Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad (Saw) Seri-93

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 93)

Pembahasan lanjutan seorang Ahlu Badr (Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) peserta perang Badr atau ditetapkan oleh Nabi (saw) mengikuti perang Badr) yaitu Hadhrat Mu’adz bin Jabal radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.

Pembetulan kesalahan terjemahan salah satu Hadits yang Hudhur (atba) sampaikan pada Khotbah Jumat tertanggal 30 Oktober 2020 mengenai Hadhrat Mu’adz bin Jabal radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.

Lanjutan pembahasan mengenai Hadhrat ‘Abdullah bin Amru bin Haram radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, ayah Sahabat terkenal dari kalangan Anshar Madinah, Hadhrat Jabir bin ‘Abdullah radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.

Pembahasan baru mengenai seorang Ahlu Badr yang berjuluk Abu Dujanah.

Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 13 November 2020 (Nubuwwah 1399 Hijriyah Syamsiyah/Rabi’ul Awwal 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)

Hari ini saya akan menyampaikan tentang sahabat Badr. Namun sebelumnya saya ingin menyampaikan sebuah revisi (pembetulan). Dua khotbah sebelumnya disampaikan tentang Hadhrat Muaz bin Jabal. Di situ disampaikan sebuah riwayat Musnad Ahmad bin Hambal yang di dalamnya dibahas tentang thaun bahwa Rasulullah (saw) bersabda: “Dekat waktunya kamu akan hijrah ke Syam dan Syam akan dikuasai melalui tanganmu. Namun di sana kamu akan terkena penyakit bisul yang akan mencengkram manusia dari kaki tangga.”

Terjemahan yang baru saya sampaikan ini tidak tepat, ada kesalahan dan dengan demikian tidak jelas maksudnya. Maka dari itu saya akan sampaikan lagi riwayat dengan terjemahannya yang benar.

(عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ :) Riwayat dari Ismail bin ‘Ubaidullah bahwa Hadhrat Mu’adz bin Jabal berkata, سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : “Saya mendengar Rasulullah (saw) bersabda, سَتُهَاجِرُونَ إِلَى الشَّامِ فَيُفْتَحُ لَكُمْ وَيَكُونُ فِيكُمْ دَاءٌ كَالدُّمَّلِ أَوْ كَالْحَرَّةِ يَأْخُذُ بِمَرَاقِ الرَّجُلِ ’Anda sekalian akan hijrah ke Syam dan Syam akan ditaklukkan bagi kalian. Di sana akan ada penyakit yang muncul di antara kalian berupa bisul atau seperti sesuatu yang menggigit dengan sangat ekstrimdan penyakit itu akan muncul di bagian bawah pusar.’”

Jadi, terjemahan ‘penyakit itu akan mencengkram dari kaki tangga’ adalah terjemahan berbagai kata yang sebelumnya diterjemahkan dengan keliru. Terjemahan yang benar adalah penyakit itu muncul di bagian bawah pusar sebagaimana bisul yang keluar di bagian bawah pusar di atas kaki di bagian tengah badan.

Nabi (saw) bersabda, يَسْتَشْهِدُ اللَّهُ بِهِ أَنْفُسَهُمْ وَيُزَكِّي بِهَا أَعْمَالَهُمْ “Melalui itu Allah Taala akan menganugrahkan mati syahid pada orang-orang dan menyucikan amalan-amalan mereka.”

Kemudian Hadhrat Mu’adz ra berdoa, اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ سَمِعَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْطِهِ هُوَ وَأَهْلَ بَيْتِهِ الْحَظَّ الْأَوْفَرَ مِنْهُ “Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa Mu’adz bin Jabal mendengar ini dari Rasulullah (saw) maka berilah bagian yang besar padanya dan keluarganya.” Dengan demikian mereka semua terkena thaun dan tidak ada yang selamat.

Di jari telunjuk beliau ra muncul benjolan thaun. Beliau berkata, “Saya sekali-kali tetap tidak akan merasa lebih senang jika mendapatkan unta merah sebagai gantinya.”[1]

Inilah tadi revisi yang sedang di print. Di alfazal juga sudah diterbitkan dan di situ sudah diterbitkan dengan revisinya. Nah, sekarang saya sampaikan di hadapan anda semua.

Sekarang saya akan melanjutkan tentang kisah yang sedang berlangsung sebelumnya yaitu tentang Hadhrat Abdulah bin Amr. Hadhrat Jabir bin Abdullah meriwayatkan, جِيءَ بِأَبِي يَوْمَ أُحُدٍ، قَدْ مُثِّلَ بِهِ حَتَّى وُضِعَ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَقَدْ سُجِّيَ ثَوْبًا فَذَهَبْتُ أُرِيدُ أَنْ أَكْشِفَ عَنْهُ فَنَهَانِي قَوْمِي، ثُمَّ ذَهَبْتُ أَكْشِفُ عَنْهُ فَنَهَانِي قَوْمِي، فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَرُفِعَ فَسَمِعَ صَوْتَ صَائِحَةٍ فَقَالَ ‏”‏ مَنْ هَذِهِ ‏”‏‏.‏ فَقَالُوا ابْنَةُ عَمْرٍو أَوْ أُخْتُ عَمْرٍو‏.‏ “Pada perang Uhud jenazah ayah saya dibawa ke hadapan Rasulullah (saw) dalam keadaan sudah dimutilasi.” (Maksudnya beberapa bagian tubuhnya telah dipotong oleh musuh, khususnya telinga dan hidung.) “Jenazah beliau diletakkan di hadapan Rasulullah (saw). Saya mau membuka kain yang menutupi wajah beliau, namun orang-orang melarang saya. Kemudian orang-orang mendengar suara jeritan seorang perempuan. Seseorang berkata bahwa itu suara putri Hadhrat Abdullah bin Amru.” (Namanya Fatimah binti Amru.) Ada juga yang berkata bahwa itu suara saudari Hadhrat Abdullah bin Amru. Atas itu Rasulullah (saw) bersabda, فَلِمَ تَبْكِي أَوْ لاَ تَبْكِي فَمَا زَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رُفِعَ ‘Jangan menangis karena para malaikat terus menaunginya dengan sayap-sayapnya.’”[2]

Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Hadhrat Jabir bin Abdullah meriwayatkan, لَمَّا قُتِلَ أَبِي جَعَلْتُ أَكْشِفُ الثَّوْبَ عَنْ وَجْهِهِ أَبْكِي ، وَيَنْهَوْنِي عَنْهُ ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَنْهَانِي ، فَجَعَلَتْ عَمَّتِي فَاطِمَةُ تَبْكِي ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “Ketika jenazah ayah saya dibawa pada perang Uhud, maka bibi (saudari ayah) saya menangis dan saya juga menangis. Orang-orang melarang saya. Namun Rasulullah (saw) tidak melarang saya. Kemudian Rasulullah (saw) bersabda, تَبْكِينَ أَوْ لاَ تَبْكِينَ مَا زَالَتِ المَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ ‘Baik kalian menangisinya maupun tidak menangisinya, demi Tuhan, para malaikat terus menaunginya dengan sayap-sayapnya sampai kalian menguburkannya.’”[3]

Banyak pendapat tentang shalat jenazah para syuhada perang Uhud. Banyak juga terdapat perbedaan pendapat. Di dalam Sahih Bukhari, Hadhrat Jabir bin Abdullah meriwayatkan, كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَجْمَعُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ مِنْ قَتْلَى أُحُدٍ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ يَقُولُ ‏”‏ أَيُّهُمْ أَكْثَرُ أَخْذًا لِلْقُرْآنِ ‏”‏‏.‏  “Rasulullah (saw) menggabungkan para syuhada perang Uhud masing-masing dua orang dalam satu kain dan bertanya, ‘Siapa diantara mereka yang paling banyak mengetahui ilmu Quran?’

فَإِذَا أُشِيرَ لَهُ إِلَى أَحَدِهِمَا قَدَّمَهُ فِي اللَّحْدِ وَقَالَ ‏”‏ أَنَا شَهِيدٌ عَلَى هَؤُلاَءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ‏”‏‏.‏ وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ، وَلَمْ يُغَسَّلُوا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ‏. Ketika orang-orang mengisyaratkan pada salah satu dari mereka maka Rasulullah (saw) meletakkan orang tersebut lebih dahulu ke liang lahad – yakni dia lebih dahulu dimasukkan ke kubur. Kemudian beliau (saw) bersabda, ‘Saya menjadi saksi mereka di hari kiamat.’ Beliau memerintahkan untuk menguburkan mereka dengan darah mereka. Mereka tidak dimandikan dan juga tidak dishalatkan.”[4]

Dalam riwayat lain sahih bukhari – yang sebelumnya juga adalah riwayat Bukhari – Hadhrat Uqbah bin Amir (عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ) meriwayatkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ يَوْمًا فَصَلَّى عَلَى أَهْلِ أُحُدٍ صَلاَتَهُ عَلَى الْمَيِّتِ ثُمَّ انْصَرَفَ إِلَى الْمِنْبَرِ “Suatu hari Rasulullah (saw) keluar rumah dan beliau (saw) menyolatkan jenazah para syuhada Uhud…”[5]

Dalam riwayat lain, Rasulullah (saw) menyolatkan jenazah para syuhada Uhud delapan tahun setelah perang Uhud.

Dalam Sunan Ibnu Maajah diriwayatkan bahwa Hadhrat Ibnu Abbas meriwayatkan, أُتِيَ بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ يَوْمَ أُحُدٍ فَجَعَلَ يُصَلِّي عَلَى عَشَرَةٍ عَشَرَةٍ وَحَمْزَةُ هُوَ كَمَا هُوَ يُرْفَعُونَ وَهُوَ كَمَا هُوَ مَوْضُوعٌ “Jenazah para syuhada perang Uhud dibawa ke hadapan Rasulullah (saw) dan beliau (saw) menyolatkan jenazah mereka bergiliran sepuluh-sepuluh jenazah sedangkan jenazah Hadhrat Hamzah terus berada bersama beliau (saw), sedangkan jenazah yang lain bergantian dibawa.”[6]

Disebutkan dalam Sunan Abi Daud, أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ حَدَّثَهُمْ أَنَّ شُهَدَاءَ أُحُدٍ لَمْ يُغَسَّلُوا وَدُفِنُوا بِدِمَائِهِمْ وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ “Dari Anas bin Malik mengabarkan bahwa para Syuhada Uhud tidak dimandikan dan dikubur dengan lumuran darah mereka, maksudnya darah luka-luka mereka dan tidak pula mereka dishalatkan.”[7]

Dalam riwayat sunan Abu Daud disebutkan, عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم مَرَّ بِحَمْزَةَ وَقَدْ مُثِّلَ بِهِ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنَ الشُّهَدَاءِ غَيْرِهِ ‏ “Hadhrat Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) tidak menyolatkan jenazah siapapun kecuali jenazah Hadhrat Hamzah.”[8]

Di dalam sunan at-Tirmidzi disebutkan Hadhrat Anas bin Malik meriwayatkan, فَدَفَنَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِمْ “Rasulullah (saw) tidak menyalatkan jenazah para syuhada perang Uhud.”[9]

