Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 40)
Pembahasan dua orang Sahabat peserta perang Badr: Hadhrat Utsman bin Mazh’un dan Hadhrat Wahb bin Abdullah bin Abi Sarh radhiyAllahu ta’ala ‘anhuma.
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 26 April 2019 (Syahadat 1398 Hijriyah Syamsiyah/20 Sya’ban 1440 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Baitul Futuh, Morden UK (Britania)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Pada khotbah yang lalu saya telah menyampaikan mengenai riwayat hidup Hadhrat Utsman (ra) bin Maz’un dan saya akhiri dengan menyampaikan kesimpulan bahwa beliau adalah orang pertama yang dimakamkan di Jannatul Baqi.[1]
Keterangan lengkap berkenaan dengan awal mula Jannatul Baqi adalah sebagai berikut, Ketika Hadhrat RasuluLlah (saw) tiba di Madinah, telah banyak dijumpai pemakaman di sana. Kaum Yahudi memiliki pemakaman tersendiri, begitu juga beragam kabilah Arab memiliki pemakamannya masing-masing. Karena pada masa itu Madinah tayyibah terbagi kedalam berbagai daerah, untuk itu setiap kabilah menguburkan warganya pada kawasan terbuka di daerahnya. Daerah Quba memiliki pemakaman tersendiri yang sangat masyhur. Di sana terdapat banyak pemakaman kecil. Kabilah Banu Zhafr memiliki pemakaman tersendiri begitu juga dengan kabilah Banu Salamah.
Diantara pemakaman lainnya, pemakaman Banu Sa’dah yang di kemudian hari dibangun suuqun Nabi diatas area tersebut. Lahan yang diatasnya dibangun masjid Nabawi, pada bagian yang dipenuhi pohon kurma, dulunya merupakan pemakaman orang-orang musyrik.
Diantara pemakaman-pemakaman tersebut, Baqiiul gharqad (بقيع الغرقد) adalah yang tertua dan masyhur. Ketika RasuluLlah (saw) memilihnya sebagai pemakaman bagi umat Muslim, sejak saat itu sampai sekarang memiliki nilai dan keistimewaan tersendiri dan untuk selamanya.
Hadhrat Ashim bin Ubaidullah bin Abi Rafi (عن عاصم بن عبيد الله بن أبي رافع) meriwayatkan, كان رسول الله صَلَّى الله عليه وسلم، يَرتادُ لأصْحابه مَقْبَرةً يُدْفَنونَ فيها فكان قد جاء نواحي المدينة وأطرافها “Hadhrat RasuluLlah (saw) pada suatu saat tengah mencari suatu lahan yang nantinya akan digunakan untuk pemakaman umat Muslim saja. Untuk tujuan tersebut RasuluLlah (saw) mencari dan meninjau langsung ke berbagai tempat dan pojok-pojok Madinah. Akhirnya kehormatan itu didapatkan oleh area Baqiiul gharqad. Beliau (saw) bersabda, أُمِرْتُ بهذا الموضع، يعني البقيع ‘Saya mendapat perintah dari Allah Ta’ala untuk memilih Baqiiul gharqad.’”[2]
Pada masa itu tempat itu disebut juga Baqii’ul Khabjabah (بقيعُ الخَبْجَبَة). Di kawasan tersebut terdapat banyak pohon Gharqad (الغَرْقَدَ) dan ilalang. Pada area tersebut terdapat banyak nyamuk dan serangga lainnya. Ketika nyamuk bermunculan yang disebabkan kekotoran atau hutan, terlihat seperti asap menyebar.
Seperti yang telah disampaikan tadi, فكان أوّلُ من قُبر هناك عثمانَ بن مظعون، فوضع رسول الله صَلَّى الله عليه وسلم، حجرًا عند رأسه وقال yang paling pertama dimakamkan di sana adalah Hadhrat Utsman (ra) bin Mazh’un. RasuluLlah (saw) meletakkan sebuah batu nisan diatasnya lalu bersabda, هذا فَرَطُنا “Beliau ini yang telah mendahului kita semua.”
Para sahabat bertanya kepada Rasul, فكان إذا مات الميّتُ بعده قيل: يا رسول الله أينَ نَدْفِنُه؟ “Jika ada yang wafat setelah ini, akan dikuburkan dimana, wahai Rasul Allah?”
Rasul bersabda, عند فَرَطِنا عثمان بن مظعون “Di dekat pendahulu kita Utsman bin Mazh’un.”[3]
Kata Baqi’ (البَقِيعُ) dalam Bahasa Arab artinya adalah sebuah areal tanah tempat di mana akar pepohonan yang berbeda ditanam (المَوْضِعُ فِيهِ أَرُومُ الشَّجَرِ مِنْ ضُرُوبٍ شَتَّى).[4] Tempat tersebut di Madinah dikenal dengan nama Baqi’ul Gharqad karena di sana banyak pohon Gharqad.[5] Selain itu, di sana banyak juga rerimbunan dan ilalang gurun. Tempat itu disebut juga Jannatul Baqi (جنة البقیع). Salah satu arti Jannah dalam Bahasa Arab adalah kebun atau Firdaus. Tempat tersebut dikenal para peziarah bukan bangsa Arab dengan nama Jannatul Baqi.
Abdul Hamid Qadiri Sahib, seorang penulis menulis keterangan tersebut. Kemudian beliau menulis, “Hendaknya kita tidak lupa bahwa orang-orang Arab biasa menyebut pemakaman-pemakaman mereka dengan sebutan Jannah. Sebutan lainnya juga adalah Maqabirul Baqi (مَقبرة البَقيع) dan sebutan ini yang lebih dikenal di kalangan orang-orang Arab penduduk gurun dan desa yang di pelosok jauh.”[6]
(عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، عَنْ أَبِيهِ ) Hadhrat Salim bin Abdullah meriwayatkan dari ayahnya, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا مَاتَ مَيِّتٌ قَالَ : “Ketika ada yang wafat, RasuluLlah (saw) bersabda, قَدِّمُوهُ عَلَى فَرَطِنَا عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ ، فَنِعْمَ الْفَرَطُ ‘Kuburkan jenazahnya pada urutan setelah pendahulunya. Utsman bin Mazh’un adalah pendahulu yang sangat baik dalam umat saya.’”[7]
Hadhrat Ibnu Abbas meriwayatkan, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ حِينَ مَاتَ ، فَانْكَبَّ عَلَيْهِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ ، ثُمَّ حَنَى الثَّانِيَةَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ ، ثُمَّ حَنَى الثَّالِثَةَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ ، وَلَهُ شَهِيقٌ ، فَعَرَفُوا أَنَّهُ يَبْكِي فَبَكَى الْقَوْمُ “Ketika Hadhrat Utsman (ra) wafat, RasuluLlah (saw) menghampiri jenazahnya. Tiga kali RasuluLlah (saw) menundukkan badan lalu mengangkat kepala dan bersabda dengan suara tinggi, أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ اذْهَبْ عَنْهَا أَبَا السَّائِبِ فَقَدْ خَرَجْتَ مِنْهَا وَلَمْ تَلْبَسْ مِنْهَا بِشَيْءٍ ‘Abu Saa-ib! Semoga Allah Ta’ala mengampunimu, engkau telah meninggalkan dunia ini dalam keadaan bersih dari segala kekotoran dunia.’”
