dan tidak juga selembut temperamen Nabi Isa as melainkan merupakan gabungan dari kekerasan dengan kelembutan, kemarahan dengan kasih sayang dimana semuanya merupakan temperamen yang moderat sebagai kombinasi dari keagungan dengan keindahan.”
“Keluhuran akhlak Yang Mulia Rasulullah saw diungkapkan dalam ayat lain dalam Kitab Al-Quran yaitu:
وَإِنَّكَ لَعَلىٰ خُلُقٍ عَظيمٍ
‘Sesungguhnya engkau benar-benar memiliki akhlak luhur’ (QS.68 Al- Qalam:5).
“Berarti Yang Mulia Rasulullah saw diciptakan sedemikian sempurna dengan akhlak luhur yang tidak mungkin diungguli oleh orang lain. Kata ‘azhiim’ yang digunakan dalam ayat25 ini menggambarkan istilah bahasa Arab yang mengandung arti kesempurnaan tertinggi dari suatu spesies
mahluk. Sebagai contoh, kalau dikatakan sebuah pohon itu ‘azhiim’ maka yang dimaksud adalah pohon itu memiliki panjang dan lebar terbaik yang bisa dimiliki sebuah pohon. Beberapa ahli leksikon menyatakan bahwa kata ‘azhiim’ menggambarkan kebesaran yang berada di luar nalar manusia.”
“Adapun kata ‘khuluq’ sebagaimana digunakan dalam Al-Quran atau pun kitab-kitab bijak lainnya, tidak saja berarti perilaku yang baik, kasih dan kelembutan semata. ‘Khalaq’ dan ‘khuluq’ adalah dua kata yang berbeda yang digunakan berkaitan satu dengan lain. Sifat ‘khalaq’ adalah ciri-ciri yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk membedakannya dari hewan lainnya. Adapun ‘khuluq’ menyangkut sifat-sifat kebaikan internal yang secara nyata membedakan kemanusiaan dari realitas hewan. Jadi segala sifat batin yang membedakan manusia dari hewan terangkum di dalam kata ‘khuluq’ tersebut. Sebagaimana kerangka fitrat manusia didasarkan pada sifat moderat dan bebas dari kelebihan atau kekurangan sebagaimana yang terdapat dalam fitrat hewan, maka kata ‘khuluq’ jika tidak diikuti kualifikasi yang merendahkan, selalu berarti fitrat akhlak yang mulia sebagaimana difirmankan:
لَقَد خَلَقنَا الإِنسانَ في أَحسَنِ تَقويمٍ
‘Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik penciptaan’ (QS.95 At-Tin:5).
“Akhlak mulia tersebut merangkum semua sifat-sifat batin yang ada pada diri manusia seperti logika yang jernih, pemahaman yang baik, ingatan yang bagus, kesucian, kesopanan, keteguhan, kepuasan, kesalehan, tekad yang kuat, ketekunan, keadilan, kepercayaan, kedermawanan yang sesuai, pengorbanan pada saat yang benar, pengasih, penyayang, keberanian, kelembutan sewajarnya, kemarahan pada saat yang tepat, kehormatan, belas kasih, ketakutan pada saat yang benar, cinta yang sewajarnya, kecintaan kepada Allah swt dan menarik diri ke arah Tuhan serta lain-lainnya.”
“Minyak itu hampir-hampir bercahaya walau api tidak menyentuhnya mengandung arti bahwa penalaran dan akhlak mulia dari Yang Mulia Rasulullah saw itu demikian sempurna, pantas, halus dan cemerlang sehingga semuanya itu siap menyala bahkan sebelum turunnya wahyu. Dengan pengertian Nur di atas Nur yang dimaksud adalah banyak sekali Nur yang terangkum dalam wujud Yang Mulia Yang Mulia Rasulullah saw dan di atas Nur itu telah turun Nur samawi berupa wahyu Ilahi sehingga wujud dari Yang Mulia Rasulullah saw menjadi gabungan dari semua Nur. (Barahin Ahmadiyah, Rohani Khazain, vol. 1, hal. 191-195, London, 1984).
[1] 21 Dalam filosofi Jawa disebut sebagai “sangkan paran” atau segala sesuatu yang mendasari penciptaan suatu mahluk. (Penterjemah)
[2] 23 Perjanjian Lama Kitab Ulangan 33:2. (Penterjemah)
[3] 24 Perjanjian Lama Kitab Kejadian 21:20-21. (Penterjemah)
Tulisan ini dikutip dari buku “Inti Ajaran Islam Bagian Pertama, ekstraksi dari Tulisan, Pidato, Pengumuman dan Wacana Masih Mau’ud dan Imam Mahdi, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as”. Neratja Press, hal 241-258, ISBN 185372-765-2