Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 170, Khulafa’ur Rasyidin Seri 04, Hadhrat ‘Abdullah Abu Bakr ibn ‘Utsman Abu Quhafah, radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, Seri 36)
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 11 November 2022 (Nubuwwah 1401 Hijriyah Syamsiyah/16 Rabi’ul Akhir/Rabi’uts Tsani tahun ke-1444 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم
[بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ]
(آمين)
Sedang berlangsung pembahasan mengenai Hadhrat Abu Bakr (ra). Perjalanan hidup beliau (ra) telah sedikit dibahas. Disebutkan juga dalam riwayat-riwayat berkenaan dengan hal ini bahwa beliau (ra) ahli dalam pengetahuan mengenai silsilah (jalur keturunan) dan menyukai syair-syair (sajak-sajak dan puisi-puisi). Tertulis bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah orang yang paling memahami tentang silsilah orang Arab. Jubair bin Muth’im, seorang yang telah mencapai kedalaman dalam ilmu silsilah keturunan mengatakan, “Saya telah mempelajari ilmu tersebut dari Hadhrat Abu Bakr (ra). Khususnya mata rantai keturunan bangsa Quraisy, karena beliau berasal dari Quraisy dan memahami mata rantai keturunan bangsa Quraisy dan juga kebaikan dan keburukan yang ada pada silsilah mereka.
Beliau tidak menyebutkan mengenai keburukan-keburukan mereka yakni Hadhrat Abu Bakr (ra) tidak menceritakan keburukannya. Untuk itulah, Hadhrat Abu Bakr (ra) lebih diterima dibandingkan Hadhrat Uqail bin Abu Thalib. Hadhrat Uqail bin Abu Thalib adalah orang yang paling memahami perihal silsilah keturunan, leluhur, kebaikan dan keburukan bangsa Quraisy. Namun Hadhrat Uqail tidak disukai oleh bangsa Quraisy karena beliau biasa menyebutkan keburukan-keburukan orang Quraisy. Hadhrat Uqail biasa duduk di masjid Nabawi di dekat Hadhrat Abu Bakr (ra) untuk mendapatkan pengetahuan dari beliau (ra) perihal silsilah keturunan, nama-nama, keadaan dan segala peristiwa yang menyangkut bangsa Arab. Dalam pandangan orang-orang Makkah, Hadhrat Abu Bakr (ra) merupakan salah satu orang terbaik mereka sehingga setiap kali mereka menghadapi suatu kesulitan, mereka selalu meminta bantuan kepada beliau (ra).” [1]
Telah dijelaskan bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) memiliki pengetahuan paling banyak mengenai silsilah orang-orang Arab, terutama silsilah Quraisy. Maka, ketika para pujangga Quraisy membacakan syair-syair yang mencela Hadhrat Rasulullah (saw), Hadhrat Hasan bin Tsabit (ra) ditugaskan untuk memberikan jawaban atas celaan mereka tersebut dalam bentuk syair juga.
Ketika Hadhrat Hasan (ra) datang ke hadapan Hadhrat Hadhrat Rasulullah (saw), beliau (saw) bersabda kepadanya, “Bagaimana Anda akan mengecam orang-orang Quraisy, sedangkan saya sendiri berasal dari Quraisy?”
Atas hal itu, Hadhrat Hasan (ra) berkata, “Ya Rasulullah (saw)! Saya akan mengeluarkan Anda dari mereka seperti rambut dikeluarkan dari tepung gandum atau mentega.”
Hadhrat Rasulullah (saw) pun bersabda kepada beliau, “Pergilah kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) dan tanyakanlah kepadanya mengenai garis keturunan Quraisy.”
Hadhrat Hasan (ra) menuturkan, “Kemudian sebelum saya menulis syair, saya datang kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) dan beliau (ra) memberikan bimbingan kepada saya berkenaan dengan kaum pria dan wanita Quraisy.”
Ketika syair Hadhrat Hasan (ra) sampai ke Makkah, orang-orang Makkah mengatakan bahwa di balik syair-syair tersebut terdapat andil bimbingan dan saran dari Hadhrat Abu Bakr (ra).”[2] Jadi, sebagaimana Hadhrat Abu Bakr (ra) mengetahui betul ilmu silsilah (garis keturunan) bangsa Arab, beliau juga sangat menguasai pengetahuan mengenai ayyaamul ‘Arab (hari-hari Arab), yakni sejarah bangsa Arab dan peperangan yang dilakukan bangsa Arab.
Demikian pula, sekalipun Hadhrat Abu Bakr (ra) bukan seorang penyair regular (teratur mengeluarkan karyanya), namun beliau memiliki selera sastra yang sangat baik. Para penulis biografi Hadhrat Abu Bakr (ra) berdebat mengenai apakah beliau membuat syair (sajak atau puisi) secara reguler atau tidak, dan beberapa penulis biografi telah menyangkal bahwa beliau telah membuat syair, namun beberapa penulis biografi juga menyebutkan beberapa syair dari Hadhrat Abu Bakr (ra). Demikian pula, sebuah manuskrip berisi 25 qasidah yang berisi syair-syair Hadhrat Abu Bakr (ra), masih tersedia di perpustakaan Turki. Dikatakan bahwa itu adalah syair-syair susunan Hadhrat Abu Bakr (ra). Seorang penulis bahkan telah menulis bahwa ia telah mengkonfirmasi (meminta keterangan atas kebenaran) syair-syair tersebut kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) melalui ilham.
Di dalam Kitab ath-Thabaqaat al-Kubra karya ibnu Sa’ad dan as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam tertulis, “Hadhrat Abu Bakr (ra) telah membuat beberapa syair. Pada saat kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw), setelah penguburan beliau (saw), syair-syair Hadhrat Abu Bakr (ra) diriwayatkan sebagai berikut, يَا عَيْنُ فَابْكِي وَلَا تَسْأَمِي وَحُقَّ الْبُكَاءُ عَلَى السَّيِّد ِ عَلَى خَيْرِ خِنْدِفَ عِنْدَ الْبَلَاءِ أَمْسَى يُغَيَّبُ فِي الْمُلْحَدِ فَصَلَّى الْمَلِيكُ وَلِيُّ الْعِبَادِ وَرَبُّ الْبِلَادِ عَلَى أَحْمَدِ فَكَيْفَ الْحَيَاةُ لِفَقْدِ الْحَبِيبَ وَزَيْنُ الْمَعَاشِرِ فِي الْمَشْهَدِ فَلَيْتَ الْمَمَاتَ لَنَا كُلِّنَا وَكُنَّا جَمِيعًا مَعَ الْمُهْتَدِي yang terjemahannya adalah Wahai mata! Demi hakmu untuk menangisi sang pemimpin dua alam (saw), teruslah engkau menangis! Dan sekarang air matamu tak akan pernah terbendung.
Wahai mata! Teteskanlah air mata yang ketika senja tersembunyi di liang lahat, bagi Sang Khandaf, yakni putra terbaik suku Quraisy.
Semoga Sholawat dari Sang Raja Diraja, Sang Pemelihara para hamba dan Rabb para ahli ibadah tercurah atas engkau (saw).
Bagaimanakah kehidupan ini setelah terpisah dengan sang kekasih.
Keindahan macam apa yang ada setelah perpisahan dengan wujud yang menghiasi sepuluh semesta.
Andainya saja kematian pun membawa kami dalam sebuah kebersamaan, sebagaimana kami telah bersama-sama di dalam kehidupan.’”[3]
Ini adalah terjemahan dari syair-syair tersebut.
Berkenaan dengan firasat beliau, diriwayatkan bahwa beliau adalah seseorang yang memiliki firasat yang tajam. Hadhrat Abu Sa’id al-Khudri (ra) meriwayatkan, خَطَبَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ” إِنَّ اللَّهَ خَيَّرَ عَبْدًا بَيْنَ الدُّنْيَا وَبَيْنَ مَا عِنْدَهُ، فَاخْتَارَ مَا عِنْدَ اللَّهِ “. فَبَكَى أَبُو بَكْرٍ ـ رضى الله عنه ـ فَقُلْتُ فِي نَفْسِي مَا يُبْكِي هَذَا الشَّيْخَ إِنْ يَكُنِ اللَّهُ خَيَّرَ عَبْدًا بَيْنَ الدُّنْيَا وَبَيْنَ مَا عِنْدَهُ فَاخْتَارَ مَا عِنْدَ اللَّهِ، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم هُوَ الْعَبْدَ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ أَعْلَمَنَا. قَالَ ” يَا أَبَا بَكْرٍ لاَ تَبْكِ، إِنَّ أَمَنَّ النَّاسِ عَلَىَّ فِي صُحْبَتِهِ وَمَالِهِ أَبُو بَكْرٍ، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً مِنْ أُمَّتِي لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ، وَلَكِنْ أُخُوَّةُ الإِسْلاَمِ وَمَوَدَّتُهُ، لاَ يَبْقَيَنَّ فِي الْمَسْجِدِ باب إِلاَّ سُدَّ إِلاَّ باب أَبِي بَكْرٍ ” “Nabi (saw) bersabda, ‘Allah Ta’ala telah memberikan pilihan kepada seorang hamba, yaitu antara dunia atau pergi ke sisi Allah Ta’ala. Maka dia telah menyukai untuk berada di sisi Allah Ta’ala.’
Atas hal itu, Hadhrat Abu Bakr (ra) menangis. Saya mengatakan di dalam hati, apa yang telah membuat lelaki tua ini menangis? Jika Allah Ta’ala memberikan pilihan kepada seorang hamba antara memilih dunia atau berada di sisi-Nya, maka hamba yang telah memilih untuk berada di sisi Allah Ta’ala itu adalah Rasulullah (saw) sendiri dan Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah yang paling mengetahui di antara kami.”
