Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz menguraikan sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Riwayat-riwayat dalam Kitab-Kitab Tarikh dan Hadits terkait Hadhrat ‘Umar (ra). Penghormatan Hadhrat ‘Umar (ra) terhadap mereka yang berilmu al-Qur’an tanpa memandang usia tua atau muda dengan mendudukkan mereka di Majelis pertemuan beliau. Hadhrat Khalifatul Masih Awwal (ra) membahas hal yang sama. Tarbiyat Hadhrat ‘Umar (ra) terhadap anak-anak dengan mengajak berdiskusi atau meminta pendapat mereka demi mencerdaskan akal mereka. Riwayat dalam perang Uhud perihal semangat Hadhrat ‘Umar (ra).
Tingginya penjagaan beliau terhadap harta Baitul Mal (harta milik perbendaharaan negara). Hadhrat Khalifatul Masih ats-Tsani (ra) membahas hal yang sama.
Menegakkan persamaan dalam hukum: memenangkan orang Yahudi dalam pengadilan melawan orang Muslim demi melihat kebenaran ada di pihak orang Yahudi; menghukum putra Amir Mesir; menegur Sahabat terkemuka yang memotong antrian pembagian sesuatu.
Sikap gigih dan tekun beliau dalam menerima masukan dan kelapangan dada dalam menerima kritikan. Kekhawatiran beliau bila orang segan berbicara dengan beliau. Sikap beliau dalam menjamin kebebasan dalam perkara memilih memeluk agama. Sikap kasih sayang dan kemurahan hati terhadap binatang.
Jawaban Hadhrat ‘Umar (ra) kepada seorang Yahudi perihal salah satu ayat Al-Qur’an. Pendiri Jemaat Ahmadiyah membahas hal serupa.
Kutipan mengenai beberapa pribadi suci (salafush shaleh, orang suci zaman awal Islam setelah masa Sahabat) meriwayatkan mengenai Hadhrat ‘Umar (ra).
Riwayat mengenai Hadhrat ‘Umar (ra) sangat antusias dengan syair-syair. Penjelasan Sejarawan Arab Modern, ‘Ali Muhammad ash-Shalabi dan Penjelasan Sejarawan anak benua India, Syibli Nu’mani perihal Hadhrat ‘Umar (ra) sangat antusias dengan syair-syair, penelaahan sastra Arab yang membantu memahami Al-Qur’an. Ta’lim dan Tarbiyat anak-anak dengan memakai sastra dan bahasa yang baik. Motivasi bagi orang-orang dewasa juga perihal menghapalkan syair-syair.
Keutamaan dan akhlak mulia Hadhrat ‘Umar (ra) dalam penjelasan Pendiri Jemaat Ahmadiyah.
Karya tulis berbahasa Arab oleh Pendiri Jemaat Ahmadiyah mengenai Tiga Khalifah awal umat Muslimin dan empat Khulafa’ur Rasyidin.
Riwayat Hadhrat Maulwi Abdul Karim Sahib (ra) sehubungan dengan keadaan Pendiri Jemaat Ahmadiyah, kecintaan dan rasa hormat beliau kepada Rasulullah (saw) dan dua Sahabat beliau, Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat ‘Umar (ra).
Pembahasan tentang Khalifah ‘Umar radhiyallahu ta’ala ‘anhu di khotbah ini selesai dan akan mulai pembahasan mengenai Khalifah Abu Bakr radhiyAllahu ta’ala ‘anhu di khotbah-khotbah mendatang.
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 26 November 2021 (26 Nubuwwah 1400 Hijriyah Syamsiyah/21 Rabi’ul Akhir 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم
]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ[، آمين .
Di dalam majelis Hadhrat ‘Umar (ra), mereka yang berilmu, terutama yang menguasai ilmu Al-Quran, mendapat tempat yang terhormat, meskipun ia adalah pemuda yang berusia belia, anak-anak, atau orang tua. Di dalam Bukhari terdapat satu riwayat dimana Hadhrat Ibnu Abbas berkata, قَدِمَ عُيَيْنَةُ بْنُ حِصْنِ بْنِ حُذَيْفَةَ بْنِ بَدْرٍ فَنَزَلَ عَلَى ابْنِ أَخِيهِ الْحُرِّ بْنِ قَيْسِ بْنِ حِصْنٍ، وَكَانَ مِنَ النَّفَرِ الَّذِينَ يُدْنِيهِمْ عُمَرُ، وَكَانَ الْقُرَّاءُ أَصْحَابَ مَجْلِسِ عُمَرَ وَمُشَاوَرَتِهِ كُهُولاً كَانُوا أَوْ شُبَّانًا فَقَالَ عُيَيْنَةُ لاِبْنِ أَخِيهِ يَا ابْنَ أَخِي هَلْ لَكَ وَجْهٌ عِنْدَ هَذَا الأَمِيرِ فَتَسْتَأْذِنَ لِي عَلَيْهِ قَالَ سَأَسْتَأْذِنُ لَكَ عَلَيْهِ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَاسْتَأْذَنَ لِعُيَيْنَةَ فَلَمَّا دَخَلَ قَالَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَاللَّهِ مَا تُعْطِينَا الْجَزْلَ، وَمَا تَحْكُمُ بَيْنَنَا بِالْعَدْلِ. فَغَضِبَ عُمَرُ حَتَّى هَمَّ بِأَنْ يَقَعَ بِهِ فَقَالَ الْحُرُّ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صلى الله عليه وسلم {خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ} وَإِنَّ هَذَا مِنَ الْجَاهِلِينَ. فَوَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ “Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah datang ke Madinah dan tiba di tempat kemenakannya yaitu Hurr bin Qais. Hurr bin Qais adalah seorang yang Hadhrat ‘Umar (ra) sering membawanya duduk bersama. Beliau pun adalah qari di Majelis Hadhrat ‘Umar. Beliau adalah seorang yang kerap dimintakan pendapat dan mahir dalam Al-Quran. Ada yang tua dan juga muda.
‘Uyainah berkata kepada keponakannya, ‘Wahai keponakanku, Anda memiliki kedudukan di sisi Pemimpin [yaitu Hadhrat ‘Umar], oleh karena itu mohonkanlah izin bagi saya untuk menjumpai beliau.’ Hurr bin Qais berkata, ‘Saya akan memohon izin kepada beliau untuk Anda.’”
Hadhrat Ibnu Abbas berkata, “Alhasil, Hurr meminta izin untuk ‘Uyainah dan Hadhrat ‘Umar (ra) pun mengizinkannya. Tatkala ‘Uyainah tiba di hadapan Hadhrat ‘Umar, ia berkata, ‘Wahai putra Al-Khaththab, mengapa ini terjadi. Demi Allah! Anda tidak memberi banyak harta kepada kami dan tidaklah Anda memutuskan antara kami dengan harta itu secara adil.’
Mendengar ini, Hadhrat ‘Umar (ra) pun marah hingga ketika ia hendak berbicara, Hurr bertanya kepada Hadhrat ‘Umar, ‘Wahai Amirul Mukminin, Allah Ta’ala telah berfirman kepada Nabi-Nya (saw), {خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ} artinya, ‘Wahai Nabi, bersikaplah pemaaf selalu, perintahkanlah untuk kebajikan dan hindarilah orang-orang yang bodoh’ dan Uyainah ini adalah dari antara orang-orang yang bodoh.’[1] Demi Allah, ketika ia membacakan ayat ini di hadapan Hadhrat ‘Umar, saat itulah beliau berhenti dan tidak berkata apapun. Dengan mendengar Kitabullah itulah Hadhrat ‘Umar (ra) berhenti.”[2]
Tentang Majelis Hadhrat ‘Umar, ada satu peristiwa yang disampaikan oleh Hadhrat Khalifatul Masih Awwal, “Ada sesosok pemimpin yang datang di dalam Majelis Hadhrat ‘Umar. Ia sangat membenci jika ada anak berusia 10 tahun yang duduk bersamanya. Menurutnya, apa gunanya anak-anak di dalam majelis yang istimewa seperti itu. Secara kebetulan Hadhrat ‘Umar (ra) tengah marah atas suatu tindakan pemimpin itu. Hadhrat ‘Umar (ra) memanggil Jalad. Saat itulah anak itu menyeru, وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ ‘tahanlah atau mereka yang menahan kemarahan!’ lalu berkata, وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِين ‘berpalinglah dari orang-orang jahil’ dan ia berkata, هَذَا مِنَ الْجَاهِلِينَ ‘Orang ini jahil adanya’.
Saat itu wajah Hadhrat ‘Umar (ra) telah memerah namun beliau pun terdiam. Saat itu saudaranya (yakni saudara pemimpin itu) melihat dan berkata, ‘Lihat, anak-anak yang kamu anggap hina itulah yang telah menyelamatkan kamu.’”[3]
Tentang bagaimana Hadhrat ‘Umar (ra) memberikan tarbiyat kepada anak-anak, ada sebuah riwayat dimana Yusuf bin Ya’qub berkata, قال لي ابن شهاب ، ولأخي ، ولابن عم لي – ونحن فتيان أحداث نسأله -: لا تحقروا أنفسكم لحداثة أسنانكم ، فإن عمر بن الخطاب كان إذا نزل به أمر ، دعا الشباب ، فاستشارهم ، يبتغي حدة عقولهم “Ibnu Syihab berkata kepada saya, saudara saya dan sepupu saya, sementara saat itu kami masih anak-anak, ‘Janganlah menganggap diri kalian hina disebabkan kalian masih anak-anak. Karena bagi Hadhrat ‘Umar, jika beliau menghadapi satu masalah, beliau kerap memanggil anak-anak dan meminta pendapat dari mereka. Beliau melakukan demikian karena beliau ingin mempertajam akal mereka.’”[4]
Di dalam perang Uhud, ketika haluan pertempuran berubah dan kaum Muslim harus menanggung banyak kerugian, saat itu Abu Sufyan berseru hingga tiga kali. (ini tentang bagaimana gejolak yang dimiliki Hadhrat ‘Umar). Ia (Abu Sufyan) berteriak tiga kali pada perang Uhud dengan bertanya, أَفِي الْقَوْمِ مُحَمَّدٌ ؟ ‘Apakah Muhammad ada diantara kalian?’ Rasulullah (saw) melarang para sahabat untuk menjawabnya. Kemudian, Abu Sufyan meneriakkan sebanyak tiga kali, أَفِي الْقَوْمِ ابْنُ أَبِي قُحَافَةَ ؟ ‘Apakah putra Abu Qahafah berada diantara kalian (Maksudnya Hadhrat Abu Bakr)?’
Lalu bertanya sebanyak tiga kali, أَفِي الْقَوْمِ ابْنُ الْخَطَّابِ ؟ ‘Apakah putra Khaththab (Umar putra Khaththab) berada di tengah tengah kalian?’
Abu Sufyan lalu kembali kepada pasukannya. Abu Sufyan kemudian mengatakan, أَمَّا هَؤُلاءِ فَقَدْ قُتِلُوا ‘Ketiga orang itu (pimpinan pasukan Muslim) telah terbunuh.’
Mendengar perkataan itu, Hadhrat ‘Umar (ra) tidak bisa mengendalikan diri lagi. Ia mengatakan, كَذَبْتَ وَاللَّهِ يَا عَدُوَّ اللَّهِ ، إِنَّ الَّذِينَ عَدَدْتَ لأَحْيَاءٌ كُلُّهُمْ ، وَقَدْ بَقِيَ لَكَ مَا يَسُوءُكُ ‘Wahai musuh Allah! Demi Allah, kalian telah berdusta, nama-nama yang kamu sebutkan tadi semuanya masih hidup, masih banyak yang yang tersisa untukmu.’
Abu Sufyan mengatakan, يَوْمٌ بِيَوْمِ بَدْرٍ ، وَالْحَرْبُ سِجَالٌ ، إِنَّكُمْ سَتَجِدُونَ فِي الْقَوْمِ مُثْلَةً لَمْ آمُرْ بِهَا وَلَمْ تَسُؤْنِي ‘Peperangan ini adalah balasan atas perang Badr. Peperangan seperti genderang. Kadang kemenangan berpihak ke sini dan terkadang ke sana.’”[5]
Selanjutnya, tentang bagaimana kehati-hatian beliau dalam penjagaan dan pengawasan harta Baitul Mal, ada sebuah riwayat dimana Zaid bin al-’Ashlam berkata, شَرِبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لَبَنًا فَأَعْجَبَهُ فَسَأَلَ الَّذِي سَقَاهُ مِنْ أَيْنَ هَذَا اللَّبَنُ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ وَرَدَ عَلَى مَاءٍ – قَدْ سَمَّاهُ – فَإِذَا نَعَمٌ مِنْ نَعَمِ الصَّدَقَةِ وَهُمْ يَسْقُونَ فَحَلَبُوا لِي مِنْ أَلْبَانِهَا فَجَعَلْتُهُ فِي سِقَائِي فَهُوَ هَذَا . فَأَدْخَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَدَهُ فَاسْتَقَاءَهُ . قَالَ مَالِكٌ الأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّ كُلَّ مَنْ مَنَعَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلَمْ يَسْتَطِعِ الْمُسْلِمُونَ أَخْذَهَا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِمْ جِهَادُهُ حَتَّى يَأْخُذُوهَا مِنْهُ “Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab meminum susu. Beliau menyukainya. (ada yang memberi susu kepada Hadhrat ‘Umar. Beliau meminumnya dan menyukainya). Hadhrat ‘Umar (ra) bertanya kepada orang yang memberi susu itu, ‘Dari mana susu ini datang?’
Orang itu menjawab kepada beliau bahwa ia pergi ke suatu mata air, yang namanya pun ia sebutkan, dan di sana orang-orang tengah memberi minum kepada unta-unta hasil zakat, lalu mereka memerah susu unta itu untuk saya lalu saya memasukkannya ke dalam kantung air saya yang saya gunakan untuk meminum air ini. Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab memasukkan jari beliau ke mulut dan memuntahkan susu itu.”[6] Maknanya, beliau bersabda, “Ini adalah harta zakat. Saya tidak akan meminumnya.”
