Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Rasulullah saw. – Perundingan yang Terjadi pada Perjanjian Hudaibiyah
- Bagian I: Peristiwa-peristiwa Sebelum Perjanjian Hudaibiyah
- Bagian II: Dimulainya Pembicaraan mengenai Perjanjian dengan Kaum Quraisy
- Bagian III: Perundingan yang Terjadi pada Perjanjian Hudaibiyah
- Bagian IV: Menjawab Tuduhan Terkait Perjanjian Hudaibiyahngan Kaum Quraisy
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 29 November 2024 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أَشْھَدُ أَنْ لَّا إِلٰہَ إِلَّا اللّٰہُ وَحْدَہٗ لَا شَرِيْکَ لَہٗ وَأَشْھَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُہٗ وَ رَسُوْلُہٗ
أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ۔
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُلِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾إِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ إِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ﴿۷﴾
Masih membahas tentang peristiwa Perjanjian Hudaibiyah. Saya akan menyampaikan rincian lebih lanjut. Pada kesempatan itu, para sahabat ditugaskan untuk berjaga. Mengenai hal ini disebutkan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan para sahabat untuk berjaga pada malam hari. Setiap hari ada penjagaan. Ada Tiga orang sahabat yang secara bergantian melakukan penjagaan, di antaranya Hazrat Aus bin Khauli r.a., Hazrat Abbad bin Bisyr r.a. dan Hazrat Muhammad bin Maslamah r.a..
Suatu malam ketika Hazrat Muhammad bin Maslamah r.a. bertugas menjaga Rasulullah saw.. Kaum Quraisy mengirim 50 orang di bawah pengawasan Mikraz bin Hafs dan memerintahkan mereka untuk berkeliling di sekitar Rasulullahs saw. dengan harapan bisa membunuh atau secara tiba-tiba mencelakai salah satu orang Islam. Hazrat Muhammad bin Maslamah r.a. menangkap mereka dan membawa mereka kepada Rasulullah saw. Mikraz melarikan diri dan memperingatkan rekan-rekannya. Ini juga membuktikan perkataan Rasulullah saw. yang telah disebutkan dalam khotbah sebelumnya bahwa Mikraz adalah orang yang suka menipu.
Disebutkan juga bahwa ada beberapa orang Islam yang memasuki Makkah dengan izin Rasulullah saw., termasuk Kurz bin Jabir Fahri, Abdullah bin Suhail, Abdullah bin Hudzaifah Sahmi, Abu Rum bin Umair, Abdari, Ayyasy bin Abi Rabi’ah, Hisyam bin As, Abu Hatib bin Amr, Umair bin Wahb, Hatib bin Abi Balta’ah dan Abdullah bin Umayyah. Mereka memasuki Makkah dalam perlindungan Hazrat Utsman r.a. dan ada juga yang mengatakan bahwa mereka masuk secara sembunyi-sembunyi. Terdapat berbagai riwayat yang berbeda mengenainya.
Ketika kaum Quraisy mengetahui tentang orang-orang Islam ini, mereka menangkap orang-orang Islam tersebut. Kaum Quraisy juga mendapat kabar tentang penangkapan rekan-rekan mereka yang telah ditahan oleh Hazrat Muhammad bin Maslamah r.a.. Ketika kaum Quraisy mengetahui bahwa ada 50 orang mereka yang menjadi tawanan Muslim, pasukan bersenjata Quraisy lainnya mendatangi Rasulullah saw. dan para sahabatnya dan menyerang kaum Muslimin. Mereka mulai melemparkan anak panah dan batu. Kaum Muslimin menangkap 12 penunggang kuda musyrik, dan di antara kaum Muslimin, Hazrat Ibn Zunaim r.a. syahid.Orang-orang Quraisy telah membunuh beliau dengan anak panah.
Kemudian kaum Quraisy mengirim satu rombongan kepada Rasulullah saw. yang di dalamnya termasuk Suhail bin Amr. Begitu Rasulullah saw. melihatnya dari jauh, beliau saw. bersabda kepada para sahabat, “Melalui Suhail, urusan kalian akan menjadi mudah”. Saat itu Suhail mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, “Mengenai penangkapan para sahabat Anda yaitu Utsman dan sepuluh sahabat lainnya, serta terjadinya pertempuran beberapa orang kami dengan Anda, tidak ada orang berpengaruh kami yang terlibat. Ketika kami mengetahui hal ini, kami sangat tidak senang. Kami tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Itu adalah perbuatan orang-orang jahat di antara kami. Karena itu, tolong kirim kembali orang-orang kami yang Anda tangkap dalam dua kesempatan itu.” Beliau saw. bersabda, “Aku tidak akan mengirim mereka sampai kalian membebaskan para sahabatku”. Atas hal ini, mereka semua berkata, “Baiklah, kami akan membebaskan mereka”, maka Quraisy mengirim kembali Hazrat Utsman r.a. dan sepuluh sahabat lainnya. Saat itu Rasulullah saw. juga membebaskan orang-orang mereka.