Di dalam Kitab as-Sirah an-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam dan di dalam Kitab as-Sirah al-Halabiyyah ditulis, أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بحمزة فسجي ببردة ثم صلى عليه ، فكبر سبع تكبيرات ، ثم أتى بالقتلى فيوضعون إلى حمزة ، فصلى عليهم وعليه معهم ، حتى صلى عليه ثنتين وسبعين صلاة “Rasulullah (saw) menyolatkan jenazah para Syuhada Uhud dengan cara sebagai berikut: pertama, beliau menyolatkan jenazah Hadhrat Hamzah. Beliau mengucapkan tujuh takbir dalam shalat jenazah.”[10] Menurut as-Sirah al-Halabiyyah: ثم صلى عليه فكبر أربع تكبيرات، ثم أتى بالقتلى يوضعون إلى جنب حمزة أي واحد بعد واحد فيصلي على كل واحد منهم مع حمزة، ثم يرفع ويؤتى بآخر فيصلي عليهم وعليه معهم حتى صلى عليه اثنتين وسبعين صلاة» . وفي رواية «اثنتين وتسعين صلاة». “Nabi (saw) melakukan empat takbir kemudian ke hadapan beliau dibawa jenazah Syahid lainnya satu per satu dan diletakkan bersama jenazah Hadhrat Hamzah lalu beliau (saw) menyalatkan jenazah keduanya. Dengan demikian seluruh syuhada dishalatkan satu kali sedangkan jenazah Hadhrat Hamzah dishalatkan 72 kali. Menurut sebagian orang 92 kali.”[11]

Dalam salah satu kitab Sirah bernama Dalaailun Nubuwwah ditulis, ثم أمر بالقتلى فجعل يصلّي عليهم سبع تكبيرات و يرفعون و يترك حمزة، ثم يجاء بتسعة فيكبر عليهم سبعا حتى فرغ منهم “Disamping jenazah Hadhrat Hamzah diletakkan 9 jenazah dan dishalatkan. Kemudian kesembilannya diangkat dan dibawa lagi 9 lainnya. Dengan demikian seluruh jenazah dishalatkan seperti itu. Nabi (saw) mengucapkan 7 takbir di setiap shalat jenazah.”[12]

Di dalam As-Sirah al-Halabiyyah dan Dalaailun Nubuwah dibahas tentang hadits-hadits yang meriwayatkan tentang shalat jenazah para syuhada perang Uhud dan di dalam kedua kitab itu tertera riwayat Hadhrat Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah (saw) memerintahkan untuk menguburkan para syuhada Uhud dengan darah mereka. Mereka tidak dimandikan dan juga tidak dishalatkan. Menurut kedua buku itu riwayat ini dianggap lebih kuat.[13]

Hadhrat Imam Syafii berkata, جَاءَتِ الْأَخْبَارُ كَأَنَّهَا عِيَانٌ مِنْ وُجُوهٍ مُتَوَاتِرَةٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يُصَلِّ عَلَى قَتْلَى أُحُدٍ وَمَا رُوِيَ أَنَّهُ صَلَّى عَلَيْهِمْ وَكَبَّرَ عَلَى حَمْزَةَ سَبْعِينَ تَكْبِيرَةٍ لَا يَصِحُّ وَقَدْ كَانَ يَنْبَغِي لِمَنْ عَارَضَ بِذَلِكَ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ الصَّحِيحَةَ أَنْ يَسْتَحِيَ عَلَى نَفْسِهِ قَالَ وَأَمَّا حَدِيثُ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ فَقَدْ وَقَعَ فِي نَفْسِ الحديث أن ذلك كان بعد ثمان سِنِينَ يَعْنِي وَالْمُخَالِفُ يَقُولُ لَا يُصَلَّى عَلَى الْقَبْرِ إِذَا طَالَتِ الْمُدَّةُ “Dari riwayat-riwayat mutawatir (berurut secara banyak orang) dengan kuat diketahui bahwa Rasulullah (saw) tidak menyolatkan jenazah para syuhada perang Uhud. Sedangkan riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah (saw) menyolatkan jenazah para syuhada itu dan mengucapkan takbir dalam shalat jenazah Hadhrat Hamzah tidaklah benar. Dan sejauh yang berkaitan dengan riwayat Hadhrat Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah (saw) menyolatkan jenazah para syuhada, dalam riwayat itu sendiri disebutkan bahwa ini terjadi setelah 8 tahun kemudian.”[14]

Sebagaimana yang saya katakan bahwa dalam hal ini banyak sekali perdebatan. Saya akan sampaikan riwayat lain. Imam Bukhari dalam kitabnya menyusun sebuah bab dengan tema Babus Shalah Alasy syahid (باب الصَّلاَةِ عَلَى الشَّهِيدِ), yakni bertema shalat jenazah bagi para syuhada. Dalam bab itu hanya ditulis dua hadits. Hadits pertama adalah riwayat Hadhrat Jabir bin Abdullah dan di dalamnya dengan jelas disebutkan, وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ، وَلَمْ يُغَسَّلُوا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ‏ “Jenazah para syuhada perang Uhud tidak dimandikan dan tidak pula dishalatkan.” Sedangkan hadits yang kedua adalah riwayat Hadhrat Uqbah bin Amir yang didalamnya beliau meriwayatkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ يَوْمًا فَصَلَّى عَلَى أَهْلِ أُحُدٍ صَلاَتَهُ عَلَى الْمَيِّتِ “Suatu hari Rasulullah (saw) keluar dan beliau shalat untuk para syuhada Uhud dengan tata cara shalat jenazah.” Riwayat inilah yang terdapat dalam Hadits Bukhari yang di tempat lain tertera dalam bab perang Uhud. Di dalamnya sahabat meriwayatkan, صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى قَتْلَى أُحُدٍ بَعْدَ ثَمَانِي سِنِينَ، كَالْمُوَدِّعِ لِلأَحْيَاءِ وَالأَمْوَاتِ “Rasulullah (saw) shalat jenazah untuk para syuhada Uhud setelah 8 tahun, dan beliau shalat seperti mengucapkan selamat tinggal pada orang-orang yang masih hidup atau yang sudah wafat.”[15]

Demikian pula ‘Allamah Ibnu Hajar Asqalani (العلامة ابن حجر العسقلاني) mengatakan, لَا يُصَلَّى عَلَى الْقَبْرِ إِذَا طَالَتِ الْمُدَّةُ “Apa yang disampaikan Hadhrat Imam Syafii dalam memaknai Hadits tersebut diatas maksudnya adalah, shalat jenazah untuk seseorang sudah tidak dapat (tidak boleh) dilakukan di makamnya setelah berlalu masa yang lama kewafatannya. Menurut Imam Syafii, وَكَأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا لَهُمْ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ حِينَ قَرُبَ أَجَلُهُ مُوَدِّعًا لَهُمْ بِذَلِكَ “Ketika Rasulullah (saw) mengetahui bahwa waktu kewafatan beliau sudah dekat maka beliau (saw) pergi ke makam para syuhada itu dan sambil mengucapkan selamat tinggal beliau (saw) berdoa untuk mereka dan meminta ampunan untuk mereka.”[16]

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) menulis berkaitan dengan pengafanan dan pemakaman para syuhada perang Uhud dalam Sirat Khataman Nabiyyn: “Setelah seluruh jenazah dikumpulkan maka proses pemakaman pun dimulai. Rasulullah (saw) memerintahkan untuk membiarkan para jenazah itu dengan pakaian yang ada di badan mereka dan para syuhada itu tidak dimandikan. Bahkan, kalau ada yang punya kain lebih untuk kafan maka kain itu dipakaikan diatas pakaian yang mereka pakai. Jenazah pun tidak dishalatkan saat itu. Dengan demikian para syuhada itu dikuburkan tanpa dimandikan, tanpa dishalatkan dan pada umumnya dua jenazah sahabat dibungkus dengan satu kain kafan dan dimakamkan dalam satu kubur. Sahabat yang paling banyak mengetahui al-Quran asy-Syarif, sesuai dengan perintah Rasulullah (saw), dimasukkan terlebih dahulu ke liang lahad.”

Kemudian beliau (ra) menulis, “Meskipun saat itu jenazah tidak dishalatkan namun kemudian Rasulullah (saw) di saat kewafatannya sudah dekat secara khusus menyolatkan jenazah para syuhada Uhud.”[17] Inilah yang beliau (Hadhrat Mirza Bashir Ahmad ra) istimbath-kan atau simpulkan dari berbagai riwayat yang tercantum di dalam sumber-sumber Tarikhiyyah (sejarah).

Baik itu Nabi (saw) memang menyalatkan jenazah para Syuhada Uhud atau hanya mendoakan saja, namun, bagaimanapun juga Rasulullah (saw) melakukannya (shalat jenazah atau mendoakan) untuk mereka dengan penuh lirih dan keperihan. Bisa saja Rasulullah (saw) hanya mendoakan sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya; beliau (saw) pergi ke setiap kuburan mereka lalu berdoa dan berdoa dengan penuh lirih untuk mereka.

Hadhrat Jabir Bin Abdullah meriwayatkan, دُفِنَ مَعَ أَبِي رَجُلٌ فَكَانَ فِي نَفْسِي مِنْ ذَلِكَ حَاجَةٌ فَأَخْرَجْتُهُ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَمَا أَنْكَرْتُ مِنْهُ شَيْئًا إِلاَّ شُعَيْرَاتٍ كُنَّ فِي لِحْيَتِهِ مِمَّا يَلِي الأَرْضَ “…enam bulan setelah perang Uhud saya membuatkan kuburan untuk ayah saya lalu menguburkan jenazah ayah saya di dalamnya dan saya tidak melihat perubahan pada jasad ayah saya kecuali beberapa helai janggut yang menempel ke tanah.”[18]

Dalam Riwayat lain dikatakan bahwa Hadhrat Jabir Bin Abdillah meriwayatkan, فَأَصْبَحْنَا فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ، وَدُفِنَ مَعَهُ آخَرُ فِي قَبْرٍ، ثُمَّ لَمْ تَطِبْ نَفْسِي أَنْ أَتْرُكَهُ مَعَ الآخَرِ فَاسْتَخْرَجْتُهُ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ، فَإِذَا هُوَ كَيَوْمِ وَضَعْتُهُ هُنَيَّةً غَيْرَ أُذُنِهِ “Pada saat perang Uhud dalam satu kuburan dikuburkan dua jenazah. Bersama jenazah ayah saya pun dikuburkan seorang Sahabat lagi. Setelah berlalu masa enam bulan timbul keinginan dalam hati saya untuk menguburkan jasad ayah saya secara terpisah dalam satu kuburan. Saya lalu mengeluarkan jasad ayah dari kuburannya. Saya melihat tidak ada perubahan pada jasad ayah kecuali hanya sedikit saja di dekat telinga beliau.”[19]

Empat puluh enam (46) tahun setelah perang Uhud, Hadhrat Amir Muawiyah pada masa kekuasaannya mengalirkan sebuah sungai yang airnya merembes ke kuburan para syuhada Uhud. Air juga memasuki kuburan Hadhrat Abdullah Bin Amru dan Hadhrat Amru Bin Jamuh. Ketika kuburan mereka digali, didalamnya terdapat dua kain dan perawi mengatakan bahwa terdapat luka pada wajah beliau begitu juga pada tangan beliau.

