Kewenangan Duniawi dan Rohani Lembaga Khilafah

Kewenangan khilafah duniawi dan rohani

Atif Mir, Muslim Ahmadi dari Kanada

Melalui para nabi dan kitab sucinya, Allah membimbing manusia dari waktu ke waktu tentang bagaimana mereka harus menjalani hidup mereka. Merupakan kewajiban semua orang beriman untuk tidak hanya bertindak berdasarkan petunjuk Ilahi ini tetapi juga membagikan petunjuk ini kepada orang-orang di sekitar mereka dan meneruskannya kepada generasi mendatang. Tantangannya adalah memastikan petunjuk tersebut diteruskan kepada generasi dan bangsa baru tanpa kontaminasi dan distorsi apa pun. Tujuan penting ini membutuhkan organisasi yang kuat, yang pada gilirannya, menuntut kepemimpinan yang kuat dan dihormati. Dalam Islam, pemimpin seperti itu disebut Khalifah.

Kewenangan lembaga khilafah ada dua: duniawi dan rohani. Mengingat besarnya, kesucian, dan luasnya misi yang ditugaskan, Khalifah dipilih seumur hidup. Ia wajib berkonsultasi dengan para wakil Jamaah dalam hal-hal yang sangat penting, tetapi keputusan akhir dalam hal-hal tersebut berada di tangannya sendiri. Tidak ada yang membatalkan kewenangannya selama ia bertindak dalam kerangka hukum Islam. Untuk memahami kewenangan administratif yang luar biasa yang diberikan kepada satu orang ini, kita perlu memahami lingkup tanggung jawab yang dibebankan kepadanya, yang, sebagaimana dibahas secara singkat di atas, adalah untuk melestarikan dan menyebarkan petunjuk yang diwahyukan kepada Nabi.

Untuk memahami sepenuhnya kewenangan dan tanggung jawab Khalifah, kita harus memahami sumber kewenangan Khalifah, mandatnya, sifat kewenangannya dan bagaimana ia diharapkan untuk menjalankan kewenangannya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa kewenangan administratifnya terbatas pada menjalankan pergerakan organisasi keagamaan.

Sumber Kekuasaan Khalifah: Dipilih oleh Allah

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka khalifah di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan khalifah di antara orang-orang sebelum mereka; dan bahwa Dia pasti akan meneguhkan bagi mereka agama mereka yang telah Dia pilih untuk mereka; dan bahwa Dia pasti akan memberikan kepada mereka keamanan dan kedamaian setelah ketakutan mereka: Mereka akan menyembah-Ku, dan mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan-Ku. Kemudian siapa yang tidak bersyukur sesudah itu, mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS An-Nur, 24: 56)

Ayat ini mengandung janji bahwa umat Islam akan dianugerahi kepemimpinan rohani dan duniawi. Janji tersebut diberikan kepada seluruh umat Islam, tetapi lembaga khilafah akan terwujud dalam pribadi orang-orang tertentu yang akan menjadi penerus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan wakil seluruh umat. Janji tentang pembentukan khilafah jelas dan tidak dapat disangkal. Dengan demikian, khilafah adalah berkah yang hanya diberikan kepada orang-orang yang menapaki jalan kebenaran.[1]

Ayat ini juga menyiratkan bahwa Khalifah dipilih oleh Allah, sedangkan tampaknya rakyatlah yang memilihnya. Bagaimana kedua fakta ini dapat diselaraskan?

Bayangkan wafatnya seorang utusan Tuhan. Bagaimana perasaan para pengikutnya? Bagaimana keadaan umat Islam ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam wafat? Bagaimana sikap para Ahmadi saat wafatnya Hadhrat Masih Mau’ud (as)? Orang-orang beriman berpaling kepada Allah dengan penuh pengabdian dan berdoa dengan sungguh-sungguh untuk memohon pertolongan dan bimbingan-Nya dalam memilih pengganti Nabi. Allah mendengarkan doa hamba-hamba-Nya yang benar dan rendah hati dan sesuai dengan janji-Nya membimbing mereka untuk memilih orang yang paling saleh sebagai Khalifah mereka.

