Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Rasulullah saw. – Dimulainya Pembicaraan mengenai Perjanjian dengan Kaum Quraisy
- Bagian I: Peristiwa-peristiwa Sebelum Perjanjian Hudaibiyah
- Bagian II: Dimulainya Pembicaraan mengenai Perjanjian dengan Kaum Quraisy
- Bagian III: Perundingan yang Terjadi pada Perjanjian Hudaibiyah
- Bagian IV: Menjawab Tuduhan Terkait Perjanjian Hudaibiyah
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 22 November 2024 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أَشْھَدُ أَنْ لَّا إِلٰہَ إِلَّا اللّٰہُ وَحْدَہٗ لَا شَرِيْکَ لَہٗ وَأَشْھَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُہٗ وَ رَسُوْلُہٗ
أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ۔
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُلِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾إِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ إِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ﴿۷﴾
Masih membahas mengenai Perjanjian Hudaibiyah. Dalam hal ini disebutkan tentang kedatangan Budail bin Waraqah Al-Khuza’i dan utusan-utusan Quraisy lainnya kepada Rasulullah saw.. Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menjelaskan rinciannya sebagai berikut:
Ketika Rasulullah saw. tiba di lembah Hudaibiyah, beliau saw. berkemah di dekat mata air. Setelah para sahabat mendirikan kemah, seorang pemimpin terkemuka dari suku Khuza’ah bernama Budail bin Waraqah yang tinggal di daerah sekitar datang bersama beberapa pengikutnya untuk menemui Rasulullah saw.. Ia memberitahu beliau saw. bahwa para pemimpin Makkah siap berperang dan tidak akan pernah mengizinkan beliau saw. memasuki Makkah. Rasulullah saw. bersabda, “Kami datang bukan untuk berperang, melainkan hanya dengan niat untuk umrah. Sangat disayangkan, meskipun api perang telah menghancurkan Quraisy Makkah, mereka masih belum jera. Aku bersedia untuk membuat perjanjian agar mereka menghentikan perang melawanku dan membiarkanku bebas untuk menyampaikan [pesanku] kepada orang lain. Namun jika mereka tetap menolak usulanku ini dan tetap memilih untuk berperang, aku bersumpah demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya, aku tidak akan mundur sampai aku mengorbankan jiwaku di jalan ini atau Allah memberikan kemenangan kepadaku. Jika aku binasa dalam menghadapi mereka, maka berakhirlah kisahku, tetapi jika Allah menurunkan kemenangan kepadaku, dan agama yang aku bawa meraih keunggulan, maka orang-orang Makkah pun tidak akan perlu ragu untuk beriman.”
Budail bin Waraqah sangat terkesan dengan pidato beliau saw. yang tulus dan penuh keperihan ini. Budail meminta izin kepada beliau saw. untuk pergi ke Makkah guna menyampaikan pesan beliau saw. dan berusaha mendamaikan. Beliau saw. memberinya izin, dan Budail pergi ke Makkah bersama beberapa anggota sukunya.
Ketika Budail bin Warqa tiba di Makkah, ia lalu mengumpulkan orang-orang Quraisy dan mengatakan kepada mereka, “Aku baru saja menemuinya yakni Muhammad Rasulullah saw. dan beliau saw. telah memberikan sebuah usulan, izinkan aku menyampaikan hal itu kepada Anda sekalian.” Orang-orang Quraisy yang emosional dan tidak bertanggung jawab mengatakan, “Kami tidak mau mendengar apapun dari orang itu.” Yakni mereka tidak mau mendengar apapun dari Rasulullah saw.. Akan tetapi orang-orang yang bijak dan terpercaya berkata, “Ya! Beritahu kami usulan apa itu.” Maka Budail mengulangi usulan yang disampaikan Rasulullah saw.
Mendengar ini, seorang bernama Urwah bin Mas’ud, yang merupakan pemimpin yang sangat berpengaruh dari suku Tsaqif dan saat itu berada di Makkah, berdiri dan berbicara kepada Quraisy dalam gaya Arab kuno, “Wahai kaumku! Bukankah aku ini seperti halnya ayah bagi kalian?” Mereka menjawab “Ya, benar.” Kemudian ia bertanya “Bukankah kalian seperti halnya anak bagiku?” Mereka menjawab “Ya, kami seperti halnya anak.”
Kemudian Urwah bertanya, “Apakah kalian tidak mempercayai aku?” Quraisy menjawab, “Sama sekali tidak.” Dia berkata, “Kalau begitu pendapatku adalah bahwa orang ini (yakni Muhammad saw.) telah menyampaikan usulan yang baik kepada kalian. Kalian sebaiknya menerima usulan ini dan izinkan aku untuk menemui Muhammad saw. untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut.” orang-orang Quraisy berkata, “Silakan pergi dan bicaralah.”
Urwah pergi menghadap Rasulullah saw.. Dalam rinciannya tertulis bahwa Urwah datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Muhammad saw.! Aku telah meninggalkan Ka’ab bin Lu’ay dan Amir bin Lu’ay di perairan Hudaibiyah bersama unta-unta betina yang menyusui. Mereka telah memanggil Ahabisy (Ahabisy adalah suku-suku sekutu Quraisy yang mengambil sumpah di kaki gunung Habsyi, maka mereka disebut Ahabisy) dan para pengikut mereka. Mereka mengenakan kulit macan (maksudnya orang-orang kafir itu siap untuk berperang) dan mereka telah bersumpah tidak akan meninggalkan jalan yang terletak antara Anda dan Baitullah, sampai Anda (Rasulullah saw.) membinasakan mereka.”
Ia melanjutkan, “Sesungguhnya Anda dan orang-orang yang bersama Anda menghadapi dua pilihan: Apakah Anda akan menghancurkan kaum Anda sendiri – dan belum pernah terdengar ada orang yang menghancurkan kaumnya sendiri dan keluarganya – atau orang-orang yang bersama Anda akan mempermalukan Anda.” Ia mencoba menakut-nakuti dengan mengatakan bahwa pengikut-pengikut beliau saw. adalah orang-orang pengecut.
Ia berkata, “Demi Allah, wajah-wajah yang kulihat bersama Anda, menurutku mereka hanya akan melarikan diri.” Ia sangat berprasangka buruk terhadap para sahabat. Dalam riwayat lain disebutkan, “Di antara mereka ada yang wajahnya tidak kukenal, tidak kukenal nasab dan akhlaknya. Aku yakin mereka akan melarikan diri dan meninggalkan Anda.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Seolah-olah aku melihat bahwa jika Anda berperang dengan Quraisy, mereka akan menyerahkan Anda kepada Quraisy dan mereka akan menahan Anda. Jadi, Apalagi yang lebih buruk dari itu?” Demikianlah ia berusaha menakut-nakuti Rasulullah saw..
Mendengar ini, Hz Abu Bakar r.a. yang duduk di belakang Rasulullah saw. menjadi marah dan berkata, “Pergilah dan ciumlah berhala Lattamu (yakni, sembah saja berhalamu) dan jangan bicara seperti itu kepada kami. Apakah kami akan meninggalkan beliau saw.?” Urwah bertanya, “Siapa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah Abu Bakar.” Urwah berkata, “Demi Allah, jika bukan karena satu kebaikanmu padaku, aku pasti akan membalas perkataanmu.”
Disebutkan bahwa Hz. Abu Bakar r.a. pernah berbuat baik kepada Urwah. Tertera bahwa Urwah pernah meminta bantuan untuk membayar diyat (denda pembunuhan). Urwah pernah membunuh seseorang, lalu ia harus membayar diyatnya. Ketika ia meminta bantuan, ada yang memberi dua atau tiga unta, sedangkan Hz Abu Bakar r.a. membantu dengan sepuluh unta. Inilah kebaikan yang pernah dilakukan Hz. Abu Bakar r.a. kepada Urwah.
Kemudian Urwah mulai berbicara dengan Rasulullah saw., dan ketika berbicara ia menyentuh janggut Rasulullah saw.. Hz. Mughirah bin Syu’bah r.a. berdiri di dekat Rasulullah saw. dengan membawa pedang dan mengenakan helm besi. Ketika Urwah mengulurkan tangannya untuk menyentuh janggut Rasulullah saw., Hz. Mughirah r.a. menepis tangannya dengan ujung pedang dan berkata, “Jauhkan tanganmu dari janggut Rasulullah saw. sebelum pedang ini sampai padamu, karena tidak pantas bagi seorang musyrik menyentuh janggut beliau saw..” Urwah mengangkat kepalanya dan bertanya, “Siapa ini?” Orang-orang menjawab, “Mughirah bin Syu’bah.” Dalam satu riwayat, Rasulullah saw. bersabda, “Ini keponakanmu, Mughirah bin Syu’bah.”
Urwah berkata kepada Mughirah, “Wahai pengkhianat! Bukankah aku telah berusaha untuk memperbaiki pengkhianatanmu?” Ini merujuk pada kejadian di masa jahiliyah ketika Hz. Mughirah r.a. pergi bersama beberapa orang, membunuh mereka dan mengambil harta mereka, lalu datang dan masuk Islam. Nabi saw. bersabda, “Mengenai Islam, aku menerimanya, tapi mengenai harta, aku tidak ada urusan dengannya.” Ini adalah riwayat Bukhari; namun bagaimanapun, Hz. Mughirah r.a. mungkin telah membantu dalam masalah ini, atau Urwah yang telah membantu.
Kemudian Urwah mengamati para sahabat Rasulullah saw. dengan saksama. Kapanpun Rasulullah saw. mengeluarkan air ludah beliau saw., para sahabat mengambilnya dengan tangan mereka dan mengusapkannya ke wajah dan dada mereka. Ketika beliau saw. memerintahkan sesuatu, mereka segera melaksanakannya. Ketika beliau saw. berwudhu, mereka berebut untuk mendapatkan bekas air wudu beliau. Mereka tidak membiarkan sehelai rambut pun jatuh melainkan mengambilnya. Para sahabat merendahkan suara mereka di hadapan beliau saw., dan mereka tidak memandang beliau dengan tatapan tajam karena penghormatan mereka.
Ketika Urwah selesai berbicara dengan Rasulullah saw., beliau saw. menyampaikan hal yang sama kepada Urwah seperti yang disampaikan kepada Budail bin Waraqah dan mengusulkan adanya perdamaian untuk suatu waktu tertentu.
Kemudian Urwah kembali kepada Quraisy dan berkata, “Wahai kaumku, aku telah pergi sebagai utusan ke singgasana raja-raja seperti Kaisar, Kisra, dan Najasyi. Demi Allah! Aku tidak pernah melihat seorang raja yang ditaati seperti halnya Muhammad saw. ditaati oleh para sahabatnya.” Ia yang tadinya datang untuk menakut-nakuti Rasulullah saw. dengan orang-orang kafir, setelah melihat pemandangan ini menjadi terkesan dan menyampaikan hal yang sama kepada orang-orang kafir. Ia berkata, “Demi Allah! Aku tidak pernah melihat seorang raja yang para pengikutnya menghormatinya seperti para sahabat Muhammad saw. menghormati Muhammad saw.. Demi Allah, tidak ada raja yang sepertinya. Ketika ia meludah, para sahabatnya mengambilnya dengan tangan mereka lalu mengusapkannya ke wajah dan dada mereka. Ketika ia memerintah, mereka bergegas melaksanakannya. Ketika ia berwudu, mereka berebut untuk mendapatkan air wudunya, dan mereka tidak membiarkan sehelai rambutnya jatuh melainkan mengambilnya. Para sahabat berbicara dengan suara pelan di hadapannya, dan karena penghormatan, mereka tidak memandang langsung ke arahnya, dan tidak seorang pun berbicara tanpa izin. Ketika ia memberi izin, barulah para sahabatnya berbicara, dan jika tidak diberi izin, semua tetap diam.
Urwah berkata, “Ia (yakni Muhammad saw.) telah menawarkan sesuatu yang baik kepada kalian, maka terimalah. Sungguh, aku telah memperingatkan kaumku dan ketahuilah bahwa jika kalian bermaksud menggunakan pedang terhadapnya, mereka juga akan menggunakan pedang melawan kalian. Jika kalian menghalangi pemimpin mereka (yakni Rasulullah saw.), maka aku telah melihat kaumnya, yang sama sekali tidak peduli atas apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Demi Allah! Aku juga melihat wanita-wanita bersamanya yang tidak akan ia serahkan kepada kita. Wahai kaumku, ubahlah pendapat kalian, pergilah kepadanya dan terimalah apa yang ia tawarkan.” Yakni terimalah usulan perdamaian dari Rasulullah saw. atau untuk umrah.
