Khotbah Jumat: Keistimewaan Ali bin Abi Thalib
Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 101, Khulafa’ur Rasyidin Seri 7)
Baca Juga:
- Riwayat ‘Ali bin Abi Thalib (Seri 1)
- Riwayat ‘Ali bin Abi Thalib (Seri 2)
- Riwayat ‘Ali bin Abi Thalib (Seri 3)
- Riwayat ‘Ali bin Abi Thalib (Seri 4)
- Riwayat ‘Ali bin Abi Thalib (Seri 5)
- Riwayat ‘Ali bin Abi Thalib (Seri 6)
- Riwayat ‘Ali bin Abi Thalib (Seri 7)
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 15 Januari 2021 (Sulh 1400 Hijriyah Syamsiyah/02 Jumadil Akhir 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Sebelumnya tengah berlangsung pembahasan mengenai Hadhrat ‘Ali (ra), hari ini pun masih membahas mengenai beliau (ra) dan hari ini materi yang telah saya kumpulkan mengenai beliau (ra) akan selesai, insyaa Allah.
Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam (علیہ الصلوة والسلام) bersabda, “Hadhrat Imam Husain Sahib (حضرت امام حسین صاحب) suatu kali bertanya, yakni berkata kepada Hadhrat ‘Ali (ra), ‘Apakah Anda mencintai saya?’
Hadhrat ‘Ali (ra) menjawab, ‘Ya!’
Hadhrat Husain ‘alaihissalaam (علیہ السلام) merasa sangat heran dengan hal ini dan berkata, ‘Bagaimana bisa dalam satu hati berkumpul dua kecintaan?’
Kemudian Hadhrat Imam Husain ‘alaihis salaam berkata, ‘Pada waktu bertempur Anda akan mencintai siapa?’
Hadhrat ‘Ali (ra) bersabda, ‘Saya mencintai Allah Ta’ala.’”[1]
Dalam menjelaskan peristiwa ini Hadhrat Mushlih Mau’ud radhiyAllahu ta’ala ‘anhu bersabda: “Hadhrat Hasan mengajukan satu pertanyaan kepada Hadhrat ‘Ali (ra), ‘Apakah Anda mencintai saya?’
Hadhrat ‘Ali (ra) bersabda, ‘Ya!’
Hadhrat Hasan kemudian bertanya, ‘Apakah Anda juga mencintai Allah Ta’ala?’
Hadhrat ‘Ali (ra) bersabda, ‘Ya!’
Hadhrat Hasan berkata, ‘Jika begitu maka Anda telah melakukan suatu corak syirk. Yang dikatakan syirik adalah menyekutukan sesuatu dengan Allah Ta’ala dalam kecintaan kepada-Nya.’
Hadhrat ‘Ali (ra) bersabda, ‘Wahai Hasan! Saya tidak melakukan syirik. Saya memang mencintai engkau, namun ketika kecintaan kepada engkau bertabrakan dengan kecintaan kepada Allah Ta’ala maka segera saya akan meninggalkannya.’”[2]
Kemudian di satu tempat dalam menjelaskan suatu peristiwa mengenai Hadhrat ‘Ali (ra), Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ketika Hadhrat ‘Ali (ra) menghadapi suatu musibah besar, maka beliau berdoa kepada Allah Ta’ala sebagai berikut, يا كَهَيَعَصَ اغْفِرْ لِي yang artinya, ‘Wahai Kaaf, Ha’, Ya’, ‘Ain, Shaad! Ampunilah hamba!’ [3]
Menurut satu riwayat dari Ummu Hani, Rasulullah (saw) bersabda menjelaskan makna dari huruf-huruf muqatha’at tersebut, Kaaf mewakili sifat Kaafi, Ha’ mewakili sifat Haadi dan ‘Ain mewakili sifat ‘Aalim atau ‘Aliim dan Shad mewakili sifat Shaadiq.[4] Itu artinya, beliau memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala, “Ya Allah! Engkau Maha Mencukupi, Engkau Maha Pemberi Petunjuk, Engkau Maha Mengetahui dan Engkau Maha Benar. Berikanlah ampunan kepadaku dengan perantaraan semua sifat Engkau.”[5]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Para ahli tafsir menyampaikan satu peristiwa mengenai Hadhrat ‘Ali (ra) bahwa suatu kali beliau (ra) memanggil salah satu pelayannya, namun ia tidak menyahut. Beliau (ra) berulangkali memanggil, namun tetap saja ia tidak memberikan jawaban. Tidak berapa lama kemudian beliau melihat anak laki-laki itu, lalu beliau (ra) bertanya kepadanya, مالك لَمْ تُجِبْنِي؟ ‘maa laka lam tujibni?’ artinya, ‘Apa yang terjadi denganmu sehingga berulangkali saya memanggilmu namun tidak menjawab?’ فَقَالَ لِثِقَتِي بِحِلْمِكَ، وَأَمْنِي مِنْ عُقُوبَتِكَ ‘faqaala litsiqati bi-hilmika wa amni min ‘uquubatika.’ Ia berkata, ‘Perkara yang sebenarnya adalah saya telah merasa yakin dengan kelembutan Anda dan saya merasa diri saya aman dari hukuman anda, oleh karena itu saya tidak menjawab panggilan anda.’ فَاسْتَحْسَنَ جَوَابَهُ فَأَعْتَقَهُ Hadhrat ‘Ali (ra) menyukai jawaban dari anak laki-laki tersebut. Beliau (ra) lalu membebaskannya.”[6]
Sekarang, jika seorang duniawi mengalami peristiwa seperti ini maka mungkin ia akan menghukumnya bahwa, “Kamu telah mengambil manfaat yang tidak semestinya dari sikap lembut saya.” Namun beliau memberikan hadiah kepada pelayan tersebut.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan bahwa ada seseorang yang biasa mengajar kedua putra Hadhrat ‘Ali (ra), yakni Hadhrat Hasan dan Hadhrat Husain. Hadhrat ‘Ali (ra) suatu kali lewat di hadapan putra-putranya, maka beliau mendengar guru mereka mengajarkan kepada putra-putra beliau (ra) Khaatiman Nabiyyiin. Hadhrat ‘Ali (ra) bersabda, “Janganlah mengajarkan dengan melafalkan Khaatiman Nabiyyiin kepada anak-anak saya. أقْرِئْهُما: وخاتَمَ النَّبِيِّينَ، بِفَتْحِ التّاءِ Maksudnya, ajarkanlah dengan fathah di atas huruf ta’, bukan dengan kasrah di bawah huruf ta’.”[7] Hal itu artinya, “Memang kedua qira’at (lafal bacaan) ini ada, namun saya lebih menyukai qira’at Khaataman Nabiyyiin, karena makna Khaataman Nabiyyiin adalah materai para Nabi, sedangkan makna dari Khaatiman Nabiyyiin adalah seseorang yang mengakhiri rangkaian para Nabi. Ajarilah anak-anak saya dengan ta’ yang diberi fathah.”
Kemudian Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Terbukti berkenaan dengan Hadhrat ‘Ali (ra) bahwa beliau adalah seorang Hafidz Qur’an, bahkan dari sisi penyusunan Al-Qur’an, beliau (ra) memulai pengerjaan penulisan Al-Qur’an segera setelah kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw).”[8]
Di satu tempat Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Seorang sahabat mengundang makan Hadhrat Rasulullah (saw). Beberapa sahabat juga diundang, termasuk di dalamnya Hadhrat ‘Ali (ra) juga. Usia Hadhrat ‘Ali (ra) relatif masih muda, oleh karena itu terpikir oleh beberapa sahabat untuk mencandai beliau (ra) dengan cara mereka memakan kurma dan mengumpulkan bijinya di hadapan Hadhrat ‘Ali (ra).
Rasulullah (saw) pun melakukan hal serupa. Hadhrat ‘Ali (ra) masih muda waktu itu, beliau sibuk makan dan tidak melihat ke arah tersebut. Ketika beliau melihat, di hadapan beliau terdapat gundukan biji kurma. Para sahabat mengatakan dengan bercanda, ‘Kamu telah memakan semua kurma. Lihatlah ini! Semua bijinya ada di depanmu.”
Hadhrat ‘Ali (ra) juga memiliki sifat humoris. Jika beliau bertabiat cepat naik darah maka beliau akan melawan para sahabat tersebut dan mengatakan, ‘Anda telah menuduh saya’, atau ‘Anda telah berburuk sangka kepada saya.’
Hadhrat ‘Ali (ra) paham bahwa ini adalah candaan terhadap beliau (ra). Hadhrat ‘Ali (ra) berpikir, ‘Sekarang adalah keunggulan saya untuk menjawab mereka dengan candaan juga.’ Beliau (ra) lalu bersabda, ‘Biji-bijinya pun dimakan oleh Anda semua, tapi saya menyisihkan biji-bijinya.’ Artinya, ‘Anda semua memakan kurma dengan biji-bijinya, namun saya menyisihkan biji-bijinya dan buktinya adalah adanya gundukan biji kurma di depan saya.’ Candaan ini menjadi berbalik kepada para sahabat.”[9]
Di satu tempat dalam menjelaskan mengenai Hadhrat ‘Ali (ra), Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Terdapat di dalam hadis-hadis bahwa suatu kali ketika Rasulullah (saw) menilawatkan Al-Qur’an, Hadhrat ‘Ali (ra) membetulkan bacaan beliau (saw) yang terlupa. Setelah selesai shalat beliau (saw) bersabda kepada Hadhrat ‘Ali (ra), ‘Ini bukanlah tugas anda, saya telah menetapkan orang lain untuk mengingatkan kekeliruan.’ Artinya, ketika Rasulullah (saw) menilawatkan Al-Quran Karim dalam shalat, mungkin ada yang terlupa lalu Hadhrat ‘Ali (ra) mengingatkan, maka Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, ‘Saya telah menetapkan orang lain untuk tugas ini, kamu jangan melakukannya.’ [10] Padahal Hadhrat ‘Ali (ra) pun sangat ‘Aalim.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) di tempat lain bersabda: “Di dalam Al-Qur’an terdapat perintah bahwa jika kalian ingin meminta pendapat kepada Rasulullah (saw), pertama berikanlah sedekah.[11] Sebelum turunnya perintah ini Hadhrat ‘Ali (ra) tidak pernah meminta suatu pendapat dari Hadhrat Rasulullah (saw), namun ketika perintah ini turun, Hadhrat ‘Ali (ra) datang ke hadapan beliau (saw) dan memberikan sejumlah uang sebagai sedekah lalu berkata, ‘Saya ingin meminta beberapa masukan/pendapat.’ Hadhrat Rasulullah (saw) mengajak ke tempat terpisah dan berbincang dengan Hadhrat ‘Ali (ra).
Seorang sahabat bertanya kepada Hadhrat ‘Ali (ra), ‘Anda berkonsultasi mengenai masalah apa?’ Hadhrat ‘Ali (ra) menjawab, ‘Tidak ada hal khusus yang membutuhkan konsultasi, namun saya ingin mengamalkan perintah Al-Qur’an ini.’ Inilah cara para sahabat.”
Di satu tempat terdapat juga riwayat semacam ini bahwa ada seorang sahabat pergi ke rumah orang-orang karena di dalam Al-Qur’an terdapat perintah, “Jika seorang pemilik rumah mengatakan kepadamu, “Kembalilah!”, maka kembalilah kamu.”[12]
Sahabat itu mengatakan, “Saya beberapa kali berusaha, bahkan terkadang setiap hari berusaha untuk paling tidak pergi ke rumah seseorang supaya ia mengatakan kepada saya, “Pulanglah!”, dan saya akan pulang dengan senang hati sehingga perintah Al-Quran Karim ini bisa terpenuhi. Namun keinginan saya ini tidak pernah terpenuhi. Tidak ada seorang tuan rumah pun yang mengatakan kepada saya untuk pulang.
Di masa sekarang ini jika kita mengatakan kepada seseorang, “Kami sedang sibuk, pulanglah,” atau sedang tidak bisa bertemu maka ia akan marah, namun ini lah ketakwaan para sahabat, yakni mereka berusaha mengamalkan setiap perintah Al-Qur’an Karim.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menuturkan, “Suatu kali Rasulullah (saw) meminta candah (sumbangan uang) dari para sahabat untuk suatu tujuan. Hadhrat ‘Ali (ra) pergi keluar. Beliau memotong rumput dan menjualnya lalu uang yang didapatkan beliau (ra) berikan untuk candah.”
Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) di satu tempat – sepertinya dalam satu daras beliau – menjelaskan mengenai satu peristiwa, beliau (rh) bersabda, “Hadhrat ‘Allamah Ubaidullah Sahib Bismil (عبيد الله بسمل) pada masa dahulunya ialah seorang ulama Syi’ah yang berkedudukan tinggi, seorang yang suci dan memiliki kedalaman serta keluasan ilmu. Ketika beliau menjadi Ahmadi, setelah itu tidak hanya pada masa Hadhrat Masih Mau’ud (as) saja, bahkan hingga terjadinya partisi dan setelah partisi pun beberapa buku beliau masih diajarkan di madrasah-madrasah Syiah.[13] Karena saya ingat, ketika saya masih bertugas di lembaga Waqfi Jadid, seorang kawan Syiah datang kepada saya untuk berbincang. Setelah perbincangan tersebut beliau merasa puas dan dengan karunia Allah Ta’ala menjadi Ahmadi. Setelah keputusan tersebut beliau mengatakan, ‘Saya tidak memberitahukan Anda sebelumnya bahwa saya adalah seorang Ulama Syiah.’”
Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) bersabda, “Saya tidak ingat kedudukan beliau, namun beliau berasal dari satu kampung di Sekhupurah atau satu kampung di Faisalabad. Beliau mengatakan, ‘Saya memiliki suatu kedudukan tertentu di dalam Syiah dan seorang ulama.’” Artinya, Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) mengatakan mengenai orang yang baiat ini bahwa beliau adalah seorang Ulama Syiah dan berasal dari Shekhupura.
Orang yang tadinya Syi’ah dan menjadi Ahmadi itu mengatakan, “Dan saya seorang ‘Alim dan memiliki kedudukan cukup tinggi dalam Syiah. Namun, hari ini saya beritahukan kepada Anda bahwa hingga saat ini buku-buku Ubaidullah Sahib Bismil masih terus diajarkan di madrasah-madrasah kami.” Begitu luar biasanya karisma beliau dan ilmu beliau.
Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) mengatakan, “Orang-orang Syiah tidak mengungkapkan kepada kita, juga kepada orang-orang dan tidak memberitahukan mengenai bagaimana mereka mengajarkan buku-buku Bismil Sahib.” Demikian Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) menyampaikan, “Saya baru tahu melalui perantaraan Ulama ini, namun mereka (orang-orang Syiah) ketika mengajar di sana tidak menyampaikan kepada para siswa mereka mengenai siapa itu Bismil Sahib dan apa yang terjadi dengan beliau kemudian. Bismil Sahib telah menerima Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan membuang semua kehormatan duniawi yang telah beliau raih semasa di kalangan Syiah.”
Yang akan saya sampaikan ini adalah referensi dari buku beliau (Bismil Sahib), yang berarti bukan referensi dari orang biasa. Setelah semua kata pengantar, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) yang juga menyampaikan referensi dari buku tersebut menulis bahwa Al-Baazaar menulis dalam Musnadnya mengenai Hadhrat ‘Ali (ra) bertanya kepada orang-orang, “Beritahukanlah! Siapakah orang yang paling pemberani?”
Orang-orang menjawab, “Andalah yang paling pemberani.”
Beliau (ra) bersabda, “Saya selalu bertempur dengan lawan yang sepadan dengan saya. Bagaimana bisa saya yang paling pemberani. Sekarang kalian beritahu saya siapa yang paling pemberani?”
Hadhrat ‘Ali (ra) bertanya kedua kalinya. – Bismil Sahib telah menulis ini di dalam bukunya dengan merujuk dari sebuah buku – orang-orang mengatakan, “Yang mulia, kami tidak mengetahui; sebutkanlah oleh Tuan.”
Beliau (ra) menyampaikan penjelasan, “Yang paling ksatria dan pemberani adalah Hadhrat Abu Bakr (ra)”. Beliau (ra) telah menyampaikan – yakni Hadhrat ‘Ali telah menyampaikan – “Yang paling ksatria dan pemberani adalah Hadhrat Abu Bakr (ra). Dengarlah! Di masa perang Badar, kami membuat satu tempat bernaung bagi Rasulullah (saw). Saat itu kami berunding bersama tentang siapakah yang akan berada di dalamnya bersama Rasulullah (saw); supaya jangan sampai ada orang musyrik yang menyerang Rasulullah (saw). Demi Tuhan, saat itu tidak ada satu pun diantara kami yang bersedia maju hingga seketika Hadhrat Abu Bakr Siddiq (ra) datang berdiri di samping Rasulullah (saw) seraya membawa pedang terhunus, dan kemudian tidak ada seorang musyrik pun yang sanggup berani datang ke dekat beliau. Andaikan ada seseorang yang tetap juga memberanikan diri melakukan hal demikian, maka beliau (ra) akan segera menebasnya. Oleh karena itu, beliau (ra) lah yang paling ksatria; yakni Hadhrat Abu Bakr (ra).” ini adalah yang Hadhrat ‘Ali (ra) telah sabdakan.
Hadhrat ‘Ali karramallahu wajhah bersabda, “Ada satu kesempatan peristiwa di mana orang-orang musyrik menangkap Rasulullah (saw) shallallahu ‘alaihi wasallam dan mereka berusaha menyeret-nyeret beliau (saw) dan mengatakan, ‘Engkaulah orang yang mengatakan bahwa Tuhan itu esa.’ Demi Tuhan, saat itu tidak ada seorang pun yang berani untuk melawan orang-orang musyrik.”
Hadhrat ‘Ali bersabda, “Demi Tuhan, tidak ada seseorang yang berani untuk melawan orang-orang musyrik, namun Hadhrat Abu Bakr Siddiq (ra) maju dan memukul mundur orang-orang Musyrik dan meminggirkan serta menyingkirkan mereka seraya terus mengatakan, ‘Sangat disesali bahwa kalian tengah berlaku aniaya kepada sesosok insan yang menyatakan bahwa Tuhan saya hanyalah Allah semata.’”
Setelah mengatakan demikian, Hadhrat ‘Ali (ra) mengangkat selendang beliau seraya menyelimutkannya di hadapan wajah beliau, di mana beliau sedemikian rupa menangis tersedu-sedu sehingga janggut beliau (ra) pun menjadi basah, dan beliau bersabda, “Semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada kalian. Wahai manusia, katakanlah, apakah mukmin yang berasal dari keluarga Fir’aun-lah [tercantum dalam Surah al-Mu-min (Ghafir), 40:29] yang baik atau Abu Bakr (ra)-lah yang baik? Orang-orang dari keluarga Fir’aun yang telah beriman, mereka tidaklah sedemikian rupa mengorbankan jiwanya kepada sosok Nabi mereka sebagaimana telah Abu Bakr (ra) lakukan.
Setelah mendengar demikian, orang-orang pun terdiam; maka Hadhrat [Ali] (ra) bersabda, “Wahai segenap manusia, mengapa kalian tidak menjawab? Demi Tuhan, sesaat di masa Abu Bakr (ra) adalah lebih baik daripada ribuan waktu orang beriman dari keluarga Fir’aun, dan bahkan lebih dari itu. Hal ini karena dahulu orang-orang seringkali menyembunyikan keyakinan mereka, sementara Abu Bakr (ra) telah menyatakan keimanan beliau secara luas.” [14]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan bahwa Rasul yang mulia (saw) telah memberikan nasihat kepada Hadhrat ‘Ali dimana beliau bersabda, “Wahai Ali, apabila melalui tabligh engkau, satu orang saja telah beriman, hal ini adalah lebih baik bagi engkau daripada kambing dan domba gembalaan engkau yang berjalan diantara dua buah gunung seraya membawa hasil pangan yang sangat berat dan engkau bersuka cita melihatnya.”
Ummul Mukminin Hadhrat Ummu Salamah menjelaskan, أَشْهَدُ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : مَنْ أَحَبَّ عَلِيًّا فَقَدْ أَحَبَّنِي ، وَمَنْ أَحَبَّنِي فَقَدْ أَحَبَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ، وَمَنْ أَبْغَضَ عَلِيًّا فَقَدْ أَبْغَضَنِي ، وَمَنْ أَبْغَضَنِي فَقَدْ أَبْغَضَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ “Saya memberikan kesaksian bahwa saya telah mendengar Rasulullah (saw) bersabda, ‘Siapa saja yang mencintai Ali, maka sesungguhnya ia mencintaiku, dan siapa yang mencintaiku, maka sesungguhnya ia mencintai Allah, dan siapa saja yang menaruh kebencian kepada Ali, maka sesungguhnya ia menaruh kebencian kepadaku, dan siapa saja yang menaruh kebencian kepadaku, sesungguhnya ia menaruh kebencian kepada Allah.’”[15]
(عَنْ زِرٍّ، قَالَ قَالَ عَلِيٌّ) Hadhrat Zirr menjelaskan bahwa Hadhrat ‘Ali (ra) telah bersabda, وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ إِنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ صلى الله عليه وسلم إِلَىَّ أَنْ لاَ يُحِبَّنِي إِلاَّ مُؤْمِنٌ وَلاَ يُبْغِضَنِي إِلاَّ مُنَافِقٌ “Demi Dzat yang telah membelah biji-bijian dan tumbuh serta menciptakan ruh, sesungguhnya Nabi Ummi (saw) telah berjanji demikian kepada saya bahwa hanya orang mukminlah yang akan mencintai saya dan hanya orang munafiklah yang akan membenci saya.”[16]
Hadhrat ‘Ali menjelaskan, دَعَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ فِيكَ مِنْ عِيسَى مَثَلًا أَبْغَضَتْهُ يَهُودُ حَتَّى بَهَتُوا أُمَّهُ وَأَحَبَّتْهُ النَّصَارَى حَتَّى أَنْزَلُوهُ بِالْمَنْزِلِ الَّذِي لَيْسَ بِهِ أَلَا وَإِنَّهُ يَهْلِكُ فِيَّ اثْنَانِ مُحِبٌّ يُقَرِّظُنِي بِمَا لَيْسَ فِيَّ وَمُبْغِضٌ يَحْمِلُهُ شَنَآنِي عَلَى أَنْ يَبْهَتَنِي أَلَا إِنِّي لَسْتُ بِنَبِيٍّ وَلَا يُوحَى إِلَيَّ وَلَكِنِّي أَعْمَلُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا اسْتَطَعْتُ فَمَا أَمَرْتُكُمْ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ فَحَقٌّ عَلَيْكُمْ طَاعَتِي فِيمَا أَحْبَبْتُمْ وَكَرِهْتُمْ “Rasulullah (saw) telah memanggil saya dan bersabda, ‘Permisalan engkau adalah seperti Isa. [Di satu pihak], orang-orang Yahudi telah sedemikian rupa membenci beliau dan melontarkan tuduhan kepada ibu beliau. Sementara itu, [di pihak lain], orang-orang Kristen karena kecintaan mereka, kecintaan mereka kepada Isa telah sedemikian rupa besarnya di mana mereka telah memberikan kepada beliau kedudukan yang sebenarnya bukan kedudukan beliau.’” Kemudian Hadhrat ‘Ali bersabda, “Ketahuilah, mengenai diri saya terdapat dua macam manusia yang kelak akan binasa, pertama adalah mereka yang karena sedemikian larut kecintaannya terhadap saya, mereka memberikan saya kedudukan yang bukan kedudukan saya, dan kedua adalah orang yang akan menaruh kebencian kepada saya, dan karena sikap permusuhannya akan mereka lontarkan tuduhan-tuduhannya kepada saya.”[17]
Hadhrat ‘Ali berkenaan dengan harta [rampasan] – yakni harta ghanimah yang didapatkan tanpa berperang dengan musuh – , dalam membagikan harta tersebut, beliau biasa menempuh cara yang dilakukan Hadhrat Abu Bakr (ra). Kapan pun datang harta demikian kepada beliau, maka beliau membagi-bagikan seluruh harta tersebut, dan beliau tidak menyisakan sedikitpun darinya kecuali harta yang tertinggal dari pembagian yang dilakukan pada hari tersebut.
Beliau (ra) senantiasa bersabda, يَا دنيا غري غيري “Wahai dunia, pergilah engkau dan tipulah orang lain selain aku”. Dari harta rampasan, beliau tidaklah mengambilnya untuk diri sendiri dan tidaklah beliau memberikan sedikitpun darinya untuk para sahabat karib beliau. Beliau memberikan kedudukan gubernur, pejabat tinggi, atau kedudukan lainnya hanyalah kepada orang-orang yang memegang amanat.[18]
Tatkala beliau mendengar ada berita seorang pejabat yang berlaku khianat, maka beliau menuliskan ayat berikut dan mengirimkannya kepadanya, قَدْ جاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ من رَبِّكُمْ ‘Sesungguhnya telah datang kepada engkau nasihat dari Tuhan engkau’ (Yunus, 10:58), dan أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ () ‘sempurnakanlah ukuran dan timbangan dengan adil, dan janganlah memberi barang-barang orang lain setelah menguranginya, dan janganlah menyebarkan kekisruhan seraya berlaku kerusakan di muka bumi. بَقِيَّتُ اللَّهِ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ۚ وَمَا أَنَا عَلَيْكُم بِحَفِيظٍ () Apapun yang tersisa dari usaha jual beli engkau, dari sisi Allah itu adalah lebih baik bagi engkau jika engkau mukmin yang sebenarnya dan aku tidaklah pengawas bagi engkau’. (Surah Hud, 11:86-87)
Selanjutnya beliau menuliskan, إذا أتاك كتابي هَذَا فاحتفظ بما فِي يديك من أعمالنا حَتَّى نبعث إليك من يتسلمه منك ‘Tatkala surat saya ini sampai kepada Anda, simpanlah perbendaharaan kami yang terdapat pada Anda hingga kami mengirimkan salah seorang dari para Amil (Pejabat) yang akan mengambil harta tersebut dari Anda.”
Kemudian beliau (ra) menengadahkan pandangan ke langit dan bersabda, اللَّهمّ إنك تعلم إِنِّي لم أمرهم بظلم خلقك، ولا بترك حقك “Wahai Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya tidak telah memberikan perintah kepada mereka untuk berlaku aniaya kepada makhluk Engkau dan untuk meninggalkan hak Engkau.”[19]
Abjar bin Jurmuz (أبجر بْنُ جُرْمُوزٍ) meriwayatkan dari ayahnya bahwa beliau berkata, “Saya telah melihat Hadhrat ‘Ali bin Abi Talib keluar menuju Kufah, dan beliau mengenakan dua buah kain qitri – Qitar adalah nama sebuah desa di Bahrain di mana selendang-selendang bercorak garis merah dibuat di sana – yang mana satu kain beliau lipat sebagai penutup bagian bawah, dan kain kedua beliau letakkan di bagian atas beliau; beliau menutup bagian bawah beliau hingga setengah betis beliau. saat itu beliau berjalan kaki di pasar seraya menggenggam bungkusan dan terus menyerukan kepada khalayak untuk bertakwa kepada Allah, berkata jujur, mengadakan jual beli dengan sebaik-baiknya, dan menyempurnakan ukuran dan timbangan.”[20]
Diriwayatkan dari Mujamma’ Taymi, “Ada satu kesempatan dimana Hadhrat ‘Ali membagi-bagikan diantara umat Islam keseluruhan harta yang terdapat di Baitul Mal. Kemudian beliau memerintahkan untuk memberikan tanda di tempat tersebut lalu beliau menunaikan shalat dengan harapan agar di hari kiamat kelak ia akan memberikan persaksian untuk beliau.”[21]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) di satu tempat bersabda seraya menyebut perihal Hadhrat Ali, “Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam pada tanggal 7 Desember 1892 telah menjelaskan satu rukya beliau, ‘Betapa mengherankan apa yang saya lihat, saya telah menjadi Hadhrat ‘Ali karramallahu wajhah – yakni, dalam pemandangan mimpi, saya seolah meyakini sebagai dia; karena diantara keajaiban-keajaiban mimpi, salah satu diantaranya juga adalah di beberapa kesempatan seseorang meyakini dirinya sebagai orang lain – . Jadi, saat itu saya meyakini diri sebagai ‘Ali al-Murtadha, dan saat itu terjadi suatu keadaan dimana satu golongan Khawarij melawan saya dan tengah berupaya merintangi khilafat saya – yakni kelompok itu ingin untuk menghalangi perkara khilafat saya, dan saat itu tengah berjalan suatu permainan fitnah – maka saat itu saya melihat Rasulullah (saw) ada di dekat saya dan beliau bersabda kepada saya dengan segenap kelemah-lembutan dan kasih sayang, يا عليّ دَعْهم وأنصارَهم وزراعتَهم yang artinya ‘Wahai Ali, menghindarlah dari mereka, dari pesuruh-pesuruh mereka, dan dari tanah pertanian mereka, serta tinggalkanlah mereka dan berpalinglah dari mereka.’”
Maka saya [Hadhrat Masih Mau’ud] mendapatkan bahwa pada masa fitnah tersebut, Yang Mulia Rasulullah (saw) memberi nasihat untuk bersabar dan menegaskan untuk menghindarkan diri serta bersabda, إنك أنت على الحق، ولكن الأفضل تركُ مخاطبة هؤلاء الناس “Engkaulah yang berada di atas kebenaran. Namun, tidak berbicara dengan orang-orang tersebut adalah lebih baik.’”[22]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) lebih lanjut menjelaskan, “Hadhrat ‘Ali (ra) telah mengambil alih segala sesuatu milik para laskar Khawarij. Senjata serta tunggangan-tunggangan perang memang telah dibagi-bagikan kepada orang-orang, namun sesampainya beliau di Kufah, barang-barang, para budak laki-laki dan perempuan dikembalikan ke pemilik masing-masing.”[23]
Kemudian dari satu rujukan lain Hadhrat Mushlih Mau’ud menjelaskan, “Dibandingkan dengan masa Hadhrat Abu Bakr, masa Hadhrat ‘Umar adalah lebih jauh dari zaman Rasul yang mulia (saw). Demikianlah juga keadaan Hadhrat Utsman dan Hadhrat Ali. Memang kedudukan beliau berdua adalah berada di bawah para Khalifah sebelum beliau-beliau. Akan tetapi, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di masa beliau-beliau bukan sebagai akibat dari lebih rendahnya maqam beliau-beliau (Hadhrat Utsman dan Hadhrat Ali) melainkan karena pengaruh jauhnya masa [kekhalifahan] beliau-beliau dengan zaman Rasul yang mulia (saw).
Sebab, di masa Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat Umar, kebanyakan yang ada di masa tersebut adalah mereka yang telah mengenyam kehidupan bersama Rasul yang mulia (saw);namun setelah mereka, orang-orang selain mereka telah lebih banyak mengambil peranan dan lebih berpengaruh.
Maka dari itu, tatkala seseorang bertanya kepada Hadhrat Ali, ‘Di masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr dan di masa Hadhrat ‘Umar tidak terjadi fitnah dan kekisruhan yang sedemikian rupa sebagaimana tengah terjadi pada masa Anda’, maka beliau menjawab, ‘Hal sebenarnya adalah, orang-orang yang saat itu ada di bawah Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat ‘Umar adalah orang-orang seperti saya, dan orang-orang yang kini ada di bawah saya adalah orang-orang seperti Anda.’”[24]
Kemudian di satu tempat lain, Hadhrat Mushlih Mau’ud bersabda seraya menjelaskan satu peristiwa: “Ada seseorang di masa tersebut – masa terjadi peperangan antara Hadhrat ‘Ali dan Muawiyah – yang datang kepada Hadhrat Abdullah bin ‘Umar seraya berkata, ‘Mengapa Anda tidak ikut serta di pertempuran-pertempuran di masa Hadhrat Ali, padahal di dalam Al-Quran Karim secara jelas tertera, قَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ “Perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah”?’
Beliau menjawab bahwa Rasul yang mulia (saw) memang telah bersabda [tentang ini]. Beliau (ra) lalu menjawab, فَعَلْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ الْإِسْلَامُ قَلِيلًا فَكَانَ الرَّجُلُ يُفْتَنُ فِي دِينِهِ إِمَّا قَتَلُوهُ وَإِمَّا يُعَذِّبُونَهُ حَتَّى كَثُرَ الْإِسْلَامُ فَلَمْ تَكُنْ فِتْنَةٌ ‘Kami telah melaksanakan perintah ini di masa Rasul yang mulia (saw) tatkala Islam saat itu sangat sedikit, dan umat Muslim saat itu tengah berada di dalam ujian karena keyakinan mereka.’ Maksudnya, tatkala itu mereka sampai dibunuh dan dirundung musibah. ‘Sampai Islam pun telah tersebar dan tidak ada seorang pun [kini] yang ditimpa ujian.’”[25] Itu artinya, “Apabila dahulu terjadi peperangan-peperangan, itu karena umat Muslim dipaksa musuh untuk mengubah agamanya sehingga umat Muslim terpaksa melawan orang-orang yang ingin mengubah agama mereka. Sementara itu, kini agama telah kokoh, Islam telah menjadi kuat. Tidak ada lagi perselisihan tentang keyakinan-keyakinan meski terdapat perselisihan-perselisihan dalam pendapat tertentu masing-masing. Oleh sebab inilah, saya tidak ikut di dalam peperangan-peperangan seperti itu.”[26] Walhasil, ini adalah pendapat beliau sendiri saat itu.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan: “Tatkala Raja Romawi mengetahui adanya pertempuran antara Hadhrat ‘Ali dan Hadhrat Muawiyah dan berkeinginan untuk menyerang negeri-negeri Islam, maka Hadhrat Muawiyah menulis kepadanya, ‘Berhati-hatilah, janganlah Anda tertipu dengan perselisihan yang tengah terjadi diantara kami. Jika Anda menyerang, maka komandan pertama dari pihak Hadhrat ‘Ali yang akan berangkat untuk melawan Anda adalah saya.’ [27]
Mengenai rinciannya, secara lebih terperinci pun Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) telah menjelaskan sebagai berikut, “Pada saat itu ada satu masa tatkala Raja Romawi melihat adanya pertikaian antara Hadhrat ‘Ali dan Hadhrat Mu’awiyah, di mana ia pun menginginkan agar ia mengirimkan satu laskar-laskar untuk menyerang umat Islam – saat itu kedigdayaan Kemaharajaan Romawi adalah sebagaimana Amerika Serikat saat ini – Setelah mengetahui niat raja yang akan menyerang, seorang pendeta yang cerdas berkata, ‘Wahai raja! Mohon terima saran saya untuk tidak menyerang, karena meskipun pada lahiriahnya mereka saling menentang, namun mereka akan bersatu untuk melawan tuan dan melupakan permusuhan mereka.’
Pendeta itu memberikan contoh, atas dasar niat apa ia memberikan contoh berikut, apakah untuk menghina atau memahami bahwa ini adalah permisalan yang lebih baik, pendeta itu memberikan permisalan, ‘Silahkan tuan membeli dua anjing lalu biarkanlah mereka itu kelaparan sampai bebarapa waktu, kemudian letakkanlah daging di hadapan mereka, maka mereka akan mulai menyerang satu sama lain. Namun jika tuan melepaskan singa di hadapan kedua anjing itu, maka keduanya akan melupakan permusuhannya lalu melawan singa.’
Pendeta itu berkata, ‘Hal itu jika tuan ingin mengambil manfaat dari pertentangan antara Hadhrat ‘Ali dengan Hadhrat Muawiyah, namun, saya beritahukan ketika menghadapi musuh dari luar, kedua kelompok ini akan melupakan permusuhan satu sama lain dan bersatu untuk menghadapi musuh.’ Inilah apa yang terjadi.
Ketika Hadhrat Muawiyah mengetahui niat raja Romawi, Hadhrat Muawiyah mengirimkan pesan, mengatakan, ‘Kamu ingin mengambil manfaat dari pertikaian kami untuk menyerang umat Islam, namun aku beritahukan padamu, memang saya bertikai dengan Hadhrat Ali, namun jika laskar kalian menyerang Hadhrat Ali, akulah jenderal pertama tampil dari pihak Hadhrat ‘Ali untuk menghadapi laskar kalian.’”[28]
Hadhrat Ibu Abbas meriwayatkan Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, أَقْضَانَا عَلِيٌّ، وَأَقْرَؤُنَا أُبَيٌّ، وَإِنَّا لَنَدَعُ مِنْ قِرَاءةِ أُبَيٍّ. “Pemberi keputusan terbaik dari antara kami adalah ‘Ali sedangkan Qari’ terbesar adalah Ubay (ra).”[29]
Hadhrat Ummu Athiyah (أُمُّ عَطِيَّةَ) meriwayatkan, بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَيْشًا فِيهِمْ عَلِيٌّ قَالَتْ فَسَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ رَافِعٌ يَدَيْهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ لَا تُمِتْنِي حَتَّى تُرِيَنِي عَلِيًّا “Rasulullah (saw) mengirimkan satu laskar yang terdapat Hadhrat Ali. Saya mendengar Rasulullah (saw) berdoa, ‘Ya Tuhan! Janganlah berikan kematian padaku sebelum Engkau memperlihatkan ‘Ali padaku.’”[30]
Suatu hari Rasulullah (saw) mengutus Hadhrat ‘Ali ke suatu Sariyah (ekspedisi militer), setelah pulang, Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda kepada Hadhrat Ali, “Allah, Rasul-Nya dan Jibril ridha padamu.”[31]
Terdapat satu kejadian, Amir Muawiyah berkata kepada Dhirar ash-Shuda-i [ضِرَارٍ الصُّدَائِيِّ, Dhirar ibn Dhamrah ash-Shuda-i Al-Kannani, seorang Sahabat Hadhrat ‘Ali ra], يَا ضِرَارُ, صِفْ لِي عَلِيًّا ‘Yaa Dhiraar, shif li ‘Aliyyan!’ – “Wahai Dhirar, uraikanlah kepada saya sifat-sifat Ali!”
Dhirar berkata, أَعْفِنِي يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ “Mohon maaf untuk hal ini, wahai Amirul Mu-minin?”
Amir Muawiyah berkata, لَتَصِفَنَّهُ “Anda harus memberitahukannya.”
Dhirar berkata, أَمَّا إِذَا لَا بُدَّ مِنْ وَصْفِهِ: “Jika memang demikian, silahkan dengarkan, فَكَانَ وَاللهِ بَعِيدَ الْمَدَى، شَدِيدَ الْقُوَى يَقُولُ فَصْلاً، وَيَحْكُمُ عَدْلاً، يَتَفَجَّرُ الْعِلْمُ مِنْ جَوَانِبِهِ، وَتَنْطِقُ الْحِكْمَةُ مِنْ نَوَاجِذِهِ، يَسْتَوْحِشُ مِنَ الدُّنْيَا، وَزَهْرَتِهَا، وَيَسْتَأْنِسُ مِنَ اللَّيْلِ وَوَحْشَتِهِ، وَكَانَ وَاللهِ غَزِيرَ الْعَبْرَةِ، طَوِيلَ الْفِكْرَةِ، وَيُقَلِّبُ كَفَّهُ، وَيُخَاطِبُ نَفْسَهُ، يُعْجِبُهُ مِنَ اللِّبَاسِ مَا قَصُرَ، وَمِنَ الطَّعَامِ مَا خَشُنَ، كَانَ فِينَا كَأَحَدِنَا، يُجِيبُنَا إِذَا سَأَلْنَاهُ، وَيُنَبِّئُنَا إِذَا اسْتَنْبَأْنَاهُ demi Allah! Hadhrat ‘Ali adalah orang yang memiliki pandangan yang jauh ke depan dan sangat kuat. Ucapannya menyelesaikan setiap masalah, hukuman yang dijatuhkannya mencerminkan keadilan. Ilmu memancar dari dirinya, hikmah selalu menghiasinya. Beliau menjauhkan dirinya dari duniawi dan gemerlapnya, mencintai malam dan keheningannya. Beliau banyak menangis dan berpikir panjang. Beliau menyukai pakaian yang sederhana dan makanan secukupnya. Bila beliau berada di tengah-tengah kerumunan orang, tidak terlihat berbeda dengan orang lain. Beliau pasti menjawab bila ditanya. Beliau senantiasa memberikan kabar bila kami menanyakan sesuatu.
وَنَحْنُ وَاللهِ مَعَ تَقْرِيبِهِ إِيَّانَا وَقُرْبِهِ مِنَّا ، لَا نَكَادُ نُكَلِّمُهُ لِهَيْبَتِهِ، وَلَا نَبْتَدِيهِ لِعَظَمَتِهِ، فَإِنْ تَبَسَّمَ فَعَنْ مِثْلِ اللُّؤْلُؤِ الْمَنْظُومِ، يُعَظِّمُ أَهْلَ الدِّينِ، وَيُحِبُّ الْمَسَاكِينَ، لَا يَطْمَعُ الْقَوِيُّ فِي بَاطِلِهِ، وَلَا يَيْأَسُ الضَّعِيفُ مِنْ عَدْلِهِ Demi Allah! Walaupun beliau senantiasa mendekatkan dirinya kepada para sahabat atau beliau berada dekat-dekat dengan mereka, para sahabat segan berbicara dengannya. Keseganan itu muncul dari wibawa yang dimilikinya. Beliau senantiasa menghormati para agamawan dan dekat dengan orang-orang miskin. Orang kaya tidak akan memanfaatkannya dalam kebatilan, sebagaimana orang lemah tidak pernah berputus asa akan keadilannya.
وَأَشْهَدُ لَقَدْ رَأَيْتُهُ فِي بَعْضِ مَوَاقِفِهِ، وَقَدْ أَرْخَى اللَّيْلُ سُدُولَهُ، وَغَارَتْ نُجُومُهُ، وَقَدْ مثل فِي مِحْرَابِهِ، قَابِضاً عَلَى لِحْيَتِهِ، يَتَمَلْمَلُ تَمَلْمُلَ السَّلِيمِ، ـ يعني المريض ـ وَيَبْكِى بُكَاءَ الْحَزِينِ، وَيَقُولُ: Demi Allah! Dalam beberapa kesempatan saya melihat, ketika malam tengah berlalu dan bintang-gemintang mulai berkurang, beliau memegang janggut lalu merintih layaknya orang yang digigit ular berbisa dan menangis seperti orang yang berduka dan berkata, يَا دُنْيَا غُرِّي غَيْرِي، أَبِي تَعَرَّضْتِ؟ أَمْ إِلَيَّ تَشَوَّقْتِ؟ هَيْهَاتَ هَيْهَاتَ، غُرِّي غَيرِي، قَدْ بَايَنْتُكِ ثَلَاثاً لَا رَجْعَةَ فِيهَا، فَعُمْرُكِ قَصِيرٌ، وعَيشُكِ حَقِيرٌ، وَخَطَرُكِ كَبيرٌ ‘Wahai dunia! Pergilah engkau, kelabui saja orang lain selain aku dengan gemerlapmu, janganlah buang-buang waktu untuk menjerumuskanku karena aku tidak akan tertarik. Apa yang engkau inginkan, tidak akan pernah terwujud, tidak akan pernah. Aku telah memberikan tiga talak padamu yang setelahnya tidak akan rujuk lagi karena umurmu sedikit dan kehidupanmu tidak berharga sementara ancaman bahayamu amat besar.’ (Hadhrat ‘Ali tengah mengatakan sesuatu kepada dunia dalam bahasa perumpamaan)
آهٍ مِنْ قِلَّةِ الزَّادِ، وَبُعْدِ السَّفَرِ، وَوَحْشَةِ الطَّرِيق ‘Aah, alangkah sedikitnya perbekalan, masih panjangnya perjalanan dan mengerikannya jalan!’”
Mendengar penjelasan mengenai sifat-sifat Hadhrat ‘Ali tersebut, Hadhrat Muawiyah menangis dan berkata: رحم الله أَبَا الْحَسَن، كَانَ والله كذلك، فكيف حزنك عَلَيْهِ يَا ضرار؟ Semoga Allah mengasihi Ayahnya Hasan, demi Allah memang beliau demikian adanya. Wahai Dhirar! Bagaimana kesedihanmu ketika wafatnya Hadhrat Ali?”
Dhirar berkata, حُزْنُ مَنْ ذُبِحَ وَلَدُهَا وَهُوَ فِي حِجْرهَا “Kesedihanku seperti kesedihan seorang ibu yang anaknya disembelih dalam pelukannya.” [32]
Keputusan bersifat pengadilan yang diberikan Hadhrat ‘Ali sangat masyhur, saya akan sampaikan beberapa diantaranya. Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ada satu peristiwa yang terjadi pada zaman Hadhrat ‘Ali sebagaimana ditulis oleh ath-Thabari. Dikisahkan, sejak permulaan Islam, kehati-hatian seperti itu selalu diamalkan. Kisahnya sebagai berikut, Yazid bin Adi bin Utsman (يَزِيدَ بْنِ عَدِيِّ بْنِ عُثْمَانَ) meriwayatkan,… “
Dalam hal ini Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis seluruh kalimat Bahasa Arabnya, namun saat ini akan saya tinggalkan tulisan Bahasa Arabnya, insya Allah teks Arabnya akan dicantumkan pada edisi cetakan lengkap khotbah nantinya.
عَنْ نَاجِيَةَ الْقُرَشِيِّ، عَنْ عَمِّهِ يَزِيدَ بْنِ عَدِيِّ بْنِ عُثْمَانَ، قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا ع خَارِجًا مِنْ هَمْدَانَ، فَرَأَى فِئَتَيْنِ يَقْتَتِلانِ، فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا، ثُمَّ مَضَى فَسَمِعَ صَوْتًا يَا غَوْثًا بِاللَّهِ! فَخَرَجَ يَحْضُرُ نَحْوَهُ حَتَّى سَمِعْتُ خَفْقَ نَعْلِهِ وَهُوَ يَقُولُ: أَتَاكَ الْغَوْثُ، فَإِذَا رَجُلٌ يُلازِمُ رَجُلا، فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، بِعْتُ هذا ثوبا بتسعه دراهم، وشرطت عليه الا يُعْطِيَنِي مَغْمُوزًا وَلا مَقْطُوعًا- وَكَانَ شَرْطَهُمْ يَوْمَئِذٍ- فَأَتَيْتُهُ بِهَذِهِ الدَّرَاهِمِ لِيُبَدِّلَهَا لِي فَأَبَى، فَلَزِمْتُهُ فَلَطَمَنِي، فَقَالَ: أَبْدِلْهُ، فَقَالَ: بَيِّنَتُكَ عَلَى اللَّطْمَةِ، فَأَتَاهُ بِالْبَيِّنَةِ، فَأَقْعَدَهُ ثُمَّ قَالَ: دُونَكَ فَاقْتَصَّ، فقال: انى قَدْ عَفَوْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، قَالَ: إِنَّمَا أَرَدْتُ أَنْ أَحْتَاطَ فِي حَقِّكَ، ثُمَّ ضَرَبَ الرَّجُلَ تِسْعَ دِرَّاتٍ، وَقَالَ: هَذَا حَقُّ السُّلْطَانَ .
Saya akan sampaikan terjemahannya sebagai berikut, “Saya (Yazid bin Adi Bin Utsman) melihat Hadhrat ‘Ali tengah berada di luar Hamdan. Pada saat itu, beliau (ra) melihat dua kelompok yang sedang berkelahi lalu beliau mendamaikannya. Namun, belum saja beliau pergi jauh, terdengar oleh beliau suara seseorang yang mengatakan, ‘Tolonglah kemari, demi Tuhan.’
Lalu beliau (ra) berlari ke arah suara itu, hingga terdengar suara terompah beliau sambil terus mengatakan, ‘Bantuan datang! Bantuan datang!’ Ketika beliau sampai di tempat itu, beliau melihat, ada seorang pria yang sedang menyerang seseorang.
Ketika melihat Hadhrat ‘Ali datang, orang yang diserang itu berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin! Saya telah menjual kain kepadanya senilai 9 dirham dengan syarat koin dirham yang dia bayarkan jangan cacat dan jangan terpotong dan ia menyetujui syarat tersebut. Namun, ketika ia memberikan koin dirhamnya kepada saya, sebagiannya ada yang terpotong. Ketika saya datang untuk mengembalikannya dan minta ganti, orang ini malah menolaknya. Ketika saya bersikeras padanya, ia malah menampar saya.’
Hadhrat ‘Ali berkata kepada si pembeli, ‘Gantilah uangnya.’
Orang kedua berkata, ‘Berikan bukti tamparan.’
Ketika ia telah membuktikannya, Hadhrat ‘Ali mendudukan orang yang menampar dan bersabda kepada orang yang ditampar, ‘Silahkan balas!’
Orang itu berkata, ‘Wahai Amirul mukminin! Saya telah memaafkannya.’
Hadhrat ‘Ali bersabda, ‘Memang engkau telah memaafkannya, namun saya ingin untuk menempuh kehati-hatian dalam pemenuhan hakmu.’ Nampaknya orang yang dipukul itu lugu, tidak menyadari capaian dan kerugiannya.[33]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Hadhrat ‘Ali menghukum orang yang memukul itu dengan 9 (sembilan) deraan cambuk. Dan bersabda kepada pelaku pemukulan, ‘Memang si korban telah memaafkanmu, namun hukuman ini adalah dari pemerintah.’”[34]
Ada satu kejadian lagi yang dijelaskan oleh Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra), bersabda, “Satu contoh baik dijumpai dari amalan Hadhrat Ali. Suatu hari beliau (ra) melihat ada seseorang tengah memukuli seorang lainnya. Hadhrat ‘Ali menghentikannya dan mengatakan kepada yang dipukul, ‘Sekarang pukul dia.’ Namun, orang yang dipukul itu berkata, ‘Saya sudah memaafkannya.’ Hadhrat ‘Ali paham bahwa ia menolaknya karena takut, karena orang yang memukul adalah orang yang galak. Untuk itu, Hadhrat ‘Ali bersabda, ‘Kamu telah memaafkannya atas dasar hak pribadi. Namun saya akan gunakan hak kaum.’ Lalu Hadhrat ‘Ali menghukum orang itu setimpal dengan kesalahannya.”[35]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menceritakan kisah yang dialami Hadhrat ‘Ali (ra), “Suatu kali Hadhrat ‘Ali menghadapi persidangan dipimpin oleh seorang hakim Islami. Sang Hakim menghargai kedudukan Hadhrat Ali. Melihat perlakuan demikian, Hadhrat ‘Ali bersabda, ‘Penghargaan yang Anda berikan kepada saya merupakan bentuk ketidakadilan. Saat ini status saya sama dengan pihak yang lain.’”[36]
Dalam menjelaskan keistimewaan Hadhrat Ali, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Bukankah beliau merupakan salah seorang penceramah yang fasih dan padat yang memberikan ruh pada untaian kata. Mengumpulkan orang dengan gaya bahasa yang padat dan indah dan juga memberikan kesan mendalam bagi para pendengar, bagi beliau hanya memerlukan waktu satu jam saja bahkan lebih kurang dari itu.”[37]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Sesungguhnya saya mengetahui bahwa tidak akan ada orang yang dapat menjadi Mukmin (orang beriman) atau Muslim (orang Islam) sebelum menyerap semua corak sifat Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat Umar, Hadhrat Usman, dan Hadhrat ‘Ali ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin. Mereka tidak cinta duniawi melainkan mewaqafkan kehidupan mereka di jalan Allah semata.”[38]
Beliau (as) bersabda, يعدّ الخوارج عليّا فاسقا وينسبون إليه أمورا كثيرة تنافي التقوى بل يعُدّونه عاريا من حُلَّة الإيمان نهائيا. فهنا ينشأ السؤال بطبيعة الحال: أنه ما دامت التقوى والأمانة والإخلاص شرطا للصدِّيق، فلماذا جعل الله تعالى سيرة هؤلاء العظام والأشراف من الدرجة العليا- وهم الرسل والأنبياء والأولياء- مشتبَهًا فيها في أعين عامة الناس؟ فعجزوا عن استيعاب أقوالهم وإدراك أفعالهم حتى عدُّوهم خارجين عن دائرة التقوى والأمانة والإخلاص، وزعموا أنهم كانوا ظالمين وآكلي مالٍ حرامٍ وسفاكي دماء بغير حق وكذابين وناقضي العهود وأنانيين ومجرمين؟ في حين يوجد في الدنيا أناس كثيرون لا يدّعون الرسالة ولا النبوة، ولا يعتبرون أنفسهم أولياء أو أئمة أو خلفاء المسلمين، ومع ذلك لا يقع على سيرتهم وحياتهم أيُّ اعتراض. Kaum Khawarij menuduh fasik kepada Hadhrat ‘Ali dan menisbahkan banyak hal yang bertentangan dengan takwa kepada beliau ra, bahkan menganggap beliau kosong dari keimanan. (artinya, mereka menganggap Hadhrat ‘Ali kosong dari keimanan, kosong dari perhiasan keimanan.) Dalam hal ini secara alami timbul pertanyaan, sebagaimana untuk menjadi shiddiq disyaratkan adanya ketakwaan, amanah, jujur, lantas semua wujud suci dan manusia yang berderajat tinggi – yakni Rasul, Nabi dan Wali -, kenapa Allah Ta’ala menutupi hal ihwal mereka dari pandangan umumnya manusia?”
Kenapa orang-orang tidak memahaminya dengan baik, kenapa seluruh keadaan dan teladan para wujud suci itu tersembunyi dan orang-orang tidak mampu untuk memahami amalan dan ucapan beliau-beliau?
“Sampai mereka menganggap wujud-wujud suci tersebut keluar dari takwa, menjaga amanah dan kejujuran dan beranggapan seakan-akan mereka adalah orang yang aniaya, memakan harta haram, pembunuh, penipu, pelanggar janji, egois dan pendosa. Padahal di dunia ini banyak sekali dijumpai orang-orang yang tidak mendakwakan sebagai Rasul, tidak juga Nabi dan tidak juga menamakan dirinya Imam, Khalifatul Muslimin, namun meskipun demikian, tidak ada keberatan yang dilontarkan atas tingkah polah dan kehidupan mereka.
فالجواب على هذا السؤال أن الله قدّر ذلك لكي يجعل عباده المقبولين والمحبوبين الخواص في خفاء عن أعين الأشقياء المتسرعين الذين يسيئون الظن عادةً، كما أنه بنفسه خفيٌّ عن أعين الذين يسيئون الظن بهذه الطريقة Sebagai jawaban atas pertanyaan ini, Allah Ta’ala melakukan ketetapan demikian untuk membiarkan para kekasih-Nya yang khas tertutup dari pandangan orang-orang berhati jahat yang biasa tergesa-gesa dalam melemparkan penilaian dan sifat kebiasaannya suka berburuk sangka terhadap orang lain sebagaimana Allah Ta’ala sendiri tertutup dari pandangan orang-orang yang suka berburuk sangka seperti ini.”[39]
Itu artinya orang yang mengatakan demikian sendirinya adalah kurang ajar dan berburuk sangka. Sebagaimana Allah Ta’ala sendiri membiarkan diri-Nya tertutup dan orang-orang berburuk sangka padaNya. Seperti itu pula para kekasih-Nya pun, orang-orang yang kurang ajar itu yang tergesa gesa, menuduh mereka. Orang-orang yang menuduh para muttaqi itulah sebetulnya yang kosong dari ketakwaan.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “ولا شك أن عليّا كان نُجعةَ الرُوّاد وقدوة الأجواد، وحجة الله على العباد، وخيرَ الناس من أهل الزمان، ونورَ الله لإنارة البلدان، ولكن أيام خلافته ما كان زمن الأمن والأمان، بل زمان صراصر الفتن والعدوان. وكان الناس يختلفون في خلافته وخلافة ابن أبي سفيان، وكانوا ينتظرون إليهما كحيران، وبعضهم حسبوهما كفَرْقَدَي سماءٍ وكزَنْدَينِ في وِعاءٍ. والحق أن الحق كان مع المرتضى، ومَن قاتَلَه في وقته فبغى وطغى”. ‘wa laa syakka an ‘Aliyyan kaana nuj’atar ruwwaadi wa qudwatal ajwaadi, wa hujatallahi ‘alal ‘ibaadi, wa khairan naasi min ahliz zamaani, wa nuurallahi li-inaaratil buldaani, wa laakin ayyaamu khilaafatihi maa kaana zamanul amni wal amaani, bal zamaanu sharashirul fitani wal ‘udwaani. Wa kaanan naasu yakhtalifuuna fi khilaafatihi wa khilaafati bni Abi Sufyaani, wa kaanuu yantazhiruuna ilaihaa ka-hiiraani, wa ba’dhuhum hasabuuhuma ka-farqaday samaa-in wa ka-zandaini fi wi’aa-ini. Wal haqqu anal haqqa kaana ma’al Murtadha, wa man qaatalahu fi waqtihi fa-bagha wa thagha.’ – “Tidak diragukan lagi, sesungguhnya Hadhrat ‘Ali (ra) adalah sebuah harapan bagi para pencari kebenaran dan teladan tidak tertandingi bagi para dermawan. Beliau adalah bukti adanya Allah atas hamba-hamba-Nya dan sebaik-baik teladan pada zamannya. Beliau adalah cahaya Allah yang telah menyinari berbagai negeri. Akan tetapi, masa kekhalifahan beliau (ra) bukanlah masa yang aman dan damai, melainkan pada masa beliau itu sebuah masa badai fitnah dan permusuhan. Sementara itu, orang-orang (kaum Muslimin) ketika itu berselisih pula tentang kekhalifahan beliau (ra) dan kekhalifahan ibnu Abi Sufyan (putra Abu Sufyan, maksudnya Mu’awiyah) yang mengenai hal itu mereka layaknya orang-orang yang bingung melihat kepada keduanya. Sebagian orang menganggap keduanya seperti dua bintang di langit yang bernama Farqad [dua bintang cemerlang Ursa Minor] dan menganggap keduanya berimbang. Namun, pada hakikatnya, kebenaran itu berada di pihak Al-Murtadha [Hadhrat Ali]. Siapa yang berperang melawan beliau (ra) pada waktu kehidupannya maka mereka ialah pemberontak dan pelampaui batas.
ولكن خلافته ما كان مصداق الأمن المبشَّر به من الرحمن، بل أوذي المرتضى من الأقران، ودِيستْ خلافته تحت أنواع الفتن وأصناف الافتنان، وكان فضل الله عليه عظيما، ولكن عاش محزونا وأليما، وما قدر على أن يشيع الدين ويرجم الشياطين كالخلفاء الأولين، بل ما فرغ عن أسنّة القوم، ومُنع من كل القصد والرَّوْم. وما ألّبوه بل أضبُّوا على إكثار الجور، وما عَدَّوا عن الأذى بل زاحموه وقعدوا في المَور، وكان صبورا ومن الصالحين. فلا يمكن أن نجعل خلافته مصداق هذه البشارة، فإن خلافته كانت في أيام الفساد والبغي والخسارة. Namun, masa kekhalifahan beliau tidak menggenapi masa damai sebagaimana dikabarsukakan oleh Yang Maha Rahman. Bahkan, Al-Murtadha mendapatkan perlakuan aniaya dari para penentang dan masa kekhalifahan beliau sedemikian rupa diuji dengan berbagai kekacauan. Karunia Allah Ta’ala yang sangat besar tercurah kepada beliau, namun seumur hidup beliau diliputi dengan kepiluan dan dukacita. Beliau tidak mampu untuk menyebarkan agama dan merajam setan seperti yang telah dilakukan oleh para Khalifah terdahulu bahkan beliau tidak mendapatkan waktu untuk itu disebabkan menghadapi cacian dari kaum beliau sendiri. Beliau diluputkan dari berbagai rencana dan harapan. Mereka tidak menyatu untuk menolong beliau, melainkan berbuat aniaya kepada beliau. Mereka tidak berhenti dari melakukan kezaliman bahkan mengganggu dan menghambat beliau. Namun, beliau bersikap sabar dan termasuk orang yang salih. Akan tetapi, tidaklah mungkin kita menetapkan masa kekhalifahan beliau sebagai penggenapan kabar suka ayat istikhlaf tersebut karena masa kekhalifahan beliau merupakan masa yang penuh dengan kekacauan, pembangkangan dan kerugian.”[40]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Akidah ini adalah sangat penting bahwa Hadhrat Shiddiiq Akbar [Abu Bakr] radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, Hadhrat Faruqi ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, Hadhrat Dzun Nuurain [‘Utsman] radhiyAllahu ta’ala ‘anhu dan Hadhrat ‘Ali al-Murtadha radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, semuanya adalah benar benar amiin (terpercaya).”[41]
Beliau (as) menjelaskan berkenaan dengan maqam dan kedudukan Hadhrat ‘Ali ra, “كان تقيًّا نقيًّا مِن الذين هُمْ أَحَبُّ الناسِ إلى الرحمن، ومِن نَخَبِ الجيلِ وساداتِ الزمانِ. أَسَدُ اللهِ الغالبُ وَفَتىَ اللهِ الحنّانُ، نديُّ الكفِّ طيبُ الجنانِ. وكان شُجَاعًا وحيدًا لا يُزايلُ مركزُهُ في الميدانِ ولو قَابَلَهُ فوجٌ من أهل العُدوانِ. أَنفدَ العُمرُ بِعَيشٍ أنكدَ وبلغَ النهايةُ في زهادةِ نوعِ الإنسانِ. وكان أولُ الرجالِ في إِعطاءِ النَّشبِ وإِماطةِ الشجبِ وتفقُّدِ اليتامَى والمساكينِ والجيرانِ. وكان يجلّي أنواعُ بِسالةٍ في معاركَ وكان مظهرُ العجائبِ في هيجاءِ السيفِ والسنانِ. ومع ذلك كان عذبُ البيانِ فصيحُ اللِّسانِ. وكان يُدخلُ بيانَهُ في جذرِ القلوبِ ويَجْلُو بِهَ صدأُ الأَذهانِ، ويَجْلِي مطلعُهُ بِنورِ البرهانِ. وكان قادرًا على أنواعِ الأسلوبِ، ومَنْ نَاضَلَهُ فيها فَاعْتَذِرْ إليه اعتذارَ المغلوبِ. وكان كاملا في كل خيرٍ وفي طُرُقِ البلاغةِ والفصاحةِ، وَمَنْ أَنْكَرَ كمالَهُ فقد سَلَكَ مَسْلَكَ الوقاحةِ.” ‘Kaana taqiyyan naqiyyan minal ladziina hum ahabbun naasi ilar Rahmaani, wa min nakhabil jaili wa saadaatiz zamaani. Asadulloohil ghaalibu wa fatalloohil Hannaani, nudiyyul kaffi thayibul jinaani. Wa kaana syujaa’an wahiidan laa yuzaayilu markazuhu fil maidaani walau qaabalahu faujun min ahlil ‘udwaani. Anfadal ‘umru bi’aisyin ankada wa balaghan nihaayatu fii zahaadati nau’il insaani. Wa kaana awwalur rijaali fii i’thaa’in nasyabi wa imaathatisy syajabi wa tafaqqudil yataama wal masaakiini wal jiiraani. Wa kaana yujalli anwaa’u bisaalatin fii ma’aarika wa kaana mazh-harul ‘ajaaibi fii hijaa-is saifi was sinaani. Wa ma’a dzaalika kaana ‘adzbul bayaani fashiihul lisaani. Wa kaana yudkhilu bayaanahu fii jadzril quluubi wa yajluubiha shad-ul adzhaani, wa yajli mathla’uhu bi nuuril burhaani. Wa kaana qaadiran ‘alaa anwaa’il usluubi, wa man naadhalahu fiihaa fa’tadzir ilaihi i’tidzaaral maghluubi. Wa kaana kaamilan fii kulli khairin wa fii thuruqil balaaghati wal fashaahah, wa man ankara kamaalahu faqad salaka maslakal wiqaahah.’
“Beliau (‘Ali radhiyAllahu ta’ala ‘anhu) adalah seorang taqiyy (yang sangat bertakwa) dan naqiyy (sangat suci batinnya) serta termasuk dari antara orang-orang yang sangat dicintai Allah Yang Maha Rahman. Beliau adalah seorang pilihan Allah dan termasuk pembesar pada masanya. Beliau adalah singa Tuhan Yang Maha Tinggi dan seorang pemuda dari Tuhan Yang Maha Baik. Beliau sangat dermawan dan memiliki hati yang bersih. Beliau adalah seorang gagah berani yang tidak pernah lari dari medan peperangan bahkan ketika balatentara musuh menyerang beliau. Beliau menjalani hidup dalam keadaan zuhd (hidup bersahaja) dan mencapai kedudukan yang tinggi dalam hal kesederhanaan yang tidak dicapai orang-orang lain di masanya. Beliau mengorbankan harta dan terdepan dalam meringankan kesusahan dan kesedihan, dan beliau sangat perhatian dalam hal menolong anak yatim, orang miskin dan para tetangga. Beliau menampilkan keberanian yang langka pada saat berbagai ekspedisi (gerakan militer), dan trampil memakai pedang serta tombak di peperangan. Tambahan pula (disamping itu), beliau pun seorang pembicara yang indah [berirama] lagi juru pidato yang fasih. Ucapan beliau memiliki pengaruh yang mendalam bagi para pendengarnya yang dengan kata-katanya beliau menghilangkan karat-karat kalbu serta menerangi hati-hati dengan cahaya pertimbangan [argumentatif, berakal sehat]. Beliau adalah seorang orator terkemuka dan orang-orang yang ahli dalam hal ini lalu datang kepada beliau untuk menandingi beliau maka akan gugur, terkuasai dan kalah [oleh kefasihan kemampuan orasi atau pembicaraan beliau]. Setiap sifat kebaikan beliau selalu terdepan dan pandai dalam fashaahat dan balaaghat (berbahasa dengan sempurna dan fasih tanpa cacat). Orang yang menolak terhadap keunggulannya ini sama dengan menampilkan cara yang tidak tahu malu.”[42]
وكان يندُبُ إلى مُواساةِ المضطَرِّ، ويأمُر بإطعامِ القانعِ والمـُعْترِّ، وكان من عباد الله المقرَّبين. ومع ذلك كان من السابقين في ارتضاعِ كأسِ الفرقان، وأُعطِيَ له فَهْمٌ عجيبٌ لإدراكِ دقائقِ القرآن.” ‘Wa kaana yandubu ilaa muwaaasaatil mudhtharr, wa ya’muru bi ith’aamil qaani’i wal mu’tarr, wa kaana min ‘ibaadallahil muqarrabiin. Wa ma’a dzaalika minas saabiqiina fii irtidhaa’i ka-sil Furqaan, wa u’thiya lahu fahmun ‘ajiibun li idraaki daqaa-iqil Qur’aan.’ – “Beliau gemar menganjurkan untuk menghilangkan kesedihan orang-orang yang tidak berdaya dan juga menginstruksikan untuk memberi makan kepada mereka yang patut untuk diberi namun menahan diri (orang miskin) maupun kepada mereka yang meminta dengan mendesak-desak (faqir). Beliau termasuk hamba-hamba yang dekat dengan Allah Ta’ala. Dan disamping itu, beliau termasuk yang unggul dan terdepan dalam hal meminum ‘susu dari gelas (sumber mata air)’ al-Furqaan (pemahaman yang mendalam tentang Al-Quran). Beliau meraih pemahaman yang ajaib dalam memahami kehalusan Al-Quran.” [43]
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, وإني رأيته وأنا يقظان لا في المنام، فأعطاني تفسير كتاب الله العلام، وقال: هذا تفسيري، والآن أُولِيتَ فَهُنّيتَ بما أُوتِيتَ. “Saya pernah berjumpa dengannya (Hadhrat ‘Ali) dalam kasyaf yakni dalam keadaan terjaga, bukan tidur. Dalam keadaan demikian, Hadhrat ‘Ali memberikan saya sebuah Kitab tafsir terhadap Kitab Tuhan yang Maha Ghaib dan bersabda, ‘Ini adalah tafsir saya dan sekarang ini saya berikan kepada Anda. Selamat! Karena Anda telah diberikan anugerah ini.’ فبسّطتُ يدي وأخذت التفسير، وشكرت الله المعطي القدير. ووجدتُه ذا خَلْقٍ قويم وخُلقٍ صميم، ومتواضعا منكسرا ومتهلّلاً منوّرا. Saya lalu menjulurkan tangan dan menerima Kitab tafsirnya. Saya pun bersyukur kepada Allah Ta’ala Yang Maha Pemilik Kekuasaan dan Maha Menganugerahkan. Saya mendapatinya sebagai seorang berperawakan seimbang, berbudi pekerti lurus, sopan santun, rendah hati, berseri-seri dan bercahaya.
وأقول حلفًا إنه لاقاني حُبًّا وأُلْفًا، وأُلقي في روعي أنه يعرفني وعقيدتي، ويعلم ما أخالف الشيعة في مسلكي ومشربي، ولكن ما شمخ بأنفه عُنفًا، وما نأى بجانبه أنفًا، بل وافاني وصافاني كالمحبين المخلصين، وأظهر المحبة كالمصافين الصادقين. Saya bersumpah: Sesungguhnya Hadhrat ‘Ali (ra) menjumpai saya dengan penuh kecintaan dan keramahan. Dilekatkan dalam benak saya bahwa beliau mengenali saya dan mengetahui akidah saya. Beliau juga mengetahui hal-hal yang saya berbeda pandangan dengan kaum Syi’ah dalam akidah dan keyakinan. Namun, beliau tidak memperlihatkan suatu ketidaksukaan atau ketidaksetujuan. Tidak juga beliau berpaling dari saya. Justru beliau menemui saya dan mencintai saya layaknya kekasih yang tulus dan mengungkapkan kecintaannya itu bagaikan seorang sahabat yang sejati dan tulus. وكان معه الحسين بل الحسنينِ وسيد الرسل خاتم النبيين، وكانت معهم فتاة جميلة صالحة جليلة مباركة مطهّرة معظّمة مُوَقرة باهرة السفور ظاهرة النور، ووجدتها ممتلئة من الحزن ولكن كانت كاتمة، وأُلقي في روعي أنها الزهراء فاطمة. Beliau (Hadhrat ‘Ali) ditemani oleh Hadhrat Husain, bahkan dua keindahan (Hadhrat Hasan dan Hadhrat Husain) serta Sayyidur Rusul, Khātamun Nabiyyīn (saw). Beserta mereka ada seorang wanita muda yang cantik, berderajat tinggi kesalehannya, terhormat, diberkati, suci, agung dan dimuliakan. Mutu tinggi batiniah dan lahiriah beliau mengandung cahaya ruhani. Saya mendapati beliau (ra) tengah penuh dengan kesedihan tapi selalu beliau sembunyikan. Disampaikan kedalam hati saya bahwa beliau (ra) adalah Fāthimah Az-Zahrā’. فجاءتني وأنا مضطجع فقعدت ووضعت رأسي على فخذها وتلطفت، ورأيتُ أنها لبعض أحزاني تحزن وتضجر وتتحنن وتقلق كأمّهات عند مصائب البنين. Saya tengah berbaring ketika Hadhrat Fatimah (ra) mendekati saya lalu beliau duduk di dekat saya. Beliau meletakkan kepala saya di atas paha beliau dan memperlihatkan kasih sayang. Saya melihat beliau merasa sedih dan cemas disebabkan oleh berbagai permasalahan yang tengah saya alami. Beliau merasa iba dan risau laksana para ibu yang gelisah atas penderitaan anaknya.” [44]
Sebagian kalangan bukan Ahmadi melontarkan keberatan atas hal ini dengan mengatakan, “Coba lihat! Betapa kelirunya meletakkan kepala diatas paha.” Padahal di sini diberi permisalan ibu dan seluruh sifat yang diterangkan sebelumnya jika dibaca dengan seksama dan melihat Hadhrat Fathimah memberikan perlakuan kasih sayang kepada beliau layaknya seorang ibu. Dengan merenungkan ini, keberatan tadi akan hilang. Namun, karena mereka berpikiran kotor sehingga selalu mereka lontarkan keberatan itu.
Lebih lanjut Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, فعُلّمتُ أني نزلتُ منها بمنـزلة الابن في عُلَق الدين، وخطر في قلبي أن حزنها إشارة إلى ما سأرى ظلما من القوم وأهل الوطن المعادين. “Saya lalu diberi tahu bahwasanya hubungan saya dengan beliau (Hadhrat Fathimah) ialah dalam pandangan Hadhrat Fathimah status saya seperti salah seorang anaknya secara ruhani. Terbetik di dalam benak saya bahwa kesedihan beliau merupakan isyarat pada suatu kezaliman yang akan saya alami dari bangsa saya sendiri, penduduk negeri ini dan pihak-pihak yang memusuhi.” Artinya, Hadhrat Fatimah bersedih setelah mengetahui anaknya akan terpaksa mengalami kezaliman ini.
ثم جاءني الحسنان، وكانا يبديان المحبة كالإخوان، ووافياني كالمواسين. وكان هذا كشفًا من كشوف اليقظة، وقد مضت عليه بُرْهة من سنين. “Kemudian, datanglah dua keindahan (Hadhrat Hasan dan Hadhrat Husain) mendekat. Keduanya memperlihatkan rasa cinta layaknya saudara dan mendatangiku bak dua orang pelipur lara. Itu berupa suatu kasyaf dalam keadaan terjaga dan suatu momen yang sudah berlalu.” [45]
Kemudian beliau (as) bersabda, ” وَلِي مُناسبةٌ لطيفةٌ بِعَلِيٍّ والحسينِ، ولا يَعْلمُ سرُّهَا إلا رَبُّ المشرقينِ والمغربينِ. وإني أُحِبُّ عليًا وابناه، وأُعَادِي مَنْ عَاداهُ، ومع ذلك لستُ مِنَ الجائرينَ المتعسفينَ. وما كان لي أَنْ أعرضَ عما كشفَ اللهُ عليَّ، وما كنتُ من المعتدينَ. وإن لم تقبلوا فلي عملي ولكم عملكم، وسيحكم الله بيننا وبينكم، وهو أحكم الحاكمين. “ ‘Wa lii munaasibatun lathiifatun bi ‘Aliyyin wal Husain, wa laa ya’lamu sirruhaa illa Rabbul masyriqaini wal maghribain. Wa inni uhibbu ‘Aliyyan wa bnaahu, wa u’aadii man ‘aadaahu, wa ma’a dzaalika lastu minal jaa-iriinal muta’asifiin. Wa maa kaana lii an a’radha ‘ammaa kasyifallahu ‘alayya, wa maa kuntu minal mu’tadiin. Wa il lam taqbalu fa-lii ‘amali wa lakum ‘amalukum wa sayahkumuLlahu bainana wa bainakum wa huwa Ahkamul Haakimiin.’ – “Dan saya memiliki hubungan yang halus (cocok, compatible) dengan ‘Ali dan al-Husain dan tidak ada yang mengetahui rahasia ini kecuali Allah, Rabb (Tuhan Pemilik) dua arah di timur dan dua arah di barat, dan sesungguhnya saya menyintai ‘Ali dan kedua putranya (Hasan (ra) dan Husain ra). Karena itu, siapa yang memusuhi beliau, saya pun memusuhinya. Bersamaan dengan itu, saya bukan termasuk orang-orang yang zalim dan berbuat tanpa pemikiran (aniaya). Saya tidak mungkin memalingkan muka dari apa-apa yang telah Allah bukakan kepada saya dan saya bukan termasuk orang-orang yang melampaui batas. Jika kalian tidak menerima, maka amal perbuatan saya adalah bagi saya, sedangkan amal perbuatan kalian adalah bagi kalian. Allah Ta’ala pasti akan memberikan keputusan antara kita dan Dia adalah yang terbaik diantara para pemberi keputusan.” [46]
Bahasan mengenai Hadhrat ‘Ali berakhir sampai di sini, insya Allah nanti saya akan lanjutkan rangkaian bahasan baru berikutnya.
Saat ini saya pun akan menyampaikan satu pengumuman yakni insya Allah setelah shalat jumat nanti saya akan meresmikan satu saluran yang akan mengudara 24 jam, saluran TV tersebut bernama MTA Ghana. Telah berdiri Wahab Adam studio di Ghana pada tahun 2017. Nama tersebut diambil dari nama mantan Amir dan Missionary Incharge yang bernama almarhum Abdul Wahab Adam. Adapun 60% program saluran MTA Afriqa saat ini diproduksi di studio tersebut. Pada studio tersebut terdapat 17 karyawan full time, 60 lebih tenaga sukarelawan yang telah mendapat Pendidikan dalam berbagai bidang. Wahab Adam studio adalah salah satu diantara studio tercanggih di Ghana, didalamnya terdapat banyak fasilitas terbaik. Berbagai lembaga media dan penyiaran mengirimkan personilnya kestudio ini untuk mendapatkan Pendidikan dan pengalaman kerja. Studio ini telah menayangkan banyak sekali program siaran langsung. Diantaranya adalah perlombaan tilawat Al Quran pertama di Afrika juga termasuk program program Ramadhan Mubarak.
Saat ini akan diresmikan saluran baru yang bernama MTA Ghana. Ini akan menjadi saluran TV negeri baru yang akan tayang 24 jam pada platform digital di Ghana. MTA Ghana dapat disaksikan dengan mengguanakan antenna biasa tanpa memerlukan satellite disk (parabola). Maksudnya adalah penduduk Ghana dapat menikmati saluran ini dengan mudah dengan antenna biasapun. Saluran ini dapat dinikmati di tempat dan lokasi yang terjangkau oleh saluran saluran TV besar di Ghana. Dengan begitu jutaan rumah di seluruh negeri akan dapat mengakses saluran ini. Saluran ini dapat menjangkau seluruh wilayah dari selatan ke utara insya Allah.
Wahab Adam studio juga akan memproduksi program TV dalam berbagai bahasa yang dipakai di Ghana termasuk dalam bahasa Inggris, Twi, Ga, Hausa dan juga bahasa-bahasa lainnya. Tugas untuk transmisi saluran dan penyusunan jadwal akan dilakukan oleh sukarelawan Lajnah Imaillah dan tim lainnya. Akan diproduksi program yang bertema akhlak, talim dan tarbiyat. Dengan demikian akan memberikan informasi perihal ajaran Islam yang benar dan indah kepada orang-orang, insya Allah Ta’ala.
Dengan perantaraan saluran ini MTA Ghana akan menjadi saluran satu satunya yang sepenuhnya mendedikasikan diri untuk menyebarkan ajaran Islam pada platform digital di negeri, insya Allah. Di satu tempat, para penentang jemaat berusaha untuk menutup jalan kita, namun Allah Ta’ala membuka tempat lain dan bahkan banyak sekali jalan baru. Inilah karunia Allah Ta’ala atas jemaat. Jalan yang tertutup pun insya Allah akan terbuka pada waktunya. Namun bersamaan dengan itu Allah Ta’ala pun memberikan sarana kebahagiaan. Saluran ini insya Allah akan menjangkau negeri ini insya Allah, bahkan mungkin menjangkau beberapa daerah di negeri tetangga juga, insya Allah. Seperti yang telah saya katakan, setelah shalat jumat nanti saya akan meresmikannya.
Sebagaimana yang sering saya himbau akhir akhir ini, doakanlah untuk para Ahmadi yang tengah dipenjara di Pakistan dan Aljazair, secara khusus. Semoga Allah Ta’ala memberikan sarana untuk kebebasan mereka. Doakan juga untuk kondisi Pakistan secara umum. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada para Ahmadi di sana untuk dapat hidup dengan tenang.
Semoga Allah Ta’ala memberikan akal kepada para penentang. Jika memang tidak layak untuk itu, apapun perlakuan yang akan Allah berikan kepada mereka, semoga terjadi. Semoga segera kita dapat terbebas dari mereka.
Para Ahmadi dan khususnya para Ahmadi Pakistan harus menekankan pada pelaksanaan ibadah nafal, doa dan sedekah. Semoga Allah Ta’ala melindungi mereka.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Fazli Umar Faruk (Indonesia) dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.
[1] Malfuzhat (ملفوظات جلد 7 صفحہ 57).
[2] Kisah menyegarkan iman mengenai Para Wanita dan Sahabat wanita di zaman awal – Quruunul ‘Ula ki Namur Khwatin aur Shahabiyaat ke iman afruz (قرونِ اولیٰ کی نامور خواتین اور صحابیات کے ایمان افروز), Anwarul ‘Ulum jilid 21 halaman 623 (انوار العلوم جلد 21 صفحہ 623).
[3] Tafsir Kabir jilid 5 halaman 17 (تفسیر کبیر جلد 5صفحہ 17); Fathul Baari (فتح الباري شرح صحيح البخاري), Tafsir Qur’an (كتاب تفسير القرآن), Surah Kaaf, Ha’, Ya’, ‘Ain, Shaad (سورة كهيعص), (باب قوله وأنذرهم يوم الحسرة).
[4] Tafsir ad-Durrul Mantsur karya Imam as-Suyuthi; Hamyan al–Zad Ila Dar al–Ma‘ad (هميان الزاد إلى دار المعاد, وتيسير التفسير) Karya Muhammad Bin Yusuf Itfisy (محمد بن يوسف بن عيسى بن صالح أطفيّش، أو أطّفيّش). Tafsir Surah Maryam: عَنْ أبِي صالِحٍ عَنْ أُمِّ هانِئٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قالَ: كافٍ هادٍ عالِمٌ صادِقٌ.
[5] Tafsir Kabir jilid 5 halaman 17 (تفسیر کبیر جلد 5صفحہ 17).
[6] Tafsir Kabir jilid 8 halaman 255 (تفسیر کبیر جلد 8 صفحہ 255); Tafsir atas ayat (یَـٰۤأَیُّهَا ٱلۡإِنسَـٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلۡكَرِیمِ ) di Surah al-Infithaar (الانفطار). Terdapat juga dalam Kitab Tafsir al-Kasysyaf karya az Zamakhsyari (الكشاف للزمخشري الزمخشري (٥٣٨ هـ)); Tafsir al-Qurthubi (تفسير القرطبي القرطبي (٦٧١ هـ)); Faidhul Qadir (فيض القدير شرح الجامع الصغير من أحاديث البشير النذير 1-6 ج1) karya (محمد عبد الرؤوف/ابن تاج العارفين المناوي); Haisyiah al-Qanawi ‘ala Tafsir al-Baidhawi (حاشية القونوي على تفسير البيضاوي – ج 20); Kitab Takhrij al-Ahadits wal Atsar al-Waqi’ah fil Kasyaf liz Zamakhsyari (كتاب تخريج الاحاديث والآثار الواقعة في الكشاف للزمخشري تأليف جمال الدين); Haisyiyah Muhyiddin Syaikh Zadah (حاشية محي الدين شيخ زاده – ج 8 – النجم – الناس); Al-Lubab fi ‘Uluumil Kitaab (اللباب في علوم الكتاب – ج 20 – الإنسان – الناس). kitab al-Risalah al-Qusyairi, karya Abu al-Qasim al-Qusyairi, tepatnya dalam bab al-Khuluq (akhlak).
[7] Imta’ul asma (إمتاع الأسماع – المقريزي – ج ٤ – الصفحة ٣١٤): عن حصين، قال: سمعت أبا عبد الله السلمي يقول: كنت أقرئ الحسن والحسين فمر بي أمير المؤمنين علي ابن أبي طالب رضي الله عنه وأنا أقرئهما: ﴿وخاتم النبيين﴾ (3)، فقال لي: يا عبد الله بن حبيب، قلت: لبيك، قال: أقرئهما: (وخاتم النبيين) (3) بفتح التاء، والله الموفق للصواب. Tafsir ad-Durrul Mantsur (الدر المنثور) karya Imam as-Suyuthi (جلال الدين السيوطي (٩١١ هـ)): وأخْرَجَ ابْنُ الأنْبارِيِّ في المَصاحِفِ عَنْ أبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ قالَ: كُنْتُ أُقْرِئُ الحَسَنَ والحُسَيْنَ، فَمَرَّ بِي عَلِيُّ بْنُ أبِي طالِبٍ وأنا أُقْرِئُهُما: ﴿وخاتَمَ النَّبِيِّينَ﴾ فَقالَ لِي: أقْرِئْهُما: وخاتَمَ النَّبِيِّينَ، بِفَتْحِ التّاءِ .Tafsir al-Mizan (تفسير الميزان) karya Sayyid ath-Thabathabai (السيد الطباطبائي ج 16)
[8] Dibachah Tafsir al-Quran, Anwar al-Ulum, Vol. 20, p. 429 (دیباچہ تفسیر القرآن، انوار العلوم جلد 20 صفحہ 429).
[9] Khutbat-e-Mahmud, Vol. 33, pp. 259-260 (خطبات محمود جلد33 صفحہ259-260).
[10] Sunan Abi Daud, Kitab tentang shalat, bab 166, larangan mengoreksi Imam. Hadhrat ‘Ali (ra) meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda kepadanya, “ يَا عَلِيُّ لاَ تَفْتَحْ عَلَى الإِمَامِ فِي الصَّلاَةِ ” “Wahai Ali, janganlah engkau suruh-suruh Imam membetul-betulkan bacaannya dalam shalat!”
[11] Surah al-Mujadilah, 58:13: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ ۚ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ () “Hai, orang-orang yang beriman ! Apabila kamu bermusyawarah dengan Rasul, maka berikanlah sedekah lebih dahulu sebelum musyawarahmu. Hal demikian itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Namun, apabila kamu tidak mendapat sesuatu, maka Allah itu Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
[12] (QS. An-Nuur: 28-30): يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ () فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ () لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ () “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.”
[13] Partition untuk menyebut pembagian British India menjadi dua negara, India dan Pakistan pada 1947.
[14] Musnad al-Bazzaar (مسند البزار), Musnad ‘Ali bin Abi Thalib (مسند علي بن أبي طالب رضي الله عنه ), Riwayat Rabi’ah bin Najid nomor 689 (ومما روى ربيعة بن ناجد عن علي بن أبي طالب حديث رقم 689). Syekh Maulana Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi dalam kitabnya “Hayatush Shahabah”: عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ ، قَالَ : خَطَبَنَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ أَخْبِرُونِي بِأَشْجَعِ النَّاسِ ؟ قَالُوا : – أَوْ قَالَ – قُلْنَا : أَنْتَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ . قَالَ : أَمَا إِنِّي مَا بَارَزْتُ أَحَدًا إِلَّا انْتَصَفْتُ مِنْهُ ، وَلَكِنْ أَخْبِرُونِي بِأَشْجَعِ النَّاسِ قَالُوا : لَا نَعْلَمُ ، فَمَنْ ؟ قَالَ : أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّهُ لَمَّا كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ جَعَلْنَا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرِيشًا فَقُلْنَا : مَنْ يَكُونُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلًا ؟ يَهْوِي إِلَيْهِ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَوَاللَّهِ ، مَا دَنَا مِنْهُ إِلَّا أَبُو بَكْرٍ شَاهِرًا بِالسَّيْفِ عَلَى رَأْسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا يَهْوِي إِلَيْهِ أَحَدٌ إِلَّا أَهْوَى عَلَيْهِ فَهَذَا أَشْجَعُ النَّاسِ فَقَالَ عَلِيٌّ : وَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَخَذَتْهُ قُرَيْشٌ فَهَذَا يَجَؤُهُ وَهَذَا يُتَلْتِلُهُ وَهُمْ يَقُولُونَ : أَنْتَ الَّذِي جَعَلْتَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا قَالَ : فَوَاللَّهِ مَا دَنَا مِنْهُ أَحَدٌ إِلَّا أَبُو بَكْرٍ ، يَضْرِبُ هَذَا وَيُجَاءُ هَذَا وَيُتَلْتِلُ هَذَا وَهُوَ يَقُولُ : وَيْلَكُمْ أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ ثُمَّ رَفَعَ عَلِيٌّ بُرْدَةً كَانَتْ عَلَيْهِ فَبَكَى حَتَّى اخْضَلَّتْ لِحْيَتُهُ ثُمَّ قَالَ : أُنْشِدُكُمْ بِاللَّهِ أَمُؤْمِنُ آلِ فِرْعَوْنَ خَيْرٌ أَمْ أَبُو بَكْرٍ فَسَكَتَ الْقَوْمُ فَقَالَ : أَلَا تُجِيبُونِي فَوَاللَّهِ لَسَاعَةٌ مِنْ أَبِي بَكْرٍ خَيْرٌ مِنْ مِلْءِ الْأَرْضِ مِنْ مُؤْمِنِ آلِ فِرْعَوْنَ ذَاكَ رَجُلٌ كَتَمَ إِيمَانَهُ وَهَذَا رَجُلٌ أَعْلَنَ إِيمَانَهُ Demikian tercantum dalam kitab al-Bidayah (Juz 3, hal. 271). Al-Haitsami berkata (Juz 9, hal 47). Tarikh Khulafa: Sejarah Para Khalifah/ Penulis: Imam As-Suyuthi.
[15] Fawaaid al-Muntaqaah juz 10 (الجزء العاشر من الفوائد المنتقاة), bab man ahabba ‘Aliyyan faqad ahabbani (من احب عليا فقد احبني ومن احبني فقد احب الله عز وجل ومن ابغض عليا فقد ابغضني ومن ابغضني فقد ابغض الله عز وجل) karya Abu al-Fath bin Abul Fawaris (أبو الفتح بن أبي الفوارس).
[16] Shahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab al-Dalil ala Hubb al-Ansar, Hadith 240.
[17] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol. 1, Musnad ‘Ali bin Abi Talib, Hadith 1377 [Beirut, Lebanon: Alam al-Kutub, 1998], 439.
[18] Al-Isti’aab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب) karya Abu ‘Umar Yusuf an-Namari al-Qurthubi (أبو عمر يوسف بن عبد الله بن محمد بن عبد البر بن عاصم النمري القرطبي) : . وكان علي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يسير فِي الفيء مسيرة أَبِي بَكْر الصديق فِي القسم، إذا ورد عَلَيْهِ مال لم يبق منه شيئا إلا قسمه، ولا يترك فِي بيت المال منه إلا مَا يعجز عَنْ قسمته فِي يومه ذَلِكَ. ويقول: يَا دنيا غري غيري. ولم يكن يستأثر من الفيء بشيء، ولا يخص بِهِ حميما، ولا قريبا، ولا يخص بالولايات إلا أهل الديانات والأمانات، وإذا بلغه عَنْ أحدهم خيانة كتب إِلَيْهِ: .
[19] Al-Isti’aab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب) karya Abu ‘Umar Yusuf an-Namari al-Qurthubi (أبو عمر يوسف بن عبد الله بن محمد بن عبد البر بن عاصم النمري القرطبي); tercantum juga dalam Kitab Nihayatul Arab fi Fununil Adab (كتاب نهاية الأرب في فنون الأدب) karya an-Nuwairi (النويري), bab kedua dari bagian kelima (الباب الثاني من القسم الخامس في أخبار الخلفاء الراشدين), bahasan pembunuhan ‘Ali dan perjalanan hidupnya (ذكر مقتل على بن أبى طالب رضى الله عنه وشىء من سيرته). Tercantum juga dalam ad-Durrul Mantsur (الدر المنثور في طبقات ربات الخدور 1-2 ج1), (زينب بنت علي فواز); Thaba’i al-nisa: wa majaaha fiha min ‘ajaib wa gharaib, wa akhbar wa asrar (طبائع النساء و ما جاء فيها من عجائب و أخبار و أسرار) karya Ibnu ‘Abdu Rabbihi al-Andalusi, Ahmad bin Muhammad (ابن عبد ربه، احمد بن محمد)’ tercantum juga dalam al-‘Iqdul Farid (العقد الفريد), bahasan duta-duta kepada Mu’awiyah di masa kekuasaannya setelah ‘Ali, bab kedatangan Saudah binti Imarah dari Hamdan, Yaman (وفود سودة بنت عمارة على معاوية); Saudah binti ‘Imarah bin Asak Al Hamdaniyah (سودة بنت عمارة بن الأشتر الهمدانية) adalah orang Yaman yang menempuh perjalanan jauh ke istana Mu’awiyah di Syam demi melaporkan kezaliman pejabat bawahan Mu’awiyah. Dalam dialog yang diwarnai debat atau pertanyaan kritis dan bersajak dari Saudah mampu menggerakkan Mu’awiyah mengikuti langkah-langkah ‘Ali memberikan hak kepada warga Yaman dan menegur bawahannya. Saudah menceritakan riwayat ‘Ali kala mendapati pejabat bawahannya melakukan ketidakadilan termasuk riwayat Hadits tersebut. Saudah dan keluarga besarnya ialah pendukung Hadhrat ‘Ali (ra) termasuk dalam perang Shiffin. Saudah sebenarnya sudah berfokus mengenai persoalan di masanya namun Mu’awiyah malah menanyai soal masa lalu perangnya dengan Hadhrat ‘Ali (ra).
[20] Ibn Abd al-Barr, Al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashab, Vol. 3, harf ‘ain (تتمة حرف العين), Dzikr ‘Ali bin Abi Talib (باب على (1855) على بن أبى طالب رضى الله عنه بن عبد المطلب بن هاشم بن عبد مناف ابن قصى القرشي الهاشمي) [Beirut, Lebanon: Dar al-Jil, 1992], 1111-1113: رَأَيْتُ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَخْرُجُ مِنَ الْكُوفَةِ وَعَلَيْهِ قِطْرِيَّتَانِ مُتَّزِرًا بِالْوَاحِدَةِ مُتَرَدِّيًا بِالأُخْرَى، وَإِزَارُهُ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ، وَهُوَ يَطُوفُ فِي الأَسْوَاقِ، وَمَعَهُ دُرَّةٌ، يَأْمُرُهُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَصِدْقِ الْحَدِيثِ، وَحُسْنِ الْبَيْعِ، وَالْوَفَاءِ بِالْكَيْلِ وَالْمِيزَانِ.
[21] Ibn Abd al-Barr, Al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashab, Vol. 3, Dzikr ‘Ali bin Abi Talib [Beirut, Lebanon: Dar al-Jil, 1992], 1111-1113; Lughat al-Hadith, Vol. 3, p. 575, Nashir Nu‘mani Kutub Khana, Lahore, 2005. Hilyatul Auliya (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء), para Muhajirin (المهاجرون من الصحابة), ‘Ali bin Abi Thalib (علي بن أبي طالب), Kebersahajaannya (زهده وتعبده) :عن مجمع التيمي قال : كان علي يكنس بيت المال ويصلي فيه ، يتخذه مسجدا رجاء أن يشهد له يوم القيامة . tercantum riwayat serupa dalam Mawaariduzh Zham-aani li Duruusiz Zamaan (موارد الظمآن لدروس الزمان), pasal (فصل في نماذج من عدل علي بن أبي طالب وزهده وورعه): وَعَنْ مَجْمَع التَّيْمِي قَالَ كَانَ عَلِيّ رَضْيَ اللهُ عَنْهُ يَكْنِسُ بَيْتَ الَمالِ وَيُصَلَّي فِيْهِ وَيَتَّخِذُهُ مَسْجِداً رَجَاءَ أنْ يَشْهَدَ لهُ يَوْمَ القِيَامَةِ . Hayatush Shahabah (حياة الصحابة 1-3 ج2), karya Muhammad Yusuf Kandahlawi (محمد يوسف/الكاندهلوي). Al-Waafi bil Wafiyaat (الوافي بالوفيات – الصفدي – ج ٢١ – الصفحة ١٨٠). Al-Jauharah (الجوهرة في نسب الإمام علي وآله – البري – الصفحة ٩٠); tercantum juga dalam Wasailusy Syi’ah (وسائل الشيعة – ج ١٥) karya Muhammad bin Hasan al-Hurr al-Amili (محمد بن الحسن الحرّ العاملي [ العلامة الشيخ حرّ العاملي ]): [ ٢٠٠٨٣ ] ٢ ـ إبراهيم بن محمّد الثقفي في ( كتاب الغارات ) عن عمرو بن حماد بن طلحة ، عن محمّد بن الفضيل بن غزوان ، عن أبي حيان التيمي ، عن مجمع ، إنّ علياً ( عليه السلام ) كان يكنس بيت المال كلّ يوم جمعة ثمّ ينضحه بالماء ثمّ يصلّي فيه ركعتين ، ثمّ يقول : تشهدان لي يوم القيامة. .
[22] Barakat-e-Khilafat, Anwar al-‘Ulum, Vol. 2, p. 176.
[23] Masalah-e-Nubuwwat ke Muta‘alliq Islami Nazariyyah, Anwar al-Ulum, Vol. 23, p. 363.
[24] Jamaat-e-Ahmadiyya aur Hamari Zimmadarian, Anwar al-Ulum, Vol. 5, p. 95.
[25] Tafsir-e-Kabir, Vol. 2, pp. 427-428.
[26] Ucapan Hadhrat ‘Abdullah ibnu ‘Umar ibnu al-Khaththab tercantum dalam Shahih al-Bukhari, Kitab Tafsir Al Qur`an, Bab: Surat al Baqarah ayat 194. Beliau (ra) berpandangan akan berbaiat kepada siapa pun pemimpin yang telah disepakati umat Muslim umumnya. Bila masih ada perselisihan, tindakan beliau ialah menahan diri dan menjauhkan diri. Contoh dalam hal ini ialah sikap beliau yang netral baik terhadap Mu’awiyah maupun ‘Ali. Beliau bersikap netral hingga jelas siapa yang bertahan dan diakui mayoritas umat Muslim sehingga akhirnya Hadhrat ‘Abdullah ibnu ‘Umar (ra) berbaiat kepada Mu’awiyah setelah kewafatan Hadhrat ‘Ali (ra) dan perundingan Hasan dengan Mu’awiyah. Hadhrat ‘Abdullah ibnu ‘Umar (ra) berbaiat juga kepada Yazid bin Mu’awiyah. Ketika terjadi perselisihan antara Abdullah bin Zubair dengan Bani Umayyah perihal siapa yang menjadi penguasa umum, Hadhrat ‘Abdullah ibnu ‘Umar (ra) juga bersikap netral sampai kemenangan Abdul Malik bin Marwan bin Hakam dan beliau berbaiat kepadanya. Meski demikian, beliau tetap peduli terhadap berbagai persoalan umat Muslim termasuk memberi saran kepada Imam Husain agar mengurungkan niat pergi ke Kufah. Sikap yang mirip juga ditampilkan oleh Muhammad al-Hanafiyah bin ‘Ali bin Abi Thalib, saudara satu ayah Imam Husain.
[27] Tafsir Kabir jilid 4, h. 430. Tercantum dalam Kitab sejarah al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Yang Permulaan dan Yang Terakhir) karya Abul Fida Ismail bin ‘Umar Ibnu Katsir Dimasyqi, jil. 8, hal. 119 terbitan Dar al-Fikr, Beirut, 1407 H. Terdapat mengenai surat ancaman Hadhrat Muawiyah kepada Kaisar Konstantin II (di Konstantinopel [Istambul] yang saat itu masih mendominasi Laut Tengah, sebagian Afrika Utara, sebagian Eropa Timur dan wilayah Asia Minor, Turki sekarang) pada tahun 37 H (657), وَاللَّهِ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ وَتَرْجِعْ إِلَى بِلَادِكَ يَا لَعِينُ لَأَصْطَلِحَنَّ أَنَا وَابْنُ عَمِّي عَلَيْكَ وَلَأُخْرِجَنَّكَ مِنْ جَمِيعِ بِلَادِكَ، وَلَأُضَيِّقَنَّ عَلَيْكَ الْأَرْضَ بِمَا رَحُبَتْ. فَعِنْدَ ذَلِكَ خَافَ مَلِكُ الرُّومِ وَانْكَفَّ، وَبَعَثَ يَطْلُبُ الْهُدْنَةَ» “Wahai orang yang terlaknat! Demi Allah. Apabila engkau tidak meninggalkan cara berpikir seperti ini (memerangi kaum Muslimin) dan tidak kembali ke negeri kalian, aku akan bersatu dengan anak pamanku (Hadhrat ‘Ali ra) memerangimu dan mengusirmu dari seluruh negerimu serta mempersempit bumi bagimu.” Di rujukan lain (Tâj al-‘Arus min Jawâhir al-Qâmus karya Muhibuddin Sayid Muhammad Murtadha, Wasithi Zubaidi, jil. 10, hal. 381, Dar al-Fikr, Beirut, Cetakan Pertama, 1414 H.) disebutkan, «في حَدِيثِ مُعاوِيَةَ، و ذلِكَ أَنَّه لَمّا بَلَغَه خبرُ صاحِبِ الرُّومِ أَنَّه يُرِيدُ أَنْ يَغْزُوَ بلادَ الشّامِ أَيَّامَ فِتْنَةِ صِفِّينَ كَتَبَ إِليْهِ يَحْلِفُ باللَّه «لئِنْ تَمَّمْتَ على ما بَلَغَنِي من عَزْمِك لأُصالِحَنَّ صاحِبِي، و لأَكُونَنَّ مُقَدِّمَتَهُ إِليك، فلأَجْعَلَنّ القُسْطَنْطِينِيَّةَ البَخْراءَ حُمَمَةً سَوْداءَ، و لأَنْزِعَنَّكَ من المُلْكِ انْتِزاعَ الإِصْطَفْلِينَةِ، و لأَرُدَّنَّك إِرِّيساً من الأَرارِسَة تَرْعَى الدَّوَابِلَ» Ketika kabar penguasa Roma hendak berperang ke negeri Syam di masa fitnah perang Shiffin, dalam suratnya kepada Raja Romawi, Muawiyah menulis dengan bersumpah “Demi Allah! Apabila Anda tetap ingin menabuh genderang perang, maka aku akan berdamai dengan musuh bebuyutanku (Hadhrat ‘Ali ra) dan sebagai imbalannya aku akan datang bersama bala tentaranya (Hadhrat ‘Ali ra) dan Konstantinopel akan aku ratakan dengan tanah. Aku akan mencerabutmu dari tanah dan menjungkalkan singgasanamu serta menjadikanmu sebagai penggembala babi.” Kemudian setelah itu, kaisar Roma menjadi kecut hatinya lalu mengirimkan surat perjanjian gencatan senjata.
[28] Majlis Khuddam-ul-Ahmadiyya Markaziyyah ke Jalsa Salana Ijtima 1956 mein Khitabat (Pidato dalam Majlis Ijtima Khuddamul Ahmadiyah Markaziyah), Anwar al-Ulum, Vol. 25, p. 416-417.
[29] Sahih al-Bukhari, Kitab al-Tafsir, Surah al-Baqarah, Bab Qauluh Ma Nansakhu… Hadith 4481; Siyaar A’lamin Nubala karya Adz-Dzahabi.
[30] ‘Ali Ibnu al-Atsir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 4, Dzikr ‘Ali bin Abi Talib [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2003], 100; Kitab Sunan At-Tirmidzi, nomor 3670.
[31] Kanz al-Ummal, Vol. 13, p. 107, Hadith 36349, Mu’assisat al-Risalah, Beirut, 1985.
[32] Al-Isti’aab fi Ma’rifatil Ashhaab oleh Ibnu Abdul Barri, bagian mengenai Tamyiizil Ashhaab, harf ‘Ain, bab Ali, bab ‘Ali bin Abi Thalib al-Hasyimi (حرف العين » باب عليٍّ » علي بْن أَبِي طالب الهاشمي); Kitab al-amali, wa-hiya al-ma’rufah, al-amali al-Khamisiyah; Yahya Ibn Al-Husayn Ibn Isma’Il Shajari; 2218.
[33] Tarikh ath-Thabari: عَنْ نَاجِيَةَ الْقُرَشِيِّ، عَنْ عَمِّهِ يَزِيدَ بْنِ عَدِيِّ بْنِ عُثْمَانَ، قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا ع خَارِجًا مِنْ هَمْدَانَ، فَرَأَى فِئَتَيْنِ يَقْتَتِلانِ، فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا، ثُمَّ مَضَى فَسَمِعَ صَوْتًا يَا غَوْثًا بِاللَّهِ! فَخَرَجَ يَحْضُرُ نَحْوَهُ حَتَّى سَمِعْتُ خَفْقَ نَعْلِهِ وَهُوَ يَقُولُ: أَتَاكَ الْغَوْثُ، فَإِذَا رَجُلٌ يُلازِمُ رَجُلا، فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، بِعْتُ هذا ثوبا بتسعه دراهم، وشرطت عليه الا يُعْطِيَنِي مَغْمُوزًا وَلا مَقْطُوعًا- وَكَانَ شَرْطَهُمْ يَوْمَئِذٍ- فَأَتَيْتُهُ بِهَذِهِ الدَّرَاهِمِ لِيُبَدِّلَهَا لِي فَأَبَى، فَلَزِمْتُهُ فَلَطَمَنِي، فَقَالَ: أَبْدِلْهُ، فَقَالَ: بَيِّنَتُكَ عَلَى اللَّطْمَةِ، فَأَتَاهُ بِالْبَيِّنَةِ، فَأَقْعَدَهُ ثُمَّ قَالَ: دُونَكَ فَاقْتَصَّ، فقال: انى قَدْ عَفَوْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، قَالَ: إِنَّمَا أَرَدْتُ أَنْ أَحْتَاطَ فِي حَقِّكَ، ثُمَّ ضَرَبَ الرَّجُلَ تِسْعَ دِرَّاتٍ، وَقَالَ: هَذَا حَقُّ السُّلْطَانَ.
[34] Tafsir-e-Kabir, Vol. 2, pp. 362-363 (تفسیر کبیر جلد 2 صفحہ 362-363).
[35] Tafsir-e-Kabir, Vol. 4, p. 331.
[36] Khutbat-e-Mahmud, Vol. 16 p. 516.
[37] Sirr al-Khilafah, Ruhani Khazain, Vol. 8, p. 350, Urdu Tarjumah of Sirr al-Khilafah, pp. 89-90, Nazarat Ishaat.
[38] Lecture Ludhianah, Ruhani Khazaain jilid 20 halaman 294: “إنني أعلمُ أن المرءَ لا يُصبحُ مؤمنًا ومسلمًا ما لا يَصْطَبِغُ بِصِبْغَةِ أَبِي بكرٍ وعمرَ وعثمانَ وعليَّ رضوانَ اللهِ عليهم أجمعين. فلم يكونوا يحبون الدنيا بل كانوا قد وقفوا حياتهم في سبيل الله “ ‘Innanii a’lamu anal mar-a laa yushbihu mu-minan wa musliman maa laa yashthabaghu bi shibghati Abi Bakrin wa ‘Umara wa ‘Utsmaana wa ‘Aliyyin ridhwaanullaahu ‘alaihim ajma’iin. Fa lam yakuunuu yuhibbuunad dunyaa bal kaanuu qad waqafuu hayaatahum fii sabiilillaah’
[39] Tiryaq al-Qulub, Ruhani Khaza‘in, Vol. 15, p. 422.
[40] Sirrul Khilaafah.
[41] Maktubat-e-Ahmad, Vol. 2, p. 151, Maktub Number 2, Maktub ba Nam Hazrat Sahib Muhammad ‘Ali Khan Sahib.
[42] Sirrul Khilaafah , Ruhani Khazaain jilid 8 halaman 358.
[43] Sirrul Khilaafah (سر الخلافة), Ruhani Khazaain jilid 8 halaman 358.
[44] Sirrul Khilaafah, Ruhani Khazaain jilid 8.
[45] Sirrul Khilaafah, Ruhani Khazaain jilid 8.
[46] Sirrul Khilaafah, Ruhani Khazaain jilid 8 halaman 358-359, Urdu Tarjumah of Sirr al-Khilafah, pp. 108-112, Nazarat Ishaat.