Apa yang diceritakan selanjutnya dalam riwayat tersebut bagaimana pun mustahil (patut dipertanyakan kebenarannya). Namun demikian, tetap saya sampaikan kepada Anda sekalian di kesempatan ini dan bukan keharusan kita meyakini sepenuhnya karena demikianlah yang tertulis di dalam beberapa kitab sejarah dan sebagian orang membacanya juga. Maka dari itu, tujuan disampaikan di sini semata-mata bahwa mungkin saja isi riwayat itu dilebih-lebihkan. Di riwayat ini dikatakan, وَكَانَ قَبْرُهُمَا مِمَّا يَلِي الْمَسِيلَ فَدَخَلَهُ السَّيْلُ فَحُفِرَ عَنْهُمَا وَعَلَيْهِمَا نَمِرَتانِ وَعَبْدُ اللهِ قَدْ أَصَابَهُ جُرْحٌ فِي وَجْهِهِ فَيَدُهُ عَلَى جُرْحِهِ ، فَأُمِيطَتْ يَدَهُ عَنْ جُرْحِهِ فَانْبَعَثَ الدَّمُ ، فَرُدَّتْ يَدُهُ إِلَى مَكَانِهَا فَسَكَنَ الدَّمُ “Ketika bagian tubuh yang luka dari jenazah itu diangkat, darah mengalir (dan itu tidaklah mungkin). Setelah tangannya diletakkan kembali pada posisinya lalu darah berhenti mengalir.”

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 21)

Riwayat-riwayat yang seperti ini ada juga yang mana patut diragukan dan tidak mungkin terjadi.

Jabir Bin Abdillah meriwayatkan, فَرَأَيْتُ أَبِي فِي حُفْرَتِهِ كَأَنَّهُ نَائِمٌ وَمَا تَغَيَّرَ مِنْ حَالِهِ قَلِيلٌ وَلاَ كَثِيرٌ “Saya melihat jasad ayah saya di kuburannya yang mana beliau tampak seperti sedang tertidur.”[20] Padahal di dalam riwayat sebelumnya ketika jasad ayahnya dikeluarkan 6 bulan kemudian setelah dikuburkan tampak perubahan pada daging jasad ayah beliau, lantas tidak mungkin jika 46 tahun kemudian masih utuh-utuh saja tidak menyusut hingga tampak tulang. Perubahan seperti itu sifatnya alami, jika memang demikian tidaklah mungkin tidak terjadi perubahan pada jasad orang yang sudah meninggal.

Hadhrat Jabir Bin Abdillah meriwayatkan, لَقِيَنِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ لِي ‏ “Saya berjumpa dengan Rasulullah (saw) dan beliau bersabda, يَا جَابِرُ مَا لِي أَرَاكَ مُنْكَسِرًا ‘Wahai Jabir! Ada apa? Kenapa engkau tampak sedih?’

Saya menjawab: يَا رَسُولَ اللَّهِ اسْتُشْهِدَ أَبِي قُتِلَ يَوْمَ أُحُدٍ وَتَرَكَ عِيَالاً وَدَيْنًا ‘Wahai Rasulullah (saw)! Ayah saya telah syahid pada perang Uhud dan beliau meninggalkan anak dan hutang.’

Rasul bersabda: أَفَلاَ أُبَشِّرُكَ بِمَا لَقِيَ اللَّهُ بِهِ أَبَاكَ ‘Maukah saya berikan kabar suka untuk Anda atas dasar apa Allah Ta’ala telah menemui ayah Anda?’

Saya berkata: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ ‏ ‘Tentu, wahai Rasul Allah.’

Rauslullah (saw) bersabda: مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا قَطُّ إِلاَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ وَأَحْيَا أَبَاكَ فَكَلَّمَهُ كِفَاحًا فَقَالَ ‘Allah Ta’ala tidaklah berbicara kepada siapapun melainkan di balik tabir. Tetapi, Allah Ta’ala telah menghidupkan ayah Anda kembali lalu berbicara berhadap-hadapan dengan beliau dan berfirman, يَا عَبْدِي تَمَنَّ عَلَىَّ أُعْطِكَ “Wahai hamba-Ku! Mintalah pada-Ku, niscaya Aku akan berikan.’

Beliau berkata: يَا رَبِّ تُحْيِينِي فَأُقْتَلَ فِيكَ ثَانِيةً “Wahai Tuhanku! Mohon hidupkanlah hamba kembali supaya hamba dapat terbunuh lagi di jalan Engkau.”’”[21]

Dalam riwayat lain, pada saat itu Hadhrat Abdullah bin ‘Amru bin Haram berkata, يَا رَبِّ مَا عبَدْتُكَ حَقَّ عِبَادَتِكَ أَتَمَنَّى عَلَيْكَ أَنْ تَرُدَّنِي إِلَى الدُّنْيَا فَأُقَاتِلَ مَعَ نَبِيِّكَ، فَأُقْتَلَ فِيكَ مَرَّةً أُخْرَى “Wahai Tuhanku! Hamba tidak memenuhi hak untuk beribadah kepada Engkau. Hamba ingin supaya Engkau mengirim hamba kembali ke dunia supaya hamba dapat bertempur di jalan Engkau bersama dengan Nabi Engkau dan terbunuh lagi di jalan Engkau.”[22]

Allah Ta’ala berfirman, إِنَّهُ سَبَقَ مِنِّي أَنَّهُمْ إِلَيْهَا لَا يَرْجِعُونَ “”Aku telah memutuskan bahwa siapa saja yang telah mati, maka ia tidak akan dikirimkan lagi ke dunia.”

Hadhrat Abdullah Bin Amru memohon kepada Allah Ta’ala, يَا رَبِّ فَأَبْلِغْ مَنْ وَرَائِي “Wahai Tuhanku! Mohon sampaikanlah hal ini kepada orang-orang yang masih hidup.”

Pada saat itu Allah Ta’ala menurunkan ayat, وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ () “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (Surah Ali Imran, 3:170)[23] Riwayat ini sebelumnya pernah saya jelaskan juga pada topik Hadhrat Jabir Bin Abdillah.

Hadhrat Khalifatul Masih Ar Rabi (IV) pernah menyampaikan kisah selengkapnya dalam pidatonya sebelum menjadi Khalifah berkenaan dengan percakapan Allah Ta’ala dengan Hadhrat Abdullah Bin Amru, bersabda: “Peristiwa ini dipenuhi dengan aspek keindahan yang tak terhitung jumlahnya. Dari sudut pandang mana pun seseorang melihatnya, hal itu memanifestasikan keanggunan dan kemegahannya. Di antara banyak hal lainnya, kita mengetahui bagaimana Nabi (saw) tetap berkomunikasi secara tetap dengan Tuhannya; di satu sisi beliau dipenuhi dengan kebajikan terhadap sesamanya dan pada saat yang sama hati beliau tetap terikat dengan Tuhannya. Satu sisi dari keberadaannya dikhususkan untuk para sahabatnya dan sisi yang lainnya selalu melekat erat dan terikat pada رفیق اعلیٰ (Rafiq A’la, Wujud Yang Tercinta, Yang Mahatinggi). Apakah itu saat damai dan aman ataupun ketika di tengah pertempuran, dia berada dalam ثم دنى فتدلّى ‘tsumma danaa fatadallaa’ dia terus mendaki ketinggian tertinggi dari puncak ruhani [yaitu, ‘Kemudian dia mendekat kepada Tuhan; lalu dia turun kepada umat manusia ‘]. Satu pandangannya akan mengawasi medan perang, sementara yang lain akan terlibat dalam menyaksikan tanda-tanda ajaib dari Tuhannya. Satu telinga akan dengan penuh kasih mendengarkan para sahabatnya sementara yang lainnya akan terlibat dalam mendengarkan suara wahyu Ilahi yang menyenangkan. Tangannya bekerja sementara hatinya tetap sibuk dalam mengingat Tuhan. Dia akan menghibur dan meyakinkan para sahabatnya sementara Tuhan Yang Maha Kuasa sendiri akan memberinya kenyamanan dan penghiburan.

Dengan mengungkapkan keinginan tulus Abdullah bin Amru (ra), Allah Yang Maha Kuasa memberi tahu Nabi (saw), ‘Wahai orang yang mencintai-Ku lebih dari siapa pun, Aku telah mengisi hati hamba-Ku yang saleh dengan begitu banyak cinta untukmu bahkan setelah meninggal dunia dari dunia yang fana ini, mereka terus memiliki kerinduan yang tulus padamu dan meninggalkanmu sendirian di medan perang merupakan hal yang menyakitkan hati mereka. Mereka bahkan tidak menginginkan surga ketika datang kepadamu karena bagi mereka surga mereka adalah ketika berada di sisimu, dan bahkan jika mereka berulang kali dibunuh oleh pedang, satu-satunya keinginan mereka adalah bersamamu lagi dan lagi.’”[24]

Hadhrat Jabir Bin Abdillah meriwayatkan, تُوُفِّيَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ حَرَامٍ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَاسْتَعَنْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى غُرَمَائِهِ أَنْ يَضَعُوا مِنْ دَيْنِهِ فَطَلَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَلَمْ يَفْعَلُوا فَقَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Ketika Hadhrat Abdullah Bin Amru wafat, beliau meninggalkan hutang. Saya memohon bantuan kepada Rasulullah (saw). Rasulullah (saw) menasihati pemberi hutangnya agar mau mengurangi hutangnya. Namun orang itu tidak mau menguranginya. Rasulullah (saw) bersabda kepada saya, اذْهَبْ فَصَنِّفْ تَمْرَكَ أَصْنَافًا الْعَجْوَةَ عَلَى حِدَةٍ وَعَذْقَ زَيْدٍ عَلَى حِدَةٍ ثُمَّ أَرْسِلْ إِلَيَّ ‘Kamu pisahkan setiap jenis kurma, pisahkan jenis kurma ‘Ajwah begitu juga kurma ‘Azdq Zaid, setelah itu kabari saya.’

فَفَعَلْتُ ثُمَّ أَرْسَلْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ فَجَلَسَ عَلَى أَعْلَاهُ أَوْ فِي وَسَطِهِ ثُمَّ قَالَ Saya lalu melakukan sesuai petunjuk Rasul kemudian memberikan kabar kepada Rasulullah (saw). Setelah itu Rasul hadir dan duduk diatas tumpukan kurma atau diantara tumpukannya. Rasul bersabda, كِلْ لِلْقَوْمِ ‘Timbanglah hasil panen ini lalu bayarkan sesuai dengan besaran hutang kepada orangnya.’ فَكِلْتُهُمْ حَتَّى أَوْفَيْتُهُمْ الَّذِي لَهُمْ وَبَقِيَ تَمْرِي كَأَنَّهُ لَمْ يَنْقُصْ مِنْهُ شَيْءٌ Saya pun menimbangnya sehingga semuanya dapat terlunasi. Namun, kurma masih tetap bersisa dan nampaknya tidak berkurang sedikitpun dari kurma-kurma itu.”[25]

Diantara yang ditinggalkan oleh Hadhrat Abdullah Bin Amru adalah putra beliau, Hadhrat Jabir Bin Abdillah dan 6 putri. Berdasarkan riwayat Shahih al-Bukhari almarhum meninggalkan 7 atau 9 putri.[26]

Sahabat berikutnya yang akan saya sampaikan adalah Hadhrat Abu Dujanah Simak Bin Kharasyah (أَبُو دُجَانَةَ. وَاسْمُهُ سِمَاكُ بْنُ خَرَشَةَ بْنِ لَوْذَانَ بْنِ عَبْدِ وُدِّ بن زيد بن ثعلبة بن الخزرج بن ساعدة) radhiyallahu ta’ala ‘anhu. Beliau berasal dari anshar kabilah Khazraj ranting Banu Saidah. Ayahanda beliau bernama Kharasyah. Menurut Sebagian lagi bernama Aus. Kakek beliau berkata Kharshah. Ibunda beliau bernama Hazmah Binti Harmalah (حزمة بِنْت حَرْمَلَة من بني زعب من بني سليم بْن مَنْصُور). Nama panggilan beliau yakni Abu Dujanah lebih dikenal daripada nama beliau. Satu putra beliau yang bernama Khalid (خَالِد) yang ibunya bernama Aminah Binti Amru (آمنة بِنْت عَمْرو بْن الأجش من بني بهز من بني سليم بْن مَنْصُور).[27]

Ketika Hadhrat Utbah Bin Ghazwaan hijrah dari Makkah dan sampai di Madinah, Rasulullah (saw) menjalinkan persaudaraan antara beliau dengan Hadhrat Abu Dujanah.[28] Hadhrat Abu Dujanah ikut serta pada perang Badr, Uhud dan seluruh peperangan lainnya bersama Rasulullah (saw).[29] Beliau terhitung sebagai sahabat besar Anshar dan mendapatkan maqom yang tinggi dalam peperangan bersama dengan Rasulullah (saw).[30]

Hadhrat Abu Dujanah menampilkan keberanian dalam peperangan dan mahir dalam berkuda. Beliau memiliki kain berwarna merah yang hanya beliau gunakan pada peperangan saja. Ketika beliau mengenakan kain merah tersebut, orang-orang dapat mengetahui bahwa beliau telah siap untuk bertempur. Beliau terhitung diantara para sahabat pemberani.[31]

Muhammad Bin Ibrahim meriwayatkan dari ayahnya bahwa Hadhrat Abu Dujanah dikenal dengan kain ikat kepala yang berwarna merah dan pada perang Badr pun beliau mengenakan itu.