Ia melanjutkan, “Aku mengharapkan kebaikan bagi kalian, dan aku khawatir kalian tidak akan mendapat bantuan untuk melawan orang yang datang untuk mengunjungi Baitullah. Mereka membawa hewan kurban yang akan disembelih lalu pulang.” Orang-orang Quraisy berkata, “Wahai Abu Yafur (yakni panggilan untuk Urwah), janganlah bicara seperti itu. Apakah ada orang lain selain dirimu yang mengatakan hal ini? Sebaliknya, kami akan menyuruhnya kembali pulang pada tahun ini dan ia bisa datang tahun depan.” Urwah berkata, “Kalian akan menghadapi kesulitan yang besar.” Kemudian Urwah dan pengikutnya pergi ke arah Thaif.
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. juga menerangkan kejadian-kejadian di Perjanjian Hudaibiyah. Dalam penjelasannya, beliau r.a. bersabda:
Ketika Rasulullah saw. melakukan perjalanan untuk tawaf di Ka’bah, orang-orang kafir Makkah setelah mendengar berita ini mengirim salah satu pemimpin mereka kepada beliau saw. untuk menyampaikan agar beliau saw. tidak datang untuk tawaf tahun ini. Pemimpin itu sampai kepada beliau saw. dan mulai berbicara. Saat berbicara, ia menyentuh janggut beberkat beliau saw., meminta agar beliau saw. tidak melakukan tawaf kali ini dan menundanya sampai tahun depan.
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menjelaskan: Di masa itu, menyentuh janggut bukanlah karena sikap kurang beradab, melainkan merupakan kebiasaan orang-orang Asia bahwa ketika ingin membujuk seseorang, mereka menyentuh janggut orang lain atau menyentuh janggut mereka sendiri sambil berkata, “Lihatlah, aku adalah orang tua dan pemimpin kaum, turutilah perkataanku.” Maka dari itu pemimpin itu pun menyentuh janggut Rasulullah saw. sebagai bentuk permohonan.
Melihat ini, seorang sahabat maju ke depan dan memegang gagang pedangnya, lalu berkata kepada pemimpin itu, “Tarik kembali tangan kotormu.” Pemimpin itu mengenali orang yang memegang gagang pedang dan berkata, “Bukankah engkau orang yang pernah kutolong pada kesempatan itu?” Mendengar ini, sahabat itu terdiam dan mundur.
Pemimpin Quraisy itu kembali menyentuh janggut beliau saw.. Para sahabat berkata bahwa mereka sangat marah melihat orang itu menyentuh janggut beliau saw., tetapi saat itu mereka tidak melihat seorang pun yang tidak pernah ditolong oleh pemimpin itu. Artinya, pemimpin kafir ini telah berbuat baik kepada banyak orang dan saat itu para sahabat berharap ada di antara mereka yang tidak pernah menerima pertolongannya.
Tiba-tiba, seseorang dari kami maju ke depan yang berpakaian baju besi dari kepala hingga kaki, dan dengan penuh semangat berkata kepada pemimpin itu, “Singkirkan tangan kotormu!”. Beliau adalah Hz. Abu Bakar r.a. Ketika pemimpin itu mengenali beliau, ia berkata, “Ya, aku tidak bisa mengatakan apa-apa kepadamu karena aku tidak pernah berbuat baik kepadamu.”
Kemudian Hulais bin Alqamah Kan’ani, pemimpin Ahabisy – telah saya sampaikan sebelumnya, Ahabisy adalah kabilah-kabilah sekutu Quraisy yang mengambil sumpah di Kaki Gunung Habsyi – ia berkata kepada Quraisy, “Izinkan aku menemui Muhammad saw..” Orang-orang Quraisy mengizinkannya. Ketika ia melihat Rasulullah saw. dari ketinggian, Rasulullah saw. bersabda, “Ini adalah orang yang berasal dari suku yang menghormati hewan-hewan kurban,” dan beliau saw. memerintahkan para sahabat untuk memperlihatkan hewan-hewan kurban kepadanya.