Selanjutnya dikatakan di dalam riwayat, “Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, ‘Abu Bakr! Janganlah menangis. Sungguh, Abu Bakr adalah orang yang paling baik kepadaku dari antara semua orang melalui persahabatan dan harta bendanya. Jika saya ingin menjadikan seseorang dari umat saya sebagai Khalil (sahabat), maka saya akan menjadikan Abu Bakr, tetapi Islam telah memiliki persaudaraan dan cinta. Tidak ada pintu yang tersisa di masjid melainkan hendaknya ditutup, kecuali pintu Abu Bakr (ra).’”[4]
Saya sampaikan referensi ini untuk kedua kalinya dalam konteks mengenai firasat, sebelumnya pun telah saya sampaikan. Hadhrat Masih Mau’ud (as) juga telah memberikan suatu penjelasan berkenaan dengan pintu yang nanti akan saya sampaikan. Bagaimanapun, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda seraya menyebutkan peristiwa ini: “Ketika hari-hari terakhir kehidupan Rasulullah (saw) tiba, maka suatu hari beliau berdiri untuk berpidato dan bersabda kepada para sahabat, ‘Wahai manusia! Ada seorang hamba Allah Ta’ala, Tuhan-nya telah berfirman kepadanya, “Wahai hamba-Ku! Aku memberikan pilihan kepadamu antara tinggal di dunia atau datang ke sisi-Ku.” Atas hal itu, hamba tersebut telah menyukai untuk dekat dengan Tuhan.’
Ketika Rasulullah (saw) bersabda seperti itu, Hadhrat Abu Bakr (ra) menangis. Hadhrat Umar (ra) berkata – Di sini yang disebut Hadhrat Umar (ra) – Hadhrat Umar (ra) berkata, ‘Melihat tangisan beliau saya sangat marah, karena Rasulullah (saw) tengah menceritakan mengenai seorang hamba yang diberikan pilihan oleh Allah Ta’ala antara tinggal di dunia atau pergi ke sisi Allah Ta’ala dan ia menyukai untuk dekat dengan Allah Ta’ala. Mengapa lelaki tua ini menangis?’
Namun, Hadhrat Abu Bakr (ra) begitu tersedu-sedu tanpa henti. Akhirnya Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), ‘Saya sangat mencintai Abu Bakr (ra), sehingga jika diperbolehkan untuk menjadikan seseorang selain Allah sebagai Kholil, maka saya akan memilih Abu Bakr (ra).’ Hadhrat Umar (ra) bersabda, ‘Ketika setelah beberapa hari kemudian Hadhrat Rasulullah (saw) wafat, maka saat itu kami memahami bahwa tangisan Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah benar dan kemarahan kami adalah suatu kebodohan.’”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Hadhrat Abu Bakr (ra) telah meraih pemahaman mengenai Al-Quran sehingga ketika Rasulullah (saw) membacakan ayat: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي maka Hadhrat Abu Bakr (ra) menangis. Seseorang bertanya, ‘Mengapa orang tua ini menangis?’ Maka Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab, ‘Ayat ini menandakan kewafatan Rasulullah (saw).’”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Para nabi (‘alaihimussalaam) seperti penguasa. Seperti halnya seorang pejabat pemerintah ketika telah menyelesaikan tugasnya maka ia akan pergi dari sana, demikian juga para nabi ‘alaihimussalam, ketika mereka telah menyelesaikan tugas yang untuk tujuan itu mereka diutus ke dunia maka mereka akan meninggalkan dunia ini. Alhasil, ketika seruan الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ datang, Hadhrat Abu Bakr (ra) memahami ini adalah seruan terakhir. Hal ini juga menandakan bahwa di kalangan para Sahabat, Hadhrat Abu Bakr (ra) mempunyai pemahaman yang lebih banyak.
Berkenaan dengan yang disebutkan di dalam hadits bahwa semua jendela yang mengarah ke masjid hendaknya ditutup.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) juga memberikan penjelasan mengenai jendela ini bahwa apa yang dimaksud dengan menutup jendela-jendela. Beliau (as) bersabda, “Yang disebutkan Hadits bahwa semua jendela yang mengarah ke masjid hendaknya ditutup, kecuali jendela Hadhrat Abu Bakr (ra) yang mengarah masjid mengandung rahasia bahwa masjid adalah perwujudan rahasia-rahasia Ilahi dan dalam hal itu terkandung isyarat bahwa pintu rahasia-rahasia Ilahi tidak akan ditutup bagi Hadhrat Abu Bakr (ra).” Rahasia-rahasia Allah Ta’ala dan hikmah-hikmah firman-Nya akan tetap terbuka untuk Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra). Selanjutnya pun akan terus terbuka.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda bahwa, “Para Nabi ‘alaihimussalam menggunakan bahasa kiasan (metafora). Seseorang yang seperti halnya para maulwi yang polos mengartikan secara harfiah, ia sangat keliru. Misalnya, Hadhrat Ibrahim (as) mengatakan kepada putranya, ‘Gantilah ambang pintu ini’[5], atau Hadhrat Rasulullah (saw) melihat gelang emas dan sebagainya, semua ini tidaklah bermakna harfiah, melainkan sebagai kiasan dan metafora. Di dalamnya terdapat suatu hakikat lain.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Singkatnya, pokok persoalannya, Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah yang paling banyak diberikan pemahaman mengenai Al-Qur’an sehingga Hadhrat Abu Bakr (ra) berpendapat seperti itu.” Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Keyakinan saya adalah, jika makna ini tampaknya bertentangan, tetap saja tuntutan dari ketakwaan dan kesalehan adalah hendaknya meyakini pendapat Hadhrat Abu Bakr (ra), namun di sini tidak ada sepatah kata pun dalam Al-Qur’an yang berlawanan dengan pengertian yang diambil oleh Hadhrat Abu Bakr (ra).”
Beliau (as) bersabda, “Tanyakanlah kepada para Maulwi (Ulama), apakah Hadhrat Abu Bakr (ra) seorang yang cerdas atau tidak? Bukankah Abu Bakr ini yang dijuluki sebagai ash-Shiddiq? Bukankah orang ini yang pertama menjadi Khalifah Rasulullah (saw) yang telah melakukan pengkhidmatan sangat besar bagi Islam dengan menghentikan wabah kemurtadan?”
Beliau (as) bersabda, “Baiklah! Mari kita bicara mengenai mengapa Hadhrat Abu Bakr (ra) merasa perlu naik ke mimbar. Kemudian beritahukanlah dengan ketakwaan bahwa ayat: وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ‘dan tidaklah Muhammad kecuali seorang Rasul yang telah berlalu rasul-rasul sebelum ia’ ۔ yang beliau baca, apakah ini argumen sempurna ataukah sedemikian rupa cacat, sehingga seorang anak kecil pun dapat mengatakan bahwa orang yang menganggap Nabi Isa (as) telah wafat menjadi kafir.”[6] Itu artinya, makna dari membaca ayat ini secara keseluruhan adalah, memberikan sebuah argumentasi yang sangat jelas dan kokoh dan bukan argumentasi yang cacat.
Kemudian pada satu kesempatan lain, seraya menjelaskan mengenai hal ini, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: Ayat الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ memiliki dua sisi. Pertama, Dia telah mensucikan engkau (Muhammad), dan kedua, Dia telah menyempurnakan kitab.”
Beliau (as) bersabda, “Ketika ayat ini turun, Hadhrat Abu Bakr (ra) menangis. Seseorang mengatakan, ‘Wahai orang tua, mengapa menangis?’
Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab, ‘Ayat ini menandakan kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw), karena telah ditetapkan bahwa ketika suatu tugas telah ditunaikan maka sempurnanya tugas itu membuktikan kewafatan. Sebagaimana jika terdapat suatu urusan di dunia, dan urusan itu telah diselesaikan, maka para pekerja akan pergi dari sana.’
Ketika Hadhrat Rasulullah (saw) mendengar kisah Hadhrat Abu Bakr (ra), beliau (saw) bersabda, ‘Orang yang paling cerdas adalah Abu Bakr (ra)’, dan bersabda, ‘Jika di dunia ini aku menyimpan seseorang sebagai teman, maka aku akan menyimpan Abu Bakr (ra)’, dan bersabda, ‘Jendela Abu Bakr (ra) akan selalu terbuka di masjid. Tutuplah yang lainnya.’”
Jika ada seseorang yang bertanya apa makna dan kaitannya antara menyimpan teman dan tetap membuka jendela? Beliau (ra) menjelaskan relevansinya, “Ingatlah! Masjid adalah rumah Allah yang merupakan mata air segala hakikat dan ma’rifat. Oleh karena itu, beliau (saw) bersabda bahwa jendela batin Hadhrat Abu Bakr (ra) ada di sisi ini, maka jendela ini harus disimpan untuknya. Bukan berarti sahabat-sahabat lain luput. Di antara mereka pun banyak yang memiliki ketajaman firasat, namun yang paling tajam terdapat dalam diri Hadhrat Abu Bakr (ra), bahkan keutamaan Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah firasat pribadinya yang telah menunjukkan keteladannya di masa awal dan di masa-masa terakhir, seolah-olah wujud Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah majmu’atul firaasataiin (مجموع الفراستين) (kumpulan dari dua firasat).” [7]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: كان الصدّيق من المجربين ومن زمر المتبصّرين. رأى كثيرا من مغالق الأمور وشدائدها، وشهد المعارك ورأى مكايدها، ووطئ البوادي وجلامِدَها، وكم من مهلكة اقتحمها! وكم من سبل العوج قوَّمها! وكم من ملحمة قدمها! وكم من فتن عدمها! وكم من راحلة أنضاها في الأسفار، (أي قطع عليها أسفارا كثيرة حتى تعبت) وطوى المراحل حتى صار من أهل التجربة والاختبار! وكان صابرًا على الشدائد ومن المرتاضين. فاختاره الله لرفاقته مورد آياته، وأثنى عليه لصدقه وثباته، وأشار إلى أنه كان لرسول الله أوّل الأحبّاء، وخُلِقَ من طينة الحرّية وتفوَّقَ درَّ الوفاء، ولأجل ذلك اختُيرَ عند خطب خشَّى وخوف غشَّى، والله عليم حكيم يضع الأمور في مواضعها، ويُجري المياه من منابعها، فنظر إلى ابن أبي قحافة نظرةً، ومن عليه خاصة، وجعله من المتفردين، وقال وهو أصدق القائلين: إِلا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا في الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لا تَحْزَنْ إِنَّ اللهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللهُ سَكِينَتَه عَلَيهِ وَأَيّدَهُ بِجُنُودٍ لم تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ. (سر الخلافة) Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) adalah sosok yang sangat perpengalaman dan termasuk diantara orang-orang yang memiliki firasat yang salam. Beliau telah menyaksikan banyak sekali perkara-perkara sulit serta kekerasan-kekerasan dari mereka, dan ikut di dalam banyak peperangan bersama Nabi serta melihat gerak-gerik pertempuran mereka. Beliau telah melalui banyak gurun pasir, pegunungan dan tempat kebinasaan, dimana tanpa gentar beliau terjun di dalamnya. Betapa banyak jalan-jalan berliku yang telah beliau luruskan, betapa banyak perang-perang yang mana beliau terdepan di dalamnya, betapa banyak fitnah kekisruhan yang telah beliau atasi, serta betapa banyak tunggangan-tunggangan yang telah beliau letihkan dalam perjalanan-perjalanan (yakni tidak terhitung perjalanan yang telah beliau tempuh sehingga tunggangannya pun kepayahan). Betapa banyak tingkatan-tingkatan yang telah beliau tempuh sehingga menjadikan beliau sosok berpengalaman dan pemilik firasat.