Muhammad Bin Umar berkata: Hadhrat Abu Dujanah ikut serta pada perang Uhud dan tetap teguh di sekitar Rasulullah (saw) dan telah bertekad untuk rela mati dalam melindungi beliau.[32] Pada perang Uhud beliau dan Hadhrat Mush’ab bin Umair menjaga Rasulullah (saw) dengan sekuat tenaga. Hadhrat Abu Dujanah terluka parah sementara Hadhrat Mush’ab bin Umair syahid pada perang tersebut.[33]

Hadhrat Anas meriwayatkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَخَذَ سَيْفًا يَوْمَ أُحُدٍ فَقَالَ “Rasulullah (saw) memegang sebilah pedang pada perang Uhud dan bersabda, مَنْ يَأْخُذُ مِنِّي هَذَا ‘Man ya’khudzu minnii hadza’ – ‘Siapa yang akan mengambil ini dariku?’

فَبَسَطُوا أَيْدِيَهُمْ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ يَقُولُ أَنَا أَنَا Kesemuanya menjulurkan tangannya dan setiap orang berkata, ‘Saya! Saya!’

Rasul bersabda, فَمَنْ يَأْخُذُهُ بِحَقِّهِ ‘Faman ya’khudzuhu bihaqqihi?’ – ‘Siapa yang akan mengambilnya dengan memenuhi haknya?’”

Hadhrat Anas berkata: فَأَحْجَمَ الْقَوْمُ فَقَالَ سِمَاكُ بْنُ خَرَشَةَ أَبُو دُجَانَةَ “Orang-orang terhenti setelah itu. Sebagian terlihat ragu lalu Hadhrat Simak Bin Kharshah Abu Dujanah berkata, أَنَا آخُذُهُ بِحَقِّهِ ‘Saya akan mengambilnya dengan memenuhi haknya.’”

Hadhrat Anas berkata: فَأَخَذَهُ فَفَلَقَ بِهِ هَامَ الْمُشْرِكِينَ “Hadhrat Abu Dujanah lalu mengambil pedang tersebut dan menggunakannya untuk memenggal kepala-kepala pasukan Musyrik.” Ini tercantum dalam Shahih Muslim .[34]

Dalam riwayat lainnya dikatakan, Hadhrat Abu Dujanah bertanya, “Apa haknya?”

Rasul bersabda, “Jangan gunakan pedang ini untuk membunuh orang Muslim dan janganlah melarikan diri dari pasukan kafir [dalam pertempuran] dalam keberadaannya.”[35] Maksudnya, bertempur dengan berani dan jangan mundur.

Hadhrat Abu Dujanah berkata, “Saya akan ambil pedang tersebut dengan memenuhi haknya.”

Ketika Rasulullah (saw) memberikan pedang itu kepadanya, pada saat itu Abu Dujanah membacakan syair berikut:

أَنَا الَّذِي عَاهَدَنِي خَلِيلِي … وَنَحْنُ بِالسَّفْحِ لَدَى النَّخِيلِ
أَنْ لَا أَقُومَ الدَّهْرَ فِي الْكُيُولِ … أَضْرِبُ سَيْفَ اللهِ وَالرَّسُولِ

Akulah yang kepadaku temanku telah berjanji – ketika kami berada di dekat pepohonan kurma di daerah Safa. Janjinya, aku tidak berdiri di barisan belakang lasykar – bertempur melawan musuh dengan pedang Allah dan Rasul-Nya.

Kemudian, Hadhrat Abu Dujanah berjalan dengan bangga membusungkan dada menembus barisan musuh, melihat itu Rasulullah (saw) bersabda, إِنَّهَا مِشْيَةٌ يُبْغِضُهَا اللهُ إِلَّا فِي هَذَا الْمَوْضِعِ “Langkah seperti itu tidak disukai oleh Allah Ta’ala, kecuali pada saat itu yakni pada kesempatan perang tersebut.”[36]

Hadhrat Zubair Bin Awwam meriwayatkan, “Rasulullah (saw) pada perang Uhud memberikan pedang dan bersabda, مَنْ يَأْخُذُ هَذَا السَّيْفَ بِحَقِّهِ‏؟‏ ‘man ya’khudzu hadzas saifi bihaqqihii?’ yakni, ‘Siapa yang akan mengambil pedang ini dengan memenuhi haknya?’

Hadhrat Zubair berkata: Saya berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Saya.’

Rasulullah (saw) menolak saya.

Rasulullah (saw) bersabda: مَنْ يَأْخُذُ هَذَا السَّيْفَ بِحَقِّهِ‏؟‏ ‘Siapa yang akan mengambil pedang ini dengan memenuhi haknya?’

Saya berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Saya.’

Rasulullah (saw) menolak saya. Rasulullah (saw) bersabda: مَنْ يَأْخُذُ هَذَا السَّيْفَ بِحَقِّهِ‏؟‏ ‘Siapa yang akan mengambil pedang ini dengan memenuhi haknya?’

Hadhrat Abu Dujanah Simak Bin Kharasyhah berdiri dan berkata: أَنَا آخُذُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بِحَقِّهِ، فَمَا حَقُّهُ‏؟‏ ‘Wahai Rasulullah (saw)! Saya akan ambil pedang tersebut dan memenuhi haknya. Apa haknya?

Rasul bersabda: أَنْ لَا تَقْتُلَ بِهِ مُسْلِمًا وَلَا تَفِرَّ بِهِ عَنْ كَافِرٍ ’Jangan gunakan pedang ini untuk membunuh orang Muslim dan janganlah melarikan diri dari pasukan kafir dalam keberadaannya yakni jangan mundur.’”

Hadhrat Zubair berkata, “Setelah itu Rasulullah (saw) memberikan pedang tersebut kepada Abu Dujanah. Adapun Abu Dujanah ketika berniat untuk pergi berperang, beliau ikatkan kain merah di kepala.”

Hadhrat Zubair berkata, “Saya berkata, pada hari ini saya akan melihat bagaimana Abu Dujanah akan memenuhi haknya.”

Hadhrat Zubair berkata, “Siapapun musuh yang ada di hadapannya, beliau bunuh dan terus berderap maju sampai beliau menembus barisan musuh dan sampai di area kumpulan wanita yang tengah menabuh tetabuhan di lereng bukit. Salah satu wanita diantaranya membacakan syair,

نَحْنُ بَنَاتُ طَارِقْ *** نَمْشِي عَلَى النَّمَارِقْ

إِنْ تُقْبِلُوا نُعَانِقْ *** وَنَبْسُطِ النَّمَارِقَ

أَوْ تُدْبِرُوا نُفَارِقْ *** فِرَاقَ غَيْرِ وَامِقْ

Terjemahannya sebagai berikut: ‘Kami adalah putri-putri bintang pagi yang berjalan di awan, jika kamu berderap maju, ‘kan kami sambut kalian dan akan memasang bantal untuk duduk. Namun jika kalian berpaling mundur, kami akan berpisah dari kalian. Ini merupakan perpisahan yang mana tidak akan tersisa lagi jalinan kecintaan diantara kita.’”

Hadhrat Zubair berkata, “Saya melihat Abu Dujanah mengangkat tangannya untuk menebaskan pedang kepada seorang wanita, namun terhenti.

Setelah perang berakhir saya bertanya padanya, ‘Saya melihat seluruh pertempuranmu, tadi kamu sempat mengangkat tangan terhadap seorang wanita namun diturunkan lagi. Apa sebabnya?’

Beliau menjawab: إِنِّي وَاللَّهِ أَكْرَمْتُ سَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقْتُلَ بِهِ امْرَأَةً Demi Tuhan! Aku menghormati pedang Rasulullah (saw), tidaklah mungkin bagiku untuk membunuh wanita menggunakan pedang tersebut. Untuk itulah aku menghentikannya.’”[37]

Dalam riwayat lain dikatakan, “Wanita tersebut adalah Hindun istri Abu Sufyan yang tengah menyanyikan lagu-lagu bersama dengan para wanita lainnya. Ketika Hadhrat Abu Dujanah mengangkat pedangnya atas Hindun, Hindun berteriak untuk meminta pertolongan, berkata, ‘Wahai Sakhar!’

Namun tidak ada yang datang untuk menolongnya. Hadhrat Abu Dujanah menurunkan pedangnya lalu pulang. Ketika ditanya oleh Hadhrat Zubair, beliau berkata, ‘Aku tidak suka membunuh wanita menggunakan pedang Rasulullah (saw), yang mana tidak ada yang menolong wanita itu.’”[38]

Dalam menjelaskan kisah Abu Dujanah tersebut, Hadhrat Mirza Bashir Ahmad menjelaskan dalam buku Sirat Khatamun Nabiyyin: “Ketika pasukan Quraisy terpaksa menanggung kekalahan dalam pertempuran, kaum kuffar melihat pemandangan itu menjadi naik pitam. Pasukan Muslim pun sambil meneriakkan takbir berderap maju lalu terjadilah pertempuran antara kedua pasukan. Lebih kurang pada saat itulah Rasulullah (saw) mengambil pedangnya dan bersabda: Siapa yang akan mengambil ini dan memenuhi haknya?

Banyak sekali diantara para sahabat yang menjulurkan tangannya diantaranya Hadhrat Umar, Hadhrat Zubair bahkan menurut beberapa riwayat Hadhrat Abu Bakr dan juga Hadhrat Ali. Namun Rasulullah (saw) tidak memberikannya. Melainkan terus bersabda, ‘Siapakah yang akan mengambilnya dan memenuhi haknya?’

Akhirnya Hadhrat Abu Dujanah menjulurkan tangan dan memohon, ‘Wahai Rasulullah (saw) mohon berikanlah kepada saya.’

Beliau (saw) memberikan pedang tersebut kepadanya lalu Abu Dujanah mengambil dan membawanya dengan jalan tegap yakni dengan penuh kebanggan terus berderap maju menuju pasukan pasukan kuffar. Rasulullah (saw) bersabda kepada sahabat, ‘Allah Ta’ala tidaklah menyukai cara berjalan seperti ini, namun tidak untuk saat seperti ini.’