Para sahabat lalu memperlihatkan kepadanya. Ketika ia melihat hewan-hewan kurban di tepi lembah dengan kalung di leher mereka yang bulunya sudah rontok karena lamanya kalung itu terpasang, dan hewan-hewan itu bersuara berulang kali. Para sahabat menyambutnya dengan mengucapkan talbiyah. Mereka telah tinggal di sana selama setengah bulan. Para sahabat itu tidak memakai wewangian, dan rambut mereka kusut. Ketika ia melihat ini, ia berkata, “Subhanallah! Tidak pantas orang-orang ini dihalangi dari Baitullah.” Hatinya langsung luluh dan berkata, “Allah Taala tidak mengizinkan jika suku-suku Lakhm, Juzam, Qindah, dan Himyar dapat berhaji sementara putra Abdul Muthalib dihalangi. Tidaklah pantas orang-orang Quraisy menghalangi mereka dari Baitullah. Demi Tuhan Ka’bah, Quraisy akan binasa! Sesungguhnya orang-orang ini datang untuk umrah,” Ia berkata membela kaum Muslimin. Mendengar ini, Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah! Wahai saudara Bani Kinanah, memang seperti itulah adanya.” Beliau saw. memberikan jawaban ini kepadanya.
Ia begitu terkesan hingga kembali kepada Quraisy dan berkata, “Aku telah melihat sesuatu yang menjadikan tidak pantas untuk menghalangi kaum Muslimin. Aku melihat hewan-hewan kurban yang bulunya rontok karena lamanya kalung di leher mereka. Rambut orang-orang telah kusut, dan semua ini karena mereka ingin tawaf di Baitullah. Demi Allah, kami tidak membuat perjanjian dengan kalian untuk hal ini,” Ia berkata kepada orang-orang kafir, “dan kita tidak sepakat untuk menghalangi orang yang ingin menghormati dan menunaikan hak Baitullah, yang ingin membawa hewan kurban ke tempatnya. Demi Zat yang menguasai jiwaku, berikanlah mereka jalan hingga sampai ke Kabah atau aku akan pergi membawa pengikutku meninggalkan kalian. Berikanlah mereka izin untuk melakukan umrah”
Orang-orang Quraisy berkata, “Diamlah wahai Hulais, agar kami bisa memaksakan syarat-syarat kami kepada mereka.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Quraisy berkata, “Duduklah, kau hanya orang Arab pedalaman yang tidak tahu apa-apa. Apa yang kau dengar dan lihat dari Muhammad saw. hanyalah tipu daya.” Na’ūżubillāh.
Dalam perjalanan ini disebutkan tentang diperkenankannya mencukur kepala dalam keadaan ihram untuk Hz. Ka’ab bin Ujrah r.a.. Rinciannya dijelaskan sebagai berikut: Hz. Ka’ab bin Ujrah r.a. meriwayatkan: “Kami sedang bersama Rasulullah saw. di Hudaibiyah. Saat itu kami dalam keadaan ihram, lalu kami dikepung oleh kaum musyrikin. Saat itu Rambut saya panjang dan kutu-kutu pun berjatuhan ke wajah. Rasulullah saw. lewat dan bertanya, ‘Apakah kutu-kutu di kepala mengganggu Anda?’ Saya menjawab ‘Ya.’ Beliau saw. bersabda, ‘Aku tidak mengira penderitaanmu seberat ini.’ Beliau saw. lalu memerintahkan saya untuk mencukur kepala. Allah Taala menurunkan ayat berikut:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِۦٓ أَذًى مِّن رَّأْسِهِۦ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ
Maka barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia mencukur), maka ia harus membayar fidyah yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban. (Al-Baqarah: 197)
Jadi, Ini diperbolehkan dalam keadaan kesulitan; kepala boleh dicukur dengan membayar fidyah.
Selama peristiwa ini, disebutkan juga tentang Quraisy yang mengutus Mikraz bin Hafs sebagai utusan. Seperti disebutkan sebelumnya, berbagai orang datang kepada Rasulullah saw. sebagai utusan dengan izin Quraisy. Mikraz bin Hafs meminta kepada Quraisy, “Izinkan aku menemui Muhammad saw..” Ketika ia datang, Rasulullah saw. melihatnya dan bersabda, “Ini adalah orang yang suka menipu,” dalam riwayat lain disebutkan kata “fajir” (orang jahat). Ketika ia menghadap Rasulullah saw., beliau saw. menyampaikan hal yang sama seperti yang disampaikan kepada Urwah dan Budail. Kemudian ia kembali kepada teman-temannya dan memberitahu mereka tentang apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw..
Disebutkan juga bahwa Rasulullah saw. mengutus Hz. Khirasy bin Umayyah kepada Quraisy. Muhammad bin Ishaq menulis: Rasulullah saw. mengutus Hz. Khirasy bin Umayyah r.a. dengan unta beliau yang bernama Tsa’lab kepada Quraisy untuk menyampaikan tujuan kedatangan kaum Muslimin. Namun Ikrimah bin Abu Jahal melukai kaki unta itu dan berniat membunuh utusan tersebut, tetapi Ahabisy mencegahnya sehingga mereka membiarkan Hz. Khirasy r.a. untuk pergi. Hz. Khirasy r.a. kembali kepada Rasulullah saw. dan melaporkan apa yang dialami olehnya.
Meskipun orang-orang Quraisy terus menimpakan keadaan yang tidak aman, Rasulullah saw. tetap bersikap pemaaf. Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menjelaskan rinciannya sebagai berikut:
Quraisy Makkah tidak berhenti sampai di situ, bahkan dalam amarah mereka yang membabi buta, mereka pun telah berniat untuk sedapat mungkin menyerang dan merugikan Rasulullah saw. dan para sahabat beliau yang saat itu sudah berjarak dekat dengan Makkah dan jauh dari Madinah. Oleh karena itu mereka lalu mengirim satu kelompok yang terdiri dari 40 atau 50 orang ke arah Hudaibiyah, dan di balik pembicaraan yang sedang berlangsung antara kedua pihak, mereka diperintahkan untuk berkeliling di sekitar perkemahan umat Islam dan supaya mencari kesempatan untuk menimpakan kerugian pada kaum Muslimin. Bahkan beberapa riwayat menyebutkan bahwa jumlah mereka adalah 80 orang dan orang-orang Quraisy juga telah berencana membunuh Rasulullah saw.. Namun, dengan karunia Allah, kaum Muslimin tetap waspada. Oleh karena itu, rencana rahasia Quraisy pun terbongkar dan mereka semua kemudian ditangkap. Meskipun kaum Muslimin sangat marah atas tindakan orang-orang Makkah ini yang dilakukan di bulan-bulan suci dan dilakukan di tempat suci, Rasulullah saw. tetap memaafkan mereka dan tidak membiarkan hal ini mengganggu upaya perdamaian.
Kemudian tertera juga peristiwa yang terkenal yakni Rasulullah saw. mengutus Hz. Utsman r.a. sebagai utusan. Imam Baihaqi meriwayatkan dari Urwah bahwa Rasulullah saw. memanggil Hz. Umar bin Khattab r.a. untuk diutus kepada Quraisy, namun Hz. Umar r.a. berkata, “Wahai Rasulullah saw., Quraisy telah mengetahui bagaimana permusuhanku, aku khawatir akan keselamatanku dan tidak ada lagi orang dari Bani Adi yang akan melindungiku.” Umar menambahkan, “Namun Wahai Rasulullah, jika engkau menginginkan, aku akan pergi.” Maka Rasulullah saw. tidak menjawabnya.
Lalu Hz. Umar r.a. berkata, “Ya Rasulullah, aku akan memberitahu engkau tentang seseorang yang lebih dihormati di Makkah daripada aku dan memiliki keluarga besar yang akan melindunginya dan ia akan menyampaikan pesan engkau, yaitu Utsman bin Affan.” Hz. Umar r.a. mengusulkan hal ini bukan karena takut. Beliau mengatakan bahwa jika beliau pergi, mereka akan membunuh beliau. Maka tujuan penyampaian pesan tidak akan tercapai dan akan menimbulkan suatu kekacauan. Oleh karena itu, lebih baik beliau tidak pergi dan Hz. Utsman r.a. yang pergi. Kemudian Rasulullah saw. memanggil Hz. Usman r.a. dan bersabda, “Pergilah kepada Quraisy, lalu sampaikanlah berita kepada mereka bahwa kita bukan datang untuk tujuan berperang, melainkan untuk melakukan umrah.
Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menjelaskan dalam rinciannya dalam Sīrat Khātamun Nabiyyīn:
Rasulullah SAW memerintahkan Hz. Utsman r.a. untuk pergi ke Makkah dan memberitahu Quraisy tentang maksud damai kaum Muslimin dan niat umrah mereka. Beliau saw. juga memberikan surat untuk para pemimpin Quraisy yang menjelaskan tujuan kedatangan beliau saw. dan meyakinkan Quraisy bahwa mereka hanya ingin beribadah dan akan pulang dengan damai setelah melakukan umrah. Beliau saw. juga meminta Hz. Utsman r.a. untuk menemui kaum Muslimin yang lemah di Makkah, menguatkan semangat mereka dan mengatakan agar bersabar karena Allah akan segera membuka pintu kesuksesan. Begitu besar keyakinan Hz. Rasulullah saw..
Hz. Utsman r.a. pergi ke Makkah membawa pesan ini dan menemui Abu Sufyan, pemimpin tertinggi Makkah saat itu yang juga kerabat dekat beliau, dalam pertemuan umum. Dalam pertemuan itu, Hz. Utsman r.a. menyampaikan surat Rasulullah saw. yang dibaca satu per satu oleh para pemimpin Quraisy, namun mereka tetap bersikeras bahwa kaum Muslimin tidak boleh masuk Makkah tahun ini. Ketika Hz. Utsman r.a. mendesak, Quraisy menawarkan agar beliau secara pribadi boleh melakukan tawaf, tetapi Hz. Utsman r.a. menolak dengan berkata, “Bagaimana mungkin aku tawaf sementara Rasulullah saw. dihalangi di luar Mekah?”
Quraisy tetap tidak mengizinkan, dan ketika Hz. Utsman r.a. bersiap pulang dengan kecewa, orang-orang jahat Makkah mendapat ide untuk menahan Hz. Utsman r.a. dan rombongannya, mungkin dengan harapan bisa mendapatkan syarat-syarat yang lebih menguntungkan dalam perjanjian damai. Akibatnya tersebar rumor di kalangan orang-orang Islam bahwa penduduk Makkah telah membunuh Hz. Utsman r.a..
Kemudian ketika berita ini sampai, di sanalah Rasulullah saw. mengambil baiat yang dikenal sebagai Baiat Ridwan. Detailnya dijelaskan bahwa:
Ketika berita syahidnya Hz. Utsman r.a. sampai ke Hudaibiyah, kaum Muslimin sangat marah karena Hz. Utsman r.a. adalah menantu Rasulullah saw. dan termasuk sahabat yang paling dihormati, dan beliau pergi ke Makkah sebagai duta Islam. Hari-hari itu adalah bulan-bulan suci dan Makkah adalah wilayah Haram[1]. Rasulullah saw. segera mengumpulkan semua Muslim di bawah pohon Babul (kikar) dan ketika para sahabat berkumpul, beliau saw. menyebutkan berita ini dan bersabda bahwa jika berita ini benar, demi Allah mereka tidak akan beranjak dari tempat ini sampai membalas kematian Hz. Utsman r.a.
Kemudian beliau saw. meminta para sahabat untuk meletakkan tangan mereka di atas tangan beliau saw. – yang merupakan cara baiat dalam Islam – dan berjanji bahwa tidak seorang pun akan melarikan diri, dan mereka akan mempertaruhkan nyawa mereka tanpa meninggalkan posisi mereka. Mendengar pengumuman ini, para sahabat bergegas untuk baiat hingga saling tindih. Setiap orang dari 1400-1500 muslim yang merupakan seluruh kekuatan Islam saat itu seolah menjual diri mereka untuk kedua kalinya kepada pemimpin tercinta mereka.
Saat baiat berlangsung, Rasulullah saw. meletakkan tangan kiri beliau saw. di atas tangan kanan beliau saw. dan bersabda, “Ini adalah tangan Utsman, karena jika ia ada di sini, ia tidak akan tertinggal dalam perjanjian suci ini, tetapi saat ini ia sedang menjalankan tugas Allah dan Rasul-Nya.”
