Kitab Suci Al-Quran mengutarakan ada dua macam kebun atau taman. Satu di antaranya adalah kebun yang dikaruniakan dalam kehidupan ini juga dan itulah yang disebut sebagai kenikmatan shalat.
Shalat bukanlah suatu beban yang memberatkan tetapi merupakan hubungan tetap di antara kondisi pengabdian manusia dan pemeliharaan Tuhan. Allah swt sudah menetapkan shalat sebagai sarana untuk membentuk hubungan demikian dan mengisinya dengan kenikmatan yang menjadikan terpeliharanya hubungan tersebut. Sebagai contoh, jika sepasang manusia yang terikat hubungan pernikahan kemudian tidak mendapati kenikmatan dalam hubungan mereka, maka besar kemungkinan hubungan itu tidak akan berumur lama. Begitu juga jika tidak ada kenikmatan dalam shalat maka hubungan di antara hamba dengan Tuhan-nya akan menjadi terganggu.
Berdoalah di balik pintu yang tertutup agar hubungan tersebut tetap terpelihara dan menjadi sumber kenikmatan. Hubungan antara pengabdian manusia dengan pemeliharaan Tuhan bersifat sangat dalam dan penuh nur yang hakikatnya tidak bisa diuraikan dalam kata-kata. Sampai kenikmatan seperti itu bisa dialami maka manusia tetap saja berada dalam keadaan yang mendekati hewaniah. Meski kenikmatan seperti itu mungkin hanya pernah dialami dua atau tiga kali, namun masih lebih baik dari mereka yang buta dan tidak pernah mengalaminya sama sekali seperti kata ayat:
وَمَن كانَ في هٰذِهِ أَعمىٰ فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعمىٰ وَأَضَلُّ سَبيلًا
“Barangsiapa buta di dunia ini, maka di akhirat pun ia akan buta juga.” (QS. 17, Bani Israil: 73).
(Malfuzat, vol. VI, hal. 371).
***
Istighfar mengandung makna bahwa nur yang telah diperoleh dari Allah swt akan bisa dipelihara dan dikembangkan terus. Untuk tujuan ini ditetapkan shalat agar lima kali dalam sehari nur itu bisa dicari dari Tuhan. Mereka yang memiliki wawasan menyadari bahwa shalat merupakan pengagungan keruhanian dan bahwa satu-satunya cara penyelamatan bagi sakit ruhani adalah permohonan doa berulang di dalam shalat yang dilambari dengan hasrat dan luluhnya hati yang mencair.
(Malfuzat, vol. VII, hal. 124-125).
***
Jika seorang penyembah merasa bahwa ia telah kehilangan hasrat dan kenikmatan yang biasanya ia rasakan dalam shalat, janganlah yang bersangkutan menjadi lesu dan patah hati. Ia harus memulihkan kembali dengan hasrat menggebu segala sesuatu yang telah hilang. Cara yang terbaik adalah dengan melakukan pertobatan, istighfar dan kesungguhan. Shalat jangan sampai ditinggalkan hanya karena merasa kurang nikmat lagi, justru karena itu harus ditimbulkan keinginan melipat-gandakan dan mengintensifkannya agar kenikmatan tersebut bisa kembali. Seorang pecandu alkohol tidak akan berhenti minum karena merasa tidak bisa lagi mabuk, malah ia akan terus minum sampai kembali memperoleh rasa nikmat yang dicarinya dalam minuman keras.
Karena itu seorang penyembah yang merasakan shalatnya tidak lagi menyenangkan, malah harus melipat-gandakan shalatnya dan jangan sampai menjadi jemu karenanya. Pada akhirnya rasa tawar yang dirasakan akan kembali menjadi kenikmatan. Seseorang yang menggali sumur untuk mencari air harus terus menggali sampai ia menemukan air. Mereka yang berputus asa dan berhenti sebelum mencapai permukaan air malah akan kehilangan semuanya sama sekali, sedangkan mereka yang bersiteguh dan tidak mengenal lelah, pasti akan memperoleh air pada akhirnya. Guna memperoleh kenikmatan di dalam shalat yang diperlukan adalah istighfar, shalat secara dawam dan teratur, mendoa secara tekun, hasrat hati dan keteguhan batin.
(Malfuzat, vol. V, hal. 432).
***
Senjata guna mencapai keunggulan adalah melalui istighfar, pertobatan, pengetahuan yang mendalam akan agama, menegakkan Keagungan Allah swt serta melaksanakan shalat lima waktu secara teratur. Shalat adalah kunci kepada pengabulan doa. Berdoalah melalui shalat dan jangan melalaikannya. Jauhi segala kejahatan yang berkaitan dengan kewajiban terhadap Tuhan dan hak dari sesama mahluk.
(Malfuzat, vol. V, hal. 303).
***
Bagaimana mengukur derajat rasa takut seseorang kepada Tuhan-nya bisa dilihat dari kedawaman shalatnya. Aku yakin bahwa orang yang melaksanakan shalat secara rajin serta tidak mundur darinya karena takut atau sakit atau pun cobaan duniawi, sesungguhnya ia meyakini sepenuhnya keberadaan Allah swt. Hanya saja tingkat keimanan demikian lebih banyak ditemukan pada orang-orang miskin. Hanya sedikit dari orang kaya yang memperoleh karunia ini.
(Izalai Auham, Amritsar, Riyaz Hind Press, 1308 H; Ruhani Khazain, vol. 3, hal. 540, London, 1984).
***
Baik shalat mau pun puasa merupakan bentuk peribadatan. Puasa besar pengaruhnya atas tubuh sedangkan shalat mempengaruhi kalbu secara langsung. Shalat menghasilkan kondisi terbakar dan luluhnya hati, karena itu merupakan bentuk ibadah yang lebih tinggi daripada puasa. Namun puasa mengembangkan kemampuan untuk menerima kasyaf.
(Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Malfuzat, vol. VII, hal. 379).
Khalid, A.Q (Penerjemah). 2017. Inti Ajaran Islam Bagian Kedua, Ekstrak dari Tulisan, Pidato, Pengumuman dan Wacana Masih Mau’ud dan Imam Mahdi, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Jakarta: Neratja Press, hal. 294-291