Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Rasulullah saw. – Peristiwa-peristiwa Sebelum Perjanjian Hudaibiyah
- Bagian I: Peristiwa-peristiwa Sebelum Perjanjian Hudaibiyah
- Bagian II: Dimulainya Pembicaraan mengenai Perjanjian dengan Kaum Quraisy
- Bagian III: Perundingan yang Terjadi pada Perjanjian Hudaibiyah
- Bagian IV: Menjawab Tuduhan Terkait Perjanjian Hudaibiyah
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 15 November 2024 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أَشْھَدُ أَنْ لَّا إِلٰہَ إِلَّا اللّٰہُ وَحْدَہٗ لَا شَرِيْکَ لَہٗ وَأَشْھَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُہٗ وَ رَسُوْلُہٗ
أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ۔
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُلِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾إِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ إِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ﴿۷﴾
Hari ini saya akan memulai pembahasan tentang Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian Hudaibiyah terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun 6 Hijriah, bertepatan dengan Maret 628 M. Ini juga disebut sebagai Gazwah/perang Hudaibiyah. Tentang Perang Hudaibiyah ini, Allah Taala menurunkan satu surah lengkap yaitu Surah Al-Fath. Surah ini dimulai dengan ayat-ayat yang diberkati ini. Allah Taala berfirman:
اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًاۙ لِّيَغْفِرَ لَكَ اللّٰهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْۢبِكَ وَمَا تَاَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْمًاۙ وَّيَنْصُرَكَ اللّٰهُ نَصْرًا عَزِيْزًا
Sesungguhnya Kami telah memberi engkau satu kemenangan yang nyata. Supaya Allah menutupi kelemahan engkau di masa lalu dan di masa yang akan datang, dan Dia menyempurnakan nikmat-Nya kepada engkau, dan membimbing engkau pada jalan yang lurus. Dan Allah akan menolong engkau dengan pertolongan yang unggul. (Al-Fath: 2-4)
Mengapa perang ini disebut Perang Hudaibiyah dan apa penjelasannya? Saya akan menjelaskan secara singkat. Hudaibiyah adalah nama sebuah sumur yang kemudian menjadi nama tempat tersebut. Pada awal Islam, sumur ini digunakan oleh para musafir dan jamaah haji, namun tidak ada pemukiman di sana. Hudaibiyah terletak satu marhalah atau 9 mil dari Makkah, dan jarak Makkah ke Madinah sekitar 250 mil (± 402 km). Dengan demikian, jarak dari Madinah ke Hudaibiyah sekitar 241 mil (± 388 km). Hudaibiyah adalah batas barat Tanah Suci Makkah, dan sebagian lain berpendapat, sebagian wilayahnya masuk dalam bagian Tanah suci dan sebagian lainnya di luar.
Di tempat Hudaibiyah inilah terjadi perjanjian antara kaum Muslimin dan Quraisy yang dikenal sebagai Perjanjian Hudaibiyah. Dalam riwayat, ini juga disebut Perang Hudaibiyah. Dalam riwayat lain disebut Perang Tihamah. Makkah dan wilayah sekitarnya disebut Tihamah karena cuaca yang sangat panas, sehingga tempat ini juga dinamai Tihamah.
Apa latar belakang terjadinya? Dari riwayat dan sejarah diketahui bahwa Rasulullah saw. melakukan perjalanan ke Hudaibiyah berdasarkan sebuah mimpi. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. diperlihatkan dalam mimpi, bahwa beliau saw. bersama para sahabat beliau saw. memasuki Makkah dalam keadaan aman sambil mencukur rambut mereka serta beliau saw. memasuki Baitullah dan mengambil kuncinya, dan wukuf bersama orang-orang yang berwukuf di padang Arafah. Beliau saw. tinggal di sana. Atas mimpi ini, Rasulullah saw. mengundang penduduk Arab dan orang-orang Badui di sekitarnya untuk bergabung dalam perjalanan ini.
Dalam perjalanan ini, kaum Muslimin tidak membawa perlengkapan perang selain pedang yang tersarung. Pedang pada masa itu selalu dibawa setiap orang ketika keluar rumah. Ini tidak berarti bahwa siapa yang membawa pedang pasti akan berperang. Hz. Umar r.a. bertanya kepada beliau saw., “Wahai Rasulullah saw.! Jika Anda khawatir akan bahaya dari Abu Sufyan dan pengikutnya terhadap kaum Muslimin, mengapa Anda tidak membawa perlengkapan perang?” Beliau saw. menjawab, “Karena saya pergi dengan niat umrah, saya tidak ingin membawa senjata.”
Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. dalam Sīrat Khātamun Nabiyyīn menyebutkan tentang mimpi Rasulullah saw. ini dengan menulis:
Setelah melihat mimpi ini, beliau saw. meminta para sahabatnya untuk bersiap menunaikan umrah. Umrah adalah ibadah seperti haji dalam bentuk yang lebih sederhana, di mana beberapa manasik haji ditinggalkan dan hanya melakukan tawaf di Baitullah dan berkurban. Berbeda dengan haji, umrah tidak terikat waktu tertentu dalam setahun dan dapat dilakukan kapan saja. Pada kesempatan ini, Rasulullah saw. mengumumkan kepada para sahabat bahwa karena perjalanan ini bukan untuk berperang melainkan untuk beribadah secara damai, maka umat Islam tidak perlu membawa perlengkapan senjata kecuali pedang yang tersarung sesuai kebiasaan orang Arab saat bepergian.
Mengenai jumlah kaum Muslimin dalam Perang Hudaibiyah, ada beberapa riwayat berbeda. Ada yang mengatakan sedikit lebih dari 1.000 sahabat, ada yang menyebut 1.300, ada yang mengatakan 1.400. Singkatnya, ada berbagai riwayat yang menyebutkan jumlah antara1.000 hingga 1.700.
Ketika waktu keberangkatan tiba, hewan kurban diserahkan kepada Hz. Najiyah bin Jundub Aslami yang membawanya ke Dzulhulaifah, sebuah tempat yang berjarak 6 atau 7 mil dari Madinah. Sebelum bepergian dari Madinah, Rasulullah saw. selalu menunjuk Naib/Wakil atau pemimpin sementara. Untuk perjalanan ini, menurut riwayat Ibnu Sa’d, beliau saw. menunjuk Hz. Abdullah bin Ummi Maktum r.a. sebagai Naib/Wakil beliau. Sementara menurut riwayat Ibnu Hisyam, Hz. Numailah bin Abdullah r.a. yang ditunjuk sebagai wakil, dan menurut Baladzuri menyebutkan Hz. Abu Rahm Kultsum bin Husain r.a.. Menurut sebagian riwayat, Hz. Ibnu Ummi Maktum r.a. ditunjuk sebagai imam shalat, sementara yang lain ditunjuk sebagai wakil. Ada berbagai riwayat yang berbeda.
Rasulullah saw. dan para sahabat mempersiapkan perjalanan sebagai berikut: Setelah mengumumkan, Rasulullah saw. masuk ke rumahnya, mandi, dan mengenakan dua helai pakaian dari Suhar (sebuah kota di Yaman yang terkenal dengan pakaian berkualitas). Beliau saw. keluar dan naik unta Qaswa di dekat pintunya. Dalam perjalanan ini beliau saw. ditemani istri beliau saw., Hz. Ummu Salamah r.a..
Rasulullah saw. berangkat pada awal bulan Zulkaidah hari Senin. Sesampainya di Dzulhulaifah, beliau saw. salat zuhur lalu meminta dibawakan hewan kurban yang berjumlah 70 ekor. Hewan-hewan tersebut diberi kalung dan sebagian unta diberi tanda di punuknya untuk menandai bahwa itu hewan kurban. Hz. Najiyah bin Jundub r.a. diperintahkan untuk memberi tanda pada hewan lainnya. Orang-orang Islam juga memberi semacam kalung dan tanda pada hewan mereka. Dalam perjalanan ini, kaum Muslimin membawa dua ratus kuda.
Tentang ihram Rasulullah saw., beliau saw. salat dua rakaat kemudian naik dari pintu Masjid Dzulhulaifah. Beliau saw. mengenakan ihram untuk berumrah agar orang-orang tahu bahwa beliau saw. berangkat untuk ziarah dan mengagungkan Baitullah. Beliau saw. mengucapkan talbiyah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
(Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.)
Untuk mengetahui keadaan kaum Quraisy dan memastikan tidak ada niat jahat dari mereka, Rasulullah saw. mengirim Hz. Busr bin Sufyan r.a. sebagai mata-mata. Untuk menambah kehati-hatian, beliau saw. mengirim Hz. Abbad bin Bisyr r.a. (atau menurut riwayat lain, Hz. Sa’d bin Zaid Al-Asy’ali r.a.) sebagai pemimpin 20 penunggang kuda di depan. Ketika rombongan sampai di Rauha, yang berjarak 73 kilometer dari Madinah, beliau saw. mendapat kabar bahwa ada beberapa musyrikin di lembah Ghaiqa di tepi Laut Merah yang mungkin akan menyerang orang-orang Islam secara tiba-tiba. Maka beliau saw. mengutus Hz. Abu Qatadah Al-Anshari r.a., yang belum mengenakan ihram, bersama sekelompok sahabat ke arah itu.