Putra Bara bin Ma’rur (ابْنٍ لِلْبَرَاءِ بْنِ مَعْرُورٍ) menyampaikan, أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ يَوْمًا حَتَّى أَتَى الْمِنْبَرَ. وَقَدْ كَانَ اشْتَكَى شَكْوَى لَهُ فَنُعِتَ لَهُ الْعَسَلُ وَفِي بَيْتِ الْمَالِ عُكَّةٌ فَقَالَ: إِنْ أَذِنْتُمْ لِي فِيهَا أَخَذْتُهَا وَإِلا فَإِنَّهَا عَلَيَّ حَرَامٌ. فَأْذِنُوا له فيها “Suatu hari Hadhrat ‘Umar (ra) keluar dari rumah lalu pergi ke mimbar. Saat itu beliau sedang sakit dan beliau diberikan resep agar meminum madu untuk penyakit beliau itu. Di Baitul Mal ada kantong kulit yang menyimpan madu. Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Jika Anda sekalian mengizinkan, saya akan mengambil darinya, karena ini adalah haram bagi saya.’ Maka orang-orang pun memberikan izin kepada beliau tentang ini.”[7]
Mengenai bagaimana tingginya penjagaan beliau terhadap harta Baitul Mal (harta milik perbendaharaan negara), ada sebuah peristiwa yang sebelumnya pun telah saya sampaikan. Di sini secara singkat saya sampaikan bahwa suatu ketika di siang hari yang sangat terik, Hadhrat ‘Umar (ra) menggiring dua unta yang tertinggal di belakang lalu membawanya ke tempat penggembalaan agar jangan sampai unta itu hilang kesana-kemari. Tatkala Hadhrat ‘Utsman melihatnya secara kebetulan beliau pun berkata, “Pekerjaan ini bisa dilakukan orang lain. Anda masuklah kemari untuk meneduh.”
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Anda duduk dan meneduhlah dengan tenang, karena ini adalah tugas saya dan saya-lah yang akan melakukannya.” [8]
Terkait peristiwa ini, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan sebagai berikut, “Kepada kaum Muslimin, Allah Ta’ala sesuai dengan janji-Nya telah memberikan harta benda dan dan kehormatan. Namun, mereka tidak lalai terhadap Islam.” – Apapun yang ada pada Anda sekalian, janganlah melalaikan dari agama Anda, janganlah melalaikan dari ajaran Islam, janganlah melalaikan dari tanggung jawab Anda – “Hadhrat ‘Utsman meriwayatkan, ‘Suatu hari saya tengah duduk di dalam satu ruangan pondok saya di luar. Begitu menyengatnya panas cuaca pada saat itu sehingga tidak berani untuk membuka pintu. Ketika itu, khadim saya berkata, “Coba tuan lihat, di saat panas terik seperti ini, ada seseorang yang tengah berjalan jalan di luar sana.” Saya lalu menyingkapkan kain penutup dan tampak kepada saya seorang pria yang disebabkan oleh panasnya cuaca sehingga wajahnya terbakar sinar matahari. Saya berkata kepada khadim saya, “Mungkin ia adalah seorang musafir.”
Namun tidak lama kemudian orang itu mendekati tempat kami, ternyata pria yang dimaksud adalah Hadhrat ‘Umar (ra). Seketika mengetahui bahwa itu beliau, saya tersontak kaget dan langsung keluar. Saya bertanya kepada Hadhrat ‘Umar (ra), “Saat terik panas menyengat seperti ini, Hudhur hendak kemana?”
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Saya sedang mencari seekor unta Baitul Maal hilang sehingga saya pun keluar untuk mencarinya”’”[9]
Selanjutnya Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Allah Ta’ala berfirman, عَلَى الْأَرَائِكِ يَنظُرُونَ ‘Mereka memang ada di singgasana, namun setiap saat mereka bekerja untuk mengawasi.’[10] Segala nikmat dan kenyamanan dunia tidak akan membuat mereka lalai. Mereka tidaklah tidur di dalam ٱلْأَرَآئِكِ [yaitu singgasana], namun mereka terus terjaga dan mengawasi. Mereka akan menjaga hak-hak semua orang, dan mereka akan terus memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan untuk mereka dengan sangat baik.”[11]
Tentang menegakkan persamaan, diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyib, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، اخْتَصَمَ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ وَيَهُودِيٌّ فَرَأَى عُمَرُ أَنَّ الْحَقَّ لِلْيَهُودِيِّ فَقَضَى لَهُ فَقَالَ لَهُ الْيَهُودِيُّ وَاللَّهِ لَقَدْ قَضَيْتَ بِالْحَقِّ . فَضَرَبَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ بِالدِّرَّةِ ثُمَّ قَالَ وَمَا يُدْرِيكَ فَقَالَ لَهُ الْيَهُودِيُّ إِنَّا نَجِدُ أَنَّهُ لَيْسَ قَاضٍ يَقْضِي بِالْحَقِّ إِلاَّ كَانَ عَنْ يَمِينِهِ مَلَكٌ وَعَنْ شِمَالِهِ مَلَكٌ يُسَدِّدَانِهِ وَيُوَفِّقَانِهِ لِلْحَقِّ مَادَامَ مَعَ الْحَقِّ فَإِذَا تَرَكَ الْحَقَّ عَرَجَا وَتَرَكَاهُ “Ada seorang Yahudi dan seorang Muslim yang tengah saling bertengkar datang menemui Hadhrat ‘Umar. Hadhrat ‘Umar (ra) mengetahui bahwa orang Yahudi itulah yang berada dipihak benar, maka beliau memberi keputusan sesuai dengannya. Lalu yahudi itu berkata, “Demi Allah, Anda telah memberi keputusan yang sebenarnya”. [12]
Diriwayatkan dari Hadhrat Anas, “Ada seseorang dari Mesir datang bertemu Hadhrat ‘Umar (ra) dan berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, saya memohon perlindungan Tuan dari ketidakadilan.’
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Anda telah menemukan tempat perlindungan yang tepat.’
Ia berkata, ‘Saya telah berlomba lari dengan putra Amru bin al-’Ash, dan saya mendahuluinya. Atas hal ini ia mencambuk saya dan berkata, “Saya adalah putra seorang terhormat. Bagaimana bisa kamu berani mendahului saya?”’
Mendengar hal ini Hadhrat ‘Umar (ra) menulis surat kepada Hadhrat Amru bin al-’Ash dan beliau memerintahkan Hadhrat Amru dan putranya untuk menemuinya. Hadhrat Amru bin al-’Ash pun datang. Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Mana orang Mesir itu, ambillah cambuk dan pukullah dia.’ Ia pun mulai memukulnya yaitu memukul putra Hadhrat Amru bin al-’Ash.
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda kepada orang Mesir itu, ‘Pukullah putra orang yang terhormat itu!’”
Hadhrat Anas menjelaskan, “Ia pun memukulnya dan kami lega melihat ia dapat memukulnya. Ia terus memukulnya hingga kami berharap agar ia menyudahi pemukulannya itu. Lalu Hadhrat ‘Umar (ra) berkata kepada orang Mesir itu, ‘Pukullah kepala Amru bin al-’Ash.’ Orang Mesir itu menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, putranyalah yang telah memukul saya, dan saya telah mengambil balas.’ Lalu Hadhrat ‘Umar (ra) berkata kepada Hadhrat Amru bin al-’Ash, ‘Sejak kapan Anda memperlakukan orang-orang sebagai budak? Sementara ibu-ibu mereka telah melahirkan mereka sebagai orang yang merdeka?’
Hadhrat Amru bin al-’Ash menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, saya sama sekali tidak tahu peristiwa itu. Tidak pula orang Mesir itu pernah datang menemui saya.’”[13]
Suatu saat Hadhrat ‘Umar (ra) menerima beberapa harta, lalu beliau hendak membagi harta itu kepada semua orang. Orang-orang lalu menunggu dengan ramai. Hadhrat Sa’d bin Waqqas maju ke depan seraya menghalangi orang-orang hingga ia tiba di hadapan Hadhrat ‘Umar. Hadhrat ‘Umar (ra) menderanya sekali dan berkata, إِنَّكَ أَقْبَلْتَ لَا تَهَابُ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ ، فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعَلِّمَكَ أَنَّ سُلْطَانَ اللَّهِ لَنْ يَهَابَكَ “Anda tidak takut terhadap wakil Allah di bumi ini” – sehingga Anda telah memotong kerumunan [mendahului antrian] lalu maju ke depan – “atas hal ini saya berpikir untuk menyampaikan kepada Anda, bahwa wakil Allah sama sekali tidak takut dengan Anda?”[14]
Tentang betapa gigihnya semangat yang dimiliki Hadhrat ‘Umar, ada satu riwayat, “Suatu kali Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda dalam sebuah khotbah, ‘Wahai segenap manusia, jika ada diantara Anda sekalian yang melihat suatu kebengkokan pada diri saya, maka luruskanlah itu.’
Ada seorang yang berdiri dan berkata, ‘Jika kami melihat suatu kebengkokan pada Tuan, maka kami akan meluruskannya dengan pedang kami.’
Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Segala puji bagi Allah karena Dia telah memunculkan juga di dalam umat ini orang yang akan meluruskan kebengkokan ‘Umar (ra) dengan pedangnya.’”[15]
Hadhrat ‘Umar (ra) seraya berkhotbah bersabda, ‘Tolonglah saya dengan cara memerintahkan saya pada kebaikan, melarang saya dari keburukan, dan memberi nasihat kepada saya.’”[16]
Kemudian di satu kesempatan lain, Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Menurut saya, orang yang paling saya senangi adalah orang yang memberitahukan saya akan kelemahan-kelemahan saya.”[17]
Lalu dijelaskan terkait sebuah ucapan Hadhrat ‘Umar, “Saya takut jika melakukan kesalahan dan tidak ada orang yang mengingatkannya karena segan kepada saya.”
Di satu hari, ada seseorang yang datang menemui Hadhrat ‘Umar. Lalu orang itu berkata di hadapan khalayak umum, “Wahai ‘Umar, takutlah kepada Allah”. Sebagian orang sangat marah setelah mendengar hal ini dan mereka hendak menyuruh orang itu untuk diam. Atas hal ini Hadhrat ‘Umar (ra) berkata kepada orang itu, “Tiada kebaikan bagi Anda jika Anda tidak memberitahu kelemahan saya dan tiada kebaikan bagi kami jika kami tidak mendengarnya.”[18] Maksudnya, Hadhrat ‘Umar (ra) berkata kepadanya, “Jangan hanya berkata tetapi sampaikan juga hal apa yang Anda maksudkan.”
Suatu hari Hadhrat ‘Umar (ra) berdiri untuk menyampaikan sebuah pidato di antara orang-orang. Baru saja beliau mengatakan, “Wahai manusia! Dengarlah dan taatlah”, tiba-tiba ada seseorang berkata memotong pembicaraan, “Wahai ‘Umar (ra)! Kami tidak akan mendengarkan dan tidak juga akan taat.”
Hadhrat ‘Umar (ra) dengan lembut bertanya, “Wahai hamba Allah! Mengapa?”
Ia mengatakan, “Karena kain dari Baitul Mal yang dibagikan kepada semua orang, darinya orang hanya bisa membuat kemeja, bukan pakaian setelan lengkap. Anda juga tentunya mendapatkan kain sebanyak itu juga, lantas bagaimana anda bisa membuat pakaian setelan anda?”
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Tetaplah di tempatmu”. Kemudian beliau memanggil putra beliau bernama Abdullah. Abdullah menjelaskan bahwa beliau memberikan kain yang menjadi bagiannya kepada ayahandanya sehingga pakaiannya menjadi lengkap. Mendengar ini semua orang merasa tentram dan orang itu mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin! Sekarang saya akan mendengar dan taat.”[19]
Kelancangan seperti ini terjadi juga, namun Anda tidak akan mendengar hal semacam ini keluar dari mulut para sahabat yang mendapatkan tarbiyat langsung dari Rasulullah (saw). Mereka yang lancang ini adalah orang-orang yang masuk Islam belakangan atau yang benar-benar jahil dan tidak terpelajar. Hal-hal seperti ini tidak didapati dalam diri para sahabat terkemuka. Di dalam diri mereka terdapat ketaatan yang sempurna.
Islam memberikan kebebasan dalam perkara keagamaan. Bagaimana tata cara Hadhrat ‘Umar (ra) mengenai hal ini. Setelah penaklukkan Iskandariah, penguasa di sana mengirimkan pesan kepada Hadhrat Amru bin ‘Ash (ra), “Wahai bangsa Arab! Aku dahulu biasa membayar jizyah kepada kaum-kaum yang lebih layak dibenci dari kalian, yakni orang-orang Persia dan Romawi. Jika Anda menyukai, maka aku bersedia untuk membayar jizyah kepada Anda, dengan syarat Anda mengembalikan para tawanan perang dari wilayahku.”
Hadhrat ‘Amru bin ‘Ash (ra) menulis surat untuk menyampaikan semua situasi itu ke singgasana Khilafat. Datanglah jawaban dari Hadhrat ‘Umar (ra), “Sampaikanlah ketetapan ini ke hadapan penguasa Iskandariah, bahwa ia hendaknya membayar jizyah, namun tawanan perang yang ada dalam penguasaanmu, yakni dalam penguasaan orang-orang Islam, mereka hendaknya diberikan kebebasan, apakah mereka akan menerima Islam atau tetap mempertahankan agama mereka. Mereka yang masuk Islam, mereka akan termasuk di antara orang-orang Islam dan hak serta kewajiban mereka akan sama seperti orang-orang Islam. Namun mereka yang tetap pada agama kaumnya, jizyah akan ditetapkan kepada mereka sebagaimana yang ditetapkan pada orang-orang yang seagamanya.” Lalu Hadhrat ‘Amru bin ‘Ash (ra) mengumpulkan semua tawanan dan menyampaikan sabda Khilafat kepada mereka, maka banyak sekali tawanan yang masuk Islam.[20]
Dalam hal kebebasan beragama beliau sangat berhati-hati. Mengenai hal ini terdapat satu peristiwa. Suatu kali seorang wanita tua Nasrani datang kepada Hadhrat ‘Umar (ra) dengan keperluannya. Maka beliau berkata kepadanya, “Masuklah Islam, maka kamu akan selamat. Allah telah mengutus Muhammad (saw) dengan kebenaran.” Ia menjawab, “Aku sudah tua dan kematianku sudah dekat.” Lalu beliau memenuhi kebutuhannya, namun merasa takut bahwa jangan-jangan apa yang beliau lakukan ini sama dengan mengambil keuntungan dari kondisinya yang tengah membutuhkan dan menjadikannya Muslim secara paksa. Oleh karena itu beliau bertaubat pada Allah Ta’ala atas apa yang beliau lakukan ini dan berkata, “Ya Allah! Aku telah memperlihatkan jalan yang lurus kepadanya. Aku tidak memaksanya.”[21] Beliau sangat berhati-hati.
Kemudian terdapat satu peristiwa. Seorang hamba sahaya Kristen kepunyaan Hadhrat ‘Umar (ra) bernama Asyiq, menceritakan, “Saya dulu adalah hamba sahaya Hadhrat ‘Umar (ra). Beliau mengatakan kepada saya, “Masuklah Islam supaya saya bisa mendapatkan bantuan darimu dalam beberapa perkara kaum Muslimin, karena tidaklah patut bagi kami untuk mendapatkan bantuan dalam perkara kaum Muslimin dari mereka yang non-Muslim.” Namun saya menolak.
Hamba sahaya itu menuturkan, “Beliau pun bersabda, لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ‘Laa ikrooha fid-diin’ – ‘Tidak ada paksaan dalam agama Islam’. Ketika kewafatan beliau telah dekat, beliau memerdekakan saya dan bersabda, ‘Pergilah kemanapun kamu mau.’” [22]
Terdapat peristiwa mengenai kasih sayang dan kemurahan hati beliau terhadap binatang. Ahnaf bin Qais meriwayatkan, “Kami datang sebagai delegasi kepada Hadhrat ‘Umar (ra) dengan membawa kabar gembira kemenangan besar. Beliau bertanya, ‘Di mana Anda menginap?’
Saya memberitahukan tempatnya. Kemudian beliau berjalan bersama saya. Kami sampai di tempat kami mengikat unta tunggangan kami dan setelah memperhatikan satu persatu dengan seksama, beliau bersabda, ‘Apakah kamu tidak takut kepada Allah mengenai hewan tungganganmu ini? Tidakkah kamu tahu bahwa mereka juga mempunyai hak atasmu. Mengapa kamu tidak melepaskannya supaya ia bisa memakan rumput dan sebagainya.’”[23]
Hadhrat ‘Umar (ra) melihat seekor unta yang padanya nampak jelas tanda-tanda ketidakberdayaan dan sakit. Salim bin Abdullah meriwayatkan bahwa Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab (ra) meletakkan tangannya pada punggung unta yang terluka dan berkata pada diri sendiri, “Saya takut dimintai pertanggungan mengenaimu di hadapan Allah.”[24]
Kemudian terdapat satu riwayat. Aslam meriwayatkan, “Suatu kali Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Di dalam hati saya timbul keinginan untuk makan ikan segar. Yarfa’ – nama hamba sahaya Hadhrat ‘Umar (ra) – menaiki hewan tunggangan dan setelah berkeliling kian kemari sejauh 4 mil ia membeli seekor ikan yang bagus lalu membawanya. Kemudian ia mengarahkan perhatian pada hewan tunggangannya dan memandikannya. Tidak berapa lama Hadhrat ‘Umar (ra) pun datang dan bersabda, ‘Ayo!’, hingga beliau melihat pada hewan tunggangan itu lalu bersabda, ‘Kamu lupa mencuci keringat yang ada di bawah telinganya. Kamu telah menyusahkan seekor hewan demi memenuhi keinginan ‘Umar (ra). Demi Allah! ‘Umar (ra) tidak akan memakan ikanmu ini.’”[25]
Suatu kali pada tengah hari di musim panas serombongan delegasi dari Irak datang kepada Hadhrat ‘Umar (ra). Di dalam rombongan itu ada juga Ahnaf bin Qais. Hadhrat ‘Umar (ra) melilitkan sorban di kepalanya seraya menyejukkan tubuh unta zakat yang terluka. Beliau (ra) bersabda, يَا أَحْنَفُ، ضَعْ ثِيَابَكَ، وَهَلُمَّ، فَأَعِنْ أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ عَلَى هَذَا البَعِيرِ، فَإِنَّهُ لَمِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ، في حَقِّ اليَتِيمِ، وَالأَرْمَلَةِ، وَالمِسْكِينِ “Wahai Ahnaf! Tanggalkanlah pakaianmu dan kemarilah. Bantulah Amirul Mukminin merawat unta ini. Dalam tubuhnya terdapat hak anak yatim dan para janda serta orang-orang miskin.”[26]
Terdapat sebuah riwayat mengenai jawaban Hadhrat ‘Umar (ra) kepada seorang Yahudi. Thariq meriwayatkan dari Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab (ra) (عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ), أَنَّ رَجُلاً، مِنَ الْيَهُودِ قَالَ لَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، آيَةٌ فِي كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لاَتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا. قَالَ أَىُّ آيَةٍ قَالَ {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا}. قَالَ عُمَرُ قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ “Seseorang dari antara orang-orang Yahudi mengatakan kepada beliau, ‘Wahai Amirul Mukminin! Anda membaca satu ayat di dalam kitab Anda yang seandainya ayat itu turun kepada kami (yakni kaum Yahudi) maka kami akan merayakan Id (Hari Raya) pada hari itu.’ Hadhrat ‘Umar (ra) bertanya, ‘Ayat yang manakah itu?’
Ia mengatakan, {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا} – ‘Hari ini Aku telah sempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku-anugrahkan seluruh nikmat-Ku atasmu dan Aku meridhoi Islam sebagai agama bagimu.’
Hadhrat ‘Umar (ra) menjawab, ‘Kami mengetahui hari itu dan juga tempat di mana ayat itu turun kepada Nabi (saw). Beliau saat itu sedang berdiri di Arafah pada hari Jum’at.’”[27]
Hadhrat Muslih Mau’ud (ra) menjelaskan mengenai hal ini bahwa, “Seorang Yahudi berkata kepada Hadhrat ‘Umar (ra), ‘Di dalam Al-Qur’an terdapat satu ayat. Jika ayat itu turun pada kitab kami maka kami akan merayakan Id pada hari itu.’
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Ayat yang manakah itu?’
Ia menjawab, الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا Beliau bersabda, ‘Hari itu merupakan dua Id bagi kami, yaitu ayat itu turun pada hari Jum’at dan hari Arafah.’”[28]
Beberapa pribadi suci (salafush shaleh) meriwayatkan mengenai Hadhrat ‘Umar (ra). Diriwayatkan dari Asy’ats, سَمِعْتُ الشَّعْبِيَّ ، يَقُولُ : إِذَا اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي شَيْءٍ فَانْظُرْ كَيْفَ صَنَعَ عُمَرُ ، فَإِنَّ عُمَرَ لَمْ يَكُنْ يَصْنَعُ شَيْئًا حَتَّى يُشَاوِرَ “Saya mendengar Imam Sya’bi berkata, ‘Ketika orang-orang berselisih mengenai suatu perkara, maka lihatlah apa yang dilakukan Hadhrat ‘Umar (ra) dalam perkara tersebut, karena Hadhrat ‘Umar (ra) tidak mengambil suatu tindakan tanpa sebelumnya bermusyawarah terlebih dahulu.’”[29]
Imam Sya’bi berkata, سمعت قبيصة بن جابر يقول صحبت عمر بن الخطاب فما رأيت رجلا أقرأ لكتاب الله ولا أفقه في دين الله منه ولا أحسن مدارسة منه “Saya mendengar Hadhrat Qabidhah bin Jabir berkata, ‘Saya pernah tinggal bersama Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab (ra). Saya tidak melihat seseorang yang membaca Al-Qur’an, memahami agama Allah dan memberikan Dars (uraian) tentangnya yang lebih baik daripada beliau.’”[30]
Hadhrat Hasan al-Bashri (الحسن بن أبي الحسن البصري) berkata, إذا أردتم أن يطيب المجلس فأفيضوا في ذكر عمر “Ketika kalian ingin mengharumkan majlis kalian maka banyak-banyaklah menyebut-nyebut (mengenang) mengenai Hadhrat ‘Umar (ra).”[31]
Diriwayatkan dari Mujahid (مجاهد), کنا نتحدث أن الشیاطین كانت مصفدة فی زمن عمر فلما قُتل وثبت في الأرض “Kami berkata satu sama lain, ‘Sungguh! Setan-setan terbelenggu pada masa Hadhrat ‘Umar (ra). Ketika beliau syahid, setan-setan melompat ke bumi.’”[32]
Terdapat riwayat mengenai Hadhrat ‘Umar (ra) bahwa beliau sangat antusias dengan syair-syair. Beliau sendiri bukan penyair, namun beliau biasa mendengarkan syair dan menyukai syair. Hadhrat Abdullah bin Abbas (ra) berkata, “Kami pergi bersama Hadhrat ‘Umar (ra) dalam satu perjalanan. Pada suatu malam, ketika kami berjalan, saya menghampiri beliau. Beliau seraya memukulkan cambuk pada punggung hewan tunggangannya membaca syair (sajak),
كَذَبْتُمْ وَبَيْتِ اللَّهِ يُقْتَلُ أَحْمَدُ *** وَلَمَّا نُطَاعِنْ دُونَهُ وَنُنَاضِلُ
وَنُسْلِمُهُ حَتَّى نُصَرَّعَ حَوْلَهُ *** وَنَذْهَلَ عَنْ أَبْنَائِنَا وَالْحَلائِلِ
وَمَا حَمَلَتْ مِنْ نَاقَةٍ فَوْقَ رَحْلِهَا *** أَبَرَّ وَأَوْفَى ذِمَّةً مِنْ مُحَمَّدِ
kadzabtum wa baitiLlaahi yuqtalu Ahmadu – wa lammaa nuthaa’inu duunahu wa nunaadhil
wa nuslimuhu hatta nusharri’a haulahu – wa nadz-hala ‘an abnaa-ina wal halaa-il
wa maa hamalat min naqatin fauqa rahlihaa – abarra wa aufaa dzimmata min Muhammadin
‘Demi Rumah Allah (Ka’bah)! Kalian semua dusta! Terbunuhnya Ahmad (saw) ialah tatkala ‘tlah kami perlihatkan kemampuan menombak dan permainan pedang ‘tuk ‘lindunginya.
Takkan kami tinggalkan dia sampai kami terbunuh dalam pertempuran di dekatnya seraya kami lupakan anak-anak dan keluarga kami.
Seekor unta betina ‘takkan bawa di punggungnya seorang manusia pelaku kebaikan dan tepati janji melebihi Hadhrat Muhammad (saw).’”[33]
Seorang sejarawan, Dokter Ali Muhammad Shalabi dalam buku beliau “Sayyidinaa Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab (ra), Kepribadian dan Peranan Beliau” menulis mengenai kecintaan Hadhrat ‘Umar (ra) pada syair, “Di antara para Khulafaur Rasyidiin, yang paling banyak memberikan permisalan melalui syair adalah Hadhrat ‘Umar (ra) sampai-sampai beberapa orang menulis mengenai beliau bahwa hampir tidak ada perkara yang datang kepada beliau dan beliau tidak membacakan syair tentangnya. Diriwayatkan bahwa suatu kali beliau mengenakan setelan pakaian yang baru dan pergi keluar. Orang-orang melihat beliau dengan penuh ketertarikan. Beliau membaca syair berikut ini untuk memberikan permisalan kepada mereka:
لَمْ تُغْنِ عَنْ هُرْمُزٍ يَوْمًا خَزَائِنُهُ … وَالْخُلْدَ قَدْ حَاوَلَتْ عَادٌ فَمَا خَلَدُوا
أَيْنَ الْمُلُوكُ الَّتِي كَانَتْ لِعِزَّتِهَا … مِنْ كُلِّ أَوْبٍ إِلَيْهَا وَافِدٌ يَفِدُ
Lam tughni ‘an Hurmuzin yauman khaza-inuhu – wal khulda qad haawalat ‘aadun famaa khaladuu
Ainal muluukullatii kaanat li-‘izzatihaa – min kulli aubin ilaiha waafidun yafidu
‘‘Takkan berikan faedah bagi Hurmuz pada saat kematiannya harta kekayaannya. Kaum ‘Ad senantiasa berusaha hidup makmur demi keabadian, namun tidak tinggal untuk selamanya.
Ke manakah perginya raja-raja yang mata airnya digunakan untuk melepas dahaga kafilah yang datang dari segala arah?’”[34]
Ali Muhammad Shalabi menulis, “Hadhrat ‘Umar (ra) menyukai syair-syair yang di dalamnya memancarkan intisari kehidupan Islami. Syair-syair tersebut mencerminkan karakteristik Islam, serta makna dan pengertiannya tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan nilai-nilainya. Beliau memotivasi orang-orang Islam untuk menghapalkan syair-syair terbaik dan bersabda, تَعَلَّمُوا الشِّعْرَ، فَإِنَّ فِيهِ مَحَاسِنَ تُبْتَغَى، وَمَسَاوِئَ تُتَّقَى، وَحِكْمَةً لِلْحُكَمَاءِ، وَيَدُلُّ عَلَى مَكَارِمِ الأَخْلاقِ ‘Pelajarilah syair, karena di dalamnya terkandung keutamaan-keutamaan yang dicari, kebijaksanaan para bijak dan petunjuk kepada akhlak yang mulia.’[35]
Dalam menjelaskan manfaat syair, beliau tidak berhenti sampai di situ, bahkan beliau menganggapnya sebagai kunci hati dan penggerak bagi semangat-semangat kebajikan dalam diri manusia. Beliau menjelaskan faedah dan keutamaan syair sebagai berikut, مِن خير صناعات العرب الأبياتُ يقدِّمُها الرّجلُ بين يدَيْ حاجته يَسْتَنْزِلُ بها الكريم ويستعطف بها اللئيم ‘Keahlian (ketrampilan) terbaik seseorang adalah menciptakan beberapa bait syair yang dia sampaikan dalam keperluannya, yang dengannya melembutkan hati orang-orang dermawan dan murah hati serta membuat tertarik hati orang-orang yang keji.’[36]
Beliau juga cukup gemar menghapal syair-syair kuno dari masa jahiliyah karena syair-syair ini erat kaitannya dengan memahami Kitab Ilahi. Beliau bersabda, عليكم بديوانكم لا تضلوا ‘Hapalkanlah oleh kalian diwan kalian dan jangan tersesat.’ Hadirin bertanya kepada beliau, وما ديواننا ‘Manakah yang dimaksud diwan kami?’
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, شعر الجاهلية ، فإن فيه تفسير كتابكم ومعاني كلامكم ‘Syair-syair masa jahiliyah. Di dalamnya terkandung tafsiran atas Kitab kalian, yakni Al-Qur’an dan makna dari kalam kalian.’ [37]
Sabda beliau ini sesuai dengan pernyataan murid beliau dan ahli tafsir Al-Qur’an, Abdullah bin Abbas, yang mana beliau mengatakan, إِذَا سَأَلْتُمُونِي عَنْ غَرِيبِ الْقُرْآنِ فَالْتَمِسُوهُ فِي الشِّعْرِ، فَإِنَّ الشِّعْرَ دِيوَانُ الْعَرَبِ ‘Ketika kalian membaca Al-Qur’an dan tidak bisa memahaminya, maka carilah makna dan pengertiannya dalam syair-syair Arab, karena syair adalah diwan orang-orang Arab.’”[38]
Seorang penulis biografi terkenal dari anak benua (India-Pakistan dan sekitarnya), ‘Alamah Syibli Nu’mani dalam buku beliau Al-Faruq, seraya menjelaskan mengenai kegemaran Hadhrat ‘Umar (ra) pada syair-syair, menulis, “Meskipun secara umum hubungan antara Hadhrat ‘Umar (ra) dengan syair dan para penyair kurang masyhur (terkenal) dan tidak diragukan lagi bahwa beliau sangat sedikit menciptakan syair, namun kegemaran beliau pada syair sedemikian rupa indahnya sehingga kita tidak bisa meninggalkan pembahasan mengenainya dalam perjalanan kehidupan beliau. Beliau banyak menghapal karya-karya para penyair Arab kenamaan dan beliau memiliki pendapat khusus tentang karya-karya para penyair tersebut. Para sejarawan di bidang sastra pada umumnya mengakui bahwa di masa beliau tidak ada yang lebih baik dalam membaca syair melebihi beliau… Al-Jahidz dalam bukunya ‘Al-Bayaanu Wat Tabyiin’ menulis, وقال العايشي كان عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه أعلم الناس بالشعر ‘Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab (ra) pada masanya merupakan orang yang paling mengetahui syair.’[39] Cita rasa Hadhrat ‘Umar (ra) pada sastra adalah sedemikian rupa sehingga ketika beliau mendengar syair-syair yang bagus, maka beliau membacanya berulang-ulang dengan penuh kelezatan.[40]
Meskipun beliau tidak bisa mendapatkan kesempatan untuk larut dalam aktifitas ini karena kesibukan sebagai Khalifah, namun dikarenakan beliau secara fitrat memiliki kesenangan terhadapnya, beliau hapal ribuan syair. Para ulama ahli sastra meriwayatkan bahwa hapalan syair beliau sedemikian rupa, sehingga ketika memutuskan suatu perkara maka pasti beliau membaca syair. Beliau hanya menyukai syair-syair yang di dalamnya bertemakan harga diri, kebebasan, kebajikan, martabat (kehormatan atau keluhuran) dan hikmah atau pelajaran.
Atas dasar itu beliau mengirimkan perintah kepada para pemimpin pasukan dan kepala-kepala daerah supaya menekankah kepada orang-orang mengenai menghapal syair-syair. Maka dari itu, beliau mengirimkan perintah kepada Hadhrat Abu Musa Asy’ari (ra), مُرْ مَن قِبلَك بتعلم الشعر؛ فإنه يدل على معالي الأخلاق وصواب الرأي ومعرفة الأنساب ‘Perintahkanlah kepada orang-orang diantaramu untuk menghapalkan syair-syair, karena ini memperlihatkan jalan-jalan menuju keluhuran akhlak, pendapat yang bernas dan keadilan.’[41]
Kalimat-perintah yang Khalifah ‘Umar (ra) kirimkan ke setiap provinsi adalah sebagai berikut, عَلِّموا أولادكم العوم والفروسيّة، ورَوُّوهم ما سار من المثل، وما حَسُنَ مِنَ الشِّعْر ‘Ajarkanlah berenang dan menunggang kuda kepada anak-anak kalian. Hapalkanlah kepada mereka matsal atau amtsal (peribahasa-peribahasa atau perumpamaan-perumpamaan) dan syair-syair yang bagus.’[42] Artinya, tumbuhkanlah kecintaan kepada ilmu.
Pada kesempatan ini patut diingat pula bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) menghapuskan banyak hal-hal tercela pada syair-syair. Pada masa itu terdapat kebiasaan di seluruh Arab yakni para penyair menyebut-nyebut nama para para wanita mulia secara terang-terangan dalam syairnya dan menyampaikan rasa cintanya. Hadhrat ‘Umar (ra) menghapuskan kebiasaan buruk itu dan bahkan menetapkan hukuman keras bagi yang melanggarnya. Demikian pula, Beliau menetapkan penulis tulisan yang berisi ejekan sebagai pelanggaran. Berdasarkan aturan tersebut, Khathi’ah, tukang menulis ejekan, dipenjara atas pelanggaran tersebut.”[43]
Allamah Syibli Numani lebih lanjut menulis, “Penyair terbesar pada zaman itu adalah Mutammim Bin Nuwairah yang mana saudaranya telah terbunuh secara tidak sengaja oleh Hadhrat Khalid, pada masa Hadhrat Abu Bakr. Kejadian tersebut telah membuatnya terpukul sedemikian rupa sehingga ia selalu menangis dan mengutarakannya dalam syair ratapan. Mutammim hadir ke hadapan Hadhrat ‘Umar (ra) lalu Hadhrat ‘Umar (ra) memintanya untuk membacakan syair ratapannya. Ia pun membacanya. Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda padanya, ‘Seandainya saya dapat mengungkapkan syair ratapan seperti itu, maka saya akan mengungkapkannya untuk saudara saya Zaid.’
Mutammim berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin! Jika saja saudara saya terbunuh, yakni mati syahid, seperti halnya saudara tuan, maka sekali kali saya tidak akan meratapinya.
Hadhrat ‘Umar (ra) selalu bersabda, ‘Tidak ada yang takziyah bersama saya seperti yang telah dilakukan oleh Mutammim.’”[44]
Berkenaan dengan keutamaan dan akhlak mulia Hadhrat ‘Umar (ra), Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Berbagai peristiwa yang dinubuatkan [dikabarkan sebelumnya lewat wahyu, kasyaf atau ru’ya] yang diharapkan penyempurnaannya dalam sekejap saja, itu akan menjadi kenyataan secara bertahap atau sempurna pada wujud (seseorang) yang lain. Sebagai contoh, satu kabar gaib yang disaksikan oleh Hadhrat Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam adalah diserahkannya kunci-kunci khazanah kekayaan Kaisar dan Kisra ke tangan beliau (saw). Padahal, jelas bahwa Rasulullah (saw) telah wafat sebelum peristiwa tersebut terjadi sehingga beliau (saw) tidak pernah melihat khazanah Kaisar maupun Kisra, tidak juga kunci-kuncinya. Namun, telah ditakdirkan kunci-kunci tersebut diserahkan kepada Hadhrat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu karena wujud Hadhrat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu secara zhilli merupakan wujud Hadhrat Nabi (saw) karena telah ditetapkan di alam wahyu bahwa tangan Hadhrat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu adalah tangan Utusan Tuhan [Nabi Muhammad] shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.” [45]
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Akidah (keyakinan) ini adalah sangat penting bahwa Hadhrat Shiddiiq Akbar [Abu Bakr] radhiyallahu ta’ala ‘anhu, Hadhrat Faruqi ‘Umar radhiyallahu ta’ala ‘anhu, Hadhrat Dzun Nuurain [‘Utsman] radhiyallahu ta’ala ‘anhu dan Hadhrat Ali al-Murtadha radhiyallahu ta’ala ‘anhu, semuanya secara fakta dan peristiwa adalah amiin (terpercaya) dalam hal menjaga agama dan memiliki keimanan yang lurus dengan sesungguh-sungguhnya. Hadhrat Abu Bakr radhiyallahu ta’ala ‘anhu adalah Adam Tsani (Adam kedua) bagi Islam. Demikian pula Hadhrat ‘Umar (ra) dan Hadhrat ‘Utsman radhiyallahu ta’ala ‘anhuma, seandainya keduanya tidak tepercaya dalam agama, maka kini sangat sulit bagi kita untuk menyatakan bahwa setiap ayat Alqur’an Syarif adalah berasal dari Allah Ta’ala.” [46]
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: عُلّمتُ من ربي في أمر الخلافة على وجه التحقيق، وبلغتُ عمق الحقيقة كأهل التدقيق، وأظهر عليّ ربي أن الصِدّيق والفاروق وعثمان، كانوا من أهل الصلاح والإيمان، وكانوا من الذين آثرهم الله وخُصّوا بمواهب الرحمن، وشهد على مزاياهم كثير من ذوي العرفان.
تركوا الأوطان لمرضاة حضرة الكبرياء، ودخلوا وطيس كل حرب وما بالَوا حَرَّ ظهيرة الصيف وبرد ليل الشتاء، بل ماسوا في سبل الدين كفتية مترعرعين، وما مالوا إلى قريب ولاغريب، وتركوا الكل لله ربّ العالمين.
وإن لهم نشرًا في أعمالهم، ونفحات في أفعالهم، وكلها ترشد إلى روضات درجاتهم وجنات حسناتهم. ونسيمهم يُخبر عن سرّهم بفوحاتها، وأنوارهم تظهر علينا بإناراتها.
فاستدِلُّوا بتأرُّجِ عَرفهم على تبلُّج عُرفهم، ولا تتبِعوا الظنون مستعجلين. ولا تتكئوا على بعض الأخبار، إذ فيها سمّ كثير وغلوّ كبير لا يليق بالاعتبار، وكم منها يشابه ريحًا قُلّبًا، أو برقًا خُلّبًا، فاتّقِ الله ولا تكن من متّبعيها “Saya telah diberikan pengetahuan yang mendalam dari Tuhan tentang Khilafat. Dan sama seperti ulama manapun, saya juga telah mampu menyelidiki kedalaman masalah ini dan Tuhan saya telah mengungkapkan kepada saya bahwa Ash-Shiddiq [Hadhrat Abu Bakr (ra)], Al-Faruq [Hadhrat ‘Umar (ra)] dan Utsman (ra) adalah orang-orang BERIMAN yang saleh dan termasuk golongan pilihan Allah Ta’ala dan diberi karunia khusus oleh Allah Yang Maha Pemurah. Selain itu, banyak orang bijak telah menjadi saksi atas kebajikan mereka.
Mereka meninggalkan tanah mereka untuk keridhaan Allah Ta’ala Yang Maha Suci dan Mulia. Mereka masuk ke dalam tungku pertempuran dan tidak mempedulikan terik siang hari setiap musim panas, atau dinginnya malam setiap musim dingin; Mereka berbaris maju di jalan agama layaknya pemuda, tidak condong kepada orang-orang mereka sendiri, atau orang lain, mereka mengucapkan selamat tinggal pada segalanya, semua demi Tuhan Semesta alam.
Perbuatan mereka dijiwai dengan aroma wangi dan dalam amalan mereka ada keharuman. Semua ini mengarahkan pada kebun-kebun derajat martabat mereka dan kebun-kebun amalan mereka. Demikian pula, angin sepoi-sepoi aromatik dari zephyr [angin yang lembut dan harum] mengungkapkan kualitas mereka dan cahayanya menjadi nyata bagi kita dengan segala pancarannya.
Oleh karena itu, kalian harus mengetahui derajat mereka yang termasyhur dari aroma wanginya dan jangan tergesa gesa dalam mengikuti orang-orang yang berpikiran buruk. Dan jangan hanya mengandalkan riwayat-riwayat tertentu saja karena didalamnya penuh dengan racun dan dilebih-lebihkan dan tidak dapat dipercaya. Banyak dari riwayat-riwayat itu seperti angin yang kuat dan merusak dan seperti kilat yang menipu seseorang untuk berpikir akan ada hujan. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan jangan ikuti riwayat-riwayat seperti itu.”[47]
Selanjutnya beliau (as) bersabda: وأَيمُ الله إنه تعالى قد جعل الشيخَين والثالثَ الذي هو ذو النُّورَين، كأبواب للإسلام وطلائع فوج خير الأنام، فمن أنكر شأنهم وحقّر برهانهم، وما تأدّب معهم بل أهانهم، وتصدى للسب وتطاوُل اللسان، فأخاف عليه من سوء الخاتمة وسلب الإيمان. والذين آذوهم ولعنوهم ورموهم بالبهتان، فكان آخر أمرهم قساوة القلب وغضب الرحمن.
وإني جربتُ مرارا وأظهرتها إظهارًا، أن بغض هؤلاء السادات من أكبر القواطع عن الله مظهرِ البركات، ومن عاداهم فتُغلَق عليه سُدَدُ الرحمة والحنان، ولا تُفتح له أبواب العلم والعرفان، ويتركه الله في جذبات الدنيا وشهواتها، ويسقط في وهاد النفس وهوّاتها، ويجعله من المبعدين المحجوبين.وإنهم (أي الخلفاء الراشدون) أُوذوا كما أُوذي النبيون، ولُعنوا كما لُعن المرسلون، فحقّق بذلك ميراثهم للرسل، وتحقّقَ جزاؤهم كأئمة النِحل والملل في يوم الدين. فإن مؤمنا إذا لُعن وكُفر من غير ذنب، ودُعي بهجو وسبّ من غير سبب، فقد شابهَ الأنبياء وضاهى الأصفياء، فسيُجزى كما يُجزى النبيون، ويرى الجزاء كالمرسلين.
ولا شك أن هؤلاء كانوا على قدم عظيم في اتباع خير الأنبياء، وكانوا أُمّةً وسطًا كما مدحهم ذو العزّ والعلاء، وأيدهم بروح منه كما أيد كل أهل الاصطفاء. وقد ظهرت أنوار صدقهم وآثار طهارتهم كأجلى الضياء، وتبين أنهم كانوا من الصادقين. ورضي الله عنهم ورضوا عنه، وأعطاهم ما لم يُعطَ أحد من العالمين “Dan saya bersumpah demi Allah, sesungguhnya Allah telah menjadikan Syaikhain (dua tokoh terkemuka yaitu Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat ‘Umar) dan yang ketiganya, Dzūnūrain (pemilik dua cahaya yaitu Hadhrat ‘Utsman), sebagai pintu gerbang Islam dan menjadikan mereka sebagai pasukan pembuka jalan bagi sebaik-baik makhluk (yaitu Muhammad Rasulullah [saw]). Siapa pun yang menolak kemuliaan mereka, meremehkan penjelasan ilmu-ilmu mereka dan tidak bersikap santun kepada mereka, bahkan menghinakan mereka, gemar mencerca mereka dan bermulut lancang kepada mereka, maka saya khawatir akan akhir kehidupan yang buruk dan kerusakan iman orang seperti itu. Siapa yang menyakiti mereka, melaknat mereka dan menuduh mereka maka semua itu akan mengakibatkan kerasnya hati dan timbulnya murka Tuhan Yang Maha Rahman.