Zubair yang saat ini paling berhasrat untuk mengambil pedang Rasulullah (saw) itu dan beranggapan paling berhak karena hubungan kekerabatan dengan Rasulullah (saw) sehingga timbul pertanyaan dalam diri beliau, ‘Kenapa Rasul tidak memberikannya kepada saya, malah diberikan kepada Abu Dujanah.’ Untuk menjauhkan kegelisahannya ini, beliau bertekad dalam hati bahwa beliau akan terus menyertai Abu Dujanah selama peperangan dan akan melihat, apa yang akan dilakukan Abu Dujanah dengan pedang tersebut. Beliau katakan, ‘Abu Dujanah mengikatkan kain merah di kepala pergi membawa pedang tersebut sambal melantunkan puji sanjung lalu menerobos barisan pasukan musyrik. Saya melihat kemanapun ia pergi, disana ia menghamparkan kematian bagi musuh dan saya tidak melihat ada musuh yang selamat berada di hadapannya. Sampai sampai ia menerobos ke bagian pojok lainnya dimana terdapat para wanita Quraisy. Hindun, istri Abu Sufyan yang saat itu tengah menyemangati pasukan musuh datang kehadapan Abu Dujanah, lalu Abu Dujanah mengangkat pedang ke arahnya kemudian Hindun berteriak keras untuk meminta bantuan kepada kaum pria, namun tidak ada pria yang datang untuk membantunya.

Namun saya melihat Abu Dujanah sendiri menurunkan pedangnya dan meninggalkan tempat itu. Saat itu saya bertanya kepada Abu Dujanah, apa sebabnya awalnya kamu mengangkat pedang untuk wanita itu lalu menurunkannya lagi.

Abu Dujanah menjawab: Hati saya tidaklah tega untuk menebaskan pedang Rasulullah (saw) kepada seorang perempuan yang saat itu tidak ada pria yang melindunginya.

Zubair berkata: Saat itu saya beranggapan, memang benar, hak yang telah dipenuhi oleh Abu Dujanah terhadap pedang Rasulullah (saw), mungkin aku tidak dapat memenuhinya. Setelah itu rasa penasaran saya hilang.’”[39]

Terkait:   Keteladanan para Sahabat Nabi Muhammad seri-81

Hadhrat Khalifatul Masih Tsani (ra) menjelaskan kisah tersebut, bersabda: “Pada perang Uhud, Rasulullah (saw) memberikan sebuah pedang dan bersabda, ‘Saya berikan pedang ini kepada orang yang bertekad untuk memenuhi haknya.’

Banyak sekali orang yang ingin mengambil pedang tersebut. Namun Rasul memberikan pedang tersebut kepada Abu Dujanah Anshari.

Dalam pertempuran di satu tempat beberapa pasukan Makkah menyerang Abu Dujanah. Ketika beliau bertempur dengan mereka, beliau melihat ada seorang pasukan dengan penuh semangat ambil bagian dalam pertempuran. Beliau (Abu Dujanah) mengangkat pedang kepada orang itu, namun akhirnya meninggalkannya dan kembali.

Salah seorang kawan beliau bertanya, ‘Kenapa kamu melepaskan orang itu?’

Beliau menjawab, ‘Ketika saya menghampiri orang itu, keluar dari mulutnya kalimat yang darinya saya mengetahui bahwa ia bukan pria melainkan wanita.’

Kawannya berkata, ‘Bagaimanapun wanita itu ikut juga berperang seperti kaum pria lainnya, bukan? Lantas kenapa Anda melepaskannya?’

Abu Dujanah berkata, ‘Hati saya tidak tega menebaskan pedang pemberian Rasulullah (saw) kepada seorang wanita lemah.’”

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Rasulullah (saw) senantiasa mengajarkan untuk menghormati kaum wanita. Karena hal ini, para wanita kuffar dengan lebih berani lagi berusaha untuk menimpakan kerugian kepada umat Muslim, namun meskipun demikian pasukan Muslim menahan emosinya.”[40]

Berkenaan dengan Abu Dujanah seorang orientalis barat Sir William Muir menulis: “Pada permulaan perang, Muhammad (saw) mengambil pedangnya dan bersabda: siapa yang akan mengambil pedang ini dengan memenuhi haknya. Umar, Zubair dan banyak sahabat lainnya berkeinginan untuk mengambilnya namun Rasulullah (saw) melarangnya. Akhirnya, Abu Dujanah memohon untuk diberikan, lalu Rasulullah (saw) memberikannya. Setelah itu Abu Dujanah mulai menggunakan pedang tersebut untuk menebas kepala-kepala pasukan kuffar.”[41]

Kemudian ia menulis, “Lasykar pasukan Makkah mulai kocar-kacir dengan adanya gempuran dahsyat dari pasukan Muslim. Para pemimpin pasukan Quraisy berkali-kali berusaha untuk menyerang pasukan Muslim dari arah kiri, namun setiap kali mereka terpaksa menghadapi gempuran dari 50 pemanah Muslim yang diposisikan oleh Muhammad secara khusus, sehingga mereka terpaksa mundur. Keberanian dan sikap ksatria yang diperlihatkan oleh pasukan Muslim pada perang Badr, itu jugalah yang ditampilkan oleh mereka pada perang Uhud. Barisan pasukan Makkah dapat ditembus.

Ketika Hadhrat Abu Dujanah mengikatkan kain merah di kepala lalu menyerang musuh dengan menggunakan pedang yang diberikan oleh Muhammad (saw) keempat penjuru seolah olah beliau menghamparkan kematian. Begitu juga Hamzah, dengan mengenakan bulu burung unta di kepala tampak mencolok disetiap tempat. Ali dengan mengenakan kain kepala yang Panjang dan putih. Begitu juga Zubair dengan mengenakan sorban yang berwarna terang berkilau dengan penuh gagah berani kemanapun pergi membawa pesan kematian dan kabar duka bagi musuh. Inilah pemandangan dimana para pahlawan kemenangan Islam di kemudian hari mendapatkan tarbiyat.”[42]

Hadhrat Ibnu Abbas meriwayatkan, (semua keterangannya terdapat dalam Sirat Khataman Nabiyyin dan telah saya baca) Hadhrat Ibnu Abbas (ابْنِ عَبَّاسٍ) meriwayatkan, لَمَّا رَجَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أُحُدٍ أَعْطَى فَاطِمَةَ ابْنَتَهُ سَيْفَهُ، وَقَالَ: ” يَا بُنَيَّة، اغْسِلِي عَنْهُ هَذَا الدَّمَ “،  “Ketika Rasulullah (saw) kembali dari Uhud, beliau memberikan pedangnya kepada Putri beliau, Fatimah dan bersabda, ‘Wahai putriku! Bersihkanlah pedang ini dari darah.’ وَأَعْطَاهَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا سَيْفَهُ، وَقَالَ: وَهَذَا، فَاغْسِلِي عَنْهُ دَمَهُ، فَوَاللَّهِ لَقَدْ صَدَقَنِي الْيَوْمَ Hadhrat Ali pun memberikan pedangnya kepada Hadhrat Fathimah dan berkata, ‘Bersihkan juga ini dari darah. Demi Tuhan, pada hari ini ia telah menemaniku dengan baik.’ Rasulullah (saw) bersabda: لَئِنْ كُنْتَ صَدَقْتَ الْقِتَالَ، لَقَدْ صَدَقَهُ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ، وَأَبُو دُجَانَةَ ‘Jika kamu memenuhi hak untuk bertempur, sesungguhnya Sahl Bin Hunaif dan Abu Dujanah pun telah memenuhi haknya untuk bertempur.’”[43]

Dalam Riwayat lain, bukan Sahl Bin Hunaif tapi disebutkan Haris Bin Shimah (الْحَارِثُ بْنُ الصِّمَّةِ).[44]

Zaid Bin Aslam meriwayatkan, دُخِلَ عَلَى أَبِي دُجَانَةَ وَهُوَ مَرِيضٌ وَكَانَ وَجْهُهُ يَتَهَلَّلُ فَقِيلَ لَهُ: مَا لِوَجْهِكَ يَتَهَلَّلُ “Orang-orang datang kepada Abu Dujanah, saat itu beliau tengah sakit. Namun wajah beliau bercahaya terang. Seseorang bertanya, ‘Kenapa wajah Anda bercahaya?’

Hadhrat Abu Dujanah berkata, مَا مِنْ عَمَلِي شَيْءٌ أَوْثَقُ عِنْدِي مِنَ اثْنَتَيْنِ. أَمَّا إِحْدَاهُمَا فَكُنْتُ لا أَتَكَلَّمُ فِيمَا لا يَعْنِينِي. وَأَمَّا الأُخْرَى فَكَانَ قَلْبِي لِلْمُسْلِمِينَ سَلِيمًا ‘Diantara amalan saya ada dua amalan yang menurut saya sangat berbobot dan matang. Pertama, saya tidak pernah membicarakan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan saya (bukan urusan saya). Kedua, hati saya selalu bersih bagi umat Muslim.’”[45]

Hadhrat Abu Dujanah syahid pada perang Yamamah. Paska kewafatan Rasulullah (saw), Musailamah Kadzdzab mendakwakan kenabian palsu dan ingin menyerang Madinah. Hadhrat Abu Bakr memberangkatkan lasykar pada 12 Hijriyyah untuk menghentikannya. Hadhrat Abu Dujanah juga merupakan bagian dari lasykar itu. Hadhrat Abu Dujanah bertempur dahsyat pada perang Yamamah dan meraih maqom syahid.[46]

Banu Hanifah merupakan kabilah lama Arab yang sebagian besarnya melakukan pemberontakan untuk menyerang Madinah di bawah komando Musailamah Kadzdzab, mereka memiliki kebun dan bertempur dengan bersembunyi di kebun tersebut. Pasukan Muslim tidak mendapatkan kesempatan untuk masuk kedalam kebun tersebut.

Hadhrat Abu Dujanah berkata kepada pasukan Muslim, “Lemparkan saya ke dalam kebun!” Lalu hal itu dilakukan, namun dengan jatuhnya beliau ke arah lain menyebabkan patahnya kaki beliau. Meskipun demikian beliau bertempur di gerbang kebun dan menyingkirkan pasukan musyrik dari sana sehingga pasukan Muslim berhasil menerobos ke dalam.

Hadhrat Abu Dujanah ikut serta bersama Abdullah bin Zaid dan Wahsyi bin Harb dalam pembunuhan Musailamah al-Kazzab dan beliau syahid pada saat perang Yamamah. Terdapat dalam satu riwayat bahwa Hadhrat Abu Dujanah telah wafat pada peristiwa perang Shiffin yang berada di pihak Hadhrat Ali (ra) namun riwayat ini ternyata dhaif. Riwayat yang sebelumnya lebih shahih dan banyak dicantumkan.[47]

Sebelumnya hal ini pun sudah saya jelaskan dan sedikit bagian akan saya jelaskan yang berkaitan dengan Hadhrat Abu Dujanah. Abu Dujanah berasal dari kaum Anshar. Beliau adalah penduduk Madinah yang baiat sebelum Rasulullah (saw) hijrah ke Madinah. Beliau pun memperoleh kehormatan bergabung bersama Rasulullah (saw) dalam perang Badr dan memperlihatkan esensi keberanian sesungguhnya. Demikian pula, beliau juga mendapatkan taufik untuk ikut serta dalam perang Uhud. Setelah keadaan perang berubah yakni ketika kaum Muslim yang tadinya memperoleh kemenangan kemudian keadaan berubah karena satu pos penjagaan ditinggalkan, kaum kafir pun kembali menyerang sehingga gelombang perang berbalik melawan kaum Muslim. Para sahabat yang pada saat itu masih berada di dekat Hadhrat Rasulullah (saw), Hadhrat Abu Dujanah pun termasuk di dalamnya terluka begitu parah demi melindungi Hadhrat Rasulullah (saw) yang tidak berkutik sedikit pun hanya karena luka-luka itu.