Ada beberapa mukjizat yang disebutkan dalam perjalanan ini. Selama perjalanan, di suatu tempat orang-orang berkumpul mengelilingi Rasulullah saw. yang sedang berwudu dari sebuah wadah air di hadapan beliau saw.. Beliau saw. bertanya “Ada apa?” Para sahabat menjawab bahwa selain air di wadah beliau saw., tidak ada seorangpun dari mereka yang memiliki air untuk minum atau berwudhu. Mendengar ini, Rasulullah saw. meletakkan tangannya ke dalam wadah tersebut. Seketika itu, air mulai memancar dari sela-sela jari beliau seperti mata air. Hz. Jabir r.a. berkata: “Kami semua minum dan berwudu. Seandainya jumlah kami 100.000 pun, air itu akan mencukupi, padahal saat itu jumlah kami hanya 1.500 orang.”
Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menerangkan kejadian ini dari kitab-kitab sejarah sebagai berikut: Selama perjalanan, ada saat ketika semua wadah kosong kecuali wadah yang sedang digunakan oleh Rasulullah saw.. Pada kesempatan ini, ketika para sahabat mengeluhkan tentang kurangnya air, beliau saw. meletakkan tangan beberkat beliau pada mulut wadah, memiringkannya, dan bersabda kepada para sahabat, “Sekarang bawalah wadah-wadah kalian dan isilah.” Perawi mengatakan bahwa saat itu air memancar dari jari-jari beliau bagaikan mata air yang mengalir, sampai semua mengambil air sesuai kebutuhan mereka dan kesulitan kaum Muslimin teratasi.
Hazrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan peristiwa ini dengan bersabda:
Dalam tingkatan liqa’ (perjumpaan dengan Allah), terkadang manusia dapat melakukan hal-hal yang tampak melampaui kemampuan-kemampuan manusiawi dan di dalamnya mengandung corak kekuatan Ilahi. Ada banyak mukjizat yang Rasulullah saw. tunjukkan hanya dari kekuatan beliau saw. sendiri, tanpa disertai suatu doa. Beberapa kali beliau saw. memperbanyak air yang hanya sedikit dalam suatu wadah dengan memasukkan jari-jari beliau saw. ke dalam air hingga seluruh pasukan, unta, dan kuda dapat meminumnya, sementara air tetap sama banyaknya. Beberapa kali dengan meletakkan tangan beliau saw. pada dua-empat roti, beliau saw. mengenyangkan rasa lapar banyak sekali orang. Terkadang beliau saw. memberkati sedikit susu dengan mulut beliau saw. yang dengannya beliau saw. memenuhi dahaga semua orang, dan terkadang beliau saw. menjadikan sumur dengan air tanah yang asin menjadi sangat manis dengan memasukkan air liur beliau di dalamnya. Terkadang beliau saw, menyembuhkan orang-orang yang terluka parah dengan meletakkan tangan beliau saw. di atasnya, dan terkadang beliau saw. memulihkan bola mata yang keluar akibat kerasnya tekanan pertempuran dengan keberkatan tangan beliau saw.. Begitu juga ada banyak pekerjaan lain yang beliau saw. lakukan dengan kekuatan diri beliau saw. yang telah melebur dengan kekuatan Ilahi yang tersembunyi.
Hazrat Masih Mau’ud a.s. dalam menerangkan tentang mukjizat-mukjizat Rasulullah saw., juga menyebutkan peristiwa-peristiwa ini. Tertera juga riwayat tentang kaum Quraisy yang mempersiapkan pasukan setelah mendengar berita perjalanan Rasulullah saw. dan tentang Rasulullah saw. yang bermusyawarah dengan para sahabat. Orang-orang Quraisy, meskipun mengetahui bahwa kaum Muslimin datang bukan untuk berperang melainkan untuk berziarah ke Baitullah, memutuskan untuk menghalangi kaum Muslimin memasuki Makkah, sehingga setiap orang yang mampu mengangkat pedang keluar untuk menghalangi kaum Muslimin. Meskipun mereka tahu bahwa kaum Muslimin tidaklah datang untuk berperang, mereka menyiapkan pasukan sebanyak 8.000 orang bersama sekutu-sekutu mereka dan berkemah di Lembah Baldah di sebelah barat Makkah. Mereka mengirim Khalid bin Walid dengan 200 penunggang kuda ke lembah Kuroul Ghamim, yang berjarak delapan mil dari Usfan, untuk menghalangi jalan Rasulullah saw. dan para sahabat.
Diriwayatkan dari Hz. Miswar bin Makhramah r.a. dan Marwan bin Hakam bahwa ketika Rasulullah saw. tiba di kolam Asytat, di dekat Usfan, mata-mata beliau saw. datang melaporkan bahwa orang-orang Quraisy telah mengumpulkan pasukan besar untuk menghadapi beliau saw. dan telah mengumpulkan berbagai kabilah. Mereka akan memerangi beliau saw. dan menghalangi beliau saw. pergi ke Baitullah. Rasulullah saw. bersabda, “Wahai manusia! Berilah aku saran. Apakah menurut kalian aku harus menyerang keluarga dan anak-anak orang-orang yang ingin menghalangi kita pergi menuju Baitullah? Dan jika mereka menyerang kita, kita akan meninggalkan mereka dalam kekalahan.”
Hz. Abu Bakar r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, Anda berangkat dengan niat mengunjungi Baitullah, Anda tidak berniat untuk menghadapi atau memerangi siapapun. Maka dari itu teruslah menuju Baitullah. Barangsiapa menghalangi kita, kita akan memeranginya.” Maksudnya, kita harus melanjutkan perjalanan kita. Hz. Usaid bin Hudhair r.a. menyetujui perkataan Hz.Abu Bakar r.a.. Setelah Hz. Abu Bakar r.a., Hz. Miqdad r.a. berkata, “Demi Allah, Wahai Rasulullah saw., kami tidak akan mengatakan seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Nabi mereka, Musa: ‘Pergilah engkau dan Tuhan engkau untuk berperang, sementara kami akan duduk di sini saja.’ Wahai Rasulullah, pergilah Engkau dan Tuhan engkau untuk berperang, kami juga akan berperang bersama engkau.”
Hz. Muslih Mauud r.a. dalam menjelaskan peristiwa ini, bersabda dengan cara beliau:
Penduduk Makkah telah mengetahui hal ini dan mereka datang dengan pasukan, mereka berkata kepada kaum Muslimin, “Siapa yang memberi kalian izin untuk datang kemari?” Kaum Muslimin menjawab, “Kami datang bukan untuk berperang, melainkan hanya untuk melakukan umrah. tempat ini adalah beberkat, baik menurut kalian maupun kami. Kami datang untuk berziarah, bukan untuk berperang”. Mereka menjawab, “Tidak ada pembicaraan tentang tawaf.” Orang-orang kafir telah menolak. “Ini adalah perang antara kita. Jika kalian datang ke Makkah dan melakukan tawaf, maka kami akan kehilangan muka di seluruh Arab. Mereka akan berkata, ‘Mengapa musuh kalian datang dan melakukan tawaf di rumah kalian’. Kami bisa memberi izin kepada siapa saja di seluruh Arab, tapi tidak kepada kalian.”
Seperti yang telah disebutkan, Khalid bin Walid dengan pasukan sebanyak 200 orang, maju untuk menghadang kafilah Rasulullah saw.. Ketika Rasulullah saw. mendapat kabar ini, beliau saw. menghindari Khalid bin Walid dengan mengambil jalan lain menuju Hudaibiyah. Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis rinciannya sebagai berikut:
Ketika beliau saw. tiba dekat Usfan setelah beberapa hari perjalanan, yang terletak sekitar dua manzil/ perhentian dari Makah, mata-mata beliau saw. kembali melaporkan bahwa kaum Quraisy Makkah sangat marah dan bertekad untuk menghalangi beliau saw.. Bahkan sebagian dari mereka mengenakan kulit macan untuk menunjukkan keberanian dan kebengisan mereka, dan mereka bertekad berperang untuk menghalangi kaum Muslimin bagaimanapun caranya. Juga telah diketahui bahwa kaum Quraisy telah mengirim sekelompok pasukan berkuda yang pemberani di bawah pimpinan Khalid bin Walid, yang saat itu belum masuk Islam. Pasukan ini sudah berjarak dekat dengan kaum Muslimin dan di dalamnya termasuk juga Ikrimah bin Abu Jahal, dan lain sebagainya. Ketika Rasulullah saw. mendengar berita ini, untuk menghindari terjadinya pertempuran, beliau saw. memerintahkan para sahabat untuk meninggalkan jalan utama ke Makkah dan berbelok ke arah kanan. Maka kaum Muslimin mulai bergerak maju melalui jalan yang sulit dan berbatu, menyusuri arah laut. Rasulullah saw. tidak ingin berperang dengan mereka karena beliau saw. datang bukan untuk berperang melainkan untuk umrah.