Hadhrat Aisyah meriwayatkan Hadhrat RasuluLlah (saw) mencium jenazah Hadhrat Utsman (ra) sambil mencucurkan air mata.[8]
(عَنْ عَائِشَةَ) Hadhrat Aisyah meriwayatkan, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم قَبَّلَ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ ، وَهُوَ مَيِّتٌ ، قَالَتْ : فَرَأَيْتُ دُمُوعَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم تَسِيلُ عَلَى خَدِّ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ “Ketika Hadhrat Utsman (ra) wafat, Hadhrat RasuluLlah (saw) mencium almarhum. Saya melihat air mata RasuluLlah (saw) menetes ke kedua pipi jenazah almarhum. Sedemikian rupa derasnya air mata beliau sehingga membahasi kedua pipi almarhum.” [9]
Ketika putra Rasul, Hadhrat Ibrahim wafat, RasuluLlah (saw) pun bersabda di depan jenazahnya, الحق بالسلف الصَّالِحِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ. ‘ilhaq bisalaafish shaalih Utsman bin Mazh’un’ artinya, “Pergilah untuk bersahabat dengan pendahulu saleh, Utsman bin Mazh’un.”[10]
Hadhrat Utsman (ra) bin Affan (عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ) meriwayatkan, أَنَّ النَّبِيَّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ صَلَّى عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعًا . Hadhrat RasuluLlah (saw) mengimami shalat jenazah Hadhrat Utsman (ra) dan beliau takbir sebanyak 4 kali.[11] Sebagian orang terkadang mengatakan takbir tidak bisa lebih dari 3 kali, padahal bisa saja 4 kali.
Muthalib bin Abdullah bin Hanthab (المطلب بن عبد الله بن حَنْطَب) meriwayatkan, لَمَّا مَاتَ عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ أُخْرِجَ بِجَنَازَتِهِ فَدُفِنَ أَمَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم رَجُلاً أَنْ يَأْتِيَهُ بِحَجَرٍ فَلَمْ يَسْتَطِعْ حَمْلَهُ ketika Utsman bin Mazh’un wafat dan jenazah beliau diangkat untuk dimakamkan lalu RasuluLlah (saw) memerintahkan seseorang untuk mengambil batu, namun orang tersebut tidak dapat mengangkat batunya karena berat. فَقَامَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَحَسَرَ عَنْ ذِرَاعَيْهِ – قَالَ كَثِيرٌ قَالَ الْمُطَّلِبُ قَالَ الَّذِي يُخْبِرُنِي ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ – كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ ذِرَاعَىْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حِينَ حَسَرَ عَنْهُمَا kemudian RasuluLlah (saw) menghampiri lalu menyingsingkan kedua lengan baju, sehingga tampak putihnya lengan beliau dan sampai saat ini saya masih ingat dengan baik kejadian itu. ثُمَّ حَمَلَهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَأْسِهِ وَقَالَ Lalu RasuluLlah (saw) mengangkat batu tersebut dan meletakkannya diatas kuburan Hadhrat Utsman (ra) lalu bersabda, أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي ‘Saya akan mengenali kuburan saudara saya ini melalui nisan ini dan jika ada yang wafat dari keluarga saya, akan saya kuburkan di dekatnya.’” (Riwayat Sunan Abi Daud)[12]
Berkenaan dengan kewafatan Hadhrat Utsman (ra), saya akan sampaikan keterangan selengkapnya dari Hadhrat Mirza Bashir Ahmad Sahib dalam menjelaskan kejadian pada tahun 2 Hijriyah, “Pada akhir tahun tersebut, RasuluLlah (saw) meminta untuk membangun sebuah pemakaman di Madinah untuk para sahabat beliau yang disebut dengan Jannatul Baqi. Setelah itu pada umumnya sahabat yang wafat dimakamkan di pemakaman tersebut. Sahabat pertama yang dimakamkan di sana adalah Utsman bin Mazh’un. Utsman termasuk Muslim awal, saleh, rajin beribadah dan bersifat sufi.
Setelah baiat, suatu ketika beliau memohon kepada RasuluLlah (saw), dengan mengatakan, ‘Jika RasuluLlah (saw) merestui, saya akan meninggalkan kehidupan dunia sepenuhnya dan memisahkan diri dari istri dan anak lalu mengabdikan hidup secara khusus untuk beribadah Ilahi.’ Akan tetapi, RasuluLlah (saw) tidak merestuinya.”
Saya pernah menyampaikan hal ini pada khotbah yang lalu. Walhasil, kewafatan Hadhrat Utsman (ra) telah menyebabkan kesedihan yang mendalam di hati RasuluLlah (saw). Diriwayatkan, RasuluLlah (saw) mencium kening jenazah Hadhrat Utsman (ra) sambil mencucurkan air mata. Setelah dikuburkan, RasuluLlah (saw) meletakkan batu nisan di atas kuburannya. Terkadang RasuluLlah (saw) berziarah ke Jannatul Baqi dan mendoakan beliau. Utsman adalah muhajir pertama yang wafat di Madinah.”[13]
Paska kewafatan Hadhrat Utsman (ra), istri beliau menuliskan bait-bait elegi (sajak kesedihan) sebagai berikut,
يَا عَيْنُ جُودِي بِدَمْعٍ غَيْرِ مَمْنُونِ عَلَى رَزِيَّةِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعونِ
“Wahai mata! Alirkanlah air mata tak kunjung henti atas duka Utsman putra Mazh’un.
عَلَى امْرِئٍ كَانَ فِي رِضْوَانِ خَالِقِهِ
‘Tuk pria pelawat malam demi peroleh ridha Sang Pencipta.
طُوبَى لَهُ مِنْ فَقْيدِ الشَّخْصِ مَدْفُونِ
Berbahagialah wahai mata, seorang lelaki saleh telah dimakamkan.
طَابَ البَقِيعُ لَهُ سُكْنَى وَغَرْقَدُهُ
keberadaannya ‘jadikan Baqi dan pohon gharqadnya damai sejahtera.
وَأَشْرَقَتْ أَرْضُهُ مِنْ بَعْدِ تَفْتِينِ
dikuburkannya di sana, tanahnya bercahaya.
وَأَوْرَثَ القَلْبَ حُزْنًا لَا انْقِطَاعَ لَهُ حَتَّى المَمَاتِ وَمَا تَرْقَى لَهُ شُونِي
Wafatnya ‘jadikan hati ini terasa nestapa tak kunjung sirna hingga maut, tak ‘kan pernah berubah keadaan ini.”
Demikianlah curahan perasaan istri beliau.[14]
Hadhrat Ummul Alaa (أمّ العلاءِ), wanita dari kalangan Anshar yang telah baiat kepada Hadhrat RasuluLlah (saw), meriwayatkan, نزل رسول الله صَلَّى الله عليه وسلم، والمهاجرون معه المدينة في الهجرة فتشاحّت الأنصار فيهم أنْ يُنْزِلوهم في منازلهم حتى اقْتَرَعوا عليهم، فطار لنا عثمان بن مظعون على القُرْعة، تعني وقع في سهمنا “Ketika kaum Anshar mengundi, rumah yang akan ditempati oleh kaum muhajirin, undian yang keluar untuk Hadhrat Utsman (ra) adalah rumah kami dan kami menempatkan beliau di rumah kami.”[15]
Hadhrat Ummul ‘Alaa mengatakan, “Ketika Hadhrat Utsman (ra) tinggal di rumah kami, suatu ketika beliau sakit. Kami merawat beliau sehingga tiba kewafatan beliau, kami mengafani jenazah beliau dengan kain baju beliau sendiri.
Nabi (saw) datang ke rumah kami, saya (Hadhrat Ummul ‘Alaa) mengatakan, رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ أَبَا السَّائِبِ فَشَهَادَتِي عَلَيْكَ لَقَدْ أَكْرَمَكَ اللَّهُ ‘Semoga rahmat Tuhan tercurah padamu wahai Abu Saa-ib.’ Saya mengulangi kalimat tersebut di hadapan RasuluLlah (saw), ‘Semoga rahmat Tuhan tercurah padamu wahai Abu Saa-ib. Saya bersaksi mengenaimu bahwa Allah Ta’ala pasti telah menganugerahkan kemuliaan padamu.’
Ketika mendengar ucapat tersebut, RasuluLlah (saw) bertanya padanya, وَمَا يُدْرِيكِ ‘Bagaimana kamu tahu bahwa Allah Ta’ala pasti telah menganugerahkan kemuliaan padanya?’
Saya (Ummul ‘alaa) menjawab, لَا أَدْرِي وَاللَّهِ ‘Wahai RasuluLlah (saw)! Saya rela mengorbankan kedua orang tua saya demi engkau. Saya tidak mengetahuinya itu hanya luapan emosi saya semata.’
Rasul bersabda, أَمَّا هُوَ فَقَدْ جَاءَهُ الْيَقِينُ إِنِّي لَأَرْجُو لَهُ الْخَيْرَ مِنْ اللَّهِ ’Utsman telah wafat. Saya memohonkan kebaikan bagi beliau. Saya berdoa supaya Allah ta’ala menganugerahkan kehormatan kepada beliau.’
Namun RasuluLlah (saw) juga bersabda, وَاللَّهِ مَا أَدْرِي وَأَنَا رَسُولُ اللَّهِ مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ ‘Demi Tuhan! Saya pun tidak mengetahui apa yang akan terjadi dengan Utsman. Saya pasti berdoa namun tidak dapat mengatakan beliau pasti dianugerahi kemuliaan, padahal saya Rasul Allah.’ [Teks Arab di Hadits itu juga menyebutkan sabda beliau (saw) lainnya, ما أدري وأنا رسول الله ما يفعل بي ولا بكم]
Mendengar itu Hadhrat Ummul ‘Alaa berkata, فَوَاللَّهِ لَا أُزَكِّي أَحَدًا بَعْدَهُ ‘Demi Tuhan setelah itu saya tidak akan mengatakan seperti itu lagi perihal pasti seseorang telah diampuni [menyatakan pasti akan kesuciannya].’”
Beliau (Ummul ‘Alaa, أُمِّ الْعَلَاءِ) mengatakan, تُوُفِّيَ عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ فِي دَارِنَا ، فَلَمَّا نِمْتُ رَأَيْتُ عَيْنًا تَجْرِي لِعُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Saya tertidur membawa duka itu, karena saya memiliki ikatan yang khas dengan almarhum, emosional. Ketika tidur dalam mimpi diperlihatkan kepada saya sebuh sumber mata air Hadhrat Utsman (ra) yang tengah mengalir. Setelah menyaksikan mimpi tersebut, saya datang ke hadapan RasuluLlah (saw) untuk menceritakan mimpi tersebut.”
Rasul bersabda, ذَاكِ عَمَلُهُ يَجْرِي لَهُ “Sumber mata air yang mengalir itu adalah amalannya.”[16]
Allah Ta’ala telah memperlihatkannya padamu bahwa ia tengah berada di surga dan itu adalah amalannya bagaikan sumber mata air yang mengalir di sana.
Walhasil, ini adalah satu cara tarbiyat RasuluLlah (saw) untuk jangan memberikan kesaksian dengan yakin seperti itu berkenaan dengan pengampunan Allah Ta’ala. Ketika amalan mulia Hadhrat Utsman (ra) ditampakkan dalam bentuk sumber mata air mengalir di dalam mimpi kepada Hadhrat Ummul ‘Alaa dan RasuluLlah (saw) membenarkan hal itu.
RasuluLlah (saw) mengetahui bahwa Allah Ta’ala ridha kepada para sahabat Badr dan doa RasuluLlah (saw) dan penampakan emosi jiwa RasuluLlah (saw) kepada beliau menjelaskan RasuluLlah (saw) yakin mengenai beliau bahwa Allah Ta’ala akan mendengar doa-doa tersebut dan beliau akan meraih qurb Ilahi. Namun demikian, beliau (saw) tetap mengatakan bahwa kita tidak dapat memberikan kesaksian seperti itu [memastikan seolah-olah Maha Tahu] mengenai seseorang.
Dalam Musnad Ahmad bin Hanbal dijelaskan mengenai kejadian ini yakni Kharijah bin Zaid meriwayatkan dari ibunya beliau mengatakan, “Ketika Hadhrat Utsman (ra) bin Mazh’un wafat, ibunda Hadhrat Kharijah bin Zaid (أم خارجة بنت زيد) mengatakan, طبت أبا السائب خير أيامك الخير ‘Wahai Abu Saa-ib! Kamu suci, hari-harimu yang baik sangatlah baik.’
Nabi (saw) mendengarnya dan bersabda, من هذه ‘Siapa ini?’
Beliau menjawab, أنا ‘Saya.’
Rasul bersabda, وما يدريك ‘Apa yang Anda katakan?’
Saya katakan, يا رسول الله عثمان بن مظعون ‘Wahai RasuluLlah (saw)! Amal perbuatan dan ibadah Utsman bin Mazh’un memberitahukan kepada saya bahwa Allah Ta’ala pasti telah menganugerahkan magfirah kepada beliau.’
RasuluLlah (saw) bersabda, أجل عثمان بن مظعون ما رأينا إلا خيرا وهذا أنا رسول الله والله ما أدري ما يصنع بي ‘Memang, kita tidak melihat dalam diri Utsman bin Mazh’un selain kebaikan’, – namun seiring dengan itu beliau (saw) bersabda, ‘Ingatlah, aku adalah Rasul Allah, namun demi Allah, aku pun tidak dapat memastikan apa yang akan terjadi padaku nanti di akhirat.’”[17]
Tidak ada orang yang lebih dicintai Allah Ta’ala melebihi RasuluLlah (saw), beliau adalah kekasih Allah, namun begitu dalamnya rasa takut beliau kepada Allah Ta’ala sehingga mengenai diri beliau sendiri pun beliau bersabda bahwa beliau pun tidak tahu apa yang akan terjadi dengan beliau nantinya.
Walhasil, betapa menakutkannya bagi kita sekalian dan sudah seyogyanya kita berfikir untuk berbuat amal saleh dan menaruh perhatian untuk beribadah kepada Allah dan meskipun demikian, bukannya membanggakan diri, kita harus semakin memperlihatkan kerendahan hati dan senantiasalah memohon rahmat dan karunia Allah Ta’ala supaya Dia memberikan rahmat dan fadhl (karunia)-Nya.
Satu riwayat berikut terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, yaitu Hadhrat Ummul ‘Alaa mengatakan, “Suatu ketika Utsman bin Mazh’un sakit di rumah kami dan kami merawatnya. Pada saat beliau wafat, kami mengafaninya dengan kain pakaian beliau sendiri. Kemudian RasuluLlah (saw) berkunjung ke rumah kami.
Saya katakan, رحمة الله عليك يا أبا السائب شهادتي عليك لقد أكرمك الله ‘Wahai Abu Saa-ib! Semoga Rahmat Allah tercurah kepadamu. Saya memberi kesaksian atasmu bahwa Allah telah memuliakanmu.’
Mendengar itu RasuluLlah (saw) bersabda, وما يدريك أن الله أكرمه ‘Bagaimana Anda tahu bahwa Allah Ta’ala telah memuliakannya?’
Saya menjawab, لا أدري بأبي أنت وأمي – ‘Laa adri bi-abi wa ummii’- ‘Saya tidak mengetahuinya. Orang tua saya rela berkorban demi Rasul.’
RasuluLlah (saw) bersabda, أما هو فقد جاءه اليقين من ربه وإني لأرجو الخير له ‘Sejauh berkenaan dengannya jelaslah bahwa pangilan maut telah datang dari Allah ta’ala kepadanya. Saya mengharapkan kebaikan baginya. Semoga Allah ta’ala memperlakukannya dengan baik. والله ما أدري وأنا رسول الله ما يفعل بي Namun demi Allah! Meskipun saya seorang Rasul Allah, saya pun tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada saya nanti.’
Saya berkata, والله لا أزكي أحدا بعده أبدا ‘Setelah itu saya tidak akan menetapkan seseorang suci.’”
Setelah itu kewafatan tersebut telah menimbulkan kesedihan dalam diri. Kemudian, dijelaskan mengenai mimpi beliau kemudian beliau menceritakannya kepada RasuluLlah (saw). Kejadian tersebut telah tertulis dalam dua kitab yang berbeda. [18]
Memang, Allah Ta’ala telah meninggikan derajat beliau berkat doa-doa RasuluLlah (saw) juga dan semoga Allah ta’ala senantiasa meninggikannya. Semoga kita pun dapat menegakkan teladan tersebut dalam diri kita.
Sahabat berikutnya Hadhrat Wahb bin Sa’d bin Abi Sarh (وَهْبُ بْنُ سَعْدِ بْنِ أَبِي سَرْحٍ بن الحارث بن حبيب بن جذيمة بن مالك بن حسل بن عامر بن لؤي). Ayah beliau bernama Sa’d. Berasal dari kabilah Banu Amir bin Luay (من بني عامر بن لؤي). Beliau adalah saudara Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh (عبد الله بن سعد بن أبي سرح). Ibunda beliau bernama Mahanah binti Jabir, berasal dari kabilah Asy’ari (مهانة بنت جابر من الأشعريين).[19]
Saudara Hadhrat Abdullah yang bernama Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh adalah penulis wahyu yang di kemudian hari murtad. Berkenaan dengan kakak Wahb bin Sa’d itu, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis selengkapnya. Seorang penulis wahyu yang turun kepada RasuluLlah (saw) bernama Abdullah bin Abi Sarh. Dalam siratul halbiyah tertulis bahwa ia adalah saudara sepesususuan Hadhrat Utsman (ra) bin Affan. Ketika wahyu turun kepada RasuluLlah (saw), Rasul memanggilnya lalu memerintahkannya untuk menulis wahyu tersebut. Suatu hari RasuluLlah (saw) tengah menuliskan (mendiktekan atau menyuruh menuliskan) surat Al-Mukminun ayat 14 dan 15.[20]
Ketika sampai pada kalimat, ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ “…tsumma ansya’naahu khalqan aakhar” secara spontan keluar kalimat dari mulut penulis wahyu itu yang berbunyi, فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ fatabaarakallaahu ahsanal khaaliqiin.
RasuluLlah (saw) bersabda, كذا أنزلت عليَّ فاكتبها ‘Betul seperti itulah bunyi wahyunya, tulis saja kalimat itu.’[21]
Lantas tidak terfikir oleh orang yang tidak beruntung itu bahwa sebagai konsekwensi dari ayat-ayat sebelumnya, ayat yang berikutnya sudah lazim muncul dengan sendirinya.
Lalu ia beranggapan, “Sebagaimana ayat tersebut telah keluar dari mulutnya dan Rasul pun menyatakan kalimat yang saya ucapkan itu sebagai wahyu, seperti itu jugalah RasuluLlah (saw) mengada-adakan keseluruhan Al Quran.”
Na’uzubillah. Ia lalu murtad dan melarikan diri [dari Madinah] ke Makkah.
Pada saat Fatah Makkah, Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh termasuk salah satu orang yang diperintahkan oleh RasuluLlah (saw) untuk dibunuh, namun Hadhrat Utsman (ra) (ra) memberikan perlindungan padanya, berkenaan dengan perlindungan tersebut adalah, “Pada saat Fatah Makkah, ketika Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh tahu bahwa Rasul telah memerintahkan untuk membunuhnya, lalu ia pergi untuk mencari perlindungan kepada saudara sepesusuannya, Hadhrat Utsman (ra) bin Affan. Ia berkata, ‘Saudaraku! Sebelum RasuluLlah (saw) memenggal leherku, mintakanlah jaminan keamanan bagiku.’” Tertulis hal ini di dalam Siratul Halabiyah.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Ia sembunyi di rumah Hadhrat Utsman (ra) selama 3,4 hari. Suatu hari ketika orang-orang tengah berbaiat kepada RasuluLlah (saw), Hadhrat Utsman (ra) membawanya ke hadapan RasuluLlah (saw) dan memohon kepada Rasul untuk berkenan menerima baiatnya kembali. Pada awalnya RasuluLlah (saw) tidak merespon, namun pada akhirnya Rasul menerima baiatnya. Dengan demikian ia baiat dua kali.”[22]
Masih banyak lagi alasan lainnya yang membuatnya diperintahkan untuk dibunuh, diantaranya ia telah menyebabkan kekacauan dan provokasi. Alasan ia dihukum tidak hanya satu saja, ada juga hal lainnya sehingga ditetapkan untuk dibunuh.[23]
Asim bin Umar (عاصم بن عمر) meriwayatkan, “Ketika Hadhrat Wahb bin Sa’d hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau tinggal di rumah Hadhrat Kultsum bin Hadam. Hadhrat RasuluLlah (saw) menjalinkan persaudaraan antara beliau dengan Hadhrat Suwaid bin Amru (سويد بن عمرو). Beliau berdua syahid pada perang Mautah. Hadhrat Wahab ikut serta pada perang Badr, Uhud, Khandaq, hudaibiyah dan Khaibar. Beliau syahid pada bulan jumadil ula tahun ke 8 Hijri pada perang Mu-tah (يوم مؤتة). Pada saat disyahidkan beliau berusia 40 tahun.”[24]
Berkenaan dengan perang Mu-tah dan latar belakangnya, terdapat keterangan dalam kitab Tabaqatul Kubra. Perang tersebut terjadi pada bulan Jumadil ula tahun 8 Hijri. Hadhrat RasuluLlah (saw) mengutus Hadhrat Harits bin Umair (الْحَارِثَ بْنَ عُمَيْرٍ الْأَزْدِيّ) sebagai Qasid (kurir, pembawa pesan) kepada raja Bosra. Ketika Harits sampai di daerah Mu-tah, salah seorang yang ditugaskan oleh Kaisar untuk menjadi pemimpin di Syam bernama Syarjil (atau Syurahbil) bin Amru al-Ghassani (شُرَحْبِيلُ بْنُ عَمْرٍو الْغَسّانِيّ) menghentikannya lalu mensyahidkannya (menyuruh membunuhnya). Ini riwayat menurut Kitab Sirah An-Nabawiyyah karya Al-Halabiy)[25]
Selain Hadhrat Harits bin Umair, tidak ada kurir RasuluLlah (saw) yang dibunuh. Ketika RasuluLlah (saw) mendapatkan kabar perihal kejadian tersebut, Rasul sangat menyesalkannya. Lalu rasul mengumpulkan 3000 pasukan untuk berperang. Rasul menetapkan Hadhrat Zaid bin Haritsah sebagai komandan. Setelah menyiapkan bendera putih, RasuluLlah (saw) menyerahkannya kepada zaid dan bersabda, “Pergilah ke tempat dimana Hadhrat Haris disyahidkan lalu serulah kepada Islam, jika mereka menerimanya itu baik, jika tidak mintalah pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam menghadapi mereka lalu perangilah mereka.”[26]
Hadhrat Wahb juga ikut serta dalam perang tersebut. Hadhrat Abdullah bin Umar meriwayatkan, saya akan jelaskan selengkapnya perihal perang tersebut. Hadhrat RasuluLlah (saw) menetapkan sebelum keberangkatan pada perang Mautah, زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ أَمِيرُ النّاسِ فَإِنْ قُتِلَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ فَجَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَإِنْ أُصِيبَ جَعْفَرٌ فَعَبْدُ اللّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَإِنْ أُصِيبَ عَبْدُ اللّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَلْيَرْتَضِ الْمُسْلِمُونَ بَيْنَهُمْ رَجُلًا فَلْيَجْعَلُوهُ عَلَيْهِمْ “Zaid bin Haritsah sebagai komandan. Jika Zaid syahid, yang akan menggantikannya adalah Ja’far bin Abi Thalib (kakak Hadhrat Ali). Jika Ja’far pun syahid, akan digantikan oleh Abdullah bin Rawahah.”
Lasykar tersebut disebut juga dengan nama Jaisy Umara (the Infantry of Leaders, infanteri para komandan).[27]
Berkenaan dengan seorang yahudi, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) Ra menulis: Tidak jauh dari tempat itu ada seorang Yahudi (النّعْمَانُ بْنُ فُنْحُصٍ الْيَهُودِيّ) yang tengah duduk. Ketika mendengar perkataan RasuluLlah (saw), Yahudi itu mendatangi Hadhrat Zaid dan mengatakan, اعْهَدْ فَلَا تَرْجِعْ إلَى مُحَمّدٍ أَبَدًا إنْ كَانَ نَبِيّا ‘Jika Muhammad (saw) adalah benar seorang Nabi, tidak akan ada dari antara kalian bertiga yang akan kembali dengan selamat.’
Hadhrat Zaid menjawab, فَأَشْهَدُ أَنّهُ نَبِيّ صَادِقٌ بَارّ ‘Sekalipun saya kembali dalam keadaan hidup ataupun tidak, bagaimanapun RasuluLlah (saw) adalah nabi yang benar.’”[28]
Hadhrat RasuluLlah (saw) mendapatkan kabar dari Allah Ta’ala perihal kondisi peperangan dan para syuhada. Berkenaan dengan itu terdapat satu riwayat, Hadhrat Anas bin malik meriwayatkan, RasuluLlah (saw) bersabda, “Zaid telah memegang bendera lalu syahid. Selanjutnya, Ja’far memegang bendera itu dan syahid juga. Kemudian, Abdullah bin Rawahah memegang bendera itu dan ia pun syahid.”[29]
Ketika memberikan kabar mengenainya, air mata mengalir dari mata RasuluLlah (saw). Lalu RasuluLlah (saw) bersabda, “Bendera itu lalu dipegang oleh Khalid bin Walid tanpa mengemban jabatan kemudian mereka menang.”[30]
Semoga Allah ta’ala senantiasa meninggikan setinggi-tingginya derajat para sahabat tersebut. Setelah ini saya akan menyampaikan beberapa Ahmadi yang wafat dan nanti saya pimpin shalat jenazah untuk mereka.
Jenazah pertama adalah Mukarram Malik Muhammad Akram Sahib. Beliau adalah seorang Muballigh. Pada tanggal 25 April kemarin beliau wafat di Manchester (Inggris). Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. Jenazah beliau hadir saat ini dan setelah salat Jumat, saya akan memimpin salat Jenazah beliau di luar, insya Allah. Beliau lahir pada tanggal 2 Februari 1947 di Malkwaal distrik Gujarat. Beliau baiat sendiri pada tahun 1961. Kakak kandung beliau adalah Ahmadi pertama di sana yaitu Master A’zam Sahib. Beliau juga baiat dan melalui beliaulah almarhum baiat…
Semoga Allah Ta’ala senantiasa meninggikan derajat beliau, mengampuni beliau, menganugerahkan ketabahan kepada orang-orang yang ditinggalkan. Jenazah beliau saat ini ada. Sebagaimana saya telah katakan, saya akan memimpin salat jenazahnya di luar setelah salat Jumat.
Kedua adalah jenazah gaib Choudry Abdus Syakoor Sahib, mubalig silsilah. Beliau adalah putra dari Choudry Abdul Aziz Sahib Sialkoti. Beliau wafat pada tanggal 12 April. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiun. Beliau lahir pada tanggal 10 November 1935. Beliau adalah Ahmadi keturunan. Kakek beliau baiat pada tahun 1901. Mukarram Abdus Syakoor Sahib meraih gelar FA. Kemudian, gelar Syahid, HA lalu mewakafkan hidup pada bulan Juni 1956…
Almarhum adalah mushi. Selain istri, beliau meninggalkan 2 orang putri dan 3 orang putra. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat beliau.
Jenazah ketiga adalah jenazah gaib, yaitu jenazah mukarram Muhammad Salih Muhammad sahib, muallim Waqf-e-Jadid [di Pakistan]. Beliau wafat pada tanggal 21 April 2019 dengan putusan ilahi. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun. Buyut beliau, malik allah bakhs sahib adalah sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as). Beliau menyaksikan gerhana bulan dan matahari pergi ke qadian jalan kaki dari Lodhran dan mendapatkan karunia berbaiat di tangan Hadhrat Masih Mau’ud (as). Ayahanda beliau, mukarram malik ghulam muhammad sahib termasuk muallimin awalin Jemaat. Ayahanda beliau juga muallim.
Almarhum lahir pada tahun 1959. Pada tahun 1976, beliau berusaha untuk masuk jamiah Ahmadiyah, namun umur beliau cukup tua sehingga beliau tidak dapat masuk. Oleh karena itu, beliau bekerja di kota besar. Putra beliau menulis, “Kakek saya, malik ghulam muhammad sahib yang berkhidmat sebagai muallim, pergi ke kota besar itu untuk menemui beliau, namun setelah melihat lingkungan pekerjaannya kurang bagus, beliau menyarankan dengan segera supaya meninggalkan pekerjaan dan mewakafkan hidup menjadi muallim di bawah Waqf-e-Jadid. Oleh karena itu, beliau meninggalkan pekerjaan. Saat itu beliau sudah menikah.
Pada pekerjaan sebelumnya beliau mendapat gaji 450 rupees lalu bergabung dalam kelas muallim. Setelah menjadi muallim, beliau mendapat tunjangan dari Jemaat sebesar 135 rupe, tetapi beliau mengatakan bahwa ini merupakan kehormatan besar yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada saya untuk mengkhidmati agama. Beliau mulai mewakafkan kira-kira ¼ atau 1/3 dari penghasilannya. Sebelumnya beliau mencari nafkah dunia semata. Beliau ditugaskan di NagarParkar pada tahun 1989. Saat itu kondisinya sulit sekali.”…
Almarhum juga seorang mushi. Selain istri, beliau juga meninggalkan 3 orang putra dan 3 orang putri. Seorang putra beliau, mubarak ahmad munir sahib mendapat taufik untuk berkhidmat sebagai murabbi Jemaat di burkina faso dan beliau tidak dapat pergi ke Pakistan atas kewafatan ayahanda beliau. Semoga Allah Ta’ala senantiasa meninggikan derajat beliau, memperlakukan beliau dengan rahmat dan magfirah dan menganugerahkan taufik kepada anak keturunan beliau untuk berkhidmat kepada agama dengan ambisi dan pengorbanan tersebut.