Seperti yang baru saja disebutkan dan telah saya jelaskan di khotbah sebelumnya, mengenai Hazrat Utsman r.a., orang-orang kafir telah menangkap beliau, dan ketika berita ini sampai kepada Rasulullah saw., beliau mengambil baiat dari para sahabat, sebuah janji setia yang disebut Bai’at Riḍwan. Ketika orang-orang Quraisy mengetahui hal-hal tentang baiat Hudaibiyah ini, mereka sangat ketakutan. Mereka juga mengetahui bahwa baiat ini telah terjadi. Rasulullah saw. telah mengambil perjanjian dari semua Muslim, sehingga orang-orang berpengaruh mereka menyarankan bahwa perdamaian akan lebih baik, yaitu tahun ini membuat perdamaian dengan cara meminta beliau saw. pulang kembali dan tahun depan bisa datang dan tinggal di Makkah selama tiga hari, tetapi bersama beliau saw. hanya akan ada satu tunggangan, yakni persenjataan yang diperlukan untuk satu tunggangan, seperti pedang dalam sarung dan busur-busur panah, dan tidak lebih dari itu.
Setelah musyawarah ini, Quraisy mengirim Suhail bin Amr untuk kedua kalinya. Bersamanya ada Mikraz bin Hafs dan Huwaitib bin Abdul Uzza. Mereka datang kepada Rasulullah saw. dengan usulan agar tahun ini beliau saw. kembali tanpa melakukan umrah agar orang Arab tidak mengatakan bahwa, bertentangan dengan keinginan kaum Quraisy, beliau saw. memasuki Makkah dengan kekuatan, dan supaya beliau saw. bisa datang kembali untuk umrah tahun depan. Ketika Suhail muncul, Rasulullah saw. melihatnya dari jauh dan bersabda bahwa pengiriman orang ini kembali berarti Quraisy berniat untuk berdamai.
Mengenai perjanjian damai di Hudaibiyah, Hazrat Mirza Basyir Ahmad r.a. menulis bahwa ketika Suhail bin Amr datang ke hadapan Rasulullah saw., begitu melihatnya, beliau saw. bersabda, “Orang ini adalah Suhail (yang berarti mudah), sekarang Tuhan menghendaki urusan menjadi mudah.” Singkatnya, Suhail datang dan langsung berkata kepada Rasulullah saw., “Mari kita tinggalkan diskusi panjang, kami siap untuk perjanjian damai”. Rasulullah saw. bersabda, “Kami juga siap”. Dan dengan sabda ini beliau saw. memanggil sekretaris beliau yaitu Hazrat Ali r.a..
Karena diskusi umum tentang syarat-syarat telah dilakukan sebelumnya dan rinciannya pun akan disepakati seiring dengan itu, maka dari itu, begitu juru tulis datang, Rasulullah saw. bersabda kepada Hazrat Ali r.a., “Tulislah!” Beliau sendiri mulai mendiktekan dimulai dengan “Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm”. Suhail memang siap untuk perdamaian tetapi ia ingin sangat berhati-hati dalam menjaga hak-hak Quraisy dan kehormatan penduduk Makkah. Suhail langsung berkata, “kata Rahmān ini apa? Kami tidak mengenalnya. Tulislah seperti yang biasa ditulis orang Arab yaitu “Bismikallāhumma“. Jangan menulis “Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm” tapi tulislah “Bismikallāhumma“. Sementara itu, bagi Muslim, ini juga merupakan masalah kehormatan kaum dan gejolak keimanan, sehingga mereka juga langsung terkejut atas perubahan ini dan mengatakan, “Kami pasti akan menulis Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm”. Namun Rasulullah saw. membuat kaum Muslimin diam dengan bersabda, “Tidak, tidak ada masalah dalam hal ini”.
Sebagaimana yang dikatakan Suhail, maka begitulah yang ditulis. Maka ditulislah kata-kata “Bismikallāhumma“. Setelah itu Rasulullah saw. bersabda, “Tulislah: Ini adalah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad Rasulullah saw..” Suhail kembali menyela, “Kata Rasulullah saw. tidak akan kami biarkan untuk ditulis. Jika kami menerima bahwa Anda adalah Rasul Allah, maka semua perselisihan ini akan berakhir, dan kami tidak punya hak untuk menghalangi dan menentang Anda. Tulislah hanya kata-kata seperti yang biasa kami gunakan bahwa Muhammad bin Abdullah telah membuat perjanjian ini”.
Rasulullah saw. bersabda, “Baik kalian menerima atau tidak, aku sungguh adalah Rasul Allah. tetapi karena aku juga adalah Muhammad bin Abdullah, maka baiklah, tulislah seperti itu. Tulislah bahwa Muhammad bin Abdullah telah membuat perjanjian ini”. Namun saat itu, juru tulis beliau saw. yakni Hazrat Ali r.a. telah menulis kata-kata Muhammad Rasulullah dalam teks perjanjian. Beliau saw. meminta Hazrat Ali untuk menghapus kata-kata Muhammad Rasulullah dan mengganti dengan kata-kata Muhammad bin Abdullah.
Tetapi saat itu dalam keadaan yang bergejolak, Hazrat Ali r.a. dengan penuh semangat berkata, “Wahai Rasulullah saw.! Saya tidak akan pernah menghapus kata Rasulullah dari nama Anda”. Melihat keadaan demikian dari Hz. Ali r.a. ini, beliau saw. bersabda, “Baiklah, jika engkau tidak mau menghapus, berikan padaku. Aku sendiri yang akan menghapusnya”. Kemudian beliau saw. mengambil lembar perjanjian atau apapun itu dan setelah menanyakan tempat kata-kata tersebut kepada Hazrat Ali r.a., beliau saw. menghapus kata-kata Rasulullah dengan tangan beliau saw. sendiri dan menggantinya dengan kata-kata bin Abdullah.
Hazrat Mirza Basyir Ahmad r.a. menjelaskan hal ini dalam buku beliau:
Setelah itu beliau saw. mendiktekan bahwa perjanjiannya adalah: “Penduduk Makkah tidak akan menghalangi kami dari tawaf di Baitullah”. Suhail langsung berkata, “Demi Allah! Hal ini tidak mungkin terjadi tahun ini karena akan mempermalukan kami di hadapan orang-orang Arab. Ya, tahun depan Anda bisa datang dan melakukan tawaf”. Beliau saw. bersabda, “Baiklah tulislah seperti itu”.
Kemudian Suhail mendiktekan dari pihaknya bahwa ini juga akan menjadi syarat bahwa tidak seorang pun dari penduduk Makkah bisa bergabung dengan Muslim meskipun dia Muslim. Sementara itu, jika ada orang lainnya yang pergi ke pihak Muslim, dia harus dikembalikan. Para sahabat memprotes hal ini dengan mengatakan, “Subḥanallāh, bagaimana mungkin seseorang yang datang setelah menjadi Muslim, lalu kami harus mengembalikannya?”.
Sementara perjanjian ini sedang dituliskan, tiba-tiba Hazrat Abu Jandal bin Suhail r.a. datang. Kakinya terikat rantai, beliau keluar dari daerah dataran rendah Makkah Mukarramah dan melemparkan diri di hadapan kaum Muslimin. Beliau adalah putra Suhail yang sedang mendiktekan perjanjian dan beliau telah masuk Islam. Ayahnya yakni Suhail telah memenjarakannya dengan membelenggunya, dan beliau melarikan diri dari penjara, menghindari jalan umum, melalui gunung-gunung hingga sampai di Hudaibiyah. Kaum Muslimin mulai menyambutnya dan memberi selamat.
Ketika Suhail, ayah Abu Jandal melihatnya, ia berdiri menuju ke arahnya dan memukul wajahnya dengan ranting berduri dan mencengkeram kerahnya lalu berkata, “Wahai Muhammad saw.! Ini adalah kasus pertama yang mengenainya telah aku buat perjanjian dengan engkau. Sekarang kembalikan ia”. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Perjanjian belum selesai dibuat”. Suhail berkata, “Demi Allah! Kalau begitu aku tidak akan membuat perjanjian apa pun lagi dengan engkau”. Kemudian beliau saw. meminta, “Lepaskanlah ia untukku”. Rasulullah saw. memohon, “Baiklah! Lepaskanlah ia untukku”. Suhail berkata, “Aku tidak akan melepaskannya dalam keadaan apa pun”. Beliau saw. bersabda, “Tidak, lepaskan ia.” Beliau saw. mengulanginya. Suhail berkata, “Aku tidak akan pernah melakukan itu”.
Mikraz bin Hafs dan Huwaithib bin Abdul Uzza yang bersamanya berkata, “Kami melepaskannya untuk Anda”. Keduanya menangkap Hz. Abu Jandal r.a. dan memasukkannya ke dalam tenda dan memberinya izin, tetapi ayahnya yakni Suhail menolak. Hz. Abu Jandal r.a. berkata, “Wahai kaum Muslimin! Apakah sekarang aku akan dikembalikan kepada kaum musyrik padahal aku datang setelah masuk Islam. Kalian tidak melihat kesulitan apa yang aku hadapi dan siksaan keras apa yang ditimpakan kepadaku.” Rasulullah saw. dengan suara keras bersabda, “Wahai Abu Jandal! Bersabarlah dan harapkanlah pahala. Sungguh Allah Taala akan membuat jalan kelapangan dan keselamatan untukmu dan teman-temanmu yang lemah. Kita telah membuat perjanjian damai dengan kaum (Quraisy) dan kita telah berjanji kepada mereka dan mereka telah berjani kepada kita dan kita tidak akan berkhianat.
Pada kesempatan ini juga disebutkan tentang gejolak perasaan Hazrat Umar r.a.. Tertera bahwa kaum Muslimin tidak menyukai syarat-syarat ini dan menjadi marah. Sementara itu, Suhail menolak perdamaian tanpa adanya syarat-syarat ini. Ketika kedua belah pihak telah menyepakati butir perdamaian, dan hanya tinggal menuliskannya saja, saat itu Hz. Umar bin Khattab r.a. datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah saw.! Bukankah kita berada di pihak yang benar dan mereka orang kafir berada di pihak yang batil?.” Beliau saw. bersabda, “Ya benar”. Lalu Hz. Umar r.a. berkata, “Bukankah orang-orang kita yang terbunuh ditempatkan di surga, sementara orang-orang mereka yang terbunuh berada di neraka?”. Beliau saw. bersabda, “Ya benar”. Maka Hazrat Umar r.a. berkata, “Mengapa dalam perjanjian Hudaibiyah ini kita menerima kehinaan terkait agama kita? Apakah kita akan kembali begitu saja sebelum Allah memutuskan antara kita dan mereka, dan kembali tanpa berperang serta tanpa mendapatkan hak?”