Suatu hari dalam keadaan sakit beliau mulai berkata kepada yang menemaninya, “Mungkin ada dua amal saya yang akan diterima Allah Ta’aala. Pertama, saya tidak membicarakan hal-hal yang laghw (sia-sia). Saya tidak berghibat (membicarakan orang-orang di belakangnya). Kedua, di dalam hati saya tidak menyimpan kebencian dan kemarahan kepada seorang Muslim pun.”[48] Penjelasan tentang beliau selesai sampai di sini.

Sekarang saya akan menyampaikan tentang beberapa almarhum dan juga akan saya imami sholat jenazah gaib atas mereka, satu diantaranya adalah seorang syahid yang disyahidkan beberapa hari yang lalu. Al-Mukarram (Yth.) Mahbub Khan Sahib putra Sayyid Jalal Sahib dari Distrik Pesyawar. Para penentang Jemaat menembak dan menyahidkan Mahbub Ahmad Khan Sahib pada tanggal 8 Nopember 2020 pukul 8.00 pagi hari di desa Syeikh Muhammadi, Pesyawar. Innalillahi wa inna ilayhi raajiuun. Berdasarkan rincian kejadian, Mahbub Khan Sahib pada tanggal 6 Nopember dari kota Khusyhaal, Pesyawar pergi mengunjungi cucunya yang tinggal bersama keluarganya di tempat yang berdekatan dengan pemukiman Syeikh Muhammadi.

Pada tanggal 8 Nopember, beliau keluar dari rumah tinggal cucunya untuk pulang. Ketika beliau sampai di halte bus terdekat, ada beberapa orang tidak dikenal yang telah mengikutinya, menembak beliau. Sebuah tembakan mengenai kepala beliau dari belakang dan tembus keluar dari depan sehingga menyebabkan beliau wafat seketika. Innalillahi wa inna ilayhi raajiuun. Setelah itu para pembunuh melarikan diri dari tempat kejadian. Hanya satu pembunuh yang melarikan diri.

Umur almarhum kira-kira 80 tahun. Pada tahun 2020 setelah pensiun sebagai officer superintendent dari departemen teknik kesehatan public, beliau menjalani kehidupan beliau dari tunjangan pensiun. Ayahanda beliau, Sayyid Jalal Sahib bai’at pada dasawarsa tahun 1930. Beliau adalah Ahmadi keturunan. Beliau memiliki banyak kekhususan. Beliau adalah sosok yang disiplin melakukan shalat tahajjud, selain solidaritas dan pengkhidmatan kepada tamu, beliau adalah contoh dalam kemurahan hati. Beliau sangat gemar bertabligh dan selalu terdepan dalam menyampaikan pesan kebenaran. Ketika beliau pernah diminta untuk berhati-hati, hanya satu yang beliau katakana, “Toh sekarang sudah waktunya untuk hadir kehadapan Tuhan. Sekiranya wafat dalam keadaan syahid, maka suatu kebahagiaan bagiku.” Bagaimana pun juga keinginan beliau untuk syahid telah sempurna.

Istri Syahid Mahbub Khan Sahib, Mi’raj Begum Sahibah telah memperoleh penghormatan ini bahwa ayahanda beliau, Muhammad Sa’id Sahib dan paman beliau, Basyir Ahmad Sahib juga telah syahid pada tahun 1966 dan sekarang kebahagiaan ini diperoleh oleh suami beliau. Dengan demikian beliau adalah putri seorang syahid, keponakan seorang syahid, dan istri seorang syahid.

Beliau meninggalkan seorang istri yaitu Mi’raj Begum Sahibah, dua orang putra, Munawwar Sahib dan Fazl Ahmad Sahib dan dua orang putri, Dzakiyah Begum Sahibah dan Wahidah Begum Sahibah serta 13 orang cucu. Putra beliau yang kecil telah mendapatkan gelah PhD dalam Micro Biology yang sekarang berada di Australia, yang kedua berada di Jerman, Fazl Ahmad Sahib. Beliau juga seorang M.A dalam Bahasa Inggris.

Putra beliau Munawwar Khan Sahib menuturkan, “Mahbub Khan Sahib sangat memperhatikan lingkungannya supaya bisa tinggal dengan aman dan tentram. Beberapa kali beliau pun rela bercucuran darah hanya untuk melerai dua kelompok yang berseteru. Beliau selalu siap setiap hari untuk membantu orang-orang miskin dan gelandangan. Tanpa ragu orang-orang merujuk kepada beliau untuk keperluan diri mereka dan untuk membantu mereka beliau selalu menyiapkan sejumlah dana dan pangan sekemampuannya. Beliau adalah sosok yang sangat rendah hati dan pendiam. Sosok yang sangat sabar dan peka terhadap penderitaan orang lain dan sedia setiap saat untuk membantu mereka.”

Semoga Allah Ta’aala selalu meninggikan derajat almarhum dan memberikan taufik kepada orang-orang yang beliau tinggalkan untuk meneruskan kebaikan-kebaikan beliau.

Jenazah yang kedua adalah Fakhr Ahmad Farukh Sahib, seorang murabbi silsilah di Pakistan. Pada tanggal 1 Nopember 2020 sekitar pukul 6.15 sore mengalami kecelakaan ketika menemani putra beliau Ihtisyam Abdullah yang datang dari Ahmad Nagar. Beliau wafat ketika datang dari Ahmad Nagar. Innalillahi wa inna ilayhi raajiuun. Kedua ayah dan anak mengalami kecelakaan yang luar biasa dan keduanya pun wafat pada saat itu.

Dengan karunia Allah Ta’aala Fakhr Sahib adalah seorang mushi. Ayahanda Fakhr Sahib, Saifurrahman Sahib baiat sendiri. Dulu dalam keluarga beliau tidak ada satu pun Ahmadi. Kemudian pada tahun 1968 beliau berbai’at dan menjadi Ahmadi yang pertama dalam keluarganya. Setelah lulus dari Jamiah Ahmadiyah Rabwah pada tahun 1996 di Pakistan, beliau memperoleh taufik berkhidmat di beberapa tempat.

Kemudian Fakhr Sahib diutus bertugas ke negara Pantai Gading, Afrika Barat dan sejak 8 tahun yang lalu mendapatkan taufik bertugas sebagai murabbi silsilah di Ahmad Nagar. Beliau menikah dengan Tahira Fakhr Sahiba, putri Ali Asghar Sahib. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai 4 putri dan seorang putra yaitu Ihtisyam Abdullah yang wafat bersamaan dengan ayahnya dalam kecelakaan itu dan sekarang tinggal istri beliau dan 4 orang putri. Selain itu, ibunda dan saudara/i beliau. Putri-putri beliau adalah Wajiha, Amat Us Sabuh, Azizah Khafiyah Samrin Fakhr dan Mahrin Fakhr.

Istri beliau Tahira Sahibah menulis, “Saat menikah, murabbi sahib ditetapkan bertugas di sebuah desa yaitu Khusyab. Ketika saya pergi ke pusat di sana maka beliau memberitahukan dan menjelaskan kepada saya tentang kewajiban-kewajiban istri seorang murabbi, ‘Kamu sekarang berdiri bersama saya dan kamu juga harus maju mengambil bagian dalam pekerjaan-pekerjaan jemaat seperti tarbiyat.’

Kemudian beliau dipindahkan ke Badin. Murabbi Sahib berangkat lebih dahulu dan setelah beberapa lama baru dia berangkat, dan berkata, pada hari ketika saya sampai di sana, saya pun terlebih dahulu diberitahukan, akan tetapi ketika saya pergi ke sana, Murabbi Sahib tidak berada rumah. Saya terus duduk di luar masjid di bawah terik. Kabarnya istri seorang muallim sedang sakit dan membutuhkan darah maka beliau pergi untuk mendonorkan darah beliau. Ketika pulang, saya pun bertanya kepada beliau, ‘Saya duduk di luar, di bawah terik, anda tahu bahwa saya datang hari ini setelah menempuh perjalanan yang panjang.’

Beliau menjawab bahwa itu juga pekerjaan yang sangat penting kemudian beliau menjelaskan kepada saya bahwa dalam keadaan seperti demikian kita harus berkorban.”

Ketika beliau pergi ke Pantai Gading, di sana beliau juga tetap banyak melakukan pekerjaan khidmat khalq bersamaan dengan pengkhidmatan terhadap agama serta selalu membimbing istri dan anak-anak kepada agama. Istri beliau mengutarakan, “Suatu kali kondisi kesehatan saya sangat buruk saat akan melahirkan seorang anak perempuan. Murabbi sahib pergi untuk melaksanakan bakti sosial untuk pengobatan. Dokter memberitahukan bahwa kondisi sudah mengkhawatirkan, namun Murabbi sahib pergi meninggalkan saya, hanya ini yang beliau katakana, ‘Allah akan menganugerahkan karunia-Nya. Kamu adalah istri seorang waqif zindagi. Kamu tidak akan apa-apa.’”

Demikianlah Murabbi sahib selalu mengedepankan urusan-urusan agama di atas urusan-urusan duniawi.

Beliau adalah seorang pengkhidmat tamu, pengkhidmat kemanusiaan, dan pengkhidmat agama, paling penyayang dari yang lainnya. Dengan anak-anak beliau menjalin hubungan persahabatan. Apabila ada masalah, baik itu keluarga, jemaat atau dengan orang-orang ghair Ahmadi, beliau menjelaskan dengan sangat senang hati. Beliau juga selalu menasihati anak-anak bahwa kalian adalah anak-anak seorang waqif zindagi dan anak-anak seorang murabbi. Oleh karena itu, prioritaskanlah selalu agama di atas dunia dan tampilkanlah selalu contoh kalian yang baik.

Wasif Sahib, murabbi di Pantai Gading, mengutarakan, “Saat Fakhr Sahib datang ke Pantai Gading sebagai muballigh, beliau adalah orang yang sangat murah senyum. Perkara yang khas dari kepribadian beliau adalah pribadi yang menarik untuk diajak bicara, dengan siapa saja bertemu maka mereka akan mengajak beliau berbicara. Selama 5 tahun beliau berkhidmat sebagai muballigh di kabupaten Oume dan karena keindahan akhlak dan solidaritas beliau, setiap orang menjalin hubungan dengan beliau dan selalu menyebut nama beliau. Beliau juga dulu selalu diam-diam membantu beberapa orang miskin mengongkosi mereka untuk berangkat ke jalsah salanah, dan berkata selama masa beliau tinggal, kabupaten beliau selalu awal dalam kehadiran.”

Seorang muallim lokal di sana, Samaro Harun Sahib mengatakan, “Saya berkhidmat dengan beliau selama 2,5 tahun, beliau memperhatikan saya layaknya seorang adik. Hal yang saya catat dengan khusus bahwa beliau adalah seorang muballigh yang sangat rajin dan bersemangat. Beliau selalu melaksanakan tugas beliau dengan penuh tanggung jawab dan keseriusan. Seorang yang selalu cepat dalam menyempurnakan pekerjaannya, baik itu bertabligh, mengumpulkan candah, dan persiapan jalsah. Dalam hal pertablighan beliau menginginkan bahwa pesan jemaat harus secepatnya sampai di setiap desa.”

Semoga Allah Ta’aala meninggikan derajat almarhum dan semoga Allah Ta’aala menjadi pelindung dan penjaga putri-putri dan istri beliau serta menjaga mereka dari masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan yang akan datang.