Bagaimanapun, beliau saw. berhasil keluar dari sana dan sampai ke tempat tujuan. Khalid bin Walid bahkan tidak menyadari bahwa kaum Muslimin telah bergerak mengubah rute perjalanan mereka. Sampai ketika Khalid bin Walid melihat debu dari pasukan Islam, dia bergegas untuk memperingatkan Quraisy.
Tentang kedatangan Rasulullah saw. di Hudaibiyah, diriwayatkan dari Hz. Miswar bin Makhramah dan Marwan bahwa ketika Rasulullah saw. tiba di lembah yang menurun ke arah Quraisy, unta beliau duduk dan tidak mau bergerak. Orang-orang memanggil-manggil untuk membuat unta itu berdiri, tetapi ia tetap tidak bergerak. Mereka berkata, “Qaswa (yakni nama unta) ia telah membangkang!” Nabi saw. bersabda, “Qaswa tidak membangkang, dan ini bukan kebiasaannya, tetapi Yang telah menahannya adalah Dzat yang bahkan sanggup Menahan Gajah sekalipun (yakni Allah Taala).” Kemudian beliau saw. bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apa pun yang diminta oleh Quraisy, yang di dalamnya mereka mengagungkan kehormatan Allah, pasti aku akan memberikannya kepada mereka.” Lalu beliau memarahi unta itu dan ia pun berdiri. Beliau bersabda bahwa apa pun yang diminta oleh Quraisy, selama tidak melanggar kehormatan Allah Taala, beliau akan memenuhi permintaan mereka. Setelah unta itu berdiri kembali, beliau bergerak menjauh dari arah Mekah hingga berkemah di tepi Hudaibiyah di dekat sebuah kolam yang airnya sedikit. Ini adalah dari riwayat Bukhari.
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menjelaskan:
Di sini unta beliau saw. berhenti dan menolak untuk melanjutkan perjalanan. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah saw., unta Anda lelah, silakan pindah ke unta lain.” Tetapi beliau saw. menjawab, “Tidak, tidak, ia tidak lelah, tetapi tampaknya ini adalah kehendak Allah Taala bahwa kita harus berhenti di sini, dan saya akan meminta izin kepada penduduk Makkah dengan segala cara agar mereka mengizinkan kita untuk bertawaf, dan syarat apa pun yang mereka ajukan akan saya terima.” Saat itu pasukan Makkah masih berada jauh dari Makkah sedang menunggu kaum Muslimin. Saat itu, Jika Muhammad Rasulullah saw. menghendaki, beliau saw. bisa saja masuk Makkah tanpa perlawanan; akan tetapi, karena beliau saw. telah memutuskan untuk berusaha mendapat izin dari penduduk Makkah untuk melakukan tawaf, dan beliau saw. hanya akan berhadapan jika penduduk Makkah sendiri yang memulai peperangan; oleh karena itu, meskipun jalan menuju Makkah terbuka, beliau saw. memutuskan untuk berkemah di Hudaibiyah.
Dalam Bukhari diriwayatkan bahwa di Hudaibiyah, ketika kaum Muslimin berkemah di dekat kolam yang airnya sedikit, orang-orang mulai mengambil air sedikit demi sedikit. Tidak lama kemudian, mereka telah menghabiskan airnya dan menyampaikan kepada Rasulullah saw. bahwa mereka kehausan. Hz. Najiyah bin A’jam r.a. meriwayatkan: Ketika di Hudaibiyah, orang-orang sangat mengeluhkan kekurangan air kepada Rasulullah saw., beliau saw. memanggil saya dan mengeluarkan sebuah anak panah dari tempat panahnya dan memberikannya kepada saya. Kemudian beliau saw. meminta air mata air dalam sebuah ember. Saya membawanya, beliau saw. berwudhu dan berkumur-kumur lalu menuangkan airnya kembali ke dalam ember. Kemudian beliau saw. memerintahkan saya untuk menuangkan air ember itu ke mata air yang telah kering dan menancapkan anak panah di dalamnya. Saya melakukannya. Demi Zat yang telah mengutus beliau saw. dengan kebenaran, saya hampir tidak bisa keluar karena air mengelilingi saya dari segala arah. Saat saya menuangkan air dan menancapkan anak panah, saya berdiri di sana, lalu tiba-tiba air mulai naik di kolam itu dan saat itu air bergejolak seperti air di panci yang bergejolak, hingga air pun naik dan rata dengan tepiannya. Orang-orang mengambil air dari tepiannya sampai orang yang terakhir pun selesai melepaskan dahaganya.
Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. juga menyebutkan tentang turunnya hujan saat itu. Ini diambil dari kitab-kitab sejarah:
Malam itu atau belum lama sebelumnya pun turun hujan. Ketika Rasulullah saw. datang untuk salat Subuh, tanah lapang basah oleh air. Rasulullah saw. tersenyum dan bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Tuhan kalian saat hujan ini?” Para sahabat seperti biasa menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lah yang lebih mengetahui.” Beliau saw. bersabda, “Allah Taala berfirman: ‘Di antara hamba-hamba-Ku, sebagian memulai pagi ini dalam keadaan iman yang hakiki, namun sebagian goyah dalam kekufuran. Karena, hamba yang mengatakan bahwa hujan turun atas kami karena karunia dan rahmat Allah, ia tetap teguh dalam hakikat keimanan; akan tetapi siapa yang mengatakan bahwa hujan ini turun karena pengaruh bintang ini dan itu, maka ia mungkin beriman pada bulan dan matahari tetapi telah kufur kepada Allah.’”
Dengan sabda yang penuh dengan kekayaan tauhid ini, Rasulullah saw. mengajarkan kepada para sahabat bahwa meskipun Allah Taala telah menetapkan berbagai sebab untuk menjalankan sistem alam ini dan tidak menyangkal pengaruh benda-benda langit dalam hal hujan dan sebagainya, namun tauhid yang sejati adalah bahwa meski ada sebab-sebab perantara, pandangan manusia janganlah lalai dari Wujud yang Warā`ul Warā` (berada di balik semua itu). Artinya jangan pernah lalai dari Allah Taala. Sarana-sarana memang diberikan oleh Allah Taala, tetapi sarana-sarana ini juga bekerja hanya dengan izin Allah Taala yang menciptakan semua sarana ini dan merupakan penyebab utama dari sistem alam raya ini, yang tanpa-Nya sarana-sarana lahiriah ini tidaklah memiliki nilai yang lebih dari serangga mati.
Ada juga riwayat tentang hadiah untuk Rasulullah saw. dari Amr bin Salim dan Busr bin Sufyan. Tertulis bahwa Amr bin Salim dan Busr bin Sufyan dari suku Khuza’ah memberikan kambing dan unta sebagai hadiah kepada Rasulullah saw. di Hudaibiyah. Amr bin Salim juga memberikan unta kepada Hz. Sa’d bin Ubadah r.a. yang merupakan temannya. Hz. Sa’d bin Ubadah r.a. membawa hadiah ini kepada Rasulullah saw. dan memberitahu bahwa Amr telah memberinya unta sebagai hadiah. Rasulullah saw. bersabda, “Amr juga telah memberi kami hadiah. Semoga Allah memberkahi harta Amr.” Kemudian beliau saw. memerintahkan untuk menyembelih unta-unta tersebut dan membagikannya kepada para sahabat, serta membagikan kambing-kambing kepada mereka, dan beliau saw. juga mengikutsertakan diri beliau sendiri dalam pembagian ini. Kemudian daging unta dikirim kepada Ummu Salamah sebagaimana dikirim kepada yang lain, dan Rasulullah saw. juga memberi sebagian daging dari kambing milik beliau kepada Ummu Salamah. Beliau saw. memerintahkan untuk memberikan pakaian sebagai hadiah kepada orang yang membawa hadiah tersebut, dan semua hadiah yang beliau saw. terima dikumpulkan dan dibagikan kepada para sahabat.
Ini adalah pembahasan yang sedang berlangsung. Ada rincian lain tentang Hudaibiyah, bagaimana terjadinya dan apa yang terjadi, semuanya insya Allah akan dijelaskan di kesempatan yang akan datang.
Sekarang saya akan menyebutkan beberapa almarhum dan akan memimpin salat jenazah setelah salat (Jumat). Yang pertama adalah Almarhum Saudara Shahriar Rakin, putra Tuan Muhammad Abdullah Wahhab dari Bangladesh.
Tentang kejadian ini tertulis bahwa setelah pemerintah digulingkan pada 5 Agustus, terjadi banyak kerusuhan di Bangladesh. Ketika pemerintah digulingkan, negara menjadi kacau dan para penentang Ahmadiyah memanfaatkan situasi ini untuk menyerang Jemaat Ahmadnagar. Sebelumnya juga pernah terjadi serangan di sini. Para penentang membakar rumah-rumah orang Ahmadi dan setelah membakar masjid, mereka menuju ke Jamiah dan Jalsah Gah. Meskipun mereka tidak berhasil memasuki Jamiah, mereka mengepung para khuddam yang bertugas menjaga jalsah gah dari belakang dan terus menyerang mereka. Dalam kejadian ini, Sdr.Shahriar mengalami cedera parah di kepala. Setelah tiga bulan pengobatan, akhirnya ia wafat pada 8 November di usia 16 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn. Dengan demikian beliau meraih derajat syahid.