Rasulullah saw. bersabda, “Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, aku tidak akan mendurhakai-Nya dan Dia tidak akan pernah menyia-nyiakanku. Dan Dia akan menolongku.” Lalu Hz. Umar bin Khattab r.a. berkata, “Bukankah Anda telah memberitahu kami bahwa kita akan segera datang ke Baitullah dan melakukan tawaf?” Beliau saw. bersabda, “Ya benar. (Namun) apakah aku memberitahumu bahwa kalian akan datang tawaf pada tahun ini?” Hazrat Umar r.a. berkata, “Tidak.” Kemudian beliau saw. bersabda, “Sungguh kamu pasti akan datang ke Baitullah dan melakukan tawaf”.
Kemudian Hazrat Umar r.a. dalam keadaan marah pergi kepada Hz. Abu Bakar r.a. dan tidak bisa bersabar. Beliau berkata, “Wahai Abu Bakar! Bukankah ini adalah Nabi Allah yang berada di atas kebenaran?”. Hazrat Abu Bakar r.a. berkata, “Ya benar”. Kemudian Hazrat Umar r.a. berkata, “Bukankah mereka di pihak yang batil dan kita di pihak yang benar? Bukankah orang-orang kita yang terbunuh akan memasuki surga sementara orang-orang mereka yang terbunuh akan masuk neraka?.” Hazrat Abu Bakar r.a. berkata, “Ya benar”. Atas hal ini, Hazrat Umar r.a. berkata, “Lalu mengapa kita menunjukkan kelemahan dalam agama kita, dan kembali dalam keadaan Allah belum memutuskan antara kita dan mereka?”
Maka Hazrat Abu Bakar r.a. berkata, “Beliau adalah Rasul Allah, dan tidak akan mendurhakai Tuhannya dan Allah adalah Penolongnya. Oleh karena itu, tetaplah berpegang teguh pada ketaatan kepada Rasulullah saw. sampai mati. Demi Allah, beliau saw. berada di atas kebenaran.” Sementara itu dalam satu riwayat dikatakan, “Beliau saw. adalah Rasul Allah”. Kemudian Hazrat Umar r.a. berkata, “Aku bersaksi bahwa Muhammad saw. adalah Rasulullah”, kemudian berkata, “Bukankah beliau saw. telah memberitahu kita bahwa kita akan segera datang ke Baitullah dan melakukan tawaf?” Hazrat Abu Bakar r.a. menjawab, “Ya benar. (Namun) apakah beliau saw. memberi kabar bahwa kalian akan tawaf tahun ini?” Hazrat Umar r.a. berkata, “Tidak”. Maka Hazrat Abu Bakar r.a. berkata, “Kalian pasti akan pergi ke Baitullah dan melakukan tawaf”. Bagaimanapun, syarat-syarat ini sangat berat bagi Hazrat Umar r.a..
Dalam Bukhari disebutkan bahwa Hazrat Umar r.a. menuturkan, “Demi Allah, sejak aku masuk Islam, aku tidak pernah merasakan keraguan kecuali pada hari Hudaibiyah, dan aku terus menjawab perkataan Rasulullah saw. Yakni, aku tidak pernah berbicara mendahului, tapi saat itu aku terus berbicara”. Hazrat Abu Ubaidah bin Jarrah r.a. berkata, “Wahai Ibnu Khattab, mengapa engkau tidak mendengar apa yang Rasulullah saw. sampaikan? Mintalah perlindungan kepada Allah dari setan dan perbaikilah anggapanmu.” Hazrat Umar r.a. menuturkan, “Kemudian aku mulai memohon perlindungan kepada Allah. Aku tidak pernah merasa malu sebesar itu. Kemudian aku terus melakukan amal baik agar dosa-dosa ini bisa diampuni, karena aku sempat menunda dalam menjalankan perintah. Karena pembicaraan yang telah aku lakukan kepada Rasulullah saw. di kesempatan Hudaibiyah, maka aku pun terus bersedekah, berpuasa dan membebaskan budak hingga aku berharap akan ada kebaikan.” Yakni, timbul perasaan bahwa Allah Taala akan mengampuni.
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. juga menjelaskan peristiwa ini dengan bersabda sebagai berikut:
Suatu kali Rasulullah saw. berbicara kepada para sahabat, “Aku telah memberi kalian banyak perintah, tetapi terkadang aku melihat gejolak penolakan bahkan dalam diri orang-orang yang paling ikhlas di antara kalian. Namun dalam diri Abu Bakar, aku tidak pernah melihat perilaku ini.” Beliau saw. menyebutkan sifat Hazrat Abu Bakar r.a. bahwa beliau tidak pernah menolak perkataan Rasulullah saw. baik suka atau tidak.
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menjelaskan: Pada saat Perjanjian Hudaibiyah, bahkan orang seperti Hazrat Umar r.a. pun menjadi gelisah, dan dalam keadaan gelisah itu beliau pergi menghadap Hazrat Abu Bakar r.a. dan bertanya, “Bukankah Allah telah berjanji kepada kita bahwa kita akan melakukan umrah?” Beliau menjawab, “Ya, itu adalah janji Allah”. Hz. Umar r.a. bertanya, “Bukankah Allah berjanji akan mendukung dan menolong kita?” Hazrat Abu Bakar r.a. menjawab, “Ya benar”. Hz. Umar r.a. bertanya, “Lalu apakah kita telah melakukan umrah?” Hazrat Abu Bakar r.a. menjawab, “Umar, kapan Allah menyampaikan bahwa kita akan melakukan umrah pada tahun ini?” Kemudian Hz. Umar r.a. bertanya, “Apakah kita mendapat kemenangan dan pertolongan?” Hazrat Abu Bakar menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui makna kemenangan dan pertolongan daripada kita.”
Namun Hz. Umar r.a. tidak puas dengan jawaban ini dan dalam keadaan gelisah ia pergi kepada Rasulullah saw. dan bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah berjanji bahwa kita akan memasuki Makkah dan melakukan tawaf?” Beliau saw. menjawab, “Ya”. Lalu bertanya, “Bukankah kita adalah jemaat Allah, dan bukankah Allah telah menjanjikan kemenangan dan pertolongan kepada kita?” Beliau saw. menjawab, “Ya benar”. Hazrat Umar r.a. bertanya, “Lalu wahai Rasulullah saw., apakah kita telah melakukan umrah?” Beliau saw. menjawab, “Kapan Allah mengatakan kita akan umrah pada tahun ini? Itu hanya perkiraanku bahwa umrah akan terjadi tahun ini. Allah tidak menentukan waktunya.” Hz. Umar r.a. bertanya, “Lalu apa makna janji kemenangan dan pertolongan?” Rasulullah saw. menjawab, “Pertolongan Allah pasti akan datang dan janji yang Dia buat pasti akan terpenuhi”. Artinya, jawaban yang diberikan oleh Hazrat Abu Bakar r.a. sama dengan jawaban yang diberikan oleh Rasulullah saw.
Ada berbagai riwayat tentang Hz. Umar r.a. pergi menghadap Rasulullah saw. dan mengungkapkan perasaan serta pergi kepada Hazrat Abu Bakar r.a. dan mengatakan hal yang sama. Urutannya berbeda seperti yang sebelumnya dan baru saja dijelaskan, tapi kejadiannya tetap satu dan perbedaan urutan ini tidak mempengaruhi kebenaran kejadian tersebut.
Mengenai penulisan perjanjian damai, Hazrat Mirza Basyir Ahmad r.a. menulis dalam Sirat Khatamun Nabiyyin bahwa:
Bagaimanapun setelah perdebatan panjang, perjanjian ini selesai dan dalam hampir setiap hal Rasulullah saw. meninggalkan pendapat beliau dan menerima tuntutan Quraisy. dan sesuai dengan kehendak Ilahi, beliau memenuhi janji dengan penuh kesetiaan bahwa demi menghormati Baitullah, tuntutan apapun dari Quraisy akan diterima dan bagaimanapun juga kehormatan tanah suci harus dijaga. Syarat-syarat perjanjian ini adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah saw. dan para pengikutnya harus kembali tahun ini.
2. Tahun depan mereka bisa datang ke Makkah melakukan umrah tetapi tanpa senjata kecuali pedang dalam sarung dan tidak tinggal lebih dari tiga hari di Makkah.
3. Jika ada laki-laki dari penduduk Makkah pergi ke Madinah meskipun dia Muslim, Rasulullah saw. tidak akan memberinya perlindungan di Madinah dan akan mengembalikannya. Dalam hal ini kata-kata dalam Shahih Bukhari adalah:
لا یَاْتِیك مِنّا رجل واِنْ کان علیٰ دِیْنِك اِلَّا رَدَدْتَه اِلَیْنَا
“Jika seorang laki-laki dari kami datang kepada engkau meski ia mengikuti agama engkau, engkau harus mengembalikannya kepada kami”. Tetapi jika seorang Muslim meninggalkan Madinah dan pergi ke Makkah, ia tidak akan dikembalikan. Mereka memaksakan syarat mereka bahwa jika seorang Muslim pergi ke Madinah, ia harus kembali, tetapi jika seorang Muslim memasuki Makkah dengan cara apa pun dan tertangkap, ia tidak akan dikembalikan.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa jika ada orang dari penduduk Makkah datang ke Madinah tanpa izin walinya, ia harus dikembalikan.
4. Dari kabilah-kabilah Arab, kabilah mana saja yang mau, mereka bisa menjadi sekutu kaum Muslimin, atau bisa menjadi sekutu penduduk Makkah.
5. Perjanjian ini untuk sementara berlaku selama sepuluh tahun dan selama periode ini tidak akan ada perang antara Quraisy dan kaum Muslimin.
Mengenai saksi Perjanjian Hudaibiyah, rinciannya adalah bahwa dibuat dua salinan perjanjian ini, dan sebagai saksi ada beberapa tokoh terkemuka dari kedua belah pihak yang membubuhkan tanda tangan. Dari pihak Muslim yang menandatangani adalah Hazrat Abu Bakar r.a., Hazrat Umar r.a., Hazrat Utsman r.a. yang saat itu telah kembali dari Makkah, Hazrat Abdurrahman bin Auf r.a., Hazrat Sa’d bin Abi Waqqas r.a. dan Hazrat Abu Ubaidah r.a.. Setelah perjanjian selesai, Suhail bin Amr kembali ke Makkah dengan satu salinan perjanjian dan salinan lainnya tetap pada Rasulullah saw.
Disebutkan juga tentang kegelisahan para sahabat seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yakni ketika beliau saw. selesai dengan masalah penulisan ini, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat, “Bangunlah, sembelihlah unta kalian lalu cukurlah kepala kalian”. Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang berdiri sampai beliau saw. mengatakan hal ini tiga kali. Hazrat Mirza Basyir Ahmad menjelaskan hal ini sebagai berikut.
Ketika Suhail telah kembali, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat, “Sekarang bangunlah dan sembelihlah kurban kalian di sini dan cukurlah rambut kepala kalian.” yakni, Setelah berkurban, rambut kepala dicukur atau dipotong dan bersiaplah untuk kembali. Namun para sahabat sangat terpukul karena perjanjian yang tampak memalukan ini, dan ketika mereka teringat bahwa Rasulullah saw. membawa mereka ke sini berdasarkan mimpi dan Allah Taala juga memperlihatkan pemandangan tawaf Baitullah dalam mimpi, maka jiwa para sahabat pun menjadi sangat tertekan dan mereka seperti tergeletak tanpa rasa dan gerak.
Mereka memiliki keimanan sempurna pada Rasulullah dan keyakinan penuh pada janji-Nya. akan tetapi, karena tuntutan kemanusiaan, hati mereka lemah oleh kesedihan atas kegagalan lahiriah ini. Ini adalah suatu corak reaksi langsung. Karena itu, ketika Rasulullah saw. bersabda kepada mereka untuk menyembelih hewan kurban di sini – apakah kita telah masuk Makkah atau tidak, pergi ke Ka’bah atau tidak, melakukan tawaf atau tidak, maka saat duduk di sini berkurbanlah dan kembalilah – saat itu tidak ada sahabat yang bergerak. Tidak ada yang beranjak dari tempatnya. Semua yang membawa hewan kurban tetap dalam keadaan duduk. Bukan karena mereka, naudzubillah, tidak taat kepada Rasulullah saw, karena dalam sejarah dunia, tidak ada suatu jemaat pun yang lebih taat daripada taatnya para sahabat.
Jadi sikap mereka yang tidak menuruti perintah ini bukan dalam corak pembangkangan atau ketidaktaatan, melainkan karena kesedihan, dan perasaan terhina secara lahiriah telah membuat mereka begitu lesu sehingga meski mendengar seolah tidak mendengar, dan meski melihat, mata mereka tidak berfungsi. Rasulullah saw. mengulangi perintahnya dua tiga kali namun tidak ada sahabat yang bergerak. Rasulullah saw. merasa sedih karena tidak ada yang melaksanakan perintah beliau saw.. Beliau saw. diam dan masuk ke dalam tendanya.
Di dalam tenda, istri beliau saw., Hazrat Ummu Salamah r.a. yang sangat cerdas menyaksikan pemandangan ini. Beliau melihat suami yang dihormati dan dicintainya masuk dalam keadaan khawatir dan ketika mengetahui detail kekhawatiran Rasulullah saw. dari lisan beliau saw. sendiri, dengan penuh simpati dan cinta, beliau berkata, “Ya Rasulullah saw.! Janganlah bersedih, dengan karunia Allah para sahabat Anda tidak membangkang. Tetapi syarat-syarat perdamaian ini telah membuat mereka hilang kesadaran karena sedih. Maka saran saya, janganlah mengatakan apa-apa kepada mereka, melainkan pergilah keluar tanpa berkata-kata dan sembelihlah hewan kurban Anda dan cukurlah rambut Anda, maka para sahabat Anda akan mengikuti Anda dengan sendirinya.”
Rasulullah saw. menyukai saran ini dan beliau saw. keluar tanpa mengatakan apa-apa, menyembelih hewan kurbannya dan mulai mencukur rambutnya. Ketika para sahabat melihat pemandangan ini, seperti orang tidur yang tiba-tiba terbangun mendengar keributan, mereka tersentak bangun dan dalam kondisi tidak sadar, mulai menyembelih hewan mereka dan mulai mencukur rambut satu sama lain. Namun kesedihan telah membuat mereka begitu gelisah sehingga perawi menceritakan bahwa keadaan saat itu sedemikian rupa sampai dikhawatirkan kaum Muslimin bisa saja memotong leher satu sama lain ketika mencukur rambut satu sama lain. Bagaimanapun, usul Hazrat Ummu Salamah r.a. berhasil dan ketika kata-kata dari lisan beberkat Rasulullah saw. untuk sementara tidak berhasil, tindakan beliau saw. membangunkan para sahabat yang tertidur.
Ini juga referensi dari Sīrat Khātamun Nabiyyīn. Ketika Rasulullah saw. menyembelih unta kurbannya di Hudaibiyah, di antara hewan kurban ada unta Abu Jahal yang merupakan harta rampasan perang Badar yang kabur saat sedang merumput. Unta itu telah diberi kalung dan tanda untuk kurban. Unta itu sempat terlepas sebentar tetapi akhirnya tertangkap. Beliau sawa. menyembelih unta itu atas nama tujuh orang.
Diriwayatkan dari Hazrat Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. menyembelih 70 hewan. Satu hewan atas nama tujuh orang dan hari itu kami berjumlah 1400 orang. Orang yang tidak berkurban lebih banyak dari yang berkurban. Hal ini karena mereka tidak mampu. Rasulullah saw. tinggal di luar wilayah haram tetapi melaksanakan salat di wilayah haram. Rasulullah saw. mengirim 20 hewan kurban bersama dengan seorang dari kabilah Aslam agar disembelih di dekat Marwah.
Ketika Rasulullah saw. selesai menyembelih hewan, beliau masuk ke tenda dan memanggil Hazrat Khirasy bin Umayyah r.a. untuk mencukur rambut beliau saw. dan meletakkan rambutnya di atas pohon hijau yang berduri yang terletak di satu sisi. Orang-orang mulai mengambil rambut dari pohon dan membaginya. Hazrat Ummu Umarah r.a. mengambil beberapa rambut beliau saw.. Ia memasukkannya ke dalam air untuk orang-orang yang sakit dan meminumkannya kepada mereka sebagai obat, dan diriwayatkan bahwa beberapa pasien menjadi sembuh berkat rambut tersebut.
Sebagian sahabat mulai mencukur kepala sebagian yang lain. Kaum Muslimin ada yang mencukur habis dan ada yang memotong rambutnya saja, termasuk Hazrat Utsman r.a. dan Hazrat Abu Qatadah r.a.. Rasulullah saw. menjulurkan kepala dari tenda dan bersabda, “Semoga Allah merahmati orang-orang yang mencukur habis.” Ditanyakan kepada beliau saw., “Ya Rasulullah saw.! Bagaimana dengan yang memotong rambut?” Tiga kali beliau saw. bersabda, “Semoga Allah Taala merahmati orang-orang yang mencukur habis,” dan keempat kalinya bersabda, “dan semoga Dia juga merahmati orang-orang yang memotong rambut.”
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. tinggal di Hudaibiyah selama 19 hari dan diriwayatkan tinggal selama 20 malam. Muhammad bin Umar, Waqidi dan Ibnu Sa’d telah menyebutkan hal ini.
Hazrat Mirza Basyir Ahmad r.a. menjelaskan bahwa setelah selesai berkurban dll., Rasulullah saw. memerintahkan untuk kembali ke Madinah. Saat itu beliau saw. telah berada di Hudaibiyah hampir 20 hari. Ketika dalam perjalanan pulang beliau sampai di Kura’ul Ghamim dekat Usfan dan ketika itu sudah malam, beliau saw. mengumpulkan para sahabat dan bersabda, “Malam ini telah diturunkan kepadaku suatu surah yang lebih aku cintai dari segala sesuatu di dunia dan itu adalah:
اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًاۙ لِّيَغْفِرَ لَكَ اللّٰهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْۢبِكَ وَمَا تَاَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْمًاۙ وَّيَنْصُرَكَ اللّٰهُ نَصْرًا عَزِيْزًا
Ini adalah ayat 2-4 Surah Al-Fath. Kemudian ayat 28 juga berkaitan dengan hal ini bahwa:
لَقَدْ صَدَقَ اللّٰهُ رَسُوْلَهُ الرُّءْيَا بِالْحَقِّ ۚ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ اٰمِنِيْنَۙ مُحَلِّقِيْنَ رُءُوْسَكُمْ وَمُقَصِّرِيْنَۙ لَا تَخَافُوْنَ ۗ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada engkau suatu kemenangan yang agung. Supaya Allah mengampuni kelemahan engkau yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atas engkau dan membukakan bagi engkau jalan yang lurus menuju keberhasilan. Dan Allah pasti akan menolong engkau dengan pertolongan yang kuat.” (Al-Fath: 2-4)
“Sungguh Allah telah menggenapi mimpi Rasul-Nya ini yang Dia perlihatkan kepadanya, karena kalian pasti akan memasuki Masjidil Haram insya Allah dalam keadaan aman, dan setelah mempersembahkan kurban di jalan Allah, kalian akan mencukur atau memendekkan rambut kalian dan tidak akan ada ketakutan atas kalian.” (Al-Fath: 28)
Yakni, jika mereka memasuki Makkah tahun ini, maka tidak akan masuk dalam keadaan damai, melainkan masuk dalam keadaan perang dan pertumpahan darah. Akan tetapi, dalam mimpi, Allah Taala telah memperlihatkan masuk dalam keadaan damai; oleh karena itu, Allah Taala telah menciptakan keadaan damai sebagai hasil perjanjian tahun ini dan tidak lama lagi mereka akan memasuki Masjidil Haram dalam keadaan damai sesuai mimpi yang diperlihatkan Allah. Maka demikianlah yang terjadi.
Ketika Rasulullah saw. membacakan ayat-ayat ini kepada para sahabat, karena kepahitan Perjanjian Hudaibiyah masih tersisa di hati sebagian sahabat, mereka heran bahwa secara lahiriah mereka pulang dalam keadaan gagal tetapi Allah memberi selamat kepada kita mereka atas kemenangan yang diraih, bahkan beberapa sahabat yang bersikap tergesa-gesa mengatakan kata-kata berikut ini, “Apakah ini merupakan kemenangan bahwa kita pulang kembali setelah luput dari melakukan tawaf di Baitullah?” Ketika hal ini sampai kepada Rasulullah saw., beliau saw. menunjukkan ketidaksenangan yang besar dan dalam pidato singkat dengan semangat bersabda, “Ini adalah keberatan yang sangat tidak masuk akal, karena jika direnungkan, sungguh Perjanjian Hudaibiyah adalah kemenangan besar bagi kita.”
Beliau saw. bersabda, “Quraisy yang telah turun ke medan perang melawan kita, mereka sendiri telah meninggalkan perang dan membuat perjanjian damai dan berjanji membuka pintu Makkah untuk kita tahun depan dan kita pulang dengan aman dan selamat terlindung dari fitnah penduduk Makkah, seraya mencium aroma kemenangan mendatang. Alhasil, sungguh ini adalah kemenangan yang agung. Apakah kalian lupa pemandangan bagaimana Quraisy ini berulang kali menyerang kalian dalam Perang Uhud dan Ahzab? Dan bumi menjadi sempit bagi kalian meskipun luas dan mata kalian membeku dan hati naik ke tenggorokan. Tetapi hari ini orang-orang Quraisy tersebut membuat perjanjian damai dengan kalian.” Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah saw.! Kami mengerti, kami mengerti. Pandangan kami tidak sampai sejauh pandangan Anda. Namun sekarang kami telah mengerti bahwa sebenarnya perjanjian ini adalah kemenangan besar bagi kami.”
Hazrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
Allah Ta’ala menyebut peristiwa Hudaibiyah dengan nama kemenangan yang nyata dan berfirman:
اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًاۙ
Kemenangan itu bahkan tersembunyi dari kebanyakan sahabat, bahkan menyebabkan kemurtadan beberapa munafik. Namun, sebenarnya itu adalah kemenangan yang nyata. Meskipun pendahuluannya bersifat teoretis dan mendalam.
Allamah Baladzuri menulis:
Perjanjian ini membuahkan banyak hasil dan dampak. Pada akhirnya Makkah Mukarramah ditaklukkan. Semua penduduk Makkah masuk Islam. Berkelompok-kelompok orang mulai masuk Islam. Hal ini karena sebelum perjanjian ini, orang-orang tidak bisa bertemu satu sama lain dan pesan Rasulullah saw. belum jelas bagi mereka. Tidak ada orang yang datang kepada mereka yang menjelaskan keadaan beliau saw. secara rinci. Ketika Perjanjian Hudaibiyah terjadi, orang-orang bertemu satu sama lain. Kaum musyrik datang ke Madinah. Kaum Muslimin pergi ke Makkah. Mereka bertemu keluarga, teman dan orang-orang yang memiliki niat baik. Mereka mendengar tentang sabda-sabda dan mukjizat Rasulullah saw.. Mereka mengetahui tanda-tanda kenabian. Mereka mengenal akhlak mulia dan teladan baik beliau saw.. Mereka menyaksikan banyak hal dengan mata kepala sendiri, jiwa mereka condong kepada keimanan hingga banyak orang bergegas untuk beriman dan masuk Islam di pertengahan masa antara Perjanjian Hudaibiyah dan Fatah Makkah. Orang-orang yang lainnya condong kepada Islam, hingga pada hari Fatah Makkah semua masuk Islam. Penduduk Arab sebelumnya menunggu-nunggu orang-orang Quraisy masuk Islam. Ketika orang-orang Quraisy beriman, maka seluruh Arab beriman.
Hazrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Ketika Rasulullah saw. melakukan Perjanjian Hudaibiyah, di antara hasil-hasil beberkat Perjanjian Hudaibiyah adalah orang-orang mendapat kesempatan untuk datang kepada beliau saw. dan ketika mereka mendengar sabda-sabda Rasulullah saw, ratusan di antara mereka menjadi Muslim. Selama mereka belum mendengar sabda-sabda beliau saw, ada dinding penghalang antara mereka dan Rasulullah saw. yang tidak membiarkan mereka mengetahui keindahan dan keelokan beliau saw. dan seperti orang lain mengatakan pendusta, na’ūżubillāh, mereka juga mengatakannya dan tidak mendapat karunia dan keberkatan yang beliau saw. bawa karena mereka jauh. Tetapi ketika tirai itu terangkat dan mereka melihat dari dekat dan mendengar, maka mereka tidak lagi dalam keadaan luput dan mereka masuk ke dalam golongan orang-orang yang berbahagia.”
Sisanya insya Allah akan disampaikan pada kesempatan mendatang.[1]
[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd., dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim