Kesetaraan Gender dalam Islam Oleh Farhan Iqbal, Mubaligh, Jamaah Muslim Ahmadiyah Kanada
Dalam berbagai perbincangan seputar kesetaraan gender sering disinggung bahwa di dalam Islam tidak ada kesetaraan gender.
Inti dari ajaran Islam adalah, sebagai manusia, kita secara alami telah dibentuk oleh rancangan ilahi dan secara historis selama berabad-abad, untuk melakukan tiga hal utama: menyediakan [kebutuhan], melindungi, dan memimpin.
Kita melakukan ini bukan untuk kepentingan kita sendiri, bukan untuk memuaskan ego kita, tetapi untuk melayani orang lain; keluarga, masyarakat, dan negara kita. Manusia bukanlah unit yang identik. Fakta bahwa kita serupa juga artinya kita tidak sama. Kita bukanlah bagian dari mesin sosial yang dapat ditukar-tukar. Kesetaraan tidak didasarkan pada ideologi politik tetapi pada realitas perbedaan dan saling ketergantungan antara pria dan wanita sejati. Sebagai pria dan wanita, kita dirancang untuk saling membutuhkan, bukan untuk meniru satu sama lain. Karena kita telah menyimpang dari rancangan dan maksud ilahi, maka karena alasan utama itulah mengapa budaya modern begitu bertentangan tentang kesetaraan pria dan wanita.
Dalam artikel ini, saya akan membahas beberapa isu yang sering muncul dan menjawab pertanyaan umum: Apakah Islam mendiskriminasi perempuan atau laki-laki dalam ajarannya? [*]
Apa itu kesetaraan?
Untuk memahami masalah ini, pertama-tama kita harus menentukan apa sebenarnya arti dari kesetaraan? Apakah kita berbicara tentang kesetaraan absolut dalam hal hubungan gender? Jika kita berbicara tentang kesetaraan absolut, hal yang perlu diketahui adalah (mungkin, semua) orang ateis, sekuleris dan feminis tidak menganjurkan kesetaraan gender yang absolut. Hampir semua orang mengakui bahwa kedua gender perlu diperlakukan secara berbeda setidaknya dalam beberapa aktivitas kehidupan. Misalnya dalam olahraga. Jika kesetaraan absolut adalah tujuan dalam olahraga, kita akan mengadakan turnamen dengan pria dan wanita yang bermain bersama atau melawan satu sama lain. Namun, ini sama sekali tidak terjadi, karena tes verifikasi jenis kelamin dilakukan untuk memastikan tidak ada ketidaksetaraan dengan meminta seorang pria berpura-pura menjadi wanita yang bermain dalam olahraga tertentu. Di sini, “kesetaraan” akan didefinisikan sebagai wanita yang bermain melawan wanita untuk mendapatkan level permainan yang setara. Jika kesetaraan bersifat absolut, tes semacam itu tidak akan ada. Adanya tes itu menunjukkan bahwa kita semua sepakat bahwa alam telah memberikan kecenderungan, bakat, kekuatan, dan kepribadian yang berbeda kepada pria dan wanita.
Sekarang, mari kita ambil contoh yang lebih spesifik yang juga terkait dengan olahraga: Kekuatan fisik. Dalam hal ini, keliru jika kita mengatakan bahwa semua pria lebih kuat daripada wanita, tetapi akan benar jika kita mengatakan bahwa pria secara umum lebih kuat daripada wanita, mengingat istilah “kekuatan” di sini digunakan untuk merujuk pada kekuatan fisiologis, otot dan bukan untuk jenis kekuatan lain seperti menghadapi trauma, bertahan hidup dari penyakit, dll. di mana wanita sebenarnya lebih kuat. Oleh karena itu, jika pria ikut serta dalam kompetisi olahraga melawan wanita, mereka akan memiliki keuntungan yang tidak adil. Masalahnya bukan pada masalah kesetaraan gender dalam arti absolut. Sebaliknya, ini adalah masalah kesetaraan gender dalam arti terbaik.
Artinya, harus diakui bahwa setiap jenis kelamin memiliki kelebihan dan kelemahan yang mungkin tumpang tindih atau tidak. Dalam hal tertentu, satu jenis kelamin memiliki kelebihan dibandingkan yang lain, sementara dalam hal lain, jenis kelamin lainnya memiliki kelebihan. Seperti yang dikatakan oleh seorang psikiater, Dr. Neel Burton, “kelebihan dan kekurangan biologis kurang lebih terbagi rata di antara kedua jenis kelamin”. [i] Meskipun ada perbedaan-perbedaan ini, Allah menyatakan dalam Al-Quran:
وَ مَنۡ یَّعۡمَلۡ مِنَ الصّٰلِحٰتِ مِنۡ ذَکَرٍ اَوۡ اُنۡثٰی وَ ہُوَ مُؤۡمِنٌ فَاُولٰٓئِکَ یَدۡخُلُوۡنَ الۡجَنَّۃَ وَ لَا یُظۡلَمُوۡنَ نَقِیۡرًا
“Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki atau pun perempuan, dan ia seorang mukmin, maka mereka itu akan masuk surga, dan mereka tidak akan dianiaya walaupun sebesar biji korma.” [QS An-Nisa [4]:125)
Dengan kata lain, sejauh menyangkut spiritualitas dan hubungan seseorang dengan Tuhan, terdapat kesetaraan mutlak antara kedua jenis kelamin.
Memahami Peran Gender
Apa yang banyak orang lihat sebagai ketidaksetaraan gender dalam Islam sebenarnya merupakan kesetaraan dalam bentuk yang terbaik. Karena perempuan dilahirkan dengan kemampuan untuk melahirkan anak, dan secara alami lebih mampu untuk merawat kebutuhan bayi yang baru lahir, Islam telah memberikan mereka peran yang lebih sentral dalam hal pengasuhan anak. Ini tidak berarti bahwa laki-laki tidak memiliki peran apa pun dalam hal ini. Ini hanya berarti bahwa ayah memiliki peran pendukung sementara ibu memiliki peran dan tanggung jawab utama dalam mengasuh anak.
Sebaliknya, Islam memberikan peran untuk menafkahi keluarga secara finansial kepada suami/ayah, dan suami memikul tanggung jawab berat untuk memastikan bahwa keluarga terurus dengan baik. Hal ini dijelaskan dalam ayat Al-Quran berikut:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ
Menjelaskan ayat ini, Hazrat Mirza Tahir Ahmad (rh) menulis,
“Dan mereka (para wanita) mempunyai hak yang sama dan setara dengan hak (laki-laki) atas mereka secara adil; (yaitu, bagi wanita, ada hak yang sama persis seperti bagi laki-laki, sebagaimana laki-laki memiliki hak atas wanita. Dengan demikian ada kesetaraan total dan tidak ada perbedaan apa pun antara hak asasi manusia yang mendasar dari wanita dan laki-laki). Tetapi laki-laki memiliki beberapa kelebihan atas mereka. Dan Allah Maha Perkasa dan Bijaksana” [2:229]. [ii] Apa kelebihannya? Yaitu dalam hal tanggung jawab mereka sebagai pencari nafkah, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran, “Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) menafkahkan sebagian harta mereka” [4:35]. Ajaran ini tidak memberikan hak istimewa atau hak khusus apa pun kepada laki-laki karena tanggung jawab mereka lebih besar. Sebaliknya, ajaran ini tampaknya lebih keras bagi laki-laki, dan membuat hidup lebih mudah dan lebih nyaman bagi wanita.
Siapa melayani siapa?
Terkait dengan masalah yang dibahas dalam artikel ini, terdapat sebuah kutipan dari Hadhrat Masih Mau’ud, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as), yang beredar di Internet, di mana beliau mengutip keberatan dari seseorang yang menyatakan bahwa menurut ajaran Islam, laki-laki dan perempuan tidak diperlakukan sama. Hadhrat Masih Mau’ud (as) menanggapi dengan menulis:
“Jawabannya adalah pria dan wanita tidak setara. Pengalaman universal telah menunjukkan bahwa pria lebih unggul daripada wanita dalam kekuatan fisik dan mental”. [iii]
Kutipan di luar konteks ini, di antara kutipan lainnya, biasanya diunggah di media sosial untuk menunjukkan bahwa Jamaah Muslim Ahmadiyah tidak memandang laki-laki dan perempuan sebagai setara dan sangat mendiskriminasi perempuan.
Ketika kita lihat kutipan aslinya dalam konteks yang tepat, dan dalam bahasa aslinya, maka jelaslah bahwa Hadhrat Masih Mau’ud (as) tengah berbicara tentang perbedaan antar jenis kelamin yang telah dibahas di atas, dan yang telah diakui oleh para dokter, psikiater, dan ahli biologi, dan tidak ada sedikit pun diskriminasi atau ketidaksetaraan gender yang diungkapkan dalam tulisan-tulisan Hadhrat Masih Mau’ud (as).
Pada baris-baris setelah kutipan di atas, Hadhrat Masih Mau’ud (as) menegaskan bahwa ‘suami bertanggung jawab untuk menyediakan segala kebutuhan dan fasilitas bagi istrinya’, dan beliau memaparkan bagian berikut dari sebuah ayat Al-Qur’an:
وَ عَلَی الۡمَوۡلُوۡدِ لَہٗ رِزۡقُہُنَّ وَ کِسۡوَتُہُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ
Artinya, menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhi segala kebutuhan istrinya dalam hal sandang, pangan, kesejahteraan, dan lain sebagainya. Kemudian, Hadhrat Masih Mau’ud (as) berargumen bahwa meskipun seorang suami telah dianugerahi kemampuan tertentu yang diletakkan tanggung jawab ini kepadanya, ia juga diajarkan untuk memperlakukan istrinya dengan penuh kasih sayang. Beliau menulis:
“Al-Qur’an memerintahkan bahwa jika seorang pria telah memberikan segunung emas kepada istrinya sebagai tanda kasih sayang dan kebaikannya, ia tidak boleh mengambilnya kembali jika terjadi perceraian. Ini menunjukkan rasa hormat dan penghargaan yang diberikan Islam kepada seorang wanita; pada kenyataannya, pria dalam hal-hal tertentu seperti pembantu mereka. Mereka telah diperintahkan dalam Al-Qur’an
وَ عَاشِرُوۡہُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ
yakni, bergaullah dengan istri-istrimu sedemikian rupa sehingga setiap orang yang berakal sehat dapat melihat betapa baik dan lembutnya kamu terhadap istrimu. [iv]
Berdasarkan kutipan ini yang hanya beberapa baris di bawah kutipan di atas, dapat dengan mudah disimpulkan bahwa Hadhrat Masih Mau’ud (as) pada dasarnya berpendapat bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan memberi mereka keuntungan dan kerugian tertentu atas jenis kelamin lainnya, tidak seperti apa yang telah diakui oleh para ahli biologi dan psikolog. Namun, pada akhirnya, keuntungan dan kerugian tersebut seimbang dan masing-masing diperlakukan sama, dalam pengertian sebaik mungkin.
Menarik untuk dicatat bahwa Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah menunjukkan bahwa tanggung jawab yang dibebankan Islam kepada suami begitu berat sehingga membuatnya seperti pembantu istrinya. Kehormatan apa lagi yang dapat diberikan Islam kepada wanita? Agama atau filsafat manakah yang menempatkan wanita pada kedudukan yang begitu tinggi? Kata-kata asli Hadhrat Masih Mau’ud (as) adalah:
اس سے ظاہر ہے کہ اسلام میں عورتوں کی کس قدر عزت کی گئی ہے ایک طور سے تو مردوں کو عورتوں کا نوکر ٹھہرایا گیا ہے
Yakni, ajaran Islam ini menunjukkan besarnya rasa hormat dan martabat yang diberikan kepada wanita dalam Islam. Di satu sisi, para pria diajarkan untuk menjadi seperti pelayan atau pembantu wanita. Yang ada ajaran ini dapat dikatakan telah menempatkan pria pada posisi yang kurang menguntungkan, jauh dari kesan bahwa wanita diperlakukan dengan buruk. Intinya, Islam menghormati berbagai kapasitas dan kemampuan pria dan wanita, dan memberi mereka peran yang paling sesuai untuk mereka.
Maka, peran laki-laki adalah menjadi pencari nafkah bagi keluarga, sedangkan peran perempuan adalah memastikan keluarga dan anak-anak dibesarkan dalam lingkungan terbaik.
Itulah peran utama laki-laki dan perempuan, yang tentu saja tidak berarti bahwa peran mereka yang lain harus diabaikan sepenuhnya. Ketika peran utama mereka terpenuhi, perempuan dapat bekerja di profesi pilihan mereka jika mereka ingin memperoleh penghasilan pribadi. Demikian pula, laki-laki juga harus berperan dalam membesarkan anak-anak dengan baik dan memberikan perawatan terbaik bagi keluarga mereka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik dalam memperlakukan keluarganya.”
Catatan akhir:
[*] Para mantan Muslim membicarakan isu ini di banyak postingan daring, video YouTube, dan podcast. Faktanya, ini adalah salah satu pokok perdebatan utama yang mereka tuduhkan sebagai ketidaksetaraan gender dalam Islam.
[i] https://www.psychologytoday.com/us/blog/hide-and-seek/201207/the-battle-the-sexes
[ii] Tanggapan Islam terhadap Isu-isu Kontemporer, halaman 93-94.
[iii] Hakikat Islam, jilid 3 , halaman 314.
[iv] Ibid, halaman 315-316
Sumber: Alislam.org – Gender Equality in Islam
Penerjemah: Qanita Kamalia Tahira