Ingatan kepada Tuhan yang dilandasi dengan rasa kasih yang juga disebut shalat, sesungguhnya telah menjadi makanan rohani bagi mereka dimana mereka tidak akan bisa hidup tanpanya. Mereka menjaganya secara ketat seperti seorang petualang yang berada di tengah gurun menjaga persediaan makanan dan minuman mereka. Sang Maha Pemurah telah menentukan kondisi ini sebagai tahapan terakhir dari kemajuan rohani seorang manusia.
Ingatan kepada Allah swt yang dilambari dengan rasa kasih yang secara amal disebut sebagai shalat, sesungguhnya bagi seorang pengabdi telah menjadi substitusi dari makanan. Ia berulangkali berusaha mengorbankan raga jasmaninya guna memperoleh makanan rohani ini dan tidak bisa hidup tanpanya seperti ikan tak mungkin hidup tanpa air. Ia menganggap keterasingan dari Tuhan-nya meski hanya sekejap sebagai maut itu sendiri. Jiwanya selalu bersujud di pintu gerbang Tuhan dan ia memperoleh kegembiraan dalam Tuhan-nya. Ia merasa yakin bahwa jika ia terpisah dari zikir Ilahi meski hanya sekejap maka ia akan mati.
Sebagaimana makanan menimbulkan kesegaran di dalam tubuh dan memperkuat indera jasmani seperti daya penglihatan dan pendengaran, begitu pula dengan zikir Ilahi yang dilandasi dengan kasih dan pengabdian akan memperkuat fitrat kerohanian manusia. Dengan kata lain, matanya akan mampu melihat kasyaf yang halus secara jelas, telinganya akan mendengar firman Allah Swt dan lidahnya menjadi fasih memberikan ekspresi pada setiap kata-kata secara jernih dan memikat hati. Ia akan sering melihat ru’ya (mimpi) hakiki yang kemudian dipenuhi sebagaimana halnya fajar yang merekah. Karena hubungannya yang demikian dekat kepada Allah Swt maka ia akan memperoleh banyak ru’ya hakiki yang menyampaikan kabar suka kepadanya. Inilah tahapan dimana seorang mukminin merasa bahwa kasih Allah cukup baginya sebagai sumber makanan yang menghidupi. Kelahiran baru ini mewujud setelah kerangka kerohanian dalam dirinya telah siap, dimana ruh yang menyala karena kasih Allah akan turun ke kalbu seorang mukminin dan kemudian mengangkatnya dengan tenaga penuh di atas derajat kemanusiaan biasa.
Tahapan inilah yang secara kerohanian disebut sebagai makhluk ciptaan baru. Pada tahapan demikian maka Allah Swt akan menyebabkan nyala dahsyat dari kasih-Nya yang disebut sebagai ruh, untuk turun ke kalbu seorang mukminin yang menghapus segala kegelapan, kekotoran dan kelemahan dirinya. Dengan hembusan nafas ruh tersebut maka kecantikan si mukminin yang tadinya amat rendah, lalu merona mencapai klimaksnya dan ia memperoleh keagungan rohani dimana segala kecupatan pandangan akan lenyap sama sekali dan si mukminin merasa ada ruh baru memasuki dirinya yang tadinya tidak pernah ada. Ia kemudian memperoleh rasa ketenangan dan kepuasan hakiki melalui ruh tersebut. Rasa kasihnya akan membeludak seperti air mancur dan mengairi pohon pengabdiannya. Api yang tadinya panas suam-suam, pada tahapan ini akan membara yang membakar segala jerami dan serpihan ego dirinya serta membawanya di bawah kendali total Ilahi yang mencakup keseluruhan anggota tubuhnya. Kemudian sebagaimana layaknya sepotong besi yang dipanaskan di api yang ganas akan merona merah seperti api itu sendiri, seorang mukminin akan memanifestasikan tanda-tanda dan tindakan Ilahi sebagaimana juga besi yang menyala marong memanifestasikan efek dan fitrat dari api itu sendiri.
Tidak berarti bahwa sang mukminin tersebut lalu menjadi Tuhan. Adalah karakteristik kasih Ilahi yang telah mengaruniakan warna-Nya atas segala sesuatu yang nyata, sedangkan sifat batiniah dan kelemahan dirinya tetap ada. Pada tahapan ini maka Tuhan menjadi “makanan” bagi si mukminin yang akan memelihara kelangsungan hidupnya, dan Tuhan menjadi air yang jika diminum akan menyelamatkannya dari kematian serta menjadi angin sejuk semilir yang menenteramkan hati sang mukminin. Pada tahapan demikian tidaklah salah jika dikatakan secara kiasan bahwa Tuhan telah masuk ke dalam diri si mukminin yang meresapi seluruh wujud dirinya dan menjadikan kalbunya sebagai tahta Wujud-Nya. Ia selanjutnya akan melihat tidak lagi dengan mata rohani dirinya tetapi melalui ruh Ilahi, mendengar melalui ruh tersebut, berbicara dengannya, berjalan bersamanya dan mengalahkan para musuhnya melalui bantuannya. Pada tahap demikian ia menjadi lenyap dan ruh Ilahi mengaruniakan kepadanya hidup baru melalui penjelmaan kasih-Nya terhadap dirinya. Ia kemudian menjadi gambaran dari ayat:
ثُمَّ أَنشَأناهُ خَلقًا آخَرَ ۚ فَتَبارَكَ اللَّهُ أَحسَنُ الخالِقينَ
“Kemudian Kami tumbuhkan dia menjadi mahluk lain. Maka Maha Berberkat Allah, sebaik-baik Pencipta.” (QS Almukminun [23]: 15)
(Barahin Ahmadiyah, bag. V, sekarang dicetak dalam Rohani Khazain, vol. 21, hal. 212-216, London, 1984).
Khalid, A.Q (Penerjemah). 2017. Inti Ajaran Islam Bagian Kedua, Ekstrak dari Tulisan, Pidato, Pengumuman dan Wacana Masih Mau’ud dan Imam Mahdi, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Hal. 282-284. Jakarta: Neratja Press