Dalam sejarah Islam, baiat ini dikenal sebagai Baiat Ridwan, yaitu baiat di mana kaum Muslimin mendapat anugerah keridaan Allah yang sempurna. Al-Qur’an juga menyebutkan baiat ini secara khusus:
لَّقَدْ رَضِىَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ ٱلشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِى قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَٰبَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepada engkau di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat.” (Al-Fath: 19)
Para sahabat selalu menceritakan baiat ini dengan bangga dan penuh cinta, dan banyak dari mereka berkata kepada generasi berikutnya, “Kalian menghitung Fatah Makkah sebagai kemenangan besar, tapi bagi kami Baiat Ridwan-lah yang kami anggap sebagai kemenangan.” Tidak diragukan bahwa baiat ini dengan segala aspeknya adalah kemenangan yang sangat agung, bukan hanya karena membuka pintu kemenangan berikutnya, tetapi juga karena menunjukkan semangat pengorbanan Islam yang merupakan inti dari agama Muhammad saw. dalam bentuk yang sangat megah.
Para sahabat menyebut baiat ini sebagai “baiat kematian” karena merupakan janji bahwa setiap muslim akan mempertaruhkan nyawanya demi Islam dan kehormatan Islam tanpa mundur. Aspek khusus dari baiat ini adalah bahwa janji ini bukan sekadar pernyataan lisan sementara yang dibuat dalam keadaan semangat sesaat, melainkan suara dari kedalaman hati yang didukung oleh seluruh kekuatan kaum muslimin yang bersatu pada satu titik.
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. juga menyebutkan tentang berita syahidnya Hz. Utsman r.a. dan Baiat Ridwan. Dalam salah satu khutbahnya beliau r.a. menjelaskan:
Ketika berita ini sampai, Rasulullah saw. mengumpulkan para sahabat dan bersabda , “Nyawa seorang duta dijamin keamanannya di setiap kaum. Kalian telah mendengar bahwa penduduk Makkah telah membunuh Utsman. Jika berita ini benar, kita akan memasuki Makkah dengan kekuatan.” Yakni, niat awal untuk memasuki Makkah dengan damai yang bergantung pada kondisi tertentu akan berubah karena situasi telah berubah. “Barangsiapa yang siap berjanji bahwa jika kita harus maju, kita akan kembali dengan kemenangan atau gugur satu per satu di medan perang, maka baiatlah kepadaku.” Begitu beliau saw. mengumumkan ini, 1500 peziarah yang menyertai beliau saw. seketika berubah menjadi 1500 prajurit dan dengan penuh semangat mereka berebut untuk baiat kepada Rasulullah saw. lebih dulu dari yang lain. Baiat ini memiliki arti yang sangat penting dalam sejarah Islam dan disebut “Perjanjian Pohon” karena saat baiat diambil, Rasulullah saw. duduk di bawah sebuah pohon.
Berkaitan dengan Perjanjian Hudaibiyah, insya Allah akan saya jelaskan lebih detail nanti. Saat ini saya juga ingin menyampaikan, seperti yang semua ketahui, situasi di Eropa juga bergerak cepat menuju perang. Bahaya meluasnya perang Ukraina dan Rusia terus meningkat. Negara-negara Eropa lainnya mendapat ancaman. Kebanyakan pemimpin yang berakal dan cinta damai juga khawatir tentang hal ini. Bagaimanapun, berdoalah semoga Allah Taala melindungi para Ahmadi dan para pecinta perdamaian dari dampak buruk perang, dan semoga mereka tidak menggunakan senjata-senjata yang dampaknya akan mempengaruhi generasi mendatang.
Berdoalah juga untuk negara-negara Muslim agar Allah Taala memberi mereka akal dan pemahaman, dan semoga Allah Taala memberi mereka taufik untuk mengenali kebenaran.
Hal kedua yang ingin saya ingatkan adalah bahwa melihat situasi yang memburuk dengan cepat ini, meskipun sebelumnya disebabkan situasi ini orang-orang sudah memberikan perhatian, namun saya ingin mengingatkan kembali untuk berusaha menyimpan persediaan makanan untuk dua-tiga bulan di rumah. Tapi poin terpenting adalah berusaha mendekatkan diri kepada Allah, berusaha meraih ridha-Nya, berusaha membangun hubungan dengan-Nya dan berusaha meningkatkan hubungan tersebut. Semoga Allah Taala memberi kita taufik untuk ini.[2]
[1] Daerah suci sekitar Makkah dan Madinah yang mempunyai batasan tertentu, di dalamnya orang dilarang menumpahkan darah dan sebagainya; (Penerjemah)
[2] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim.