Oleh ; Mubasher Ahmad, M.A. LL.B
Kata-kata ‘Caliph’ dan ‘Caliphate’ yang umum digunakan dalam bahasa Inggris, keduanya diambil dan ditransformasikan dari bahasa Arab ‘Khalifah’ dan ‘Khilafah’. Penggunaan kata ‘Caliph’ dalam bahasa Inggris digunakan sejak tahun 1393, kata ‘caliphate’ sejak tahun 1614. Salah satu alasan beragamnya perbendaharaan kata dalam bahasa Inggris adalah kemampuannya untuk meminjam dan menyerap kata-kata dan ungkapan dari bahasa asing yang jumlahnya cukup banyak. Orang-orang yang berbahasa Inggris menggunakan kata-kata yang diambil dari hampir seluruh bahasa di dunia. Sebagai contoh, dari Indo-Pakistani seperti bahasa Urdu, Hindi dan Sansakerta, bahasa Inggris memperoleh kata-kata ‘camphor’, ‘ginger’, ‘musk’, ‘sugar’, ‘punch’, ‘guru’, ‘nirvana’, ‘bungalow’, ‘jungle’, ‘cheetah’, ‘thug’, ‘pundit’ dan ‘Aryan’. Dari bahasa Farsi diperoleh kata-kata ‘bazaar’, caravan’, ‘dervish’, ‘jasmine’, ‘magazine’, ‘rook’ dan ‘checkmate’. Dari Ibrani ada kata-kata ‘Amen’, ‘jubilee’, ‘kosher’, ‘Satan’ dan ‘messiah’. Begitu juga sejumlah nama, ungkapan, dan istilah diambil dari bahasa Arab. Diantaranya yaitu Admiral (Amir-ul-bahr, atau amir-ar-rahl), Gibraltar (Jebel-e-Tarik), alchemy (al-kimiya), alcohol (alkohl), algebra (al-gebro-wal-muqabilah), algorithm (al-Khowarazmi), arsenal (dar-as-sina’ah), assassin (hashishin), coffee (qawah), El Cid (al-Sayyid), elixir (al-iksir), emir (Amir), fakir (faqir), genie (jinn), minaret (minarah), Ottoman (Uthman), Saracen (sharqiyien), sherbet & syrup (sharbah, sharaab), sofa (suffah ), talisman ( talism), dan zero (sifr).
Konsep Khilafah di dalam Al-Qur’an
Untuk diskusi ini, kami akan membedakan antara ‘khilafah’ dan ‘caliphate’ tidak lebih untuk pengembangan etimologis dari kata-kata tersebut. Dalam bahasa Arab ‘khalifah’ berarti penerus, wakil atau penguasa. Dan ‘khilafah’ adalah dominion dari ‘khalifah’, atau lembaga yang berjalan dibawah kepemimpinan khalifah. Di dalam bahasa Inggris ‘Caliph’ adalah penguasa sipil dan pemimpin politik Muslim yang dianggap sebagai penerus Nabi Muhammad saw. Tetapi di dalam Al-Qur’an kata-kata khalifah (dalam bentuk tunggal) dan khulafa atau khalaa’if (dalam bentuk jamak) memiliki pengertian yang lebih luas daripada kata ‘Caliph’ dan ‘Caliphs’ dalam bahasa Inggris.
Sebagai contoh Al-Qur’an menggunakan gelar “Khalifah di bumi” kepada Adam sebagai “wakil Tuhan di bumi” (2:31). Dalam bahasa Arab kita dapat memanggilnya dengan sebutan Khalifatullah, tetapi (dalam bahasa Inggris) kita tidak dapat memanggilnya “God’s Caliph”. Sama halnya dengan Nabi Daud as dipanggil sebagai ‘khalifah’, yaitu wakil Tuhan di dalam Al-Qur’an:
“Hai Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikan engkau khalifah di bumi ini; maka hakimilah di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (38:27).
Tetapi kita tidak pernah mengatakan “Caliph David (Khalifah Daud)” dalam bahasa Inggris, beliau justru dipanggil “King David (Raja Daud)”. Lebih jauh lagi, di dalam Al-Qur’an kata-kata khalaa’if dan khulafa (jamak dari khalifah) telah digunakan untuk bangsa-bangsa atau generasi tertentu yang dalam hal ini Allah memberikan karunia yang besar kepada mereka dan membuat mereka menjadi bangsa yang kuat di atas muka bumi:
“Dan ingatlah ketika Dia menjadikan kamu khulafa (pengganti-pengganti) sesudah kaum Nuh, dan melebihkan kamu dalam kekuatan jasmani.” (7:70).
“Dan ingatlah ketika Dia menjadikanmu menjadikamu khulafa (pengganti-pengganti) sesudah kaum ‘Ad, dan Dia menempatkanmu di di bumi.” (7:75).
Tetapi dalam bahasa Inggris kita tidak menyebutkan suatu bangsa atau suatu generasi dengan sebutan “Caliphs”.
Al-Qur’an secara spesifik menggunakan istilah khulafa untuk mengindikasikan perlakuan khusus Allah Ta’ala kepada orang-orang, tidak hanya dengan menganugerahkan kepada mereka kekuatan dunia, tetapi secara lebih spesifik sebagai anugerah rohani yang diberikan kepada mereka yang bertakwa. Dalam pengertian ini, untuk mendapatkan karunia khilafah, diperlukan kewaspadaan untuk menghadapi berbagai bentuk ujian dan cobaan bagi orang-orang yang bertakwa.
“Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) dalam derajat, supaya Dia mengujimu dengan apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (6:166).
“Kemudian Kami jadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi sesudah mereka (generasi sebelumnya), supaya Kami menyaksikan bagaimana kamu beramal.” (10:15).
“Atau siapakah yang mengabulkan doa orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan melenyapkan keburukan, dan menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi? Adakah tuhan lain bersama Allah? Kamu sangat sedikit mendapat pelajaran.” (27:63).
Dalam ayat ini berkah khilafah sangat berkaitan dengan bagaimana Allah menjawab doa orang yang sedang dalam kesulitan dan menghilangkan kedukaan mereka. Kemudian lagi
“Sesungguhnya Allah mengetahui segala yang ghaib di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia mengetahui segala isi hati. Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang ingkar, maka ia sendiri menanggung keingkarannya.” (35:39-40).
Pada ayat yang dikutip di atas, Al-Qur’an meletakkan dasar aspek-aspek moral, etik dan rohani sebagai syarat orang beriman dapat menerima karunia dari Tuhan.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka khalifah di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan khalifah orang-orang sebelum mereka, dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia niscaya akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka menyembah-Ku, dan mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa ingkar sesudah itu, mereka itulah orang-orang yang fasik. (24:56)
Janji Allah Ta’ala untuk mendirikan khilafah sebagai karunia bagi umat manusia sangat berakar kuat dengan kondisi akhlak dan rohani para mukmin sejati. Dalam pemahaman yang lebih spesifik inilah kita dapat membedakan antara khilafah dan caliphate. Caliphate berhubungan dengan ruang lingkup politik dan kemasyarakatan para pemimpin dalam sejarah Islam, tetapi khilafah berkaitan dengan moral, keagamaan, kepemimpinan rohani umat manusia. Khilafah berusaha menumbuhkan Tauhid Ilahi agar dapat membuat manusia menjadi orang yang selalu beribadah, beramal saleh, hidup dengan merdeka, dan menciptakan perdamaian. Oleh karena itu, seorang pimpinan politik yang mungkin dipanggil sebagai seorang ‘Caliph’ belum tentu menjadi khalifah yang dimaksud oleh Al-Qur’an.