Jenazah yang ketiga adalah putra murabbi sahib Fakhr Ahmad Farrukh, Ihtisyam Ahmad Abdullah. Sebagaimana yang telah saya beritahukan tadi bahwa beliau wafat bersama ayahandanya dalam kecelakaan lalu lintas. Dengan karunia Allah Ta’aala beliau termasuk di dalam gerakan beberkat waqfenau dan belajar di tahun pertama. Beliau bukanlah seorang mushi tetapi telah mengisi formulir wasiyyat hanya saja tidak mengumpulkannya. Dengan demikian bisa diproses di karpardaz apabila formulir telah diisi.

Ibunda beliau mengatakan, “Anak saya memiliki banyak sekali kebaikan. Anak yang shaleh dan taat. Bergabung dengan gerakan waqfenau. Taat melaksanakan shalat. Selalu menyelesaikan setiap perintah dari zaim sahib Khudamul Ahmadiyah dan selalu menjalankan tugas dan yang lainnya dengan senang hati. Pada hari itu dia ditugaskan di masjid.”

Semoga Allah Ta’aala menganugerahkan ampunan dan menganugerahkan kasih sayang-Nya kepada almarhum serta meninggikan derajatnya.

Kemudian jenazah selanjutnya adalah Mukarram dokter Abdul Karim Sahib, putra Mian Abdul Latif Sahib, Rabwah yang merupakan pensiunan penasihat ekonomi Bank Of Pakistan. Beliau wafat pada tanggal 14 September di usia 92 tahun. Innalillahi wa inna ilayhi raajiuun. Beliau adalah cucu dari sahabat Hadhrat Masih Mau’ud as. yaitu Hadhrat Mlv. Muhammad Ali Sahib.

Beliau termasuk dalam halaman pertama Talimul Islam Collage Qadian. Ketika kampus dipindahkan ke Lahore setelah pemisahan (India-Pakistan) maka beliau menyelesaikan M.A nya di Universitas Punjab sebagai mahasiswa Talimul Islam Collage. Pada saat itu di seluruh universitas, beliau hanya sendiri mahasiswa Talimul Islam Collage. Kemudian beliau mendapatkan beasiswa dari pihak Bank Pemerintah Pakistan (State Bank of Pakistan) dan pergi untuk melanjutkan pendidikan PhD beliau dalam bidang ekonomi di George Washington University Amerika. Di sana pun beliau ditemptkan di masjid Fazl dan di sana beliau juga sibuk dalam aktifitas pertablighan.

Terkait:   Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyAllahu ta’ala ‘anhu

Beliau begitu mencintai Pakistan. Dalam karirnya, meskipun bekerja secara permanen bersama organisasi internasional seperti Bank Dunia, beliau selalu memilih untuk tinggal di Pakistan. Beliau bekerja di State Bank of Pakistan dalam masa yang lama dan pensiun sebagai konsultan atau penasihat. Dalam masanya, beliau telah banyak sekali menyukseskan tugas-tugas dalam negara dan luar negeri bersama organisasi-organisasi seperti IMF dan Asian Development. Dalam beberapa masa beliau juga bekerja sebagai menteri keuangan dan juga selalu siap mengawasi anggaran Federal (pemerintah Pusat). Beliau juga selama 2 tahun pernah dikirim sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah situasi ekonomi pemerintah Sudan di Khurtum dari pihak IMF.

Setelah pensiun dari State Bank, beliau memprioritaskan untuk tinggal di Rabwah semata-mata untuk berkhidmat di Jemaat. Begitulah ketika dihadapkan dengan persoalan-persoalan berkaitan dengan ekonomi dan agama maka selalu dimusyawarahkan dengan beliau. Komite yang telah dibuat, saya juga selalu bermusyawarah dengan beliau di dalamnya.

Sosok yang memiliki banyak pandangan, dalam hal ini beliau menulis artikel-artikel yang menarik. Dalam setiap penelitian beliau, beliau selalu mempersembahkannya dengan pandangan begitu dalam yang di dalamnya terdapat solusi-solusi penyelesaian. Beberapa buku juga merupakan karangan beliau di antaranya “Islam Ki Bunyadi Batein’” (Perkara-perkara Mendasar Islam) dalam Bahasa Inggris, “Islam Falsafa-e-Hayat or Ma’ashi Usool” (Islam, Falsafah Kehidupan dan Prinsip Perekonomian) ini juga dalam Bahasa Inggris. “Hurmat Soud” (Larangan Suap Menyuap), ini dalam Bahasa Urdu. “Hasool Rizq” (Perolehan Rizki) ini juga dalam Bahasa Urdu.

Pada tahun 1989, setelah pensiunan ini beliau mewakafkan diri pada gerakan Hadhrat Khalifatul Masih Ar-Rabi’ dan berangkat untuk mengajar perekonomian di Universitas Tasykent, Uzbekistan. Di sana beliau menjalankan pengkhidmatan selama 6 bulan lalu sebuah komite didirikan oleh Hadhrat Khalifatul Masih Ar-Rabi’ untuk mendiskusikan dengan seksama masalah-masalah tentang persoalan-persoalan hipotek dan bunga yang di dalamnya termasuk para alim dan para ahli. Ada juga sub komite yang beliau juga anggota di dalamnya. Kemudian ada juga sub komite yang saya dalam beberapa masa bekerja bersama beliau. Seperti yang saya katakan, setiap berkata beliau begitu serius. Selalu berbicara dengan penuh dalil. Beliau juga mengirimkan beberapa artikel kepada saya berkenaan dengan aturan bunga dan artikel-artikel yang beliau tulis itu begitu bagus dan hebat.

Selebihnya InsyaAllah akan dipertimbankan dan kemungkinan yang akan datang, artikel beliau tentang perlawanan untuk menentang aturan bunga, aturan yang disampaikan, di dalam ini (khutbah) beberapa opini-opini beliau akan disampaikan.

Semoga Allah Ta’aala meninggikan derajat beliau dan semoga Allah Ta’aala juga memberikan taufik kepada keturunan beliau untuk mengamalkan kebaikan-kebaikan beliau.[49]

Khotbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ

أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


[1] Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol. 7, p. 371, Musnad Muaz bin Jabal, Hadith 22,439, Alam al-Kutub, Beirut, 1998.

[2] Ibnu Abd al-Barr, Al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashab, Vol. 3, Abd-Allah bin Amr [Beirut, Lebanon: Dar al-Jil, 1992], 954-955; Sahih al-Bukhari 1293, Kitab tentang Jenazah (كتاب الجنائز).

[3] Ibnu Abd al-Barr, Al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashab, Vol. 3, Abd-Allah bin Amr [Beirut, Lebanon: Dar al-Jil, 1992], 956; Sahih al-Bukhari 1244, Kitab tentang Jenazah (كتاب الجنائز), bab menengok jenazah setelah dikafani (باب الدُّخُولِ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ الْمَوْتِ إِذَا أُدْرِجَ فِي كَفَنِهِ).

[4] Sahih al-Bukhari 1343, Kitab tentang Jenazah (كتاب الجنائز), bab Shalat jenazah untuk seorang yang Syahid (باب الصَّلاَةِ عَلَى الشَّهِيدِ).

[5] Shahih al-Bukhari, Kitab tentang Jenazah (كتاب الجنائز), bab Shalat jenazah untuk seorang yang Syahid (باب الصَّلاَةِ عَلَى الشَّهِيدِ), nomor 1344. Sahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi, Bab Ghazwat al-Uhud, Hadith 4042. Sunan an-Nasai, Kitab tentang Jenazah (كتاب الجنائز), bab Shalat jenazah untuk para Syahid (باب الصَّلاَةِ عَلَى الشُّهَدَاءِ). Shahih Muslim, Kitab al-Fadhail (كتاب الفضائل), bab kepastian telaga Nabi (باب إِثْبَاتِ حَوْضِ نَبِيِّنَا صلى الله عليه وسلم وَصِفَاتِهِ ‏‏)

[6] Sunan Ibni Maajah (سنن ابن ماجة), Kitab tentang Jenazah (كتاب الجنائز) Bab ma ja‘a fi al-Salah ala al-Shahid, Hadith 1513. Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Malik al-Ghafaaziy, bahwasanya ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw mensholati jenazah syuhada’ Uhud, sepuluh orang, sepuluh orang. Dan setiap sepuluh orang disholatkan, Hamzah juga ikut disholatkan, hingga Rasulullah saw mensholatinya sebanyak 70 kali sholat.” [HR. Imam Abu Dawud]

[7] Sunan Abi Daud nomor 3135, Kitab tentang Jenazah (كتاب الجنائز), bab Bab fi al-Shahid Yughsalu (باب فِي الشَّهِيدِ يُغَسَّلُ).

[8] Sunan Abi Daud nomor 3137, Kitab tentang Jenazah (كتاب الجنائز), bab Bab fi al-Shahid Yughsalu (باب فِي الشَّهِيدِ يُغَسَّلُ).

[9] Jami` at-Tirmidhi atau Sunan at-Tirmidzi 1036, Kitab tentang Jenazah (كتاب الجنائز عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), bab mereka yang syahid dalam perang Uhud dan penyebutan mengenai Hamzah (باب مَا جَاءَ فِي قَتْلَى أُحُدٍ وَذِكْرِ حَمْزَةَ). Dalam bab tidak melaksanakan shalat jenazah kepada orang yang Syahid (باب مَا جَاءَ فِي تَرْكِ الصَّلاَةِ عَلَى الشَّهِيدِ) nomor 1036 disebutkan, وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوا  “Beliau (saw) memerintahkan penguburan jenazah mereka, tidak dishalatkan dan tidak dimandikan.” Disebutkan pula, وَقَدِ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الصَّلاَةِ عَلَى الشَّهِيدِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ يُصَلَّى عَلَى الشَّهِيدِ ‏.‏ وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَبِهِ يَقُولُ الشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ ‏.‏ وَقَالَ بَعْضُهُمْ يُصَلَّى عَلَى الشَّهِيدِ “Para Ahli Ilmu beda pendapat perihal menyalatkan jenazah orang yang Syahid.”

[10] As-Sirah an-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam (سيرة ابن هشام المسمى بـ «السيرة النبوية»), (صلاته صلى الله عليه وسلم صلاة الجنازة على حمزة).

[11] Ibn Hisham, Sirat Ibn Hisham, Gahzwat Uhud [Beirut, Lebanon: Dar Ibn Hazm, 2009], 395-296; Ali bin Burhan al-Din al-Halabi, As-Sirah al-Halabiyyah (السيرة الحلبية = إنسان العيون في سيرة الأمين المأمون), Vol. 2, Bab Dhikr Maghaziyah, Perang Uhud (غزوة أحد) [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002], 337.

[12] Dalailun Nubuwwah wa Ma’rifatu Ahwaali Shahibisy Syari’ah (دلائل النبوة و معرفة أحوال صاحب الشريعة) atau Dalil-Dalil Kebenaran Kenabian Nabi Muhammad (saw) dan pengenalan keadaan pengemban Syariat karya Abu Bakr al-Baihaqi (أبو بكر البيهقي), kumpulan bab Badr (جماع أبواب غزوة بدر العظمى‏), bab ma ara ba’da inqidha alharb wa dzihaabil musyrikina fi amril qatla wal jarha wa man Ajada al-Harb wa ma Zahara min al-Athar fi Hal al-Shuhada (باب ما جرى بعد انقضاء الحرب و ذهاب المشركين في أمر القتلى و الجرحى و من أجاد الحرب و ما ظهر من الآثار في حال الشهداء على طريق الاختصار), Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2002. Tercantum juga dalam Ma’rifatus Sunan karya al-Baihaqi (معرفة السنن والآثار للبيهقي) nomor 2193: صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم على حمزة فكبر عليه سبع تكبيرات ، ولم يؤت بقتيل إلا صلى عليه معه حتى صلى عليه اثنين وسبعين صلاة .

[13] Ali bin Burhan al-Din al-Halabi, Al-Sirah al-Halabiyyah, Vol. 2, Bab Dhikr Maghaziyah [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002], 338; Dala‘il al-Nubuwwah, Vol. 3, pp. 287-288, Ajada al-Harb wa ma Zahara min al-Athar fi Hal al-Shuhada, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2002; Sahih al-Bukhari, Kitab al-Jana‘iz, Bab al-Salah ala al-Shahid, Hadith 1343.

[14] Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, Ibn Hajr Asqalani, Vol. 3, p. 249, Dar al-Rayyan li al-Turath, Cairo, 1986; Syarh as-Suyuthi li Sunan an-Nasai (شرح السيوطي لسنن النسائي), Kitab jenazah (كتاب الجنائز), bah shalat untuk para Syuhada (الصلاة على الشهداء). Fiqh as-Sunnah (فقه السنة) bab (الصلاة على السقط). Tuhfatul Ahwadzi (تحفة الأحوذي بشرح جامع الترمذي), (صفحة 1737). Nailul Authar (نيل الأوطار), Kitab jenazah (كِتَابُ الْجَنَائِزِ), bab tidak shalat jenazah untuk seorang yang Syahid (تَرْكُ الصَّلَاةِ عَلَى الشَّهِيدِ). Khathib asy-Syarbini (الخطيب الشربيني) atau (محمد بن أحمد الشربيني، شمس الدين), seorang Faqih madzhab Syafi’i yang wafat di Mesir pada 977 Hijriyah dalam Kitab Mughnil Muhtaaj ila Ma’rifati Ma’ani alfaazhil Minhaaj (مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج).

[15] Sahih al-Bukhari, Kitab al-Jana‘iz, Bab al-Salah ala al-Shahid, Hadith 1343-1344; Shahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi (كتاب المغازى), bab perang Uhud (باب غَزْوَةِ أُحُدٍ), 4042.

[16] Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari (فتح الباري شرح صحيح البخاري 1-18 مع الفهارس ج4) karya Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali Ibnu Hajar al-Asqalani (أبي الفضل أحمد بن علي/ابن حجر العسقلاني). Imam Syafi’i memaknai kata ‘shalat’ di Hadits Bukhari tersebut sebagai bukan “shalat jenazah” tetapi “berdoa dan beristighfar untuk para Syuhada Uhud yang sedang diziarahi”.

[17] Sirat Khatamun-Nabiyyin, Hazrat Mirza Bashir Ahmad (ra), pp. 501-502.

[18] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 3, Abd-Allah bin Amr [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990], 425; Sunan Abi Daud, Kitab tentang Jenazah (كتاب الجنائز), bab pemindahan mayat karena suatu hal yang terjadi (باب فِي تَحْوِيلِ الْمَيِّتِ مِنْ مَوْضِعِهِ لِلأَمْرِ يَحْدُثُ), 1208.

[19] Sahih al-Bukhari 1351, Kitab tentang Jenazah (كتاب الجنائز), bab bolehkah jenazah dikeluarkan dari kuburannya (باب هَلْ يُخْرَجُ الْمَيِّتُ مِنَ الْقَبْرِ وَاللَّحْدِ لِعِلَّةٍ). Perubahan yang dimaksud ialah “perubahan tipis di dekat telinga jenazah beliau.”

[20] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, Vol. 3, Abd-Allah bin Amr [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], 424) (Al-Waqidi, Kitab al-Tarikh wa al-Maghazi, Vol. 1 [Beirut, Lebanon: Alam al-Kutub, 1984] 267. Syarh Nahji Balaghah karya Ibnu ‘Abil Hadid (شرح نهج البلاغة نویسنده : ابن ابي الحديد جلد : 14 صفحه : 264)

[21] Sunan Ibnu Majah hadis nomor 186 (Lihat: Hasyiatus Sindi Ibnu Majah) https://carihadis.com/Sunan_Ibnu_Majah/186; Jami’ at-Tirmidzi 3010, Kitab Tafsiril Qur’an (كتاب تفسير القرآن عن رسول الله صلى الله عليه وسلم).

[22] Kanzul ‘Ummal (كنز العمال في سنن الأقوال والأفعال) karya al-Muttaqi al-Hindi, nomor 11163. Kitab al-Mutamanin (Harapan-Harapan atau Keinginan-Keinginan) karya Ibnu Abid Dunya (كتاب المتمنين لابن أبي الدنيا). Al-Hafidz Abu Bakr Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Sufyan bin Qais al-Baghdadi al-Umawi al-Qurasyi (bahasa Arab: الحافظ أبو بكر، عبد الله بن محمد بن عبيد بن سفيان بن قيس البغدادي الأموي القرشي‎) (lahir 823 di Bagdad, meninggal 894 di Bagdad) atau lebih dikenal dengan Ibnu Abi ad-Dunya adalah seorang ulama di bidang hadis dan fikih.

[23] Sunan al-Tirmidhi, Abwab Tafsir al-Quran, Surah Al-e-Imran, Hadith 3010; Dala‘il al-Nubuwwah, Vol. 3, p. 298, Ajada al-Harb wa ma Zahara min al-Athar fi Hal al-Shuhada, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2002; Ibn Abd al-Barr, Al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashab, Vol. 3, Abd-Allah bin Amr [Beirut, Lebanon: Dar al-Jil, 1992], 955-956. Sunan Ibnu Majah hadis nomor 186 (Lihat: Hasyiatus Sindi Ibnu Majah) https://carihadis.com/Sunan_Ibnu_Majah/186; Jami’ at-Tirmidzi 3010, Kitab Tafsiril Qur’an (كتاب تفسير القرآن عن رسول الله صلى الله عليه وسلم).

[24] Khutbat-e-Tahir, Qabl az Khilafat, Taqrir Jalsa Salana 1979, pp. 349-350.

[25] Shahih al-Bukhari 2127, Kitab Jual-Beli (كتاب البيوع), bab menimbang barang oleh penjual atau pemberi (باب الْكَيْلِ عَلَى الْبَائِعِ وَالْمُعْطِي).

[26] Sunan al-Nasai, Kitab al-Wasaya, Bab al-Wasiyyah bi al-Thuluth, Hadith 3666; Sahih al-Bukhari, Kitab al-Naqabat, Bab Aun al-Mar‘ah Zaujiha fi Waladih, Hadith 5367.

[27] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 2, Simak bin Kharashah [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2003], 317) (Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3, Abu Dujanah [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], 419.

[28] Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3, Abu Dujanah [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], 420.

[29] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 2, Simak bin Kharashah [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2003], 317.

[30] Ibn Abd al-Barr, Al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashab, Vol. 2, Simak bin Kharashah [Beirut, Lebanon: Dar al-Jil, 2010], 212.

[31] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 5, Abu Dujanah Simak bin Kharashah [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2003], 96.

[32] Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3, Abu Dujana [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], 420.

[33] Ibn Abd al-Barr, Al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashab, Vol. 4, Abu Dujanah Ansari [Beirut, Lebanon: Dar al-Jil, 2010], 209.

[34] Sahih Muslim, Kitab Fada‘il al-Sahabah (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), Bab min Fada‘il Abi Dujanah Simak bin Kharashah (باب مِنْ فَضَائِلِ أَبِي دُجَانَةَ سِمَاكِ بْنِ خَرَشَةَ رضى الله تعالى عنه ‏‏), Hadith 6353.

[35] Tarikh Islam karya adz-Dzahabi (تاريخ الإسلام – الذهبي – ج ٢ – الصفحة ١٧١).

[36] Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, Vol. 7, Abu Dujanah al-Ansari [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005], 100) (Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 2, Simak bin Kharashah [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003], 317. Abū Nuʿaym al-Aṣbahānī (أبو نعيم الأصبهاني ,d. 1038 CE) dalam Kitabnya, Maʿrifat al-ṣaḥāba (معرفة الصحابة).

[37] Al-Mustadrak ‘alash Shahihain (المستدرك على الصحيحين), (ذِكْرُ مَنَاقِبِ أَبِي دُجَانَةَ سِمَاكِ بْنِ خَرَشَةَ الْخَزْرَجِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قُتِلَ أَبُو دُجَانَةَ يَوْمَ مُسَيْلِمَةَ شَهِيدًا), (2000- ذِكْرُ شَجَاعَةِ أَبِي دُجَانَةَ), Vol. 3, p. 440, 441, Kitab Marifat al-Sahabah, Dhikr Manaqib Abi Dujanah, Riwayah No. 5088, Dar al-Kutub al-Fikr, Beirut, 2002; Sharh Allamah Zurqani ala al-Mawahib al-Laduniyyah, Vol. 2, p. 406, 407, Kirab al-Maghazi, Bab Ghazwat Uhud, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1996 Tarikh Islam karya adz-Dzahabi (تاريخ الإسلام – الذهبي – ج ٢ – الصفحة ١٧١).

[38] Al-Mustadrak ala al-Sahihain, Vol. 3, p. 440, 441, Kitab Marifat al-Sahabah, Dhikr Manaqib Abi Dujanah, Riwayah No. 5088, Dar al-Kutub al-Fikr, Beirut, 2002; Sharh Allamah Zurqani ala al-Mawahib al-Laduniyyah, Vol. 2, p. 406, 407, Kirab al-Maghazi, Bab Ghazwat Uhud, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1996.

[39] Sirat Khatamun-Nabiyyin, Hazrat Mirza Bashir Ahmad (ra), p. 489-490.

[40] Tafsir-e-Kabir, Vol. 2, p. 421, 422.

[41] Life of Mahomet, Sir William Muir, Vol. 3, p. 169 [footnote], Smith Elder & Co, Waterloo, 1861.

[42] Original quote – Life of Mahomet, Sir William Muir, Vol. 3, p. 169, Smith Elder & Co, Waterloo, 1861) (Sirat Khatamun-Nabiyyin, Hazrat Mirza Bashir Ahmad (ra), p. 490.

[43] Usdul Ghaabah.

[44] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 3, Simak bin Kharashah [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2003], 317) (Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3, Abu Dujanah [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], 420 Al-Mustadrak (المستدرك على الصحيحين), (كِتَابُ مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ), (ذِكْرُ مَنَاقِبِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ الْأَنْصَارِيِّ ، وَكُنْيَتُهُ أَبُو ثَابِتٍ رَضِيَ), (حديث رقم 5762).

[45] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d. Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3, Abu Dujanah [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], 420

[46] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 3, Simak bin Kharashah [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2003], 318) (Ibn Abd al-Barr, Al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashab, Vol. 4, Abu Dujanah al-Ansari [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010], 209) (Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3, Abu Dujanah [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], 420) (Urdu Da‘irah Ma‘arif Islamiyyah, Vol. 8, p. 695, Shu‘bah Urdu Da‘irah Ma‘arif, Lahore.

[47] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 3, Simak bin Kharashah [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2003], 318.

[48] Friday Sermon, 16 March 2018, Al Fazl International, 6-12 April 2018, Vol. 25, Issue 14, p. 5).

[49] Original Urdu transcript published in Al Fazl International, 4 December 2020, pp. 5-11 . Translated by The Review of Religions. (الفضل انٹرنیشنل 11؍دسمبر 2020ء صفحہ 5تا10) Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Arief Rahman Hakim dan Mln. Saefullah Mubarak Ahmad (Qadian-India). Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.islamahmadiyya.net (bahasa Arab).

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.