Beliau sabar menghadapi berbagi musibah dan tekun dalam beribadah. Alhasil, Allah Ta’ala telah memilih beliau di dalam firman-Nya untuk menemani Rasulullah (saw), dan memuji beliau karena ketulusan dan keteguhan beliau. Hal ini merupakan isyarah bahwa beliau adalah sosok yang paling utama diantara para sahabat Rasulullah (saw) yang beliau cintai. Beliau terlahir dengan jiwa yang mandiri, dan kesetiaan telah tertanam dalam diri beliau. Atas sebab inilah maka beliau telah dipilih di saat yang sangat berbahaya dan menentukan, dan Allah adalah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Beliau telah meletakkan segenap perkara sesuai dengan waktu dan tempatnya, dan beliau telah mengalirkan air dari mata air yang tepat. Jadi, Dia telah meletakkan pandangan belas kasih-Nya pada Ibnu Abi Quhafah, dan menurunkan ihsan-Nya yang khas kepadanya, dan menjadikannya sosok istimewa sepanjang masa, dan Allah Ta’ala berfirman: dan Dia adalah yang paling benar diantara semua yang bertutur kata (yakni apa yang difirmankan Allah Ta’ala, Allah Ta’ala lah yang paling benar diantara semua yang bertutur kata). Allah berfirman, ‘dan jika kalian tidak menolong rasul itu, sesungguhnya Allah sebelumnya pun telah menolongnya, yaitu tatkala orang-orang yang kafir telah mengeluarkan mereka dari negerinya, dimana saat itu ia adalah yang kedua dari berdua, ketika keduanya ada di dalam gua, dan ia berkata kepada sahabatnya, “Janganlah bersedih, sesungguhnya Allah ada bersama kita.” Maka Allah pun menurunkan ketentraman-Nya kepadanya dan menolongnya dengan pasukan-pasukan-Nya yang tidak pernah kalian lihat, dan Dia merendahkan perkataan-perkataan orang-orang yang telah kafir, dan hanya perkataan Allah lah yang unggul, dan Allah adalah Maha Kuasa, Maha Bijaksana.’”[8]
Hadhrat Abu Bakr (ra) pun sangat mahir dalam ilmu ta’bir mimpi. Tertera bahwa Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) sangat mahir dalam ilmu ta-birur ru-ya (menjelaskan arti mimpi). Beliau meraih kedudukan paling tinggi dalam ilmu ta-birur ru-ya, hingga di masa yang mulia pemimpin segala zaman, yaitu Rasulullah (saw) yang penuh berkat pun beliau (ra) kerap menerangkan arti mimpi-mimpi.
Imam Muhammad bin Sirin menerangkan bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah pentakbir mimpi terbesar setelah Rasulullah (saw).[9]
Berikut adalah beberapa uraian arti mimpi-mimpi yang dijelaskan oleh Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra): عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ أَتَى النَّبِيَّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ رَجُلٌ مُنْصَرَفَهُ مِنْ أُحُدٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ ظُلَّةً تَنْطِفُ سَمْنًا وَعَسَلاً وَرَأَيْتُ النَّاسَ يَتَكَفَّفُونَ مِنْهَا فَالْمُسْتَكْثِرُ وَالْمُسْتَقِلُّ وَرَأَيْتُ سَبَبًا وَاصِلاً إِلَى السَّمَاءِ رَأَيْتُكَ أَخَذْتَ بِهِ فَعَلَوْتَ بِهِ ثُمَّ أَخَذَ بِهِ رَجُلٌ بَعْدَكَ فَعَلاَ بِهِ ثُمَّ أَخَذَ بِهِ رَجُلٌ بَعْدَهُ فَعَلاَ بِهِ ثُمَّ أَخَذَ بِهِ رَجُلٌ بَعْدَهُ فَانْقَطَعَ بِهِ ثُمَّ وُصِلَ لَهُ فَعَلاَ بِهِ . فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ دَعْنِي أَعْبُرْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ ” اعْبُرْهَا ” . قَالَ أَمَّا الظُّلَّةُ فَالإِسْلاَمُ وَأَمَّا مَا يَنْطِفُ مِنْهَا مِنَ الْعَسَلِ وَالسَّمْنِ فَهُوَ الْقُرْآنُ حَلاَوَتُهُ وَلِينُهُ وَأَمَّا مَا يَتَكَفَّفُ مِنْهُ النَّاسُ فَالآخِذُ مِنَ الْقُرْآنِ كَثِيرًا وَقَلِيلاً وَأَمَّا السَّبَبُ الْوَاصِلُ إِلَى السَّمَاءِ فَمَا أَنْتَ عَلَيْهِ مِنَ الْحَقِّ أَخَذْتَ بِهِ فَعَلاَ بِكَ ثُمَّ يَأْخُذُهُ رَجُلٌ مِنْ بَعْدِكَ فَيَعْلُو بِهِ ثُمَّ آخَرُ فَيَعْلُو بِهِ ثُمَّ آخَرُ فَيَنْقَطِعُ بِهِ ثُمَّ يُوَصَّلُ لَهُ فَيَعْلُو بِهِ . قَالَ ” أَصَبْتَ بَعْضًا وَأَخْطَأْتَ بَعْضًا ” . قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَقْسَمْتُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَتُخْبِرَنِّي بِالَّذِي أَصَبْتُ مِنَ الَّذِي أَخْطَأْتُ . فَقَالَ النَّبِيُّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ ” لاَ تُقْسِمْ يَا أَبَا بَكْرٍ ” Hadhrat Ibnu Abbas menerangkan bahwa seseorang datang menjumpai Nabi (saw) ketika beliau (saw) kembali dari Uhud dan ia bertanya, “Wahai Rasulullah, saya bermimpi melihat sebuah awan yang darinya turun madu dan minyak samin dan saya melihat orang-orang tengah mengambilnya dengan kedua tangannya. Ada yang mengambil banyak darinya dan ada yang sedikit. Lalu saya melihat satu tali yang sampai menuju langit. Saya lalu melihat Hudhur (saw) dimana Hudhur menggenggamnya dan naik ke atas dengannya. Setelah itu ada seorang lagi yang menggenggamnya dan ia pun pergi keatas dengannya. Setelah itu ada seorang lagi yang menggenggamnya dan ia pun naik ke atas. Setelah itu ada seorang lagi yang memegang tali itu dan tali itu terputus lalu tali itu disambungkan untuknya dan dengan tali itu ia naik ke atas.”
Hadhrat Abu Bakr (ra) bertanya kepada Rasulullah (saw), “Wahai Rasulullah (saw), mohon perkenankan saya untuk menguraikan artinya. Jika diizinkan maka saya akan mengartikannya.”
Beliau (saw) bersabda, “ta’birkanlah.”
Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata, “Awan yang memberi naungan adalah Islam, kemudian madu dan minyak samin yang tercurah darinya adalah Al-Quran. Rasa manis dan kenikmatan darinya, serta orang-orang tengah mengambilnya, adalah bermakna mereka yang meraih Al-Quran. (Yakni mereka yang meraih ilmu-ilmu Al-Quran, apakah itu sedikit atau banyak). Lalu tali yang sampai ke langit adalah kebenaran yang diatasnya Hudhur (saw) berada, Hudhur (saw) menggenggamnya dan dengan perantaraannya Hudhur naik ke atas. Lalu setelah Hudhur (saw), ada seorang lagi yang mengambilnya dan dengannya ia pun naik, lalu ada seorang lain juga yang dengannya ia naik ke atas. Lalu ada seorang lagi dan tali itu akan putus. Lalu tali itu disambungkan untuknya dan dengannya ia naik ke atas.”
Rasulullah (saw) bersabda, “Anda telah menyampaikan sebagian dengan benar dan ada sebagian yang salah.”
Hadhrat Abu Bakr (ra) bertanya, “Apakah itu, wahai Rasulullah? Saya bersumpah demi engkau (saw), mohon Hudhur sampaikan kepada saya jawaban benar apa yang telah saya katakan dan jawaban apa yang salah.”
Nabi (saw) bersabda, “Abu Bakr, janganlah bersumpah.” [10] Maksudnya, beliau (saw) tidak menghendaki pengertian yang benar itu, yang telah diterangkan itu, [diberi sumpah]. Oleh karena itu beliau bersabda, “Janganlah bersumpah, cukuplah demikian, yakni apa yang telah Anda lakukan ini adalah cukup.”
Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, عن مبشر السعدي عن بن شهاب قال رأى النبي صلى الله عليه وسلم رؤيا فقصها على أبي بكر فقال يا أبا بكر رأيت كأني استبقت أنا وأنت درجة فسبقتك بمرقاتين ونصف قال خير يا رسول الله يبقيك الله حتى ترى ما يسرك ويقر عينك قال فأعاد عليه مثل ذلك ثلاث مرات وأعاد عليه مثل ذلك قال فقال له في الثالثة يا أبا بكر رأيت كأني استبقت أنا وأنت درجة فسبقتك بمرقاتين ونصف قال يا رسول الله يقبضك الله على رحمته ومغفرته وأعيش بعدك سنتين ونصفا Nabi yang mulia (saw) bermimpi lalu beliau menyampaikan mimpi itu di depan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan bersabda, “Saya bermimpi seolah tampak saya dan Anda tengah menaiki tangga, dimana saya berada di depan sejauh 2,5 (dua setengah) tangga dari Anda.”
Beliau berkata, “Ini baik wahai Rasulullah (saw), semoga Allah senantiasa menjaga Hudhur (saw) hingga Hudhur menyaksikan sendiri hal itu dengan kedua mata sendiri, yaitu hal yang membahagiakan dan menentramkan Hudhur, serta menjadi penyejuk mata.” Beliau (saw) mengulangi ucapan ini hingga 3 (tiga) kali dan beliau (ra) juga mengulangi ucapan ini hingga 3 kali. Saat ketiga kali beliau (saw) bersabda “Wahai Abu Bakr, saya bermimpi seolah saya dan Anda tengah ada diatas tangga dimana saya telah berada 2 setengah tangga di depan Anda”, Hadhrat Abu Bakr (ra) pun berkata, “Wahai Rasulullah (saw)! Semoga Allah mengangkat engkau menuju Rahmat dan Magfirat-Nya dan saya akan hidup 2.5 (dua setengah) tahun setelah engkau.”[11] Demikianlah Hadhrat Abu Bakr (ra) menjabarkan sabda ini dan seperti demikianlah yang telah terjadi.
Hadhrat ‘Aisyah istri suci Nabi yang mulila (saw) menjelaskan, رَأَيْتُ ثَلاَثَةَ أَقْمَارٍ سَقَطْنَ فِي حُجْرَتِي فَقَصَصْتُ رُؤْيَاىَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَدُفِنَ فِي بَيْتِهَا قَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ هَذَا أَحَدُ أَقْمَارِكِ وَهُوَ خَيْرُهَا “Saya bermimpi bahwa di satu kamar saya melihat ada 3 (tiga) bulan penuh yang sedang jatuh di kamar saya sendiri. Lalu saya menyampaikan mimpi saya ini kepada Ayahanda saya Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra). Tatkala tiba kewafatan Rasulullah (saw) dan beliau (saw) dimakamkan di kamar Hadhrat Aisyah, maka Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda kepada Hadhrat Aisyah, “Ini adalah satu bulan diantara bulan-bulanmu, dan ini adalah yang terbaik dari semua itu.”[12]
Hadhrat Abdurrahman bin Abi Layla (ra) menerangkan: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إني رأيتني يتبعني غنم سود يتبعها غنم عفر ، فقال أبو بكر: يا رسول الله ، هذه العرب تتبعك تتبعها العجم ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كذلك عبرها الملك “Rasulullah (saw) bersabda, ‘Saya melihat bahwa ada kawanan kambing hitam yang tengah mengikuti saya dan di belakangnya ada kawanan kambing berwarna coklat.’
Atas hal ini Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), orang-orang Arab akan mengikuti Hudhur, lalu orang-orang ‘Ajam/bukan Arab akan mengikuti mereka.’
Rasulullah (saw) bersabda, ‘Para malaikat pun mena’birkan demikian.’”[13] Ini adalah tentang mimpi-mimpi.
Kemudian, tentang siapa yang pertama kali menjadi Muslim diantara para Muslim laki-laki, mengenai hal ini, disebutkan bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra)-lah [yang tepat] untuk ini. Hadhrat Ammar bin Yasir menuturkan, رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَمَا مَعَهُ إِلَّا خَمْسَةُ أَعْبُدٍ، وَامْرَأَتَانِ، وَأَبُو بَكْرٍ “Saat itu saya melihat Hadhrat Rasulullah (saw) hanya ditemani oleh 5 (lima) orang hamba sahaya, 2 (dua) wanita dan Hadhrat Abu Bakr (ra).”[14]
Hadhrat Mirza Basyir Ahmad Sahib di dalam karya beliau, Sirat Khatamun Nabiyyin menulis catatan rinci akan hal ini. Beliau menulis: (Beliau tengah membahas hal ini yakni siapakah yang pertama kali beriman kepada Yang Mulia Rasulullah (saw)) Jadi beliau menulis: “Tatkala Baginda Rasulullah (saw) memulai misi tablig beliau, maka saat itu yang pertama kali beriman adalah Hadhrat Khadijah (ra) yang tidak menolak dan tidak ragu sedikit pun walau sesaat.
Berkenaan dengan orang yang pertama beriman setelah Hadhrat Khadijah, terdapat pertentangan pendapat di antara para sejarawan mengenai siapa yang pertama beriman dari kalangan laki-laki. Sebagian menyebut nama Hadhrat Abu Bakr Abdullah bin Abi Quhafah. Sebagian menyebut nama Hadhrat ‘Ali yang pada saat itu hanya berumur sepuluh tahun. Sebagian menyebut budak yang dimerdekakan Hadhrat Rasulullah (saw) bernama Hadhrat Zaid bin Haritsah. Tetapi, menurut pendapat kami bahwa perdebatan ini sia-sia. Hadhrat ‘Ali dan Hadhrat Zaid bin Haritsah adalah bagian dari keluarga Rasulullah (saw) dan tinggal bersama beliau (saw) layaknya anak-anak beliau. Mereka mematuhi sabda Rasulullah (saw) dan beriman kepada beliau…” (Yakni, apa saja yang disabdakan oleh Rasulullah (saw), itu serta merta menjadi keyakinan dan keimanan mereka; sehingga berimannya mereka, hal ini adalah hal sepatutnya karena saat itu usia mereka masih muda, dan adalah orang yang tinggal di kediaman beliau) ”…bahkan dari mereka mungkin ikrar secara ucapan tidak diperlukan. Jadi, nama mereka tidak perlu di bawa-bawa. Dengan demikian, selebihnya dari semua orang itu, Hadhrat Abu Bakr (ra) yang secara umum diakui terdepan sebagai Muslim dan yang pertama kali beriman.”[15]
Hadhrat Abu Bakr (ra), karena kemuliaan dan kemampuan beliau, adalah sangat dihormati dan dimuliakan di kalangan kaum Quraisy, dan di dalam Islam beliau meraih kedudukan yang tidak dimiliki oleh para sahabat manapun. Hadhrat Abu Bakr (ra) untuk sedetik pun tidak ragu akan penda’waan Yang Mulia Rasulullah (saw), bahkan beliau segera mengimaninya saat beliau mendengarnya kemudian beliau mewakafkan segenap pemikiran, jiwa, dan hartanya demi mengkhidmati agama yang dibawa oleh Yang Mulia Rasulullah (saw). Rasulullah (saw) sangat mencintai Abu Bakr diantara para sahabat beliau; dan setelah kewafatan Rasulullah, Hadhrat Abu Bakr (ra)-lah yang menjadi khalifah pertama beliau. Di masa kekhalifahannya, beliau telah memperlihatkan kemampuan yang tiada bandingannya.
Berkenaan dengan Abu Bakr, seorang orientalis Eropa bernama Sprenger menulis sbb, ‘Berimannya Abu Bakr kepada Muhammad (saw) pada masa permulaan Islam merupakan jaminan kuat ketulusan dan kejujuran Muhammad (saw) sejak awal karirnya… [16] Seandainya Muhammad (saw) mungkin adalah orang yang tertipu, namun beliau sama sekali bukanlah sosok yang memberi tipuan, dan bahkan beliau yakin dengan hati yang sesungguhnya bahwa diri beliau adalah Rasul Tuhan. Sir William Muir pun sepakat sepenuhnya pada pendapat Sprenger ini.”[17]
Setelah Hadhrat Khadijah, Hadhrat Abu Bakr (ra), Hadhrat Ali, dan Zaid bin Haritsah, nama lima orang yang kemudian beriman atas tablig Hadhrat Abu Bakr (ra) (dimana mereka semua menjadi sahabat yang mulia dan terkemuka dalam Islam, dan termasuk diantara para sahabat yang utama), adalah sebagai berikut: Pertama Hadhrat Usman bin Affan, Kedua Abdurrahman bin Auf, ketiga Sa’ad bin Abi Waqqas, keempat Zubair bin Awwam, kelima Talhah bin Ubaidillah. Kelima sahabat ini termasuk dalam sahabat ‘Asyrah mubasyarah, yakni termasuk dalam 10 sahabat yang mana Rasulullah (saw) dengan ucapan beliau yang penuh berkat telah memberi kabar suka yang khas yakni surga untuk mereka, dan mereka termasuk diantara sahabat beliau yang terdekat dan sahabat yang [diamanatkan] memberi saran.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) dalam satu kesempatan saat mencanangkan gerakan pengorbanan harta, beliau menerangkan dan beliau menautkan (menghubungkan) peristiwa ini juga dalam penjelasan beliau. Beliau menulis, “Sesungguhnya beriman tidaklah gentar dengan gerakan-gerakan seperti ini, yakni gerakan-gerakan pengorbanan harta atau pengorbanan lainnya, namun justru senang dan ia bangga dengannya, karena gerakan ini pertama-tama datang kepadanya. Ia tidaklah takut, namun bangga dengannya dan memanjatkan syukur kepada Allah Taala, lalu ia mengorbankan harta sebanyak-banyaknya di jalan Allah Taala, dan mereka jugalah yang meraih derajat yang lebih tinggi. Apakah ada yang dapat menolak, bahwa pengorbanan-pengorbanan yang telah dijalankan oleh Hadhrat Abu Bakr (ra), atau kesempatan berkhidmat yang telah diraih oleh beliau, apakah beliau pernah berkeinginan mengapa beliau mendapat kesempatan pertama dalam pengorbanan-pengorbanan itu? Mungkinkan beliau pernah berpikir atau berkeinginan demikian, yaitu mengapa mendapat kesempatan ini?
Beliau justru dengan sangat gembira memasukkan diri beliau dalam segenap bahaya, dan menghadapi kesulitan-kesulitan di jalan Tuhan. Oleh karena itulah, beliau meraih kedudukan yang mana Hadhrat Umar pun tidak dapat meraihnya. Karena siapa yang pertama kali beriman, ia mendapat kesempatan untuk pertama kali melakukan pengorbanan-pengorbanan. Sesungguhnya bahaya-bahaya terus ada di saat Hadhrat Umar memeluk Islam; mereka ditimpa penganiayaan-penganiayaan; mereka dilarang untuk melaksanakan shalat, dan para sahabat dikeluarkan dari tanah air mereka; saat itu terjadi peristiwa hijrah ke Habsyah; Era kemajuan adalah dimulai jauh setelah mereka memeluk Islam. Meski demikian, kedudukan yang diraih oleh Hadhrat Abu Bakr (ra) karena kesempatan beriman dan melakukan pengorbanan-pengorbanan di masa awal, kedudukan ini tidak dapat diraih sama oleh Hadhrat Umar.
Inilah sebabnya ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat Umar berselisih pendapat, Nabi (saw) bersabda, ‘Ketika kalian menolak Islam, saat itu Abu Bakr telah menerima Islam dan ketika kalian menentang Islam, saat itu Abu Bakr tengah membantu Islam. Mengapa kalian menyakitinya sekarang?’
Hadhrat Rasulullah menyebutkan perihal status beliau yang lebih dulu baiat dan memberikan pengorbanan di hadapan mereka, padahal Hadhrat Umar juga mengalami penderitaan dan juga berkorban. Alhasil, Hadhrat Abu Bakr (ra) mendapatkan kemuliaan karena lebih dulu. Adakah yang bisa mengatakan bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) akan berharap untuk mendapatkan kesempatan untuk baiat pada pada saat Fatah Makkah, bahkan sekalipun kerajaan dunia ditawarkan ke hadapan beliau, beliau akan menganggapnya sebagai pengganti yang rendah dan tidak akan menerimanya. Bahkan jika dibandingkan dengan kemuliaan yang telah beliau dapatkan itu, beliau tidak akan segan-segan untuk menghardik kerajaan duniawi dengan kakinya.”
Jadi itu merupakan hadiah berkat pengorbanan beliau dan seperti itu Allah membalasnya. Tingkat demi tingkat. Berkenaan dengan memerdekakan budak belian, Hadhrat Umar (RA) biasa mengatakan, أَبُو بَكْرٍ سَيِّدُنَا، وَأَعْتَقَ سَيِّدَنَا. يَعْنِي بِلاَلاً “Abu Bakr sayyiduna wa a’taqa sayyidana ya’ni Bilal. Abu Bakr adalah pemimpin kami dan beliau memerdekakan pemimpin kami, yaitu Hadhrat Bilal.[18]
Pada masa awal Islam, Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) membebaskan tujuh budak dengan hartanya yang mana mereka menanggung penderitaan demi Allah. Berikut adalah nama-nama budak tersebut, Hadhrat Bilal, Aamir bin Fuhairah, Zinnirah, Nahdiyah dan putrinya lalu seorang budak Bani Ma-mal dan juga Ummu Ubais.[19]
Penentang juga mengakui kebaikan dan akhlak mulia Hadhrat Abu Bakr (ra), sebagaimana Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Manusia seperti Hadhrat Abu Bakr (ra) yang mana seluruh Makkah pernah mendapatkan kebaikan beliau. Harta yang dihasilkan dari nafkahnya dibelanjakan oleh beliau untuk memerdekakan para budak. Suatu hari beliau tengah dalam perjalanan meninggalkan Makkah.
Ada seorang tokoh yang berjumpa dengan beliau di jalan. Ia bertanya, ‘Abu Bakr (ra)! Hendak kemana Anda pergi?’
Beliau berkata, ‘Sekarang saya sudah tidak aman lagi hidup di kota ini. Saya hendak pergi ke tempat lain.’
Tokoh itu berkata, ‘Orang baik seperti Anda, jika pergi meninggalkan kota, maka kota tersebut akan binasa. Saya akan berikan perlindungan pada Anda, janganlah meninggalkan kota.’
Beliau pun kembali lagi ke Makkah dalam perlindungan tokoh tersebut. Ketika beliau bangun pada waktu subuh lalu membaca Quran, para wanita (musyrik) dan anak-anak menempelkan telinganya di dinding untuk mendengarkan lantunan tilawat Al-Quran karena beliau membacanya dengan sangat syahdu dan penu haru. Sebagaimana Al-Quran merupakan Bahasa Arab sehingga dapat dipahami oleh pria, wanita dan anak anak dan membuat mereka sangat terkesan. Ketika kabar tersebut menyebar, menimbulkan kegemparan di Makkah. Sehingga mereka khawatir jangan sampai orang-orang Quraisy Makkah akan meninggalkan agamanya (lalu masuk Islam) disebabkan terkesan akan tilawat Al-Quran oleh Hadhrat Abu Bakr (ra).
Akhirnya orang-orang pergi menemui tokoh tadi dan berkata, ‘Kenapa Anda memberikan jaminan perlindungan kepada Abu Bakr (ra)?’
Tokoh itu berkata kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), ‘Mohon Anda jangan biasakan membaca Al-Quran, karena hal tersebut memancing amarah penduduk Makkah.’
Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab, ‘Silahkan Anda tarik kembali jaminan perlindungan dari saya, saya tidak akan dapat menghentikan rutinitas saya ini.’
Dengan demikian, tokoh tadi menarik kembali jaminan perlindungannya.”[20]
Ini adalah bukti besar ketakwaan dan kesucian beliau bahwa orang-orang yang merupakan musuh bebuyutan Hadhrat Muhammad, Rasulullah sekalipun bahkan sering melecehkan beliau saw, namun orang orang itu begitu yakin akan kesucian Abu Bakr sehingga bangsawan tadi mengatakan bahwa Kepergian Anda dapat menyebabkan kehancuran kota.
Berkenaan dengan mengimami shalat diriwayatkan bahwa ketika Nabi Suci (saw) tidak ada, di antara beberapa sahabat yang mendapatkan kemuliaan untuk mengimami shalat di Masjid Nabawi adalah Hadhrat Abu Bakr (ra) dan salah satu kehormatan lain yang beliau dapatkan juga adalah Pada hari-hari terakhir Nabi Saw, Hadhrat Abu Bakr mendapat kemuliaan untuk mengimami shalat sesuai dengan istruksi Nabi Saw. Berkenaan dengan ini terdapat beragam Riwayat.
Hadhrat ‘Aisyah meriwayatkan, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” لاَ يَنْبَغِي لِقَوْمٍ فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ ” “Rasulullah (saw) pernah bersabda, ‘Tidaklah pantas bagi orang-orang untuk meminta seseorang untuk mengimami shalat, jika Abu Bakr ada di tengah mereka.’”[21]
Al-Aswad meriwayatkan, كُنَّا عِنْدَ عَائِشَةَ ـ رضى الله عنها ـ فَذَكَرْنَا الْمُوَاظَبَةَ عَلَى الصَّلاَةِ وَالتَّعْظِيمَ لَهَا، قَالَتْ لَمَّا مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ، فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَأُذِّنَ، فَقَالَ ” مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ “. فَقِيلَ لَهُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ، إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ، وَأَعَادَ فَأَعَادُوا لَهُ، فَأَعَادَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ ” إِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ، مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ “. فَخَرَجَ أَبُو بَكْرٍ فَصَلَّى، فَوَجَدَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مِنْ نَفْسِهِ خِفَّةً، فَخَرَجَ يُهَادَى بَيْنَ رَجُلَيْنِ كَأَنِّي أَنْظُرُ رِجْلَيْهِ تَخُطَّانِ مِنَ الْوَجَعِ، فَأَرَادَ أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَتَأَخَّرَ، فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ مَكَانَكَ، ثُمَّ أُتِيَ بِهِ حَتَّى جَلَسَ إِلَى جَنْبِهِ. قِيلَ لِلأَعْمَشِ وَكَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَأَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلاَتِهِ، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ بِرَأْسِهِ نَعَمْ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ عَنْ شُعْبَةَ عَنِ الأَعْمَشِ بَعْضَهُ. وَزَادَ أَبُو مُعَاوِيَةَ جَلَسَ عَنْ يَسَارِ أَبِي بَكْرٍ فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي قَائِمًا “Kami tengah bersama Hadhrat ‘Aisyah, dan kami menyinggung berkenaan dengan keteraturan dalam shalat dan keutamaannya. Hadhrat ‘Aisyah bersabda, ‘Pada hari hari terakhir Rasulullah (saw) dan beliau dalam keadaan sakit, suatu saat ketika tiba waktu shalat dan azan dikumandangkan. Nabi (saw) bersabda, “Sampaikan kepada Abu Bakr untuk mengimami shalat.”
Dikatakan kepada beliau (saw), “Hadhrat Abu Bakr berhati lembut, sehingga ketika berdiri di tempat Hudhur, beliau tidak akan bisa mengimami shalat.”
Rasulullah bersabda lagi, lalu disampaikan lagi kepada Rasulullah, “Abu Bakr berhati lembut.” Rasulullah bersabda untuk yang ketiga kalinya lalu bersabda: “Kalian ini seperti para wanita pada zaman nabi Yusuf.” Artinya, “Kalian berbicara seperti para wanita itu. Beritahu Abu Bakr untuk mengimami shalat.”
Kemudian Hadhrat Abu Bakr (ra) keluar untuk salat. Ketika Nabi (saw) merasakan keadaan kesehatan yang lebih baik, beliau keluar dengan ditopang di antara dua pria.’
Hadhrat Aisyah berkata, ‘Saya ingat seolah-olah saya masih bisa melihat kaki beliau yang terseret sehingga meningalkan jejak garis di tanah karena sakit yakni beliau tidak bisa berjalan dengan baik. Beliau tidak mampu mengangkat kaki sehingga kaki beliau terseret ditanah. Ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) melihat Rasulullah datang, Abu Bakr ingin mundur, tetapi Nabi (saw) memberikan isyarar agar Abu Bakr tetap berada di tempatnya. Kemudian beliau (saw) dibawa sampai duduk di sisi Hadhrat Abu Bakr (ra).’
Ditanyakan kepada A’masy [salah seorang pencerita Hadits ini], ‘Apakah saat itu Hadhrat Abu Bakr mengikuti shalat Hadhrat Rasulullah dan apakah saat itu orang-orang mengikuti shalatnya Hadhrat Abu Bakr?’ Hadhrat A’masy memberikan isyarah dengan kepala dan menjawab, ‘Iya.’ Hadhrat Rasulullah duduk di sisi kiri Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat Abu Bakr (ra) berdiri shalat.”[22]
Perawi mengatakan: عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ الأَنْصَارِيُّ ـ وَكَانَ تَبِعَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَخَدَمَهُ وَصَحِبَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ كَانَ يُصَلِّي لَهُمْ فِي وَجَعِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ، حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمُ الاِثْنَيْنِ وَهُمْ صُفُوفٌ فِي الصَّلاَةِ، فَكَشَفَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم سِتْرَ الْحُجْرَةِ يَنْظُرُ إِلَيْنَا، وَهْوَ قَائِمٌ كَأَنَّ وَجْهَهُ وَرَقَةُ مُصْحَفٍ، ثُمَّ تَبَسَّمَ يَضْحَكُ، فَهَمَمْنَا أَنْ نَفْتَتِنَ مِنَ الْفَرَحِ بِرُؤْيَةِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَنَكَصَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى عَقِبَيْهِ لِيَصِلَ الصَّفَّ، وَظَنَّ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم خَارِجٌ إِلَى الصَّلاَةِ، فَأَشَارَ إِلَيْنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ أَتِمُّوا صَلاَتَكُمْ، وَأَرْخَى السِّتْرَ، فَتُوُفِّيَ مِنْ يَوْمِهِ Hadhrat Anas bin Malik Ansari mengatakan kepada saya bahwa Hadhrat Abu Bakr mengikuti dan mengkhidmati dan menjalin pergaulan suci dengan Nabi Saw, kemudian mengatakan bahwa Abu Bakr biasa mengimami shalat bagi orang-orang. Dalam masa masa sakitnya Nabi yang menyebabkan kewafatan beliau, suatu ketika pada hari Senin, kami sedang dalam saf halat. Rasulullah mengangkat tabir hujrah (ruangan) beliau. Beliau tengah berdiri memandangi kami, seakan akan wajah beberkat beliau merupakan lembaran kertas. Kemudian Nabi tersenyum bahagia dan kami berpikir bahwa kami tergoda dalam kebahagiaan dengan melihat Nabi. Pada saat itu Hadhrat Abu Bakr (ra) bergerak kebelakang sehingga bergabung kedalam saf jamaah karena beliau mengira bahwa Nabi (SAW) akan datang keluar untuk sholat, namun Nabi (SAW) memberikan isyarah agar Abu Bakr melanjutkan sholatnya. Kemudian Nabi menutup kembali tabir pardahnya dan pada hari itu juga nabi wafat.[23]
Dalam satu riwayat, suatu ketika, Hadhrat Umar mengimami shalat. Selebihnya dijelaskan sebagai berikut: عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَمْعَةَ، قَالَ لَمَّا اسْتُعِزَّ بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا عِنْدَهُ فِي نَفَرٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ دَعَاهُ بِلاَلٌ إِلَى الصَّلاَةِ فَقَالَ مُرُوا مَنْ يُصَلِّي لِلنَّاسِ . فَخَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَمَعَةَ فَإِذَا عُمَرُ فِي النَّاسِ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ غَائِبًا فَقُلْتُ يَا عُمَرُ قُمْ فَصَلِّ بِالنَّاسِ فَتَقَدَّمَ فَكَبَّرَ فَلَمَّا سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَوْتَهُ وَكَانَ عُمَرُ رَجُلاً مُجْهِرًا قَالَ “ فَأَيْنَ أَبُو بَكْرٍ يَأْبَى اللَّهُ ذَلِكَ وَالْمُسْلِمُونَ يَأْبَى اللَّهُ ذَلِكَ وَالْمُسْلِمُونَ ” . فَبَعَثَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَجَاءَ بَعْدَ أَنْ صَلَّى عُمَرُ تِلْكَ الصَّلاَةَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ Hadhrat Abdullah bin Zam’ah meriwayatkan, “Ketika kesehatan Rasulullah semakin memburuk dan saya termasuk sekelompok Muslim yang mengkhidmati beliau. Hadhrat Bilal mengundang beliau (saw) untuk shalat, Rasulullah (saw) bersabda, ‘Perintahkan seseorang untuk mengimami shalat.’
Saya (Hadhrat Abdullah Bin Zam’ah) keluar dan melihat Hadhrat Umar (ra) berada di antara orang-orang sedangkan Hadhrat Abu Bakr (ra) tidak ada di sana saat itu. Saya berkata, ‘Wahai Umar, silahkan berdiri untuk mengimami shalat.’ Beliau maju dan mengucapkan Allahu Akbar.
Ketika Rasulullah (saw) mendengar suaranya karena suara Hadhrat Umar tinggi, beliau (saw) bertanya, ‘Di mana Abu Bakr? Allah Ta’ala tidak setuju (Jika diimami oleh Umar) dan begitu juga umat Islam lainnya. Allah Ta’ala tidak setuju (jika diimami oleh Umar) dan begitu juga umat Islam lainnya.’
Rasulullah (saw) menyuruh memanggil Hadhrat Abu Bakr (ra). Beliau (ra) datang dan setelah Umar selesai megimami sholat, kemudian Abu Bakr mengimami shalat sekali lagi.”[24] Ini juga merupakan satu riwayat.
Dalam riwayat lain, عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ زَمْعَةَ، أَخْبَرَهُ بِهَذَا الْخَبَرِ، قَالَ لَمَّا سَمِعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم صَوْتَ عُمَرَ قَالَ ابْنُ زَمَعَةَ خَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى أَطْلَعَ رَأْسَهُ مِنْ حُجْرَتِهِ ثُمَّ قَالَ “ لاَ لاَ لاَ لِيُصَلِّ لِلنَّاسِ ابْنُ أَبِي قُحَافَةَ ” . يَقُولُ ذَلِكَ مُغْضَبًا “Ketika Nabi (saw) mendengar suara Hadhrat Umar, beliau keluar untuk melihat sembari mengangkat kepala penuh berkat lebih tinggi dari hujrah beliau dan bersabda, ‘Tidak! Tidak! Tidak! Ibnu (putra) Abi Quhafah (Hadhrat Abu Bakr) yang seharusnya mengimami shalat.’ Beliau (saw) mengatakannya dengan nada narah.”[25]
Penjelasan lebih lanjut dari riwayat tersebut ditemukan dalam Musnad Ahmad, قَالَ لِي عُمَرُ وَيْحَكَ مَاذَا صَنَعْتَ بِي يَا ابْنَ زَمْعَةَ وَاللَّهِ مَا ظَنَنْتُ حِينَ أَمَرْتَنِي إِلَّا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَكَ بِذَلِكَ وَلَوْلَا ذَلِكَ مَا صَلَّيْتُ بِالنَّاسِ قَالَ قُلْتُ وَاللَّهِ مَا أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَكِنْ حِينَ لَمْ أَرَ أَبَا بَكْرٍ رَأَيْتُكَ أَحَقَّ مَنْ حَضَرَ بِالصَّلَاةِ “Ketika Hadhrat Umar mengetahui hal itu, beliau berkata kepada Hadhrat Abdullah bin Zamaa, yang telah memintanya untuk mengimami shalat, beliau (saw) berkata, ‘Saya pikir Rasulullah sendiri yang telah memerintahkanmu untuk mengatakan kepada saya agar memimpin shalat, seandainya saya mengetahui itu, saya tidak akan pernah mau memimpin shalat.’
Atas hal itu, Abdullah bin Zam’ah berkata, “Tidak, ketika saya melihat bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) tidak ada, saya berpikir bahwa setelah itu, andalah yang sesuai untuk memimpin shalat, untuk itu saya sendiri yang memohon anda untuk mengimami shalat. Tidak ada perintah secara langsung kepada saya akan hal itu.” (Musnad).[26]
Seorang penulis menulis tentang kasih sayang Hadhrat Abu Bakr kepada putra-putri beliau. Seorang penulis telah menulis bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) sangat mencintai putra putrinya. Beliau sering memperlihatkan hal tersebut melalui kata-kata dan tindakannya. Hadhrat Abdur Rahman, putra tertua, tinggal di rumah yang terpisah, tetapi Hadhrat Abu Bakr (ra) menanggung biaya pengeluaran rumah tangganya. Putri sulung Hadhrat Abu Bakr (ra), Hadhrat Asma, menikah dengan Hadhrat Zubair bin Awam. Mereka sangat miskin pada awal pernikahannya. Hadrat Asma harus melakukan banyak pekerjaan karena tidak mampu untuk memiliki pelayan atau pembantu di rumah. Dia biasa membuat adonan roti sendiri, memasak makanan dan mengisi air. Menjahit, membawa biji-biji kurma di atas kepalanya dari jarak jauh dan bahkan memberi makan kuda dengan pakan ternak. Ketika Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) mengetahui tentang keadaan ini, beliau mengirim seorang pelayan untuk memberi makan kuda dan merawatnya. Hadhrat Asma mengatakan, حتى أرسل إلي أبو بكر بعد ذلك بخادم فكفتني سياسة الفرس فكأنما أعتقني “Dengan mengirim seorang pelayan, seolah-olah ayah telah memerdekakan saya.[27]
Hadhrat Abdullah putra Hadhrat Abu Bakr (ra) sangat menyayangi istrinya, Atika. Tertulis satu lagi kejadian bahwa karena kecintaan itu, ia tidak berangkat untuk berjihad. Hadhrat Abu Bakr (ra) tidak dapat menerima sikap tersebut. Beliau memerintahkan Hadhrat Abdullah, “Jika kamu meninggalkan jihad karena istrimu, ceraikan saja dia.” Hadhrat Abdullah mematuhi perintah sang ayah untuk menceraikan istrinya, tetapi sambil membacakan puisi yang sangat menyentuh hati. Ketika bait puisi tersebut sampai ke telinga Hadhrat Abu Bakr (ra), hati beliau larut dan akhirnya mengizinkan Hadhrat Abdullah untuk rujuk kembali.[28]
(عَنِ الْبَرَاءِ، قَالَ) Hadhrat Bara meriwayatkan, دَخَلْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ أَوَّلَ مَا قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا حُمَّى فَأَتَاهَا أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ لَهَا كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّةُ وَقَبَّلَ خَدَّهَا “Saya bersama Hadhrat Abu Bakr (ra) pergi mengunjungi rumah keluarga beliau dan melihat putri beliau, Hadhrat ‘Aisyah sedang terbaring karena demam. Saya melihat bahwa beliau yaitu Hadhrat Abu Bakr (ra) mencium pipi Hadhrat ‘Aisyah dan bertanya, ‘Bagaimana kabarmu putriku?’”[29]
Selanjutnya, insya Allah, akan disampaikan pada lain kesempatan.[30]
Khotbah II
الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا –
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ –
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Sirah al-Halbiyyah (السيرة الحلبية – الحلبي – ج ١ – الصفحة ٤٤٢) karya Nuruddin al-Halabi (نور الدين الحلبي), bab yang pertama beriman (باب ذكر أول الناس إيمانا به), jilid kesatu, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2002 (جلد1 صفحہ390 باب اول الناس ایمانا بہﷺ، دارالکتب العلمیۃ بیروت 2002ء): و كان أبو بكر رضي اللّه تعالى عنه صدرا معظما في قريش على سعة من المال و كرم الأخلاق من رؤساء قريش و محط مشورتهم، و كان من أعف الناس. كان رئيسا مكرما سخيا يبذل المال، محببا في قومه، حسن المجالسة، و كان من أعلم الناس بتعبير الرؤيا، و من ثم قال ابن سيرين و هو المقدم في هذا العلم اتفاقا كان أبو بكر أعبر هذه الأمة بعد النبي (صلى اللّه عليه و سلم)، و كان أعلم الناس بأنساب العرب فقد جاء عن جبير بن مطعم البالغ النهاية في ذلك أنه قال: إنما أخذت النسب من أبي بكر لا سيما أنساب قريش، فإنه كان أعلم قريش بأنسابها و بما كان فيها من خير و شر، و كان لا يعدّ مساويهم، فمن ثم كان محببا فيهم، بخلاف عقيل بن أبي طالب رضي اللّه تعالى عنه، فإنه كان بعد أبي بكر، أعلم قريش بأنسابها و بآبائها و ما فيها من خير و شر لكن كان مبغضا إليهم لأنه كان يعد مساويهم، و كان عقيل يجلس إليه في المسجد النبوي لأخذ علم الأنساب و أيام العرب و وقائعهم و في كلام بعضهم: كان أبو بكر عند أهل مكة من خيارهم، يستعينون به فيما يأتيهم و كانت له بمكة ضيافات لا يفعلها أحد .
[2] As-Sirah al-Halabiyyah (السيرة الحلبية), (باب غزوة بدر الكبرى) karya ‘Ali Burhanuddin al-Halabi (علي بن برهان الدين الحلبي): ولما أراد حسان رضي الله عنه أني يهجوهم قال له رسول الله كيف تهجوهم وأنا منهم وكيف تهجوا أبا سفيان ابن عمي فقال له والله لأسلنك منهم كما تسل الشعرة من العجين فقال له صلى الله عليه وسلم ائت أبا بكر فإنه أعلم بأنساب القوم منك فكان يجيئ إلى أبي بكر ليوقفه على أنسابهم فجعل حسان يهجوهم فلما سمعوا هجوه قالوا إن هذا الشعر ما غاب عنه ابن أبي قحافة . Ibnu Qutaibah dalam karyanya Gharibul Hadist (غريب الحديث – ابن قتيبة – ج ١ – الصفحة ٢٥٦); Abul Hasan Ibnu al-Atsir (ابن الأثير، أبو الحسن) dalam karyanya Usdul Ghabah (كتاب أسد الغابة في معرفة الصحابة ط الفكر), (باب الحاء والسين), (حسان بن ثابت): هذا شعر ما غاب عنه ابن أَبِي قحافة.
[3] Ibnu Sa’d dalam karyanya ath-Tahbaqaat al-Kubra (المجلد الثاني), (ذِكْرُ مَنْ رَثَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
[4] Shahih al-Bukhari, Kitab ash-Shalat (كتاب الصلاة), (باب الْخَوْخَةِ وَالْمَمَرِّ فِي الْمَسْجِدِ), 466; Sahih Muslim 2382a, Kitab Fadhailush Shahabah (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), bab keutamaan Abu Bakr (باب مِنْ فَضَائِلِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رضى الله عنه). Jami` at-Tirmidhi 3660
[5] Ibnu Katsr dalam karyanya, Al-Bidayah wan Nihayah (البداية والنهاية), Kisah Ibrahim (قصة إبراهيم الخليل عليه الصلاة والسلام), pembahasan hijrah Ibrahim bersama putranya Isma’il dan ibu Isma’il bernama Hajar ke Makkah dan pembangunan al-Bait al-Atiq (Rumah Kuno, Ka’bah) (ذكر مهاجرة إبراهيم عليه السلام بابنه إسماعيل وأمه هاجر إلى مكة وبنائه البيت العتيق): غير عتبة بابك .
[6] Malfuuzhaat jilid 1.
[7] Malfuuzhaat jilid 8.
[8] Sirrul Khilaafah (سر الخلافة), Ruhani Khazaain jilid 8.
[9] Imam as-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa (تاريخ الخلفاء » الخلافة الراشدة » فصل في إسلامه » فصل في علمه وأنه أعلم الصحابة وأذكاهم): وقد قال محمد بن سيرين – وهو المقدم في هذا العلم بالاتفاق -: (كان أبو بكر أعبر هذه الأمة بعد النبي صلى الله عليه وسلم). أخرجه ابن سعد .
[10] Sunan Ibn Majah 3918, Bahasan penjelasan arti mimpi (كتاب تعبير الرؤيا), penjelasan arti mimpi (باب تَعْبِيرِ الرُّؤْيَا).
[11] ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبرى – محمد بن سعد – ج ٣ – الصفحة ١٧٧). Burhanuddin al-Halabi (أبي الفرج نور الدين علي بن برهان/الحلبي) dalam as-Sirah al-Halbiyah (السيرة الحلبية 1-3 إنسان العيون في سيرة الأمين المأمون ج1); at-Tawijri (حمود بن عبد الله بن حمود بن عبد الرحمن التويجري (ت ١٤١٣هـ)) dalam karyanya Kitabur Ru-ya (كتاب الرؤيا), bahasan mimpi Nabi (رؤيا النبي صلى الله عليه وسلم أنه أعطي مفاتيح خزائن الأرض والكلام على ذلك وعلى ظهور مصداق الحديث في زماننا).
[12] Muwatta karya Malik, (كتاب الجنائز).
[13] Ibnu Abi Syaibah al-Kufi dalam Al-Mushannaf (المصنف » كتاب الإيمان والرؤيا » ما قالوا فيما يخبره النبي صلى الله عليه وسلم من الرؤيا),
[14] Shahih al-Bukhari, Kitab Fadhailish Shahabah (كتاب فضائل الصحابة), bab (باب قول النبي صلى الله عليه وسلم لو كنت متخذا خليلا), no. 3857.
[15] Sirat Khatamun-Nabiyyin, Hazrat Mirza Bashir Ahmad (ra), p. 121.
[16] The life of Mohammed from original sources by Alois Sprenger, p. 171 (1851 Edition) (Publishers): “The faith of Abú Bakr is, in my opinion, the greatest guarantee of the sincerity of Mohammad in the beginning of his career…” The Benares magazine, Volumes 31-32, recent work of Mohammad; The Life of Mahomet: With Introductory Chapters on the Original …, Volume 2, other converts, p. 103 by Sir William Muir.
[17] (ماخوذ از سیرت خاتم النبیین ؐصفحہ121-122) Seal of the Prophets (Sirat Khataman Nabiyyin) – Volume I 174. Life of ‘Mahomet’, By Sir William Muir, p. 58 (footnote 1), Reprint of the 1894 Ed., Published by Voice of India, New Delhi, India.
[18] Sahih al-Bukhari 3754, Companions of the Prophet (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Chapter: The merits of Bilal bin Rabah, the freed slave of Abu Bakr (باب مَنَاقِبُ بِلاَلِ بْنِ رَبَاحٍ مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ رضى الله عنهما).