Berkali-kali telah saya saksikan dan telah saya sampaikan secara terang-terangan bahwa menaruh kebencian dan kedengkian terhadap para Saadaat (orang-orang terkemuka) tersebut merupakan penyebab terbesar bagi terputusnya jalinan dengan Allah Yang Maha Memunculkan segala keberkatan. Siapa yang memusuhi mereka maka semua jalan rahmat dan kasih sayang akan ditutup bagi orang seperti itu. Bagi orang seperti itu pintu ilmu dan makrifat tidak akan dibukakan dan Allah Ta’ala akan membiarkannya terdampar dalam kelezatan dan syahwat dunia lalu menjatuhkannya ke dalam jurang hawa nafsu dan Allah akan menjauhkan dan meluputkan mereka dari haribaan-Nya.
Mereka (para Khulafa Rasyidin) telah disakiti sebagaimana para Nabi telah disakiti, mereka telah dicaci maki sebagaimana para Nabi pun telah dicaci maki, dengan demikian terbuktilah mereka telah menjadi pewaris para Nabi. Maka pada hari kiamat, mereka berhak mendapatkan ganjaran sebagaimana para imam dan pemimpin kaum dan agama terdahulu. Sesungguhnya seorang mukmin apabila dikutuk dan dikafirkan tanpa kesalahan ataupun dicaci tanpa suatu alasan yang benar maka ia akan seperti halnya para Nabi dan para wali, orang mukmin semacam itu akan diberi ganjaran seperti halnya para Nabi dan para rasul.
Tidak diragukan lagi bahwa mereka termasuk orang-orang yang mengikuti jejak langkah agung Khairul Anbiya (sebaik-baik diantara para Nabi, yaitu Nabi Muhammad [saw]) dan masuk kepada umat yang mulia) sebagaimana Dzat Yang Maha tinggi telah memuji mereka dan mendukung mereka dengan ruhNya sebagaimana Dia telah mendukung setiap orang-orang yang menjadi pilihan-Nya. Cahaya-cahaya kebenaran dan refleksi-refleksi kesucian mereka sungguh telah tampak jelas laksana sinar yang terang benderang sehingga jelaslah bahwa mereka adalah orang-orang yang benar. ‘Allah ridha atas mereka dan mereka pun ridha pada-Nya.’ Dia telah mengaruniai mereka dengan karunia-karunia yang belum pernah diberikan kepada umat sebelumnya.”[48]
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mauud (as) bersabda dalam membantah tuduhan orang-orang Syi’ah, ومن تظنى من الشيعة أن الصدّيق أو الفاروق غصَب الحقوق، وظلم المرتضى أو الزهراء، فترَك الإنصاف وأحبَّ الاعتساف، وسلَك مسلك الظالمين.
إن الذين تركوا أوطانهم وخلانهم وأموالهم وأثقالهم لله ورسوله، وأُوذوا من الكفار وأُخرِجوا من أيدي الأشرار، فصبروا كالأخيار والأبرار، واستُخلِفوا فما أترعوا بيوتهم من الفضة والعَين، وما جعلوا أبناءهم وبناتهم ورثاءَ الذهب واللُّجَين، بل ردوا كل ما حصل إلى بيت المال، وما جعلوا أبناءهم خلفاءهم كأبناء الدنيا وأهل الضلال، وعاشوا في هذه الدنيا في لباس الفقر والخصاصة، وما مالوا إلى التنعم كذوي الإمرة والرياسة.
أيُظَنّ فيهم أنهم كانوا ينهبون أموال الناس بالتطاولات ويميلون إلى الغصب والنهب والغارات؟ أكان هذا أثر صحبة رسول الله خيرِ الكائنات، وقد حمدهم الله وأثنى عليهم رب المخلوقات؟
كلا، بل إنه زكّى نفوسهم وطهّر قلوبهم، ونوّر شموسهم، وجعلهم سابقين للطيبين الآتين. ولا نجد احتمالا ضعيفا ولا وهما طفيفا يُخبر عن فساد نياتهم، أو يشير إلى أدنى سيئاتهم، فضلا عن جزم النفس على نسبة الظلم إلى ذواتهم، ووالله إنّهم كانوا قومًا مقسطين.
ولو أنهم أُعطوا واديا من مال من غير حلال فما تَفَلوا عليه وما مالوا كأهل الهوى، ولو كان ذهبا كأمثال الرُبى، أو كمقدار الأرضين. ولو وجدوا حلالا من المال لأنفقوه في سبل ذي الجلال ومهمات الدين.
فكيف نظن أنهم أغضبوا الزهراء لأشجار، وآذوا فلذة النبي كأشرار، بل للأحرار نيّات، ولهم على الحق ثبات، وعليهم من الله صلوات، والله يعلم ضمائر المتقين
“Orang-orang Syiah yang berpandangan bahwa Ash-Shiddiq (Hadhrat Abu Bakr) dan Al-Faruq (Hadhrat ‘Umar) telah merampas hak-hak dan menzalimi Al-Murtadha (Hadhrat Ali) dan Az-Zahra (Hadhrat Fatimah) maka orang-orang Syi’ah semacam itu telah meninggalkan keadilan dan menyenangi kesewenang-wenangan. Mereka telah berjalan di atas jalan orang-orang yang berbuat aniaya.
Sesungguhnya mereka yang telah meninggalkan negeri, kampung halaman, harta, dan perbendaharaan mereka demi Allah dan Rasul-Nya, dan mereka telah disakiti oleh para kuffaar Quraisy dan diusir dari rumah oleh para pengacau, akan tetapi mereka tetap bersabar sebagaimana orang-orang baik yang telah dizalimi kaumnya. Meskipun telah dijadikan dijadikan sebagai khalifah, namun mereka tidak pernah memenuhi rumah-rumah mereka dengan perak dan para pengawal serta mereka tidak mewariskan emas dan perak kepada para putra dan para putri mereka. Sebaliknya, mereka telah menyerahkan apa yang mereka peroleh ke Baitul māl. Mereka tidak menjadikan anak-anak mereka sebagai Khalifah yang akan menggantikan mereka sebagaimana orang-orang duniawi dan mereka yang telah menyimpang dari kebenaran. Mereka mengarungi kehidupan di dunia ini dengan penuh kesederhanaan dan kekurangan harta serta tidak gandrung untuk menikmati kelezatan-kelezatan duniawi seperti halnya para pemimpin dunia.
Masihkah ada orang yang beranggapan bahwa mereka telah merampas harta benda orang-orang dengan cara yang tidak adil? Apakah dalam diri mereka ada kecenderungan untuk merampas atau menyerobot hak orang lain? Apakah itu pengaruh dari pergaulan suci dengan Hadhrat Rasulullah Saw? padahal Allah Ta’ala, Rabb semesta alam telah menyampaikan pujian atas mereka.
Pada hakikatnya, Allah Ta’ala telah menyucikan jiwa dan hati mereka serta telah menerangi wujud mereka. Dia juga telah menjadikan mereka sebagai pelopor bagi orang-orang suci yang akan datang kemudian. Kami tidak mendapati adanya kemungkinan sedikitpun atau terbetik anggapan akan adanya kefasadan dalam niatan mereka atau mengindikasikan pada keburukan mereka walaupun derajatnya rendah, meskipun ada yang beriradah kuat untuk menisbahkan suatu ketidak adilan terhadap wujud mereka. Sesungguhnya mereka itu adalah wujud wujud yang berbuat adil.
Sekiranya kepada mereka diberikan harta sepenuh lembah dari harta haram maka mereka tidak akan menyentuhnya sedikitpun dan tidak juga mereka akan condong layaknya orang-orang yang rakus sekalipun emas sebesar gunung gunung atau sebesar 7 bumi. Jika mereka mendapatkan harta yang halal, pasti mereka akan belanjakan harta tersebut di jalan Allah Yang Maha Perkasa dan untuk keperluan agama.
Maka bagaimana mungkin kita menuduh mereka telah membuat marah Az-Zahra (Hadhrat Fatimah [ra] putri Nabi [saw]) demi mempertahankan beberapa batang pohon lalu menyakiti buah hati Nabi (saw) layaknya para pengacau. Tidak demikian, melainkan mereka itu memiliki niatan baik dan teguh melangkah diatas kebenaran dan dari sisi Allah Ta’ala turun rahmat atas mereka dan Allah Maha Mengetahui keadaan batin orang-orang Muttaqi.”[49]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) lebih lanjut bersabda: فالحق أن الصدّيق والفاروق، كانا من أكابر الصحابة وما أَلَتَا الحقوق، واتخذا التقوى شرعة، والعدل نُجْعة، وكانا ينقّبان عن الأخبار ويفتّشان من أصل الأسرار، وما أرادا أن يُلْفِيا من الدنيا بُغْية، وبذلا النفوس لله طاعةً.
وإني لم ألقَ كالشيخَين في غزارة فيوضهم وتأييد دين نبي الثقلَين. كانا أَسْرعَ من القمر في اتّباع شمس الأمم والزمر، وكانا في حُبّه من الفانين. واستعذبا كل عذاب لتحصيل صواب، ورضوا بكل هوان للنبي الذي ليس له ثان، وظهرا كالأسود عند تَلقِّي القوافل والجنود من ذوي الكفر والصدود، حتى غلب الإسلام وانهزم الجمع، وانزوى الشرك وانقمع، وأشرقت شمس الملّة والدّين. وكانت خاتمة أمرهما جِوار خير المسلمين، مع خدمات مرضية في الدين، وإحسانات ومنن على أعناق المسلمين.
وهذا فضل من الله الذي لا تخفى عليه الأتقياءُ، وإن الفضل بيد الله يؤتيه من يشاء، من اعتلق بذيله مع كمال ميله، فإن الله لن يُضيعه ولو عاداه كل ما في العالمين، ولا يرى طالبه خسرًا ولا عسرًا ولا يذَر الله الصادقين.
الله أكبر! ما أعظمَ شأنَ سرِّهما وصدقهما! دُفنوا في مدفن لو كان موسى وعيسى حيَّين لتمنياها غبطة، ولكن لا يحصل هذا المقام بالمنية، ولا يعطى بالبغية، بل هي رحمة أزلية من حضرة العزة، ولا تتوجه إلا إلى الذين توجّهت العناية إليهم من الأزل، وحفّتْ بهم ملاحف الفضل “Hal yang benar adalah bahwa baik Abu Bakr Ash-Shiddiq (ra) dan ‘Umar Al-Faruq (ra) keduanya termasuk di antara para sahabat terkemuka. Mereka berdua tidak pernah menunjukkan kelemahan dalam memenuhi hak. Kebenaran adalah cara hidup mereka dan menegakkan keadilan adalah tujuan mereka. Mereka dengan hati-hati merenungkan masalah dan menyelidiki jauh ke dalam seluk-beluknya. Memenuhi keinginan duniawi tidak pernah menjadi tujuan mereka. Mereka mengabdikan diri dalam ketaatan kepada Allah.
Saya belum pernah melihat orang yang mengambil bagian dari berkah yang begitu besar dan mendukung agama Nabi (saw) lebih dari Syaikhain (yaitu Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma). Dalam kepatuhan mereka kepada Matahari spiritual untuk seluruh umat manusia, [yaitu. Muhammad] saw, bahkan lebih cepat dari bulan. Mereka sepenuhnya mengabdikan diri dalam cinta mereka untuk beliau saw dan untuk menegakkan kebenaran, mereka dengan senang hati menanggung setiap kesulitan. Demi Nabi (saw), yang tidak ada duanya, mereka rela dan dengan senang hati menanggung setiap penghinaan. Pada saat berperang melawan pasukan kafir, mereka berdiri dengan gagah berani seperti singa hingga Islam menang dan barisan musuh menderita kekalahan. Syirik dihapuskan dan dimusnahkan secara total dan matahari spiritual bangsa dan iman mulai bersinar. Mereka berdua memberikan pengabdian yang sangat baik terhadap agama mereka dan memberikan umat Islam keunggulan dan bantuan sedemikian rupa sehingga tempat peristirahatan terakhir mereka adalah berdekatan dengan sebaik-baik Rasul (Khairul Mursalin).
Hal ini berkat karunia Allah Ta’ala, yang dari pandangan-Nya tidak ada orang yang saleh tersembunyi dan sesungguhnya semua karunia adalah milik Allah dan Dia memberikannya kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Orang yang mengembangkan ikatan dengan Tuhan dengan penuh pengabdian tidak akan pernah menghadapi kehancuran, sekalipun seluruh dunia menentangnya. Mereka yang berusaha untuk membangun ikatan dengan Allah tidak pernah mengalami kesulitan atau kerugian dan Allah tidak meninggalkan hamba-hamba-Nya yang benar.
Allahu Akbar! [Allah Maha Besar!] Betapa besar keikhlasan dan pengabdian kedua orang ini (yaitu Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat ‘Umar [ra]). “Keduanya dimakamkan di kuburan yang diberkati sehingga jika Musa dan Isa masih hidup hari ini, mereka akan mengungkapkan keinginan tulus mereka untuk dimakamkan di sana. Namun, kedudukan seperti itu tidak pernah diberikan hanya karena kerinduan atau keinginan yang tulus; melainkan, ini merupakan rahmat abadi yang dianugerahkan dari Tuhan Pemilik Kehormatan. Dan rahmat ini hanya diberikan kepada mereka yang diberikan nikmat Ilahi-Nya sejak awal. Inilah orang-orang yang pada akhirnya ditutupi oleh kain karunia ilahi.”[50]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) kemudian bersabda, “Apa pun yang menjadi Muslim (orang Islam) sepeninggal Nabi Muhammad (saw) adalah karena tiga sahabat tersebut. Apapun yang Hadhrat ‘Umar (ra) capai – yang merupakan pencapaian besar – tidak dapat menutupi apa yang telah dicapai oleh ash-Shiddiq Akbar [Hadhrat Abu Bakr] (ra), karena Ash-Shiddiq Akbar (ra) yang membuka jalan menuju kesuksesan dan menghilangkan selisih pendapat yang besar. Cobaan yang harus dihadapi Hadhrat Abu Bakr (ra) pada masanya tidak pernah dihadapi oleh Hadhrat ‘Umar (ra). Oleh karena itu, [Abu Bakr] Ash-Shiddiq (ra) membuka jalan, di mana Hadhrat ‘Umar (ra) kemudian membuka pintu untuk kesuksesan lebih lanjut.”[51]
Hadhrat Maulwi Abdul Karim Sahib (ra) menulis di satu tempat sehubungan dengan keadaan hati Hadhrat Masih Mau’ud (as), kecintaan dan rasa hormat beliau kepada Rasulullah (saw) dan dua Sahabat beliau, Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat ‘Umar (ra): “Suatu ketika, seseorang yang sangat mencintai Hadhrat Masih Mau’ud (as) berkata kepada beliau, ‘Mengapa kami tidak dapat menganggap Anda memiliki derajat yang lebih tinggi daripada dua sahabat, yaitu Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat ‘Umar (ra) dan menjadi orang yang paling dekat dengan Nabi (saw)?’