Penunjukan Khalifah dengan demikian bukanlah perbuatan manusia, melainkan perbuatan Allah. Manusia hanya bertindak sebagai alat dalam perwujudan kehendak Allah. Mereka hanya memberikan suara mereka. Hal itu seperti petani yang menanam benih tetapi Allah yang menyebabkannya bertunas dan tumbuh.[2]

“Pertimbangkan juga contoh ini: Jika Anda memiliki piring berisi jeruk, pisang, apel, dan pir. Seseorang menyuruh Anda untuk memilih buah dari piring itu untuk ayah Anda. Anda bisa saja memilih sendiri dan memberikannya kepada ayah Anda, tetapi Anda malah pergi ke ayah Anda dan bertanya kepadanya: `Ayah, buah apa yang Anda inginkan?’ Ayah itu berkata: `Saya ingin apel.’ Jadi, Anda pergi dan mengambil apel itu dan memberikannya kepadanya. Lalu siapa yang membuat pilihan? Apakah Anda yang mengambilnya? Tidak! Ayah Andalah yang membuat pilihan…Jadi, Allah-lah yang membuat pilihan dan Dia-lah yang menunjuk Khalifah, namun yang tampak pilihan itu dibuat oleh manusia.”[3]

Amanat Khilafah

Ayat yang dikutip di atas mengatakan bahwa Allah memberkahi mereka yang beramal dengan lembaga khilafah. Sebuah pertanyaan mungkin muncul, mengapa masyarakat membutuhkan khilafah padahal mereka sudah saleh. Ayat tersebut menjawab pertanyaan ini dengan menunjukkan bahwa beramal tidak serta merta berarti menegakkan agama. Misalnya, setelah Hadhrat Masih Mau’ud (as) wafat, beliau meninggalkan Jemaat yang sangat saleh, tetapi Jemaat tersebut membutuhkan bimbingan lembaga khilafah agar mampu menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Melalui tegaknya Khilafah, risalah Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah sampai ke seluruh penjuru dunia. Yang lebih penting, kehadiran Khalifah berfungsi sebagai pengingat terus-menerus bagi orang-orang beriman agar tidak menyimpang dari jalan orang-orang saleh.

Terkait:   Khilafah ‘alaa Minhaajin Nubuwwah

Ayat ini dengan jelas menetapkan amanat khilafah. Amanat khilafah bukanlah untuk membangun kerajaan dan mencari kemuliaan duniawi, melainkan untuk menjaga agar kecintaan kepada Allah tetap menyala di hati para anggotanya, yakni mereka menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Ini memang merupakan tanggung jawab besar yang telah Allah tetapkan di pundak Khalifah.

Hakikat Kewenangan Khalifah & Negara

Peran utama Khalifah adalah kesejahteraan rohani dan bimbingan rakyat. Ia adalah kepala organisasi keagamaan dan kewenangan administratifnya terbatas pada pengelolaan organisasi tersebut. Akan tetapi, ketika pemerintahan negara mulai berlaku, menurut Hazrat Khalifatul Masih II (ra) sistem pemerintahan Islam memisahkan lembaga khilafah dari negara, artinya akan ada Kepala Negara yang akan mengurus masalah politik, sosial, dan ekonomi. Sistem khilafah akan menjadi struktur paralel yang tugas utamanya adalah kesejahteraan rohani rakyat dan memberikan bimbingan kepada negara. Dengan kata lain, Khalifah akan bertindak sebagai pembimbing negara dan tidak akan mengelola negara.

Mengapa Khulafa-ur-Rasyidin (empat Khalifah sesudah Nabi Muhammad [saw]) menjadi pemimpin Negara Islam, panglima tertinggi tentara Islam, dan kepala hakim sistem peradilan? Penjelasannya bisa jadi karena kenyataan dunia modern berbeda dengan 1400 tahun yang lalu. Konsep negara telah mengakar di dunia modern dan pergerakan pemerintahan telah menjadi sangat kompleks. Jadi, sudah sepantasnya Khalifah tidak terlibat langsung dalam urusan negara. Namun, ia memainkan peran sebagai pemandu dan memastikan bahwa urusan negara dijalankan sesuai dengan semangat ajaran Islam.

Khalifah Memberi Teguran dan Bimbingan

Khalifah mengatur dan mengelola urusan masyarakat. Ia memiliki wewenang untuk membuat keputusan yang memengaruhi kesejahteraan moral masyarakat. Namun, tanggung jawabnya adalah memberi teguran, bukan pemaksaan.

Bagi masyarakat Amerika Utara, terutama yang beragama Islam, berkat media gagasan pemimpin agama telah membangkitkan gambaran orang seperti Taliban yang pemahamannya tentang Islam, paling tidak, sangat jauh dari kebenaran. Islam memang menawarkan pedoman dan menguraikan beberapa batasan tentang bagaimana seseorang harus menjalani kehidupan sehari-hari mereka, tetapi tidak menganjurkan pemaksaan. Misalnya, Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

“Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya, jalan yang benar telah jelas dari jalan yang sesat; maka barangsiapa yang menolak untuk dipimpin oleh orang-orang yang melampaui batas, dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah memegang pegangan yang kuat yang tidak dapat diputuskan. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (2:257)

Dalam ayat ini, Allah menekankan bahwa agama tidak boleh dipaksakan. Setiap orang bebas membuat pilihan tetapi pilihan tersebut memiliki konsekuensi. Jika individu mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh Allah, konsekuensinya akan positif.

Sekarang jika setiap orang bebas untuk membuat pilihan, lalu apa peran Khalifah? Peran Khalifah sama dengan peran nabi dan itu adalah untuk menasihati sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an: Karena itu, berilah peringatan, karena kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; (88:22)

Khalifah Bermusyawarah

…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam hal-hal administrasi; dan apabila kamu telah mantap, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (3:160)

Hazrat Umar (ra), sebagai Khalifah, dalam salah satu pidato pertamanya menghimbau para pengikutnya dengan kalimat berikut:

“Dalam menjalankan negara, kalian adalah rekanku. Bantulah aku dengan nasihatmu yang baik. Jika aku mengikuti jalan yang benar yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, ikutilah aku. Jika aku menyimpang, perbaikilah aku. Kuatkanlah aku dengan nasihat dan saranmu.”[4]

Himbauannya dengan jelas menggambarkan dua prinsip: kewenangan Khalifah dibatasi oleh Hukum Islam dan Khalifah membuat keputusannya berdasarkan musyawarah bersama.

Hazrat Abu Bakar (ra) setelah menjadi Khalifah mengatakan kata-kata ini:

“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah ditunjuk untuk memimpin kalian, meskipun aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, maka bantulah aku; dan jika aku bertindak salah maka tegurlah aku.”[5].

Khalifah dan Kekuatan Doa

Khalifah yang dipilih melalui kehendak Allah memiliki tempat khusus dalam pandangan Allah. Karena itu, ia diberi status khusus dalam hal pengabulan doa. Karena ia bertugas membantu individu dan masyarakat untuk menghayati sifat-sifat Allah, pemberian keistimewaan tersebut kepada Khalifah menjadi hal yang wajar. Jemaat Ahmadiyah beruntung dalam hal ini karena mereka tidak hanya melihat tetapi juga mengalami fenomena luar biasa ini dalam kehidupan sehari-hari. Allah mendengarkan doa Khalifah dan membantunya menghadapi semua tantangan. Ambil contoh Khalifah Ahmadiyah. Khalifah telah menghadapi banyak rintangan dan konspirasi (persekongkolan) yang dirancang untuk menghancurkan Jemaat.

Dalam hampir semua situasi, kekuatan duniawi para penentang jauh lebih unggul daripada kekuatan Jemaat Ahmadiyah. Pada tahun 1930-an dan 1950-an, fitnah Ahrari yaitu kaum Ahrar yang bersekongkol untuk menghancurkan Jemaat. Namun, di bawah bimbingan dan doa Hazrat Khalifatul Masih II (ra), Jemaat bangkit dari konspirasi ini tanpa cedera. Pada tahun 1974, Jemaat menghadapi kekerasan jalanan. Pemerintah Pakistan yang dipilih secara demokratis berpihak pada para ekstremis dan bukan membantu para Ahmadi, mereka malah merampas hak-hak dasar keagamaan para Ahmadi. Penentangan dan penganiayaan terus memburuk hingga tahun 1980-an yang berpuncak pada upaya penangkapan Hazrat Khalifatul Masih IV (rh) dan kekerasan yang disahkan terhadap para Ahmadi jika mereka memilih untuk menjalankan Islam. Di masa-masa yang penuh tantangan ini, bimbingan dan doa Hazrat Khalifatul Masih III (rh) dan Hazrat Khalifatul Masih IV (rh)-lah yang mengantar Jemaat ke era baru kemajuan dan perluasan.

Terkait:   Bagaimana Khalifah Ahmadiyah dipilih?

Pelaksanaan Wewenang: Prinsip-prinsip Pelaksanaan Wewenang

Khalifah dituntut oleh ALLAH untuk melaksanakan wewenangnya sesuai dengan perintah kebenaran.

Sesungguhnya, Allah bersama orang-orang yang saleh dan orang-orang yang berbuat baik. (16:129)

Allah mendefinisikan ketakwaan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

“…sesungguhnya orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, kitab suci, para nabi, dan menafkahkan hartanya karena cinta kepada-Nya, untuk kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan, orang-orang yang meminta sedekah, dan untuk menebus tawanan perang, mendirikan shalat, menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji ketika mereka telah berjanji, orang-orang yang sabar dalam kemiskinan dan musibah, dan orang-orang yang sabar dalam masa perang. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”(2:178)

Sebagaimana ayat tersebut menunjukkan, Allah telah menetapkan tolok ukur yang sangat tinggi bagi manusia untuk menjadi orang yang bertakwa.

Apakah mungkin bagi Khalifah untuk menjalankan kekuasaan dengan cara yang benar ketika sejarah umat manusia menunjukkan bahwa untuk mempertahankan kekuasaan, penipuan atau kejujuran yang pilah-pilih merupakan suatu keharusan?

Secara historis, berbagai filsuf telah memberikan berbagai metode tentang bagaimana pemegang kekuasaan harus menjalankan kekuasaan mereka. Plato menekankan pentingnya pengetahuan untuk memerintah. Machiavelli menekankan perlunya penipuan untuk memerintah. Misalnya, Machiavelli menyatakan: “Sudah lama, saya tidak mengatakan apa yang saya yakini, saya juga tidak pernah percaya apa yang saya katakan, dan jika memang kadang-kadang saya mengatakan kebenaran, saya menyembunyikannya di antara begitu banyak kebohongan sehingga sulit ditemukan.”[6]

Dalam demokrasi barat modern, corak strategi Machiavellian terlihat dalam gaya kepemimpinan politisi dan diktator. Rahasia untuk memerintah di dunia modern lebih bergantung pada citra dan gaya daripada substansi (isi atau inti).

Lembaga khilafah, di sisi lain, dituntut untuk menggunakan kebenaran (taqwa) ketika melaksanakan tanggung jawabnya dan menjalankan wewenangnya. Taqwa adalah konsep yang luas tetapi dari sudut pandang pemerintahan, itu berarti keadilan dan kesetaraan. Khalifah tidak seharusnya memanipulasi publik (menipu rakyat) atau menarik simpati mayoritas. Kriteria pengambilan keputusannya hanya satu: bagaimana keputusannya akan disukai oleh Allah. Ketergantungan pada Taqwa ini masuk akal secara logis mengingat kenyataannya Khalifah mewakili Allah dan Allah tidak ingin menipu orang-orang dalam masalah agama. Menegakkan kehendak Allah melalui tipu daya dan paksaan bertentangan dengan sifat-sifat Allah.

Apakah Taqwa Strategi Realistis dalam Pemerintahan?

Pikiran modern mungkin menolak gagasan bahwa Taqwa dapat menjadi strategi realistis untuk tujuan pemerintahan. Namun, ketika kita melihat sejarah kekhalifahan dalam Islam, menjadi jelas bahwa selama Taqwa menjadi panduan Khalifah, Islam tumbuh lebih kuat dan menjadi populer di kalangan masyarakat. Jika kita melihat gaya hidup para Khalifah Rasyidin dan para Khalifah Hadhrat Masih Mau’ud (as), jelas bahwa mereka menjalani kehidupan sederhana yang merupakan prasyarat penting untuk pemerintahan yang jujur. Terlepas dari kenyataan bahwa mereka dipilih untuk hidup sebagai Khalifah, mereka memberikan contoh gaya kepemimpinan yang mengesankan.

Ambil contoh Hazrat Umar (ra). Beliau mampu menjalankan wewenangnya dengan lebih efektif dengan cara hidup saleh. Pakaiannya sederhana, beliau makan makanan sederhana seperti para pengikutnya. Beliau sering disebut hanya memiliki sehelai kemeja dan itu pun ditambal-tambal. Beliau tidur di atas hamparan daun palem seperti yang dilakukan para pengikutnya.

Ketika pengaruh Islam menyebar, Hazrat Umar (ra) mengangkat gubernur di berbagai negeri, tetapi beliau juga berusaha memastikan bahwa mereka tetap setia dan berbakti daripada terlibat dalam perangkap kekuasaan yang juga beliau tolak sendiri.

Khuzaymah ibn Thabit mencatat: “Setiap kali Umar mengangkat seorang Gubernur, beliau menulis surat kepadanya dan membuat syarat kepadanya bahwa ia tidak boleh menunggangi birdhaun (kuda besar non-Arab dari Turki atau Yunani), tidak boleh makan makanan lezat, tidak boleh berpakaian mewah, tidak boleh mengunci pintunya dari orang yang membutuhkan”.

Dari sini kita dapat memahami sikap Umar sendiri terhadap tugas dan kesederhanaan.[7] Berdasarkan gaya hidup pribadinya, ia dapat memberikan tuntutan seperti itu kepada bawahannya.

Terkait:   Menghilangkan Kesalahpahaman tentang Khilafah

Para Khalifah lainnya juga merupakan contoh cemerlang dari kesederhanaan. Hazrat Utsman (ra), meskipun sangat kaya, hidup sederhana dan mengenakan pakaian biasa serta makan makanan sederhana.[8] Beliau membeli tanah dan membangun pasar yang dibangun khusus yang sewanya kemudian disumbangkan untuk memberi makan orang miskin.[9] Beliau percaya bahwa mereka yang telah dipercaya memegang jabatan tinggi harus memiliki moralitas yang sesuai dengan tanggung jawab mereka.[10]

Hazrat Ali (ra) tidak berbeda. Setelah menjadi Khalifah, beliau terus menjalani kehidupan sederhana dan tetap fokus pada pelayanan kepada masyarakatnya. Beberapa laporan menyebutkan bahwa makanannya terdiri dari secangkir susu, sepotong roti, dan beberapa sayuran. Beliau tinggal di rumah sederhana seperti Muslim lain di sekitarnya.[11] Fokusnya bukanlah pada pencitraan diri sendiri tetapi pada perbaikan masyarakat.

Ketika Hazrat Khalifatul Masih I (ra) menjadi Khalifah, beliau senantiasa hidup sederhana dan menggunakan kewenangan duniawinya untuk mengurangi kemiskinan. Misalnya, di bawah arahannya, sebuah dana didirikan untuk memberikan bantuan kepada anak yatim, siswa yang membutuhkan dan yang berhak.[12] Seseorang bertanya kepada Hazrat Khalifatul Masih I (ra) “Tipe perilaku seperti apa yang dibutuhkan untuk khilafah”? Beliau menjawab “…rahmat ini (khilafah) berasal dari pengabdian kepada kemanusiaan dan saya telah terinspirasi oleh sentimen perasaan ini sejak masa muda saya. Saya selalu bersemangat untuk berkhidmat kepada semua orang tanpa membedakan kasta, keyakinan, negara, atau kebangsaan baik secara keilmuan maupun pengamalan tindakan.”[13]

Hazrat Khalifatul Masih II (ra) sangat yakin bahwa sistem Al-Wasiyyat memiliki dua tujuan: menyebarkan Islam dan menghapus kemiskinan dari muka bumi. Beliau memaparkan visinya tentang pemerataan ekonomi dan keadilan sosial dalam pidatonya, yang sekarang diterbitkan dalam bentuk buku, “Nizam Nau”. Beliau menggunakan otoritas duniawinya untuk memulai berbagai skema seperti Tahrik Jadid dan mendirikan organisasi-organisasi pembantu seperti Khuddamul Ahmadiyya dan Ansarullah. Inisiatif-inisiatif beliau ini sangat membantu dalam mempromosikan kesejahteraan rohani maupun duniawi Jemaat.

Hazrat Khalifatul Masih III (rh) menggunakan kewenangannya untuk memperkenalkan skema seperti Nusrat Jehan, yang dirancang untuk membantu Afrika pulih dari masa lalu penjajahannya. Di bawah skema ini, banyak sekolah dan rumah sakit didirikan di Afrika yang terus memberikan layanan terpuji kepada masyarakat di benua itu dan dengan demikian memainkan peran besar baik dalam ranah rohani maupun duniawi.

Hazrat Khalifatul Masih IV (rh), di antara inisiatif lainnya, mendirikan Humanity First. Mandatnya adalah untuk mengurangi kemiskinan, penderitaan, dan kebodohan di seluruh dunia melalui sumbangan dan waktu para relawan. Selain itu, Khalifatul Masih IV (rh) meluncurkan Muslim Television Ahmadiyya (MTA) yang dirancang untuk menyiarkan program-program rohani, keagamaan, sejarah, ekonomi, dan sosial.

Tidak perlu dikatakan lagi bahwa Hazrat Khalifatul Masih V (atba) telah secara efektif menjalankan kekuatan rohani dan duniawinya untuk memperluas visi dan inisiatif dari empat Khalifah ke cakrawala baru.

Kesimpulan

Luasnya kewenangan rohani dan duniawi Khalifah dapat dipahami dengan baik ketika seseorang memahami sumber, mandat, dan sifat kewenangannya serta bagaimana Allah mengharapkan Khalifah menjalankan kewenangannya.

Khalifah dipilih oleh Allah. Ia dibebani tanggung jawab yang sangat besar. Sesuai dengan besarnya tanggung jawabnya, ia dibekali kewenangan yang luas baik di ranah duniawi maupun rohani. Al-Qur’an mengajurkannya untuk bermusyawarah sebelum mengambil keputusan dalam urusan masyarakat. Namun, dalam semua hal, keputusan akhir berada di tangannya. Tak perlu dikatakan lagi, keputusannya tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Kewenangan administratifnya terbatas pada menjalankan pergerakan organisasi keagamaan. Namun, tugasnya dapat mencakup membimbing pemerintahan negara untuk memastikan bahwa kebijakan negara tidak melanggar prinsip-prinsip Islam.

Harus diingat bahwa pelaksanaan kewenangan dan pengaruh Khalifah harus semata-mata didasarkan pada kebenaran dan ketakwaan semata.

Referensi:


[1] The Holy Quran with English Translation and Short Commentary, edited by Malik Ghulam Farid, p. 772

[2] https://www.alislam.org/library/articles/khalifa-appointed-god/

[3] https://www.alislam.org/library/articles/khalifa-appointed-god/

[4] The Review of Religions, November 2007.(page 48)

[5] The Review of Religions, November 2007 (page 23)

[6] Nicolo Machiavelli, in a letter to Francesco Guicciardini, May 17, 1521.

[7] The Review of Religions, November 2007 (page 56)

[8] The Review of Religions, December 2007 (page 39)

[9] Rogerson, Barnaby “The Heirs of Prophet Muhammad”,Omar and the Great Victories, Page. 171

[10] Ibid, 171

[11] The Review of Religions, December 2007 (page 58)

[12] Khan, Muhammad Zafrullah “Hazrat Maulawi Nur-ud-Din Khalifatul Masih I, p. 195

[13] Khan, Muhammad Zafrullah “Hazrat Maulawi Nur-ud-Din Khalifatul Masih I, p. 199


Sumber: Alislam.org – Temporal and Spiritual Authority of the Institution of Khilafat
Penerjemah: Mln. Dildaar Ahmad Dartono

Comments (1)

Tim Ahmadiyah.Id
13/11/2024, 20:59
Terima kasih atas paparannya ini merupakan suatu ilmu yang sangat penting dan bermanfaat bagi saya semoga huzur beserta keluarga selalu diberikan kesehatan yang sempurna,,🤲🤲🤲

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.