[19] Al-Ishabah (الاصابۃ فی تمییز الصحابۃ جلد 3 صفحہ 247،عبد اللہ بن عثمان،دارالفکر بیروت 2001ء): أسلم أبو بكر وله أربعون ألفا فأنفقها في سبيل الله وأعتق سبعة كلهم يعذب في الله أعتق بلالا وعامر بن فهيرة وزنيرة والنهدية وابنتها وجارية بني المؤمل وأم عبيس – Ketika Hadhrat Abu Bakr menerima Islam, beliau memiliki 40 ribu dirham. Beliau membelanjakan harta tersebut di jalan Allah Ta’ala. Beliau memerdekakan tujuh budak yang dianiaya karena Allah. Beliau (ra) memerdekakan Hadhrat Bilal, Aamir bin Fuhairah, Zinnirah, Nahdiyah dan putrinya lalu seorang budak Bani Ma-mal dan juga Ummu Ubais.
Tercantum juga dalam al-Kasyaf wal Bayaan karya ats-Tsa’labi (الكشف والبيان / للثعلبى): عن هشام بن عروة عن أبيه أن أبا بكرح اعتق من كان يعذب في الله : بلال وعامر بن فهيرة والنهدية وبنتها وزنيرة وأم عميس وأمة بني المؤمل . Maza’im wa akhtha wa tanaqudhaat wa syubhaat Budili fi kitaabihi ar-Rasul Hayat Muhammad karya Rizqillah Ahmad (نام کتاب : مزاعم واخطاء وتناقضات وشبهات بودلي في كتابه الرسول حياه محمد دراسه نقديه نویسنده : مهدي بن رزق الله أحمد جلد : 1 صفحه : 30): حدثنا هشام عن أبيه: أسلم أبوبكر وله أربعون ألفاً فأنفقها في سبيل الله، وأعتق سبعة كلهم يعذب في الله، أعتق بلالاً، وعامر بن فهيرة، والنهدية وابنتها، وزنيرة، وجارية بني المؤمل، وأم عبيس .
[20] Tafsir-e-Kabir, Vol. 10, 327 (ماخوذ ازتفسیر کبیر جلد10صفحہ327). Merujuk Sahih al-Bukhari 3905, Book 63, Hadith 130, Vol. 5, Book 58, Hadith 245, (كتاب مناقب الأنصار) Merits of the Helpers in Madinah (Ansaar) atau keistimewaan para Sahabat Anshar, bab Hijrah Nabi (saw) (باب هِجْرَةُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَصْحَابِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ). tercantum juga dalam Sahih al-Bukhari 2297, Kitab Kafalah (صحیح بخاری کتاب الکَفَالۃ بَابُ جِوَارِ أَبِي بَكْرٍ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَقْدِهِ حدیث نمبر 2297); (صحیح البخاری مترجم جلد 4 صفحہ 276 نظارت اشاعت ربوہ); (فرہنگ سیرت صفحہ 57).
[21] Jami` at-Tirmidhi 3673, Chapters on Virtues atau Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), Chapter: Regarding the Virtues Of Both Abu Bakr and Omar, May Allah Be Pleased With Them Both atau Manaqib fi Abi Bakr wa ‘Umar (باب فِي مَنَاقِبِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رضى الله عنهما كِلَيْهِمَا).
[22] Shahih al-Bukhari 664 Kitab al-Adzan (كتاب الأذان), Chapter: The limit set for a patient to attend the congregational Salat (prayer) (باب حَدِّ الْمَرِيضِ أَنْ يَشْهَدَ الْجَمَاعَةَ).
[23] Sahih al-Bukhari 680, Call to Prayers (Adhaan) (كتاب الأذان), bab ahlul ‘ilmi wal fadhli ahaqqu bil imaamah – Chapter: The religious learned men are entitled to precedence in leading the Salat (prayer) – bab yang diutamakan untuk mengimami shalat ialah seorang berilmu dan pemilik keutamaan atau status kepemimpinan (باب أَهْلُ الْعِلْمِ وَالْفَضْلِ أَحَقُّ بِالإِمَامَةِ). Tercantum juga dalam Sahih Muslim 419a, The Book of Prayers (كتاب الصلاة), Chapter: If The Imam Experiences An Excuse, From Illness, Or Travelling, Etc. He May Appoint Someone Else To Lead The People In Prayer; The One Who Offers Prayer Behind The Imam Sitting Because He Is Unable To Stand Must Stand If He Is Able To Do So; And The Abrogation Of Sitting Behind A Sitting Imam For Those Who Are Able To Stand (باب اسْتِخْلاَفِ الإِمَامِ إِذَا عَرَضَ لَهُ عُذْرٌ مِنْ مَرَضٍ وَسَفَرٍ وَغَيْرِهِمَا مَنْ يُصَلِّي بِالنَّاسِ وَأَنَّ مَنْ صَلَّى خَلْفَ إِمَامٍ جَالِسٍ لِعَجْزِهِ عَنِ الْقِيَامِ لَزِمَهُ الْقِيَامُ إِذَا قَدَرَ عَلَيْهِ وَنَسْخِ الْقُعُودِ خَلْفَ الْقَاعِدِ فِي حَقِّ مَنْ قَدَرَ عَلَى الْقِيَا).
[24] Sunan Abi Dawud 4660, Model Behavior of the Prophet (Kitab Al-Sunnah) (كتاب السنة), Chapter: Proof Of Abu Bakr’s Caliphate (باب فِي اسْتِخْلاَفِ أَبِي بَكْرٍ رضى الله عنه).
[25] Sunan Abi Dawud 4661, Model Behavior of the Prophet (Kitab Al-Sunnah) (كتاب السنة), Chapter: Proof Of Abu Bakr’s Caliphate (باب فِي اسْتِخْلاَفِ أَبِي بَكْرٍ رضى الله عنه).
[26] Musnad al-Imam Ahmad, awwalu Musnad al-Kuffiyyiin, Hadits ‘Abdullah bin Zam’ah (مسند الإمام أحمد » أول مسند الكوفيين » حديث عبد الله بن زمعة رضي الله تعالى عنه): Abdullah bin Zam’ah berkata: Umar berkata kepadaku, “Celaka kamu, apa yang kamu lakukan terhadapku wahai Ibnu Zam’ah. Demi Allah, saya tidak berpikir ketika kamu memerintahkanku, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-lah yang memerintahkanmu (untuk menyuruhku menjadi Imam). Kalau bukan karena itu, aku tidak akan shalat (mengimami) kaum Muslimin.” Saya berkata: “Demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkanku. Namun ketika saya tidak melihat Abu Bakar, saya memandang, Andalah yang lebih berhak untuk mengimami shalat.”. Tercantum juga dalam Kitab asy-Syari’ah karya al-Ajurri (الشريعة للآجري كتاب الإيمان والتصديق بأن الجنة والنار مخلوقتان باب ذكر بيان تقدمة أبي بكر رضي الله عنه على جميع الصحابة رضي الله عنهم في حياة رسول الله صلى الله عليه وسلم وبعد وفاته حديث رقم 1265).
[27] ath-Thabaqaat (الطبقات الكبرى لابن سعد: 8/250).
[28] Al-Muttaqi al-Hindi (المتقي الهندي) dalam karyanya Kitab Kanzul ‘Ummal (كتاب كنز العمال), (الترغيب فيه ذيل النكاح). Lihat kisah Abdullah dan Atikah ini dalam Usdul Ghobah karya Ibnul Atsir, Al Isti’ab karya Ibnu Abdil Barr, Al Ishobah karya Ibnu Hajar dan lainnya. Di dalam buku karya Ahmad Taymur Basya (أحمد تيمور باشا) berjudul ‘al-Hubb wal Jamal ‘indal ‘Arab’ (الحب والجمال عند العرب) atau Cinta dan Keindahan di kalangan Arab’ bahasan Atikah binti Zaid (عاتكة بنت زيد), hal yang melatarbelakangi ketidaksukaan Hadhrat Abu Bakr (ra) terhadap kelakuan ‘Abdullah, putranya ialah karena ‘Abdullah begitu lekat dan dekat dengan istrinya sampai-sampai membuatnya tidak shalat berjamaah bersama kaum Muslimin. Maksudnya, selalu bersama istrinya terus. Puisi kecintaan Abdullah terhadap Atikah setelah menceraikannya demi ketaatan terhadap ayahnya, Hadhrat Abu Bakr (ra):
أعاتكُ لا أنساك ما ذَرَّ شارقٌ … وما ناح قُمْريُّ الحمام المطوَّقُ
أعاتِكُ قلبي كلَّ يوم وليلةٍ … لديك بما تخفي النفوسُ معلَّقُ
لها خُلُقٌ جزْلُ ورأيٌ ومنطقٌ … وخَلْقٌ مَصُونٌ في حياء ومصدق
فلم أَرَ مثلي طلَّق اليومَ مثلها … ولا مثلها في غير شيء تطلَّقُ
Duhai Atikah sayang, aku tak bisa melupakanmu selama mentari masih bersinar...dan selama merpati berkalung masih berkicau…Duhai Atikah sayang, pada setiap siang dan malam hatiku memendam rasa padamu…
Tak pernah kusaksikan orang sepertiku menceraikan wanita seperti dirinya…dan tak pernah ada wanita sepertinya yang diceraikan tanpa kesalahan…Dia wanita berakhlak mulia, cerdas, bernasab tinggi, berparas indah dalam malu dan jujur
[29] Sunan Abi Dawud 5222, Kitab Al-Adab–General Behavior (كتاب الأدب), Chapter: Regarding kissing the cheek – bab mencium pipi (باب فِي قُبْلَةِ الْخَدِّ).
[30] Referensi: https://islamahmadiyya.net/cat.asp?id=116 (website resmi Ahmadiyah dalam bahasa Arab)
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.