Jenazah keempat adalah jenazah gaib mukarram Maushai Jummah sahib dari Tanzania. Beliau wafat pada tanggal 13 Maret. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun. Beliau lahir antara tahun 1933 atau 1934 di daerah Morogoro, Tanzania. Pada tahun 1967, beliau bergabung ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Peristiwa baiatnya beliau adalah sebagai berikut yakni di sebagian kalangan ulama sunni di sana terdapat tradisi akikah atas anak yang lekas wafat, bukannya anak yang hidup. Setelah wafat dilakukan akikah dan khataman sehingga menjadi ajang untuk berkali-kali mendapat makanan. Almarhum tidak pernah melihat tradisi seperti ini dalam ajaran islam. Melihat kondisi demikian beliau sangat sedih. Beliau senantiasa berdoa kepada Allah Ta’ala, “Ya Allah! Turunkanlah Hadhrat Isa as supaya dia datang dan menghidupkan kembali Islam.”…
Almarhum meniupkan ruh pengkhidmatan Jemaat kepada ketiga putra beliau.
Semoga Allah Ta’ala mencurahkan rahmat dan maghfirahnya kepada beliau-beliau, meninggikan derajat nya dan menjadikan keturunan mereka sebagai khadim agama yang sejati. [aamiin].
Sebagaimana saya telah sampaikan bahwa setelah salat jumat, saya akan memimpin shalat jenazah untuk semuanya. Jenazah hadir malik akram sahib, saya akan salatkan di luar dan para anggota tetap di sini dan bisa ikut bergabung dalam salat di dalam masjid saja.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Usdul Ghaba, Vol. 3, p. 591, Usman bin Maz’oon(ra), Dar-ul-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2003; Ath-Thabaqaat (الطبقات الكبرى – محمد بن سعد – ج ٣ الطبقة الأولى في البدريين من المهاجرين والأنصار -): عن عبد الله بن عامر بن ربيعة قال: أوّلُ من دُفن بالبقيع من المسلمين عثمان بن مظعون فأمَرَ به رسول الله صَلَّى الله عليه وسلم، فدفن عند موضع الكِبَا اليومَ عند دار محمد بن الحنفيّة.
[2] Al-Mustadrak ‘alash Shahihain (المستدرك على الصحيحين), Kitab Ma’rifatish Shahabah (كتاب معرفة الصحابة رضي الله تعالى عنهم), Manaqib Utsman bin Mazh’un (ذكر مناقب عثمان بن مظعون).
[3] Al-Mustadrak ‘alash Shahihain (المستدرك على الصحيحين), Kitab Ma’rifatish Shahabah (كتاب معرفة الصحابة رضي الله تعالى عنهم), Manaqib Utsman bin Mazh’un (ذكر مناقب عثمان بن مظعون).
[4] Taajul ‘Uruus. Baqi dari akar kata baqa’a yang artinya sebuah areal tanah atau lapangan yang berbeda dengan areal sekitarnya, dan juga bermakna pepohonan atau akar-akarnya yang dalam kondisi terpisah satu sama lain.
[5] Gharqad: pohon berduri jenis Lycium shawii (bahasa Arab:Alaosaj) spesies dari Boxthorn
[6] Justeju-e-Medina az Abdul Hameed Qadri Sahib, p. 598, Oriental Publications, Lahore, Pakistan, 2007.
[7] Al-Mu’jam al-Ausath karya ath-Thabrani (المعجم الأوسط للطبراني), bab ba (باب الباء), (من اسمه بكر); Al-Mu‘jam Al-Kabir Li At-Thabrani, Vol. 12, p. 228, Hadith 13160, Dar Ihyaa Al-Turath Al-Arabi, Beirut, 2002.
[8] Sunan at-Tirmidzi, Kitab Jenazah (كتاب الجنائز عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), bab mencium mayat (باب مَا جَاءَ فِي تَقْبِيلِ الْمَيِّتِ).
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَبَّلَ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ وَهُوَ مَيِّتٌ وَهُوَ يَبْكِي setelah kewafatan Hadhrat Utsman, Hadhrat RasuluLlah (saw) mencium kening jenazah Hadhrat Utsman dan air mata mengalir dari mata Rasul.
[9] Usdul Ghabah. Tercantum juga dalam Ath-Thabaqaat al-Kabir atau al-Kubra karya Ibn Sa’d (الطبقات الكبير لابن سعد), jilid ketiga (المجلد الثالث ), bab Utsman bin Mazh’un (عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونِ بْنِ حَبِيبِ بْنِ وَهْبِ بْنِ حُذَافَةَ بْنِ جُمَحَ), p. 303, Dar-ul-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1990.
[10] Syarh az-Zurqani ‘ala Muwatha al-Imam Malik – uraian Imam az-Zurqani atas kitab Muwatha karya Imam Malik (شرح الزرقاني على موطأ الإمام مالك); Ansabul Asyraf (أنساب الأشراف 1-8 ج1) karya Abu Hasan Ahmad bin Yahya bin Jabir al-Baladzuri (أبي الحسن أحمد بن يحيى بن جابر/البلاذري). Usdul Ghaba, Vol. 3, p. 591, Usman(ra) bin Mazoon, Dar-ul-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2003.
[11] Sunan ibn Maajah, Kitab jenazah (كتاب الجنائز) Kitabul Jana’iz Arba’an, Hadith 1502.
[12] Sunan Abi Daud, Kitab Jenazah, bab menandai kuburan (باب فِي جَمْعِ الْمَوْتَى فِي قَبْرٍ وَالْقَبْرُ يُعَلَّمُ) Bab fi Jam’il Mautaa fi Qabr Wal Qabr Yu’lam, Hadith 3206.
[13] Sirat Khatamun-Nabiyyin, Hadhrat Mirza Bashir Ahmad(ra), pp. 462-463.
[14] Al-Isti’aab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب); Usdul Ghaba, Vol. 3, p. 495, Dar-ul-Fikr, Beirut.
[15] Ath-Thabaqaat.
[16] Hadits Shahih Al-Bukhari No. 6500 – Kitab Ta’bir; Sahih Bukhari, Kitab Al-Shahadaat, Bab Al-Qur’ah fil Mushkilaat, Hadith 2687.
[17] Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Qabail (مسند أحمد بن حنبل/مسند القبائل/9), Hadith Ummul Ulaa al-Ansar (حديث أم العلاء الأنصارية رضي الله عنها), Vol. 8, pp. 871-872, Hadith 28006, Alamul Kutub, Beirut, 1998.
[18] Musnad Ahmad ibn Hanbal (مسند أحمد بن حنبل/مسند القبائل/9), Hadith Ummul Ulaa al-Ansar (حديث أم العلاء الأنصارية رضي الله عنها), Vol. 8, pp. 871-872, Hadith 28004, Alamul Kutub, Beirut, 1998.
[19] Al-Tabaqaat-ul-Kubra li ibn Saad, Vol. 3, p. 217, Wahab bin Saad, Dar Ihyaa al-Turath al-Arabi, Beirut, 1996.
[20] Teks Arabnya sebagai berikut: وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ () “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (QS. Al-Mukminun : ayat 13 jika basmalah dihitung ayat pertama). ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَّكِينٍ () “Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).” (QS. Al-Mukminun : 14) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ () “Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al-Mukminun : 15)
[21] At-Tafsir al-Kabir atau Mafaatihul Ghaib (التفسير الكبير أو مفاتيح الغيب), Surah al-Muminun (سورة المؤمنون), ayat wa laqad khalaqnal insaan (قوله تعالى ولقد خلقنا الإنسان من سلالة من طين); Al-Wahidi dalam kitab Asbabun Nuzul (الواحدي في “أسباب النزول); Tafsir al-Qurthubi; Tafsir Bahrul ‘Uluum juz 2 (تفسير السمرقندي المسمى بحر العلوم 1-3 ج2) karya Abu Laits as-Samarqandi. Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh kagum dengan keindahan ayat Al-Qur’an spontan mengucapkan, فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ fatabaarakallaahu ahsanal khaaliqiin. Ternyata, inilah lanjutan ayat sebelumnya.
[22] Tafsir-e-Kabir, Vol. 6, p. 139) (Al-Sirat al-Halabiyyah, Vol. 3, p. 130, Bab Dhikr Maghaziyah/Fath Makkah, Dar-ul-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2002.
[23] Pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab, Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh diangkat menjadi gubernur daerah dataran tinggi Mesir. Pada zaman khalifah Utsman, dia mendapat kepercayaan lebih besar lagi, menjadi gubernur Mesir. Seluruh wilayah Mesir ia pimpin. Itu terjadi pada tahun 25 Hijriah. Setelah menjadi gubernur Mesir, ia mengirim surat kepada khalifah Utsman untuk meminta ijin menyebarkan Islam ke Tunisia. Alhamdulillah Islam pun menyebar dan berkembang di Tunisia sampai sekarang. Setelah Tunisia, dia pun menyebarkan agama Islam ke daerah Sudan. Setelah Khalifah Ustman bin Affan wafat, Abdullah bin Sa’ad pergi ke kota Asqalan di Palestina. Di sana dia memfokuskan diri untuk beribadah. Abdullah bin Sa’ad selalu berdoa kepada Allah agar akhir hidupnya husnul khatimah, ditutup dengan ibadah, yaitu shalat subuh. Ketika waktu shalat subuh tiba, ia pun shalat mengimami kaum muslimin. Pada rakaat pertama membaca surat Al-fatihah dan surat Al-Adiyat. Setelah rakaat kedua, ia memberikan salam ke kanan, kemudian salam ke kiri, lalu Allah langsung mewafatkannya. Abdullah bin Sa’ad wafat pada tahun 37 H dan dimakamkan di kota Asqalan Palestin. Meski agak dekat secara kerabat dengan Hadhrat Muawiyah, ia tidak berpihak kepada Muawiyah saat Muawiyah bertentangan dengan Khalifah Ali setelah kewafatan Hadhrat Utsman dan pemilihan Hadhrat Ali (ra) sebagai Khalifah.
[24] Al-Ishabah (الإصابة في تمييز الصحابة) karya Al-Asqalani (أحمد بن علي بن حجر أبو الفضل العسقلاني الشافعي). Al-Tabaqaat-ul-Kubra li ibn Saad, Vol. 3, p. 217, Wahab bin Saad, Dar Ihyaa al-Turath al-Arabi, Beirut, 1996.
[25] Raja di Bosra dan Raja al-Ghassani di Syam (wilayah Suriah dsk) ialah raja-raja Arab Kristen bawahan kekaisaran Romawi. Kitab al-Maghazi menyebutkan: غَزْوَةُ مُؤْتَةَ حَدّثَنَا الْوَاقِدِيّ قَالَ حَدّثَنِي رَبِيعَةُ بْنُ عُثْمَانَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ الْحَارِثَ بْنَ عُمَيْرٍ الْأَزْدِيّ ثُمّ أَحَدَ ب َنِي لَهَبٍ ، إلَى مَلِكِ بُصْرَى بِكِتَابٍ فَلَمّا نَزَلَ مُؤْتَةَ عَرَضَ لَهُ شُرَحْبِيلُ بْنُ عَمْرٍو الْغَسّانِيّ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ ؟ قَالَ الشّامَ . قَالَ لَعَلّك مِنْ رُسُلِ مُحَمّدٍ ؟ قَالَ نَعَمْ أَنَا رَسُولُ رَسُولِ اللّهِ . فَأَمَرَ بِهِ فَأُوثِقَ رِبَاطًا ، ثُمّ قَدّمَهُ فَضَرَبَ عُنُقَهُ صَبْرًا .
[26] Al-Tabaqaat-ul-Kubra li ibn Saad, Vol. 2, p. 314, Siryah Mautah, Dar Ihyaa al-Turath al-Arabi, Beirut, 1996; Al-Sirat al-Halabiyyah, Vol. 3, p. 96, Bab Dhikr Maghaziyah/Ghazwah Mautah, Dar-ul-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2002.
[27] Sahih Bukhari, Kitabul Maghazi, Bab Ghazwah Mautah Ard al-Sham, Hadith 4261; Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol. 7, p. 505, Hadith 22918, Musnad Abu Qatadah Ansari, Alamul Kutub, Beirut, 1998.
[28] Fareezah-e-Tabligh aur Ahmadi Khawatin (Kewajiban Tabligh dan para Wanita Ahmadi) karya Hadhrat Khalifatul Masih II ra, Anwarul Ulum, Vol. 18, pp. 405-406.
[29] Sahih Bukhari, Kitabul Janaiz, Bab Al-Rajulu Jan’aa ilaa Ahlil Mayyit bi Nafsihi, Hadith 1246.
[30] Peperangan terjadi di tempat yang amat jauh dari Madinah yaitu di Mu-tah, di wilayah Yordania sekarang. Sebelum pasukan pulang atau mengutus kurir untuk memberikan laporan, Nabi (saw) telah lebih dahulu menceritakan jalannya peperangan kepada para Sahabat yang ada di Madinah.