Hadits tentang Khilafah
Dalam sebuah kitab Hadits terkenal, Musnad Ahmad oleh Imam Ahmad bin Hambal, ada sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Huzaifah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Kenabian akan tetap berada diantara kalian selama Allah menghendaki. Kemudian akan berlaku masa khilafah yang mengikuti jejak kenabian (khilafah ‘ala minhajin-nubuwwah), dan akan tetap berada selama Allah berkehendak. Kemudian diikuti masa kerajaan yang merusak (mulkan ‘adhan), dan dia akan tetap berada selama Allah berkendak. Kemudian setelah itu akan muncul kerajaan lalim (mulkan jabbariyyah), dan akan tetap berada selama Allah berkehendak. Kemudian muncul kembali khilafah yang mengikuti jejak kenabian (khilafah ‘ala minhajin nubuwwah).
Dalam hadits ini, janji khilafah dihubungkan dengan Kenabian pada dua kesempatan yang berbeda. Di antara dua masa khilafah tersebut disebutkan terdapat “kerajaan yang merusak” (mulkan ‘adhan) dan “kerajaan yang lali” (mulkan jabbariyyah). Inilah yang mengarah kepada istilah “Caliphate”. Banyak kerajaan Islam menggunakan istilah “khalifah”, akan tetapi nyatanya mereka menyimpang dari ajaran kenabian.
Bahasa arab menunjukkan hubungan antara khilafah dan kenabian sebagai “khilafah ‘ala minhajin-nubuwwah, yaitu khilafah yang mengikuti jejak kenabian. Ini berarti bahwa penerus sejati dari seorang nabi (Khulafa) akan terus mengikuti sunah dari Nabi tersebut dan memimpin orang-orang beriman dengan cara yang sama sebagaimana Sang Nabi membimbing mereka. Ini menerangkan prinsip bahwa esensi daripada khilafah itu adalah melanjutkan misi dari seorang Nabi. Khilafah dan kenabian memiliki tujuan yang sama. Al-Qur’an menjelaskan bahwa tujuan utama dari kenabian adalah perkembangan akhlak dan rohani umat manusia. Mengenai Rasulullah saw Al-Qur’an menyatakan:
“Kami utus kepadamu seorang Rasul dari antara kamu yang membacakan Ayat-ayat Kami kepadamu dan menyucikan kamu dan mengajar kamu Kitab dan hikmah dan mengajar kamu apa yang belum kamu ketahui.” (2:152).
Ayat ini menjelaskan empat tujuan dari seorang Nabi :
- Membacakan ayat-ayat Allah untuk menguatkan keimanan kepada tauhid Ilahi dan beribadah hanya kepada-Nya.
- Menyucikan jiwa-jiwa dengan memberikan perubahan akhlak dalam perilaku manusia, dengan menciptakan rasa saling mencintai, rasa simpati dan persatuan dalam diri orang-orang yang beriman dan dengan menyingkirkan kecenderungan untuk berbuat dosa dari dalam hati orang-orang yang beriman.
- Mengajarkan Al-Kitab, yaitu Al-Qur’an yang berisi hukum dan perintah-perintah Tuhan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan penuh kebaikan.
- Mengajarkan Hikmah yang menekankan kaidah-kaidah alam dan sosial untuk meningkatkan pengetahuan manusia.
Jadi keempat tujuan ini – yang terkait dengan perkembangan rohani, akhlak, sosial dan intelektual manusia – akan terus menjadi tujuan utama orang-orang yang bertakwa dan khilafah ‘yang dibimbing Allah’ yang mengikuti jejak dari Nabi Muhammad saw.
Khilafah Rasyidah (Khalifah Yang Terbimbing)
Setelah membimbing para pengikutnya selama 23 tahun ke “jalan Islam yang lurus”, Rasulullah saw wafat pada tahun 632 M. Para sahabat memilih Abu Bakar ra sebagai khalifah pertama dengan mayoritas suara memilih beliau. Abu Bakar melanjutkan tugas dalam menjaga persatuan umat Islam, memimpin mereka mengikuti prinsip-prinsip ajaran Islam dengan penuh ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Setelah beliau, tiga khalifah berikutnya adalah Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib ra – merupakan sahabat yang paling setia dan paling dekat dengan sosok Rasulullah saw. Mereka membawa misi Rasulullah saw di tengah kondisi yang sangat sulit dan kompleks. Jadi khilafah ‘alaa minhajin nubuwwah terbentuk setelah Rasulullah tidak lagi berada di antara orang-orang beriman. Khalifah akan memimpin sholat sebagai Imam Sholat. Dia akan menyampaikan ilmu rohani dan agama kepada umat Islam; menjaga keadilan dan kesalehan di masyarakat, dan tidak berada di bawah partai politik manapun. Sebagai tambahan, dia menjalankan segala hal dengan musyawarah (syura) seperti yang diatur dalam Al-Qur’an. Dia juga merupakan seorang pemimpin yang disebut Amirul Mu’minin (Pemimpin orang-orang beriman).
Menjaga Kemurnian Teks Al-Qur’an
Salah satu tugas utama Khalifah-khalifah Rasulullah saw adalah untuk menjaga kemurnian teks Al-Qur’an. Ketika banyak hufaz (orang yang hafal seluruh isi Al-Qur’an) yang syahid di medan perang, atas masukan dari Umar ra, kodifikasi dan pengumpulan Al-Qur’an dimulai di bawah perintah Abu Bakar ra. Beliau mempercayakan pekerjaan ini kepada Zaid bin Sabit, sahabat dekat Rasulullah saw yang mempersembahkan Al-Qur’an dalam bentuk kitab lengkap kepada Abu Bakar ra. Pada saat kewafatan Abu Bakar ra, kitab kompilasi tersebut diserahkan kepada Umar ra yang kemudian mewariskanya kepada Hafsah, istri Rasulullah saw. Kitab ini berisi teks yang sama yang kemudian menjadi dasar salinan Kitab yang disebarkan luaskan oleh Khalifah ketiga Usman bin Affan ra ke seluruh negeri Islam di dunia.
Kurang dari jangka 30 tahun dari padang pasir Arabia, Umat Islam telah mencapai Irak, Suriah, Palestina, Yerusalem, Mesir, Siprus, dan Tripoli di Afrika Utara; Iran, Afghanistan, dan Sindh di India. Kekaisaran Bizantinum yang kuat di sebelah Barat Laut dan Kerajaan Persia kuno di sebelah Timur dikalahkan oleh pihak Muslim. Salah satu perintah tegas Khilafah pada saat itu adalah orang-orang yang sudah ditundukkan tidak boleh dipaksa untuk masuk Islam. Al-Qur’an dengan tegas melarang paksaan dalam agama, dan dengan spesifik menghormati Kitab Suci milik Yahudi dan Nasrani dengan menyebut para pengikutnya sebagai Ahlul-kitab (Pengikut Kitab). Mereka, bersama-sama umat pengikut Zoroaster, Hindu, Buddha, dianggap sebagai dzimmi (orang- yang dilindungi). Umat Islam membayar Zakat (pengorbanan tahunan untuk membantu orang miskin), tetapi para dzimmi non-muslim ini dibebaskan dari kewajiban membayar zakat. Akan tetapi mereka membayar pajak yang disebut sebagai jizya. Sebagai ganjarannya, kehidupan, harta, kehormatan serta kebebasan beribadah mereka akan dijaga oleh pemerintah Islam dibawah sistem Khilafah.
Dinasti Monarki
Perluasan wilayah Islam yang begitu cepat menimbulkan banyak tantangan. Ada beberapa provokator yang sibuk menimbulkan ketidakpuasan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Sayangnya, mereka berhasil menimbulkan pemberontakan militer terhadap Khalifah ketiga, Usman ra. Sekelompok pasukan datang ke Madinah (656 M) dari Fustat, Mesir, dan mensyahidkan beliau di dalam rumah beliau sendiri ketika beliau sedang membaca Al-Qur’an. Tuntutan untuk menghukum pelaku pembunuhan Usman ra diajukan kepada Ali ra yang terpilih sebagai Khalifah keempat, dan situasi ini kemudian membawa kepada perang sipil. Saudara dekat Usman ra, Muawwiyah, yang pada saat itu merupakan Gubernur Suriah, berseberangan dengan Ali ra. Setelah usaha negosiasi dan islah yang gagal, Muawiyyah berusaha untuk menurunkan Ali, dan mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai khalifah.
Beberapa ekstrimis yang dikenal dengan sebutan Khariji (golongan yang memisahkan diri), melakukan pemberontakan terhadap Muawiyyah maupun juga Ali ra. Ali ra menghadapi mereka dengan tegas dan menghancurkan pemberontakan bersenjata yang mereka lakukan. Sampai, salah satu anggota Khariji ini mensyahidkan Ali pada tahun 661, yang kemudian mengakhiri masa kekhalifahan yang benar-benar mendapat bimbingan Allah Ta’ala. Sejak saat itu, Madinah yang merupakan pusat di zaman Nabi saw tidak lagi menjadi pusat kekuatan. Muawiyyah, yang mengambil alih kekuasaan dengan paksa, merupakan komandan militer dan pimpinan politik pertama yang menjadi Khalifah dengan sistem Monarki secara turun temurun. Damaskus menjadi ibukota kerajaaannya.
Menurut Profesor Hitti, Muawiyyah bukan hanya yang pertama, melainkan yang terbaik di antara Raja-raja Arab. Dia adalah orang yang cerdas, diplomatis, tenang, dan penuh perhitungan. Dalam masa hidupnya, tidak hanya mencalonkan putranya sendiri, Yazid, untuk menjadi pemimpin berikutnya, tetapi juga mengeluarkan ide untuk berbai’at kepada Yazid di beberapa wilayah kerajaan. Dia sendiri yang mendatangi Mekah dan Madinah untuk tujuan ini. Satu-satunya orang yang menolak untuk berbai’at adalah Husein bin Ali, Abdullah bin Umar, Abdur Rahman bin Abu Bakar, serta Abdullah bin Zubair. Pendirian mereka yaitu bahwa khalifah tidak bisa diturunkan melalui keturunan secara Monarki. Meskipun demikian, Yazid, yang tidak memiliki integritas akhlak untuk menjadi seorang khalifah tetap memperoleh tahta dari ayahnya pada tahun 680.
Begitulah fase baru dalam sejarah Islam dimulai, dimana kerajaan dijalankan oleh anggota keluarga Umayyah. Fase ini sangat jauh dari ‘Khilafah’. Para khalifah (caliph) tersebut sukses sebagai pemimpin politik, tetapi bukan berarti mereka merupakan orang-orang yang memiliki integritas akhlak dan pengetahuan yang baik soal agama; begitulah sistem dinasti monarki telah mengikis sifat sejati dari khilafah dan berubah menjadi khalifah dengan sifat kebangsawanan.
Dalam kata-kata yang ditulis oleh ahli sejarah Karen Armstrong,
“Kekhalifahan Umayyah secara bertahap merubah daerah-daerah yang diduduki oleh Islam yang terpecah menjadi satu kerajaan yang bersatu, dengan ideologi yang sama. Ini merupakan pencapaian yang luar biasa; akan tetapi keluarga raja mulai menumbuhkan budaya dan gaya hidup yang mewah, dan menjadi tidak peka terhadap orang-orang dari kelas yang berbeda. (Islam : A Short History, h. 41)
The Caliphate (Khalifah Duniawi)
Setelah empat Khulafaur Rasyidah yang meneruskan Rasulullah saw, dimulailah khalifah dinasti monarki, dan bertahan di tengah-tengah umat Islam selama 1250 tahun. Muawiyyah mendirikan dinasti Umayah pada tahun 661, dan putranya, Yazid I, menjadi khalifah pada tahun 688. Bani Umayyah memimpin umat muslim selama hampir seabad.
Pada tahun 749, Bani Abbasiah (keturunan paman Rasulullah saw , Abbas bin Abdul Mutallib) menjatuhkan Bani Umayyah dan memperoleh kekuasaan selama 5 abad berikutnya. Akan tetapi, mereka mengalami sebuah peristiwa tragis ketika kerajaan Mongol menyerang Baghdad pada tahun 1258, dan Khalifah berikutnya Al-Musta’sim dihukum mati. Tiga tahun kemudian, anggota keluarga yang masih bertahan dari Bani Abbasiyah ditunjuk sebagai khalifah di Kairo dibawah perlindungan Kesultanan Mamluk; akan tetapi ini merupakan Khalifah bayangan, terbatas hanya untuk memimpin upacara dan urusan keagamaan saja.
Kesultanan Turki Mengambil Gelar Khalifah
Penguasa Muslim Turki Usmani menggunakan sebutan “Sultan” untuk mereka sendiri, tetapi Sultan ke tujuh dari Dinasti Usmani Mehmed II (1432-1481) dan putranya Selim I, menegaskan diri sebagai khalifah untuk mengukuhkan kekuasaan mereka terhadap wilayah Islam. Awal mulanya, mereka menggunakan gelar “khalifah” hanya secara simbolis, tetapi menjadi permanen ketika Kesultanan Usmani mengalahkan Kesultanan Mamluk pada tahun 1517. Khalifah terakhir dari Dinasti Abbasiyah di Kairo, Al-Mutawakkil III, ditahan dan dibawa ke Istanbul, dimana dia dilaporkan menyerahkan gelar Khalifah kepada Selim I.
Bani Umayyah, Abbasiyah dan Usmaniah memimpin dengan bermacam-macam bentuk pemerintahan. Kadang-kadang, beberapa Khalifah memerintah di saat bersamaan. Konflik internal, pemberontakan, dan persaingan yang mengarah kepada penekanan-penekanan dan pertumpahan darah bukanlah hal yang aneh. Kemudian secara perlahan-lahan dan bertahap lembaga khilafah tersebut kehilangan kepercayaan di mata umat Muslim. Jelas sekali, khalifah-khalifah tersebut telah menyimpang jauh dari apa yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah saw dan khalifah awwalin untuk benar-benar menjadi pemimpin kaum Muslim. Tidak ada seorang dari antara mereka dapat menegaskan diri sebagai pemimpin rohani dan agama dari seluruh umat Muslim. Tujuan dari kenabian (Rasulullah saw) pun hampir menghilang. Tetapi dalam hal keduniaan, kemajuan budaya telah dikembangkan dalam berbagai ilmu dan seni yang menciptakan peradaban baru dan kuat. Esensi akhlak dan rohani dari khilafah masih dapat dipertahankan sampai batas tertentu melalui religiusitas para ulama konservatif Islam tetapi sebagian besar dipelihara dan dipertahankan oleh para wali, imam, mujaddid, dan para sufi.
Khilafah ditengah Golongan Sufi
Gaya hidup yang bermewah-mewahan dari kalangan elit pemerintah di bawah kekhalifahan monarki telah menimbulkan sebuah reaksi, dan banyak muslim yang saleh lebih memilih aliran tasawuf.
Banyak pemimpin sufi yang terkenal muncul sejak abad ke delapan, dan seiring berjalanya waktu kecenderungan seperti ini semakin tinggi. Aliran sufi yang terkenal diantaranya Naqshbandiyah, Qadriyah, Yassaviyah, Suhrawardi, Shadiliyyah, Badawiyyah, Chistiyyah, dan Mawalawiyyah terbentuk pada abad ke dua belas dan tiga belas. Penggunaan gelar khalifah menjadi umum di antara para penerus dan wakil dari pendiri aliran Sufi tersebut. Misalnya Qutb-ud-Din Bakhtiar Kaki (1235 M) merupakan wali pada masa itu dan khalifah dari Muin-ud-din Chishti (1236 M) – pendiri dari aliran Chishtiyyah yang terkenal. Farid-ud-Din Masud Gand Shakar (1265 M) merupakan khalifah (penerus) dari Bakhtiar Kaki. Dan khalifah beliau adalah Nizam-ud-Din Aulia (1325 M) dari Delhi, India. Para pemimpin Sufi dan khalifah mereka mengamalkan kekuatan rohani melalui kalbu dan pikiran orang-orang dengan memberikan penekanan untuk meraih kedekatan kepada Tuhan melaui doktrin-doktrin esoteris (kebatinan), ketakwaaan, dan tahan terhadap godaan duniawi. Mereka adalah orang-orang yang dianggap suci yang sangat percaya dengan kekuatan doa. Mereka menunjukkan kelebihan-kelebihan dan pengalaman mimpi-mimpi yang benar, ru’ya dan wahyu Ilahi.
Akhir dari Masa Khalifah (Caliphate)
Selama Perang Dunia I (1914-1918), Kesultanan Turki Usmani berperang melawan Inggris dan sekutunya, dan mereka dikalahkan. Pada akhir Perang Dunia I, Kesultanan Turki Usmani ditaklukan oleh Uni Eropa, dan daerah kekuasaannya dibagi-bagi di antara mereka. Mehmed VI, Sultan ke 36 diasingkan, dan setelah kewafatanya, Kesultanan (Turki) dibubarkan pada tahun 1922. Akan tetapi, sepupu beliau, Putra Mahkota Abdul Majid II, dipilih oleh Majelis Nasional Turki di Ankara sebagai ”khalifah”. Kemudian pada 3 Maret 1924, dia diberhentikan dan dibuang dari Turki bersama seluruh keluarganya. Hal ini kemudian diikuti dengan tindakan Mustafa Kemal (Ataturk) secara resmi membubarkan kekhalifahan dan sistem pengadilan syariah di Turki. Abdul Majid II kemudian dianggap sebagai “Aakhir Khalifatul Muslimin” – khalifah terakhir diantara umat Islam.
Gerakan Khilafah
Ketika Uni Eropa memutuskan untuk membagi wilayah kekuasaan Kesultanan Turki, terdapat reaksi keras dari umat Islam di dunia. Pada akhir tahun 1919, beberapa pemimpin muslim India memulai “Gerakan Khilafah”, untuk mempertahankan integritas Kekhalifahan dan Kesultanan Usmaniah. Sebuah Komite Khilafah dibentuk dengan dua tujuan, yang pertama, untuk mendesak dipertahankannya kekuasaan sementara Sultan Turki sebagai khalifah, dan yang kedua untuk memastikan kedaulatan selanjutnya atas tempat-tempat suci Islam. ‘Gerakan Khilafah’ didasarkan pada premis non-faktual bahwa Khalifah Dinasti Usmaniah merupakan ‘Khalifah Universal’ dimana seluruh umat Islam, di dunia manapun, menyatakan bai’at kepadanya.
Pada tahun 1920, pemimpin dan ulama Muslim India, Maulana Abdul Kalam Azad, menerbitkan sebuah buku yang berjudul Masla-e-Khilafah (Masalah Khilafah), dimana beliau menyampaikan:
“Tanpa adanya khalifah, keberadaan Islam tidak mungkin terjadi, umat Islam India dengan seluruh usaha dan kekuatan perlu untuk mewujudkanya.”
Yang mengejutkan, pemimpin Gerakan Khilafah kemudian mengajak pemimpin agama Hindu, Mohandas Gandhi, untuk menolong mereka dengan masalah yang murni permasalahan agama Islam. Untuk memperoleh kekuatan dari agenda politiknya sendiri, Gandhi menyetujui dengan memberikan dukungannya kepada umat Islam dalam menimbulkan agitasi massa dan memberikan penekanan diplomatik kepada pihak pemerintah Inggris. Akan tetapi, pemimpin politik Islam, Mohammad Ali Jinnah (yang kemudian menjadi pendiri negara Pakistan) tidak setuju dengan strategi politik Gandhi, dan para pendukung Khilafah mengolok-olok beliau. Tetapi, ketika Muslim Turki dibawah kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk membubarkan Kekhalifahan pada tahun 1924, Muslim India benar-benar terluka serta dibuat malu dan Gerakan Khilafah pun runtuh.
Percobaan Sia-sia untuk Menegakkan kembali Khilafah
Saat ini ada lebih dari 50 negara yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi semuanya tanpa Khalifah. Pada tahun 1979, setelah peristiwa “Revolusi Islam” di Iran, kerajaan sekuler yang dipimpin Muhammad Reza Pahlevi digantikan oleh struktur kekuasaan yang berdasar pada agama. Republik Islam Iran menegaskan akan menjalankan urusan rumah tangga negara berdasarkan prinsip-prinsip Islam Syiah; akan tetapi para pemuka agama Iran tidak berhasil menunjuk Imam atau khalifah untuk kepentingan global. Mereka menunggu kedatangan “Imam tersembunyi” yang akan menjadi pemimpin konstitusional Republik Islam Iran.
Umat Islam mulai menyadari bahwa akar penyebab kegagalan mereka dalam menghidupkan kembali kekhalifahan adalah menurunnya ketaatan mereka pada praktik-praktik agama dan lemahnya kerohanian. Beberapa partai politik dan kelompok Islam (termasuk kelompok militan Al-Qaeda) mengajak umat Islam bersatu untuk menghidupkan kembali Khalifah global; namun tidak ada kesepakatan mengenai bagaimana metodologinya.
Presiden Amerika Serikat George Bush nampaknya merasa terganggu bahwa ajakan tersebut datang dari kelompok teroris. Dia ingin “membuka babak baru pertempuran melawan musuh kebebasan, melawan orang-orang yang di awal abad 21 menyeru umat Muslim untuk membangkitkan kembali Khalifah dan menyebarkan syari’ah.” Presiden Bush berpikir bahwa mereka yang menyebut diri mereka Jihadis/militan “berharap untuk mendirikan utopia politik kekerasan di Timur Tengah, yang mereka sebut sebagai khilafah, dimana semuanya diatur berdasarkan ideologi kebencian mereka… Kekhalifahan ini akan menjadi sebuah kerajaan Islam totaliter yang mencakup seluruh daratan Muslim baik yang dulu maupun yang sekarang, yang membentang dari Eropa sampai Afrika Utara, Timur Tengah dan Asia Tenggara.”
Akan tetapi Muslim Ahmadiyah sangat yakin bahwa hal seperti itu tidak akan pernah muncul, dan Presiden Bush tidak perlu khawatir tentang munculnya Khalifah dengan cara seperti itu. Menurut nubuatan Rasulullah saw, Khilafah yang dijanjikan – yang berada pada jejak kenabian (khilafah ‘alaa minhajin nubuwwah) dan murni bersifat rohaniah – telah berdiri sejak 1908, di tengah-tengah umat Islam atas Kehendak Ilahi. Khilafah tersebut adalah Khilafah Ahmadiyah.
Khilafah Ahmadiyah
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as (1835-1908) menegaskan diri sebagai Imam Zaman, Al-Mahdi, dan Nabi Isa yang ditunggu-tunggu – seorang nabi utusan Tuhan, dibawah ketundukan penuh kepada Rasulullah saw. Beliau mendirikan Jemaat Muslim Ahmadiyah pada tahun 1889. Walaupun beliau tinggal di sebuah desa kecil, Qadian, di wilayah Punjab, India, beliau menyatakan bahwa misi beliau berifat universal – untuk menghidupkan kembali Tauhid Ilahi, untuk menghilangkan kecintaan terhadap materialisme, dan untuk menyatukan seluruh umat manusia. Beliau menyatakan :
“Saya telah diutus untuk memperkuat keimanan kepada Allah dengan membuktikan bahwa Dia ada dan menunjukkan Wujud-Nya menjadi nyata kepada orang-orang. Kondisi keimanan telah menjadi sangat lemah sehingga akhirat hanya dianggap fantasi belaka, dan amalan manusia dengan jelas menunjukkan tingkat keimanan yang mereka percayai di dunia ini, dan dari jenis kepercayaan yang mereka masukkan ke dalam cara-cara duniawi, mereka tidak memiliki keyakinan seperti itu terhadap Tuhan dan hari akhirat. Mereka hanya mengucapkan kecintaan kepada Tuhan di bibir saja, tetapi hati mereka dikuasai kecintaan pada dunia semata. Karena itulah, saya telah diutus sehingga