Demi Allah, ketika Hadhrat Masih Mau’ud (as) mendengar hal ini, rona beliau berubah, benar-benar gelisah dan tertekan. Saya bersumpah demi Allah, Yang Maha Suci dan Yang Mulia bahwa kejadian ini semakin memperkuat iman saya kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as). Selanjutnya beliau (as) berbicara selama enam jam terus menerus dan menyampaikan pidato yang tegas. Saya melihat waktu ketika beliau mulai berpidato dan ketika mengakhirinya. Pidato tersebut berlangsung tepat enam jam, tidak kurang satu menit. Berbicara tentang suatu topik begitu lama dan terus-menerus merupakan hal yang luar biasa. Dalam pidato tersebut beliau berbicara tentang kualitas teladan dan keunggulan Nabi (saw), status beliau (as) sebagai hamba beliau (saw) dan kerendahhatian beliau, dan juga tentang keunggulan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat ‘Umar (ra).
Hadhrat Masih Mau’ud (as) kemudian bersabda, ‘Saya merasa bangga bahkan menyampaikan pujian kepada beliau-beliau dan menganggap diri saya layaknya debu di bawah kaki mereka. Keutamaan yang diberikan kepada mereka dalam aspek-aspek tertentu oleh Allah Ta’ala tidak dapat dicapai oleh orang lain sampai hari kiamat. Kapan Muhammad (saw) yang lain dapat lahir lagi di dunia ini dan kapan kesempatan seperti itu muncul lagi sehingga dapat mengkhidmati beliau (saw) seperti yang diberikan kepada Janab Syaikhain (yang mulia dua tokoh terkemuka yaitu Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat ‘Umar keduanya) ‘alaihimas salaam?’”[52]
Kisah kehidupan Hadhrat ‘Umar (ra) telah berakhir, yakni dalam khutbah. Insya Allah, dan jika Allah mengizinkan, saya akan memulai menyampaikan perihal Hadhrat Abu Bakr (ra) pada [khotbah] yang akan datang.[53]
Khotbah II
الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar (ra) Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Sumber referensi: www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab).
[1] Surah al-A’raaf, (7:200) dengan basmalah sebagai ayat pertama.
[2] Shahih al-Bukhari 4642, Kitab tentang Tafsir (كتاب التفسير), bab ayat dalam Surah al-A’raf (باب {خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ} الْعُرْفُ: الْمَعْرُوفُ); Sahih al-Bukhari 7286, Kitab berpegang teguh pada Kitab dan Sunnah (كتاب الاعتصام بالكتاب والسنة), Bab mengikuti Sunnah Nabi (باب الاِقْتِدَاءِ بِسُنَنِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم).
[3] Hadhrat Maulana Hakim Nuruddin dalam Kitab Tafsir karyanya berjudul Haqaiqul Furqaan jilid kedua halaman 122(حقائق الفرقان جلد دوم صفحہ122)
[4] Sirah ‘Umar al-Faruq karya Ibnu al-Jauzi, penerbit Maktabah Mishriyah al-Azhar (سیرت عمر بن الخطاب از ابن جوزی صفحہ165۔ مکتبہ مصریۃ الازھر). Tercantum juga dalam Siyaar A’lamin Nubala, golongan ketujuh, Yusuf bin Ya’qub (سير أعلام النبلاء » الطبقة السابعة » يوسف بن يعقوب); tercantum juga dalam Syarh Nahjul Balaghah karya Ibnu Abil Hadid (شرح نهج البلاغة – ج١٢ – ابن ابي الحديد):و روى يوسف بن يعقوب الماجشون قال قال لي ابن شهاب و لأخ لي و ابن عم لنا و نحن صبيان أحداث لا تحتقروا أنفسكم لحداثة أسنانكم فإن عمر كان إذا نزل به الأمر المعضل دعا الصبيان فاستشارهم يبتغي حدة عقولهم . Tercantum juga dalam Jami’ul Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi karya Ibnu ‘Abdil Barr (جامع بيان العلم وفضله – ابن عبد البر – ج ١ – الصفحة ٨٥): قال حدثنا يوسف بن يعقوب بن الماجشون قال قال لنا ابن شهاب ونحن نسئله لا تحقروا أنفسكم لحداثة أسنانكم فإن عمر بن الخطاب كان إذا نزل به الأمر المعضل دعا الفتيان فاستشارهم يتبع حدة عقولهم .
[5] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab al-Maghazi (كتاب المغازي), Bab perang Uhud (باب غزوة أحد); Sahih Al-Bukhari, Kitab-ul-Jihad Was Sair, Hadith no. 3039; Fathul Bari syarh atau uraian atas Shahih al-Bukhari(فتح الباري شرح صحيح البخاري) karya Ibn Hajar al-Asqalani (أحمد بن علي بن حجر العسقلاني). (صحیح البخاری کتاب الجہاد باب ما یکرہ من التنازع والاختلاف فی الحرب……حدیث نمبر 3039)
[6] Hadits Malik, Kitab tentang Zakat (كتاب الزكاة), Nomor 536 (مؤطا امام مالک کتاب الزکاۃ باب ماجاء فی أخذ الصدقات والتشدید فیھاحدیث 31 دار احیاء التراث العربی بیروت 1985ء).
[7] Ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبري ط العلميه (صفحة 871) versi Urdu (الطبقات الکبریٰ لابن سعد الجزء الثالث صفحہ 147 ذکر استخلاف عمر مطبوعہ دارا لاحیاء التراث العربی بیروت 1996ء).
[8] Usdul Ghabah (ماخوذ از اسدالغابۃ فی معرفۃ الصحابۃ جلد3صفحہ667 عمربن الخطاب مطبوعہ دارالفکر بیروت لبنان2003ء). Tercantum juga dalam Kitab Ma’rifatus Sunan wal Aatsar karya al-Baihaqi (معرفة السنن والآثار – البيهقي – ج ٤ – الصفحة ٥٢٧), bab demam (باب الحمى). Abu Bakar Ahmad bin Al Husain bin Ali bin Musa Al Khurasani yang sangat terkenal dengan sebutan Al Baihaqi rahimahullah. Baihaq adalah sejumlah perkampungan yang secara geografis masuk wilayah Naisabur di Iran. Beliau terlahir pada bulan Sya’ban tahun 384 H yang bertepatan dengan tahun 994 Masehi. Kitab ini memaparkan berbagai hukum Islam dengan berasaskan Al Kitab dan as–Sunnah. Di dalamnya terdapat deskripsi pendapat para ulama beserta dengan tarjih (pilah-pilih berbagai opini dan menetapkan suatu pilihan) beliau terhadap berbagai bab. Kitab al-Umm karya Imam asy-Syafi’i (كتاب الأم للشافعي), bahasan ihyail mawaat (إحياء الموات), bahasan demam (من قال لا حمى إلا حمى من الأرض الموات وما يملك به الأرض وما لا يملك وكيف يكون الحمى)
[9] Tafsir-e-Kabir Vol. 8, pp. 314-315.
[10] Surah al-Muthaffifin (المطفّفين) ayat 24 dengan basmalah sebagai ayat pertama.
[11] Tafsir-e-Kabir Vol. 8, pp. 314-315 (ماخوذ از تفسیر کبیر جلد 8 صفحہ315، 314).
[12] Muwatha Imam Malik, Kitab penghakiman (كتاب الأقضية), Book 36, Hadith 1403. (مؤطا امام مالک کتاب الاقضیۃ باب الترغیب فی القضاء بالحق روایت نمبر 1425مکتبہ دار الفکر 2002ء)
[13] Tercantum dalam Kanzul ‘Ummal (کنز العمال کتاب الفضائل مجلد السادس روایت نمبر 36005 دار الکتب العلمیۃ بیروت). Tercantum juga dalam Kitab Futuh Mishr wa akhbariha (فتوح مصر وأخبارها) karya (أبو القاسم عبد الرحمن بن عبد الله عبد الحكم بن أعين القرشي المصري), penerbit (دار النشر / دار الفكر – بيروت – 1416هـ/ 1996م): فأتى رجل من أهل مصر كما حدثنا عن أبي عبدة عن ثابت البناني وحميد عن أنس إلى عمر بن الخطاب فقال يا أمير المؤمنين عائذ بك من الظلم قال عذت معاذا قال سابقت ابن عمرو بن العاص فسبقته فجعل يضربني بالسوط ويقول أنا ابن الأكرمين فكتب عمر إلى عمرو يأمره بالقدوم عليه ويقدم بابنه معه فقدم فقال عمر أين المصري خذ السوط فاضرب فجعل يضربه بالسوط ويقول عمر اضرب ابن الأليمين قال أنس فضرب فوالله لقد ضربه ونحن نحب ضربه فما أقلع عنه حتى تمنينا أنه يرفع عنه ثم قال عمر للمصري ضع على ضلعة عمرو فقال يا أمير المؤمنين إنما ابنه الذي ضربني وقد اشتفيت منه فقال عمر لعمرو مذكم تعبدتم الناس وقد ولدتهم أمهاتهم أحرارا قال يا أمير المؤمنين لم أعلم ولم يأتني . Ibnu Abdul Hakam (lahir ca 803 – meninggal dunia 871 M di al-Fustat berdekatan Kaherah atau Kairo) atau nama penuhnya, Abu’l Qasim Abdul Rahman bin Abdullah bin Abdul Hakam bin Aʿyan al-Qurasyi al-Masri ( Bahasa Arab: أبو القاسم عبد الرحمن بن عبد الله بن عبد الحكم بن اعين القرشي المصري ), ialah seorang sejarawan Muslim Mesir. Beliau menghasilkan karya yang dikenali sebagai Penaklukan Mesir dan Maghreb dan al-Andalus (Bahasa Arab: فتح مصر و المغرب و الاندلس). Karya ini dianggap sebagai satu daripada kerja pensejarahan Arab Islam yang terawal yang kekal sehingga ke hari ini.
[14] Ath-Thabaqaat al-Kubra (طبقات الکبری – جلد 3) karya Muhammad ibn Sa’d (محمد بن سعد): عَنْ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ : أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِمَالٍ فَجَعَلَ يَقْسِمُهُ بَيْنَ النَّاسِ ، فَازْدَحَمُوا عَلَيْهِ ، فَأَقْبَلَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ يُزَاحَمُ النَّاسَ حَتَّى خَلَصَ إِلَيْهِ ، فَعَلَاهُ عُمَرُ بِالدِّرَّةِ ، وَقَالَ . Tercantum juga dalam Ansaabul Asyraaf (أنساب الأشراف 1-8 ج7) karya (أبي الحسن أحمد بن يحيى بن جابر/البلاذري). Tercantum juga dalam al-Khulafaa-ur Rasyidin (الخلفاء الراشدون) karya ‘Abdul Wahaab an-Najjaar (عبد الوهاب النجار). Syarh Nahjul Balaghah (شرح نهج البلاغة ج : 12 ص : 96): و روى راشد بن سعد أن عمر أتي بمال فجعل يقسم بين الناس فازدحموا عليه فأقبل سعد بن أبي وقاص يزاحم الناس حتى خلص إليه فعلاه عمر بالدرة و قال إنك أقبلت لا تهابن سلطان الله في الأرض فأحببت بأن أعلمك أن سلطان الله لا يهابك .
[15] Fashlul Khithab fi Sirah Amiril Mu-minin ‘Umar (ra) ibnil Khaththab, syakhshiyatuhu wa ‘ashruhu karya Ali Muhammad Muhammad Ash Shalabi (فصل الخطاب في سيرة امير المؤمنين عمر بن الخطاب شخصيته وعصره بقلم علي محمد محمد الصلابي. Tercantum juga dalam al-jarimah wal ‘Uqubah fil Fiqhil Islami (الجريمة والعقوبة في الفقه الإسلامي – الجريمة)
[16] Kanzul ‘Ummal, jilid 5, 683.
[17] Ath-thabaqaat al-Kubra ibn Sa’d, jilid 3, h. 293. Tercantum juga dalam Muhadharaat fi Siratil Khulafa-ir Rasyidin (محاضرات في سيرة الخلفاء الراشدين رضي الله تعالى عنهم) karya Abul Yasar Rasyid Khus (أبو اليسر رشيد كهوس)
[18] Tarikh Madinah (تاريخ المدينة المنورة (أخبار المدينة النبوية) 1-2 ج1) karya Ibnu Syabah an-Nuwairi (ابي زيد عمر النميري البصري/ابن شبة): حدثنا عفان قال، حدثنا مبارك، عن الحسن قال، قال رجل لعمر رضي الله عنه: اتق الله يا أمير المؤمنين، فوالله ما الامر كما قلت. قال: فأقبلوا على الرجل فقالوا: لا تألت أمير المؤمنين. فلما رآهم أقبلوا على الرجل قال: دعوهم فلا خير فيهم إذا لم يقولوها لنا، ولا خير فينا إذا لم تقل لنا . Abu Yusuf al-Qadhi (Murid Abu Hanifah) dalam Kitab al-Kharaj (أبو يوسف القاضي بسنده في كتابه الخراج): حدثني أبو بكر بن عبد الله الهذلي عن الحسن البصري أن رجلا قال لعمر بن الخطاب: اتق الله يا عمر وأكثر عليه فقال له قائل: اسكت فقد أكثرت على أمير المؤمنين. فقال له عمر: دعه، لا خير فيهم إن لم يقولوها لنا، ولا خير فينا إن لم نقبل وأوشك أن يرد على قائلها . Manaqib ‘Umar (ra) karya Ibnu al-Jauzi (ابن الجوزي في “مناقب أمير المؤمنين عمر بن الخطاب ” ص 155): وعن الحسن رحمه الله قال: كان بين عمر بن الخطاب – رضوان الله عليه – وبين رجل كلام في شيء، فقال له الرجل: اتق الله يا أمير المؤمنين، فقال له رجل من القوم: أتقول لأمير المؤمنين اتق الله، فقال له عمر – رضوان الله عليه -: دعه فليقلها لي نعم ما قال. ثم قال عمر: لا خير فيكم إذا لم تقولوها ولا خير فينا إذا لم نقبلها منكم . Al-Baladuri dalam Ansabul Asyraf (أخرجه البلاذري في كتابه أنساب الأشراف (ج10/ص313) المدائني): عن محمد بن صالح عن مجالد عن الشعبي قال: قال رجل لعمر بن الخطاب: اتق الله يا أمير المؤمنين، فقال له رجل: أتقول هذا لأمير المؤمنين؟ فقال عمر: دعه فلا خير فيهم إذا لم يقولوها، ولا خير فينا إذا لم تقل لنا .
[19] Fashlul Khithab fi Sirah Amiril Mu-minin ‘Umar (ra) ibnil Khaththab, syakhshiyatuhu wa ‘ashruhu karya Ali Muhammad Muhammad Ash Shalabi (فصل الخطاب في سيرة امير المؤمنين عمر بن الخطاب شخصيته وعصره بقلم علي محمد محمد الصلابي.
[20] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري – الطبري – ج ٣ – الصفحة ١٩٦): ابن إسحاق قال وحدثني القاسم بن قزمان رجل من أهل مصر عن زياد بن جزء الزبيدي أنه حدثه أنه كان في جند عمرو بن العاصي حين افتتح مصر والإسكندرية قال افتتحنا الإسكندرية في خلافة عمر بن الخطاب في سنة إحدى وعشرين أو سنة اثنين وعشرين قال لما افتتحنا باب اليون تدنينا قرى الريف فيما بيننا وبين الإسكندرية قرية فقرية حتى انتهينا إلى بلهيب قرية من قرى الريف يقال لها قرية الريش وقد بلغت سبايانا المدينة ومكة واليمن قال فلما انتهينا إلى بلهيب أرسل صاحب الإسكندرية إلى عمرو بن العاصي انى قد كنت أخرج الجزية إلى من هو أبغض إلى منكم معشر العرب لفارس والروم فإن أحببت أن أعطيك الجزية على أن ترد علي ما أصبتم من سبايا أرضى فعلت قال فبعث إليه عمرو بن العاصي أن ورائي أميرا لا أستطيع أن أصنع أمرا دونه فإن شئت أن أمسك عنك وتمسك عني حتى أكتب إليه بالذي عرضت علي فإن هو قبل ذلك منك قبلت وإن أمرني بغير ذلك مضيت لامره قال فقال نعم قال فكتب عمرو بن العاصي إلى عمر بن الخطاب قال وكانوا لا يخفون علينا كتابا كتبوا به يذكر له الذي عرض عليه صاحب الإسكندرية قال وفي أيدينا بقايا من سبيهم ثم وفقنا ببلهيب وأقمنا ننتظر كتاب عمر جاءنا فقرأه علينا عمرو وفيه أما بعد فإنه جاءني كتابك تذكر أن صاحب الإسكندرية عرض أن يعطيك الجزية على أن ترد عليه ما أصيب من سبايا أرضه ولعمري لجزية قائمة تكون لنا ولمن بعدنا من المسلمين أحب إلي من فئ يقسم ثم كأنه لم يكن فاعرض على صاحب الإسكندرية أن يعطيك الجزية على أن تخيروا من في أيديكم من سبيهم بين الاسلام وبين دين قومه فمن اختار منهم الاسلام فهو من المسلمين له ما لهم وعليه ما عليهم ومن اختار دين قومه وضع عليه من الجزية ما يوضع على أهل دينه فأما من تفرق من سبيهم بأرض العرب بلغ مكة والمدينة واليمن فإنا لا نقدر على ردهم ولا نحب أن نصالحه على أمر لا نفى له به قال فبعث عمرو إلى صاحب الإسكندرية يعلمه الذي كتب به أمير المؤمنين قال فقال قد فعلت قال فجمعنا ما في أيدينا من السبايا واجتمعت
[21] Tafsir al-Qurthubi (تفسير القرطبي جـ3صـ 278): قال أَسْلَمُ (مولى عمر): سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ لِعَجُوزٍ نَصْرَانِيَّةٍ: أَسْلِمِي أَيَّتُهَا الْعَجُوزُ تَسْلَمِي، إِنَّ اللَّهَ بَعَثَ مُحَمَّدًا بِالْحَقِّ. قَالَتْ: أَنَا عَجُوزٌ كَبِيرَةٌ وَالْمَوْتُ إِلَيَّ قَرِيبٌ! فَقَالَ عُمَرُ: اللَّهُمَّ اشْهَدْ، وَتَلَا (لَا إِكْراهَ فِي الدِّينِ) . al-‘Anf Bainan Nataij wal asbab (العنـف بيـن النتائج والأسباب) karya Yusuf ‘Abdul Ghani Kiwan (يوسف عبد الغنى كيوان).
[22] Fashlul Khithab fi Sirah Amiril Mu-minin ‘Umar (ra) ibnil Khaththab, syakhshiyatuhu wa ‘ashruhu karya Ali Muhammad Muhammad Ash Shalabi (فصل الخطاب في سيرة امير المؤمنين عمر بن الخطاب شخصيته وعصره بقلم علي محمد محمد الصلابي) .
[23] Syarh Nahjul Balaghah (شرح نهج البلاغه – نسخه متنی) karya Ibnu Abil Hadid (ابن ابی الحدید معتزلی| نمايش فراداده ، افزودن یک نقد و بررسی): و روى الاحنف بن قيس، قال: قدمنا على عمر بفتح عظيم نبشره به، فقال: اين نزلتم؟ قلنا: فى مكان كذا، فقام معنا حتى انتهينا الى مناخ ركابنا، و قد اضعفها الكلال، و جهدها السير، فقال: هلا اتقيتم الله فى ركابكم هذه؟ اما علمتم ان لها عليكم حقا! هلا ارحتموها؟ هلا حللتم بها فاكلت من نبات الارض! فقلنا: يا اميرالمومنين، انا قدمنا بفتح عظيم، فاحببنا التسرع اليك و الى المسلمين بما يسرهم. Jami’ul Ahadits (جامع الأحاديث) karya Imam as-Suyuthi (جلال الدين السيوطي), nomor 31414: عن الأحنف بن قيس قال : فلما دفعنا إلى عمر نبت عيناه عنهم ووقعت عيناه على فأشار إلى بيده ، فقال : أين نزلتم قلت : فى مكان كذا وكذا ، فقال : أرنى يدك ، فقام معنا إلى مناخ ركابنا ، فجعل يتخللها ببصره ثم قال : ألا اتقيتم الله فى ركابكم هذه أما علمتم أن لها عليكم حقا ألا قصدتم بها فى المسير ألا حللتم عنها فأكلت من نبت الأرض فقلنا : يا أمير المؤمنين إنا قدمنا بفتح عظيم فأحببنا أن نسرع إلى أمير المؤمنين وإلى المسلمين بالذى يسرهم .
[24] ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبرى ط العلمية (3/217): عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يُدْخِلُ يَدَهُ فِي دَبَرَةِ الْبَعِيرِ وَيَقُولُ: إِنِّي لَخَائِفٌ أَنْ أُسْأَلَ عَمَّا بِكَ . Versi Urdu (الطبقات الکبریٰ باب ذکر استخلاف عمر جلد 3صفحہ 217 دارالعلمیۃ بیروت). Di dalam Lisanul Arab (لسان العرب (4/273-) disebutkan: قال ابن منظور: “والدَّبَرَةُ، بِالتَّحْرِيكِ: قَرْحَةُ الدَّابَّةِ وَالْبَعِيرِ، وَالْجَمْعُ دَبَرٌ وأَدْبارٌ مِثْلُ شَجَرَةٍ وشَجَرٍ وأَشجار. ودَبِرَ البعيرُ، بِالْكَسْرِ، يَدْبَرُ دَبَراً، فَهُوَ دَبِرٌ وأَدْبَرُ، والأُنثى دَبِرَةٌ ودَبْراءُ، وإِبل دَبْرَى، وَقَدْ أَدْبَرَها الحِمْلُ والقَتَبُ، وأَدْبَرْتُ الْبَعِيرَ فَدَبِرَ؛ وأَدْبَرَ الرجلُ إِذا دَبِرَ بَعِيرَهُ، وأَنْقَبَ إِذا حَفِيَ خُفُّ بَعِيرِهِ. وَفِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ: كَانُوا يَقُولُونَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذا بَرَأَ الدَّبَرُ وَعَفَا الأَثَرُ؛ الدَّبَرُ، بِالتَّحْرِيكِ: الْجُرْحُ الَّذِي يَكُونُ فِي ظَهْرِ الدَّابَّةِ .
[25] Kanzul ‘Ummal (کنز العمال کتاب الفضائل مجلد السادس صفحہ 287 روایت نمبر35966 دار الکتب العلمیۃ بیروت). Tercantum juga dalam Mukhtashar Kitab al-Muwafaqat baina ahlil bait wash Shahabah li-Isma’il bin Zanjuwaih as-Samaan (مختصر كتاب الموافقة بين أهل البيت والصحابة لإسماعيل بن زنجويه السمان, Ringkasan Kitab al-Muwafaqat baina ahlil bait wash Shahabah karya Isma’il bin Zanjawaih as-Samaan) karya Abul Qasim Jarullah Mahmud bin ‘Umar (ra) az-Zamakhsyari (أبي القاسم جار الله محمود بن عمر/الزمخشري). Isma’il bin Zanjawaih as-Samaan bernama Abu Sa’d Isma’il bin ‘Ali al-Husain bin Muhammad bin az-Zanjuwaih ar-Razi as-Samaan (أَبُو سَعْدٍ إِسْمَاعِيْلُ بنُ عَلِيِّ بنِ الحُسَيْنُ بنُ مُحَمَّدِ بنِ زَنْجُوَيْه الرَّازِيّ، السَّمَّان) hidup pada 371-445 Hijriyah atau 981-1053 M. Mahmud bin ‘Umar (ra) az-Zamakhsyari sendiri hidup pada 467 H atau 1075 M hingga 537 H atau 1144 M. Tercantum juga dalam karya adz-Dzahabi, Tarikhul Islam.
[26] Musnad al-Faruq (مسند الفاروق ت إمام) karya Ibnu Katsir (ابن كثير), (كتاب الزكاة أثر في قيام الإمام على نعم الصدقة، وخدمتها، وحياطتها). Kanzul ‘Ummal (كنز العمال في سنن الأقوال والأفعال), bab (الباب الثاني {في الإمارة وتوابعها} من قسم الأفعال), bahasan (ترغيب الإمارة), nomor 14307:عن الفضل بن عميرة أن الأحنف بن قيس قدم على عمر بن الخطاب في وفد من العراق قدموا عليه في يوم صائف شديد الحر وهو متحجز بعباءة يهنأ (يهنأ: يقال هنأت البعير أهنؤه: إذا طليته بالهناء، وهو القطران. النهاية (5/277) ب) بعيرا من إبل الصدقة فقال: يا أحنف ضع ثيابك وهلم وأعن أمير المؤمنين على هذا البعير فإنه من إبل الصدقة فيه حق اليتيم والأرملة والمسكين، فقال رجل يغفر الله لك يا أمير المؤمنين فهلا تأمر عبدا من عبيد الصدقة فيكفيك هذا؟ فقال عمر: يا ابن فلانة وأي عبد هو أعبد مني ومن الأحنف بن قيس هذا، إنه من ولي أمر المسلمين فهو عبد للمسلمين يجب عليه لهم ما يجب على العبد لسيده من النصيحة وأداء الأمانة . Versi Urdu (کنز العمال جلد 3 صفحہ 303 کتاب الخلافہ مع الامارۃ/قسم الافعال حدیث14303 مطبوعہ دار الکتب العلمیۃ بیروت).
[27] Sahih al-Bukhari 45, Kitab keimanan (كتاب الإيمان), bab bertambahnya dan berkurangnya iman (باب زِيَادَةِ الإِيمَانِ وَنُقْصَانِهِ)
[28] Tafsir Kabir jilid 4 halaman 6 (تفسیر کبیر جلد 4 صفحہ6).
[29] Hilyatul Auliya (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء), golongan awal dari kaum Tabi’in (من الطبقة الأولى من التابعين), ‘Aamir bin Syurahil asy-Sya’bi (عامر بن شراحيل الشعبي), soal Qiyas (كراهيته القياس والحط على أهله), (حديث رقم 6065). Versi Urdu (حلیۃ الاولیاء جلد 4صفحہ 304-305۔ روایت 5841۔ مکتبۃ الایمان۔ الطبعۃ الاولیٰ 2007). Tercantum juga dalam ash-Shahih al-Musnad min Aatsarish Shahabah fiz Zuhd war Raqaiq wal akhlaq wal adab (الصحيح المسند من آثار الصحابة في الزهد والرقائق والأخلاق والأدب), bahasan (ذكر الأخبار الواردة في الحث على اتباعهم رضي الله عنهم). Asy Sya’by (wafat 104 H). Namanya adalah Aamir bin Syurahil, ia seorang ulama tabi’in yang terkemuka. Tabi’in artinya menjadi Muslim di zaman para Sahabat Nabi (saw) dan mengalami persahabatan dengan mereka tapi tidak pernah mengalami zaman Nabi (saw) atau tidak pernah menjumpai Nabi (saw) dalam keadaan beriman. Ia lahir pada pemerintahan Khalifah ‘Umar bin Khaththab yaitu pada tahun 17 H, ia seorang imam ilmu, penghapal hadits, dan ahli dalam bidang fiqh. Ia meriwayatkan hadits dari Ali bin Abu Thalib, Abu Hurairah, Ibnu abbas, Aisyah, Ibnu ‘Umar (ra) dan lain lainnya. Ia adalah guru besarnya Abu Hanifah.
[30] Tarikh Madinah Dimasyq karya Ibnu Asakir (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ١٩ – الصفحة ١٨٢). Versi Urdu (تاریخ دمشق الکبیر لابن عساکر مجلد 11۔ جزء 21 صفحہ 128۔ دار احیاء التراث العربی الطبعۃ الاولیٰ 2001ء). Qabidhah bin Jabir (قَبِيصَةُ بْنُ جَابِرِ بْنِ وَهْبِ بْنِ مَالِكِ بْنِ عَمِيرَةَ بْنِ حُذَارِ بن مرة بن الحارث ابن سعد بْنِ ثَعْلَبَةَ بْنِ دُودَانَ بْنِ أَسَدِ بْنِ خزيمة) digelari Abul ‘Alaa (أَبُو العلاء) bapaknya dia yang tinggi sedangkan al-a’laa (الاعلى) berarti yang lebih tinggi atau puncak https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%84%D8%A7%D8%A1/
Di dalam karya Al-Bukhārī (d. 870 CE) – al-Tārikh al-kabīr (البخاري – التاريخ الكبير) juga disebutkan mengenai pengalamannya bersahabat dengan Sahabat Nabi lainnya yaitu Thalhah, ‘Amru bin al-’Ashh, Mu’awiyah dan Ziyad: عَنْ عَبْد الملك (بْن عمير) عَنْ قبيصة قَالَ ألا أخبركم عمن صحبت؟ صحبت عمر بن ابن الْخَطَّاب فما رأيت أحدا أفقه فِي دين اللَّه تعالى ولا أحسن مدارسة منه وصحبت طلحة بْن عُبَيْد اللَّه فما رأيت أحدا أعطى للجزيل فِي غير مسألة منه وصحبت عَمْرو بْن العاص فما رأيت أحدا أنصع ظرفا أو أبين ظرفا منه وصحبت مُعَاوِيَة فما رأيت أحدا أكثر حلما منه (ولا اكرم) ولا ابعد اناة منه وصحبت زياد فما رأيت أحدا (أحلم ولا) أكرم جليسا منه ولا أخصب رفيقا منه وصحبت المغيرة بْن شُعْبَة فلو أن مدينة لَها أَبْوَاب لا يخرج من كل باب منها الا بالمكر لخرج منها كلَها . Beberapa penulis Tarikh menggolongkan Qabidhah sebagai Sahabat, namun Ibnul Atsir menggolongkannya Tabi’in awal.
[31] Kitab Mahdhush Shawab fi Fadhail Amiril Mukminin ‘Umar bin Khathab, Madinah: Al-Jami’ah Al-Islamiyah, cet. 1, 1420 H (كتاب محض الصواب في فضائل أمير المؤمنين عمر بن الخطاب) karya Yusuf bin Hasan bin Ahmad bin Hasan bin Abdul Hadi Ash-Shalihi (يوسف بن حسن بن أحمد بن حسن ابن عبد الهادي الصالحي، جمال الدين، ابن المبرد الحنبلي) atau dikenal dengan Jamaluddin Ibnu al-Mibrad (ابن المِبْرَد) Al-Hambali. Beliau lahir di Damaskus, akhir tahun 840/Juni 1437 atau tahun setelah itu dan wafat pada 16 Muḥarram 909/14 September 1503. Hasan al-Bashri ialah seorang Tabi’in yang lahir pada 21 Hijriyyah (tiga tahun sebelum akhir hidup Khalifah ‘Umar). ia mengalami kehidupan banyak Sahabat Nabi (saw), menimba ilmu dan mendapat doa-doa dari mereka termasuk Khalifah ‘Umar (ra) (ra). Hasan al-Bashri bukanlah anak seorang raja ataupun kalangan tokoh terpandang melainkan hanya seorang anak dari ayahnya, Yasar, seorang hamba sahaya (budak) milik Zaid bin Tsabit. Sedangkan, ibunya adalah hamba sahaya milik Ummu Salamah, istri Rasulullah (saw). Sejak kecil, Hasan al-Bashri telah mendapatkan berkah doa dan kasih sayang dari para kekasih Allah. Pernah suatu ketika di masa balita, ia ditinggal bekerja oleh ibunya. Iba melihat Hasan al-Bashri kecil menangis maka Ummu Salamah, istri Rasulullah saw pun menimangnya serta menyusuinya. Begitu juga, ketika ia masih kecil ‘Umar bin Khattab mendoakannya, “Ya Allah, ajarkanlah ilmu agama kepada anak kecil ini dan buatlah umat mencintainya” (Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah], 2007, vol. IV: 565). Sumber: https://islam.nu.or.id/hikmah/biografi-hasan-al-bashri-ulama-besar-murid-para-sahabat-nabi-06ZX4
[32] Kitab Manaqib Amiril Mukminin ‘Umar ibn al-Khaththab (مناقب امير المؤمنين عمر بن الخطاب) karya Ibnu al-Jauzi (جمال الدين أبي الفرج عبد الرحمن/ابن الجوزي). tercantum juga dalam (الكتاب المصنف في الأحاديث و الآثار – 6) dan Kanzul ‘Ummal (كنز العمال – ج 18 – المرشد 2).
[33] Tarikh ath-Thabari, Kisah Syura (تاريخ الطبري قصة الشورى): عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ، فَإِنَّا لَنَسِيرُ لَيْلَةً، وَقَدْ دَنَوْتُ مِنْهُ، إِذْ ضَرَبَ مُقَدِّمَ رَحْلِهِ بِسَوْطِهِ، وَقَالَ . Versi Urdu tercantum pada (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ 577، دارالکتب العلمیۃ بیروت لبنان، 2012ء). Sajak ini adalah kutipan atau pengulangan dari sajak gubahan Abu Thalib, uwak Nabi Muhammad (saw) yang ia tujukan kepada kaum Quraisy sebagaimana tercantum dalam Sirah Ibnu Hisyam (السيرة النبوية لابن هشام), (شِعْرُ أَبِي طَالِبٍ فِي اسْتِعْطَافِ قُرَيْشٍ).
[34] Fashlul Khithab fi Sirah Amiril Mu-minin ‘Umar (ra) ibnil Khaththab, syakhshiyatuhu wa ‘ashruhu karya Ali Muhammad Muhammad Ash Shalabi (فصل الخطاب في سيرة امير المؤمنين عمر بن الخطاب شخصيته وعصره بقلم علي محمد محمد الصلابي), pasal bahasan keempat, pada bahasan ‘Umar, Syair dan para Penyair, halaman 240-241. Syair atau sajak dikutip dari Kitab al-Muntazhim (نام کتاب : المنتظم في تاريخ الأمم و الملوك نویسنده : ابن الجوزي جلد : 2 صفحه : 374) dan al-Bidayah (البدايه والنهايه ط هجر (صفحة 1567). (تاريخ الطبري), tahun ke-23 (ثلاث وعشرين), (شَيْءٌ مِنْ سِيَرِهِ مِمَّا لَمْ يَمْضِ ذِكْرُهُ)
[35] (كتاب التاسع من فوائد أبي عثمان البحيري) karya (البَحِيْرِيُّ): عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ .
[36] Al-Jahidz dalam bukunya ‘Al-Bayaanu Wat Tabyiin’ bahasan pidato al-Hajjaj (خطبة للحجاج). Versi kalimat dalam Kitab (زهر الأكم في الأمثال و الحكم
المؤلف : اليوسي) ialah: وقال عمر رضي الله عنه : من أفضل ما أعطيته العرب الأبيات يقدمها الرجل أمام حاجته فيستعطف بها الكريم ويستنزل بها اللئيم. Tercantum juga dalam Kitab al-Kamil fil Lughah wal Adab (كتاب الكامل في اللغة والأدب) atau “Kitab sempurna perihal bahasa dan Sastra” karya Muhammad bin Yazid al-Mibrad (محمد بن يزيد المبرد), (المجلد الأول ) , (نبذ من أقوال الحكماء).
[37] Koleksi puisi/syair. Tafsir al-Baidhawi pada Surah an-Nahl (تفسير البيضاوي » تفسير سورة النحل » تفسير قوله تعالى أو يأخذهم على تخوف فإن ربكم لرؤف رحيم). Tercantum juga dalam Tafsir al-Basith (التفسير البسيط لأبي الحسن علي بن أحمد بن محمد الواحدي) karya Abul Hasan ‘Ali bin Ahmad bin Muhammad al-Wahidi (أبي الحسن علي بن أحمد بن محمد الواحدي). ). Tercantum juga dalam Tafsir al-Biqa’i (تفسير البقاعي (نظم الدرر في تناسب الآيات والسور) 1-8 ج4) karya Burhanuddin Abul Hasan Ibrahim bin ‘Umar bin Hasan ar-Ribat bin Ali bin Abi Bakar asy-Syafi’i al-Biqa’I (برهان الدين أبي الحسن إبراهيم بن عمر/البقاعي).
[38] Fashlul Khithab fi Sirah Amiril Mu-minin ‘Umar (ra) ibnil Khaththab, syakhshiyatuhu wa ‘ashruhu karya Ali Muhammad Muhammad Ash Shalabi (فصل الخطاب في سيرة امير المؤمنين عمر بن الخطاب شخصيته وعصره بقلم علي محمد محمد الصلابي), pasal bahasan keempat, pada bahasan ‘Umar, Syair dan para Penyair, halaman 240-241. . Versi Urdu pada (ماخوذ از سیرۃ عمر بن الخطاب شخصیت اور کارنامے (مترجم) از علی محمد صلابی صفحہ 336 مطبوعہ مکتبۃ الفرقان مظفر گڑھ پاکستان). Tercantum juga dalam Al-Itqaan (الإتقان في علوم القرآن) karya Imam as-Suyuthi pada bab berhujah atas kata-kata ganjil dalam Al-Qur’an dan kesulitannya dengan Syair (في الِاحْتِجَاجِ عَلَى غَرِيبِ الْقُرْآنِ وَمُشْكِلِهِ بِالشِّعْرِ).
[39] Al-Jahidz (الجاحظ) dalam bukunya ‘Al-Bayaanu Wat Tabyiin’ (البيان والتبيين), (باب من القول في القوافي الظاهرة واللفظ الموجز من ملتقطات كلام النساك), (باب آخر في حسن البيان). beliau hidup pada 775–868. beliau sastrawan bahasa Arab dan termasuk Imam di bdiang Sastra Arab di masa ‘Abbasiyah.
[40] al-Faruq oleh Syibli Nu’mani bahasa Urdu (ماخوذ ازالفاروق از شبلی نعمانی ادارہ اسلامیات 2004ء); Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama atau Matahari para Ulama, Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan dari bahasa Urdu ke bahasa Arab (سيرة الفاروق لشمس العلماء سلبي النعماني مترجم إلى العربية), penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir), bahasan pada bab tadzuqusy syi’r.
[41] Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama atau Matahari para Ulama, Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan dari bahasa Urdu ke bahasa Arab (سيرة الفاروق لشمس العلماء سلبي النعماني مترجم إلى العربية), penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir), bahasan pada bab hifzhisy syi’r. Al-Jahidz dalam bukunya ‘Al-Bayaanu Wat Tabyiin’ (البيان والتبيين – الجاحظ) (أبي عثمان عمرو بن بحر), (ما يجب علىالاباء للابناء), (الناشر : دار صعب – بيروت) penerbit Dar Shu’b, Beirut, 1968. al-Jahizh bernama lengkap Abu ‘Utsman ‘Amru bin Bahr al-Kinānī al-Baṣri (أبو عثمان عمرو بن بحر الكناني البصري) hidup pada 781 hingga Desember 868/Januari 869. Ia merupakan sastrawan Arab dan memiliki karya-karya dalam bidang literatur Arab, biologi, zoologi, sejarah, filsafat, psikologi, Teologi Mu’taziliyah, dan polemik-polemik politik religi. al-‘Umdah fi Mahasinisy Syi’ri wa adabihi (العمدة في محاسن الشعر وآدابه) karya Ibnu Rasyiq al-Qairawani (ابن رشيق القيرواني) yang wafat pada 463 Hijriyyah.: روي عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه أنه كتب إلى أبي موسى الأشعري رضي الله عنه قائلاً.
[42] Al-Jahidz dalam bukunya ‘Al-Bayaanu Wat Tabyiin’: أما بعد فعَلِّموا أولادكم السباحة والفروسية ورَوُّوهم ما سار من المثل وما حَسُنَ مِنَ الشِّعْر . Tercantum juga dalam Zahrul Akm fil Amtsal wal Hakm (زهر الأكم في الأمثال و الحكم) karya al-Yunusi (اليوسي). Al-Yunusi lahir pada 1630
[43] Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama atau Matahari para Ulama, Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan dari bahasa Urdu ke bahasa Arab (سيرة الفاروق لشمس العلماء سلبي النعماني مترجم إلى العربية), penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir), bahasan pada bab idkhaalisy syi’ri fit Ta’lim (memasukkan pelajaran bersyair dalam pembelajaran).
[44] Al-Faruq oleh Syibli Nu’mani (ماخوذ از الفاروق از شبلی نعمانی صفحہ 345مکتبہ الحرمین لاہور 1431ھ)
[45] Ayyamush Shulh (Hari-Hari Perdamaian) karya Bani Silsilah Ahmadiyah (Pendiri Ahmadiyah) Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as), Ruhani Khazaain, jilid 14 halaman 265.
[46] Maktuubaat Ahmad (surat-surat Ahmad) jilid 2 halaman 151, maktuub (surat) nomor 2 untuk Hadhrat Khan Sahib Muhammad Ali Khan, cetakan Rabwah. Maktuubaat Ahmad ialah surat-surat karya Bani Silsilah Ahmadiyah (Pendiri Ahmadiyah) Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) yang beliau kirim kepada sahabat-sahabat atau kenalan beliau dan kemudian dikompilasi (dikumpulkan) oleh Sahabat beliau. Ada empat volume Maktuubaat dan setiap volume bisa lebih dari 400 halaman.
[47] Sirrul Khilaafah (سر الخلافة) atau Rahasia Khilafat, buku dalam bahasa Arab karya Bani Silsilah Ahmadiyah (Pendiri Ahmadiyah) Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as).
[48] Sirrul Khilaafah (سر الخلافة) atau Rahasia Khilafat, buku dalam bahasa Arab karya Bani Silsilah Ahmadiyah (Pendiri Ahmadiyah) Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as).
[49] Sirrul Khilaafah (سر الخلافة) atau Rahasia Khilafat, buku dalam bahasa Arab karya Bani Silsilah Ahmadiyah (Pendiri Ahmadiyah) Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as).
[50] Sirrul Khilaafah (سر الخلافة) atau Rahasia Khilafat, buku dalam bahasa Arab karya Bani Silsilah Ahmadiyah (Pendiri Ahmadiyah) Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as).
[51] Malfuzhaat (ملفوظات جلد 6 صفحہ414-415).
[52] Malfuzhaat (ملفوظات جلد 1 صفحہ 326)
[53] Sumber referensi Al-Fadhl International 17 Desember 2021 (الفضل انٹرنیشنل 17 دسمبر 2021ء صفحہ 5تا9) https://www.alislam.org/urdu/khutba/2021-11-26/