Sdr. Shahriar Rakin adalah anggota Waqf-e-Nou. beliau meninggalkan orang tua, kakek-nenek, satu saudara perempuan dan dua saudara laki-laki. Ahmadiyah masuk ke keluarganya melalui kakek buyutnya, Hazrat Munshi Sirajul Islam, yang berbaiat bersama sebagian besar anggota keluarganya melalui Allamah Zillur Rahman dan masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Almarhum sangat aktif dalam kegiatan Jemaat dan berkhidmat sebagai Sekretaris Mal di Majlis Amilah Athfalul Ahmadiyah Ahmadnagar.
Ibunya menulis bahwa putranya sejak dini rajin salat dan beribadah serta sangat tertarik dengan kegiatan Jemaat. Bahkan jika diminta untuk menunda kegiatan Jemaat demi belajar, ia akan marah. Setiap ada pertemuan atau acara di Ahmadnagar, ia selalu yang pertama berangkat dari rumah. Ibunya mengatakan, sebagai putra bungsu, ia banyak membantu di rumah, terutama di dapur dan memasak. Ia sangat pandai bergaul dan cepat akrab dengan orang lain. Ibunya mengatakan ia sedang mempersiapkan diri untuk masuk Jamiah seperti kakaknya. Ibunya juga menulis bahwa beliau sebelumnya telah melihat mimpi yang memberitahu tentang kesyahidan Shahriar.
Qaid Khuddamul Ahmadiyah Ahmadnagar, Tn. Najmul Tsaqib, mengatakan bahwa sebelumnya pada Maret 2023, Tn. Insinyur Zahid Hasan, syahid dalam serangan saat Jalsah, dan saat saya memimpin salat jenazah ghaib dan menyebutkan beliau dalam khotbah, Sdr. Shahriar Rakin yang saat itu sedang sarapan saat bertugas, ia sambil mendengarkan khotbah berkata, “Jika hari ini saya syahid, saya juga akan disebutkan seperti ini.” Pak Qaid menulis bahwa ketika para penyerang melakukan serangan tiba-tiba pada 5 Agustus, banyak orang datang untuk menjaga Jamiah dan hanya lima belas khuddam yang berjaga di kedua sisi jalan untuk melindungi Jalsah Gah. Sdr. Shahriar bergabung dengan mereka. Ia terus berjaga dengan berani dan membantu Pak Qaid dalam tindakan pengamanan. Tiba-tiba para penyerang mendobrak masuk dan langsung menyerang dengan tongkat, melukai banyak orang, dan yang paling parah terluka adalah almarhum dengan luka-luka serius di kepala dan bagian bawah tubuh yang mati rasa. Hal ini almarhum ungkapkan saat itu. Setelah itu, mobil tentara datang dan dengan kedatangan tentara, para penyerang melarikan diri dan meninggalkan para Ahmadi yang terluka.
Pak Qaid menulis bahwa almarhum selalu siap untuk bertugas dan berkhidmat kapan saja. Ia ikut serta dalam membersihkan masjid dan wiqari amal, serta mengajak orang lain untuk ikut serta. Ia bertugas membangunkan orang untuk salat subuh dan Tahajud. Seorang Mahasiswa Jamiah Bangladesh, sdr. Zuhair mengatakan: saat penguburannya, ketika saya bertugas di Jalsah Gah, saya bertanya kepada seorang Khadim Ahmadnagar yang sering bersama dan bermain dengannya tentang keistimewaan apa yang membedakannya dari yang lain. Ia menjawab bahwa saat pameran tentang Tn. Syahid Zahid Hasan pada Jalsah 2023, ketika kami semua bersama-sama melihatnya, tiba-tiba sdr. Rakin berkata, “Andai saja saya bisa syahid seperti Tn. Zahid, Foto saya juga akan ada di sini dan saya akan disebutkan dalam khotbah.” Mereka sangat terkejut mendengar hal ini darinya. Allah Taala telah mengabulkan keinginannya.
Bibinya, ny.Zainat Fauzia mengatakan, ia adalah yang termuda di antara saudara-saudaranya, ia menuruti semua orang dan membantu pekerjaan semua orang. Pada hari tejadi penyerangan, ketika ia meninggalkan rumah, ia berkata bahwa ia harus melindungi masjid dan jika tidak berhasil, ia akan syahid. Alhasil, almarhum syahid telah memberi contoh pengorbanan bahkan untuk orang dewasa. Semoga Allah Taala meninggikan derajatnya dan memberi kesabaran dan kekuatan kepada orang tua dan keluarganya.
Jenazah gaib kedua adalah saudara kita dari Arab, Tn. Abdullah Asdaude dari Kababir yang wafat beberapa hari lalu di usia 94 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn.
Beliau dibesarkan dalam keluarga yang memiliki hubungan paling dekat dan tulus dengan para mubalig Ahmadiyah di Kababir. Berkat upaya tulus dan doa para mubalig ini, dan yang terpenting doa-doa Hazrat Muslih Mau’ud r.a., Kababir selalu berada dalam perlindungan dan kedamaian Allah Taala. Khususnya selama perang Palestina dan migrasi besar-besaran tahun 1948, Allah Taala melindungi Kababir. Almarhum memiliki hubungan mendalam melalui surat-menyurat, ketaatan, dan ketulusan dengan para Khalifah Ahmadiyah sejak masa Hazrat Muslih Mau’ud r.a. hingga akhir hayatnya. Beliau termasuk di antara Musi awalin. Pada tahun 1934, ketika Hazrat Maulana Abul Ata Jalandhari membuka sekolah Ahmadiyah, almarhum mendapatkan pendidikan awal di sana. Kemudian pada 1948 beliau masuk sekolah Inggris dan lulus ujian matrikulasi dari sana. Selanjutnya beliau meraih gelar MA dari Universitas Al-Quds dengan prestasi cemerlang. Beliau bekerja di Kementerian Industri dan Perdagangan selama 20 tahun. Setelah itu, beliau mendapat kesempatan bekerja di posisi tinggi di departemen audit pemerintah. Beliau pensiun dari sana pada 1995. Setelah pensiun, beliau ditawari posisi sebagai kepala urusan Islam di Kementerian Urusan Agama. Beberapa negara Islam menentang beliau karena beliau seorang Ahmadi. Karena itu, dengan tetap berpegang pada prinsip dan Ahmadiyah, beliau mengundurkan diri.
Pada tahun 1945, ketika Hazrat Chaudhry Zafrullah Khan berkunjung ke Palestina sebagai perwakilan PBB, beliau menginap di rumah almarhum Abu Salah Muhammad Salih Odeh, kakek Tn. Syarif Odeh. Saat itu almarhum Abdullah Asad berusia lima belas tahun. Beliau setiap hari datang untuk mengkhidmati Chaudhry Sahib dan menyediakan surat kabar untuknya.
Almarhum selalu dekat dengan para mubalig dan berkhidmat pada Jemaat sebagai Sekretaris Umum, Sekretaris Tarbiyat, Sekretaris Umur Kharijah, Sadr Majlis Ansarullah, dan Sekretaris Perayaan Seabad. Di Kababir, beliau membantu Mubalig, Tn. Jalaluddin Qamar, dalam proyek besar pembangunan kembali Madrasah Ahmadiyah. Beliau adalah penulis terkemuka yang menulis puluhan artikel di majalah Arab Al-Bushra selama 70 tahun. Beliau juga menerjemahkan tafsir Surah Al-Kahf dari bahasa Inggris ke bahasa Arab yang diterbitkan Jemaat pada masa Mubalig, Tn. Fazl Ilahi Basyir.
Ketika ada propaganda anti-Jemaat di negara-negara Arab yang menyamakan Jemaat Ahmadiyah dengan Bahai, Tn. Abdullah Asad menulis buku dalam bahasa Arab berjudul “Al-Mu’amarah Al-Kubra” sebagai bantahan yang telak. Beliau juga menulis buku tentang sejarah Jemaat Ahmadiyah di Kababir berjudul “Al-Kababir Baladi”. Beliau adalah khadim Jemaat yang sangat tulus, bersemangat, dan bangga dengan segala hal terkait Ahmadiyah dan Jemaat.
Beliau ditawari menjadi anggota parlemen tetapi menolak dengan mengatakan bahwa politik memiliki prinsipnya sendiri sedangkan prinsip beliau adalah Ahmadiyah. Putra beliau, Khalid Abdullah, mengatakan bahwa terkadang ketika ayahnya sibuk dengan pekerjaan Jemaat dan ibunya mengajak minum teh bersama atau pergi keluar, ayahnya menjawab bahwa beliau punya pekerjaan Jemaat penting dan akan melakukan hal lain setelah menyelesaikannya. Prioritas pertama adalah pekerjaan Jemaat. Beliau meninggalkan 3 putra, 3 putri, dan 14 cucu.
Semoga Allah Taala menganugerahkan ampunan dan rahmat kepada almarhum, meninggikan derajat beliau, dan memberi taufik kepada keturunan beliau untuk mengikuti jejak beliau. Seperti yang saya katakan, saya akan memimpin salat jenazah gaib setelah salat.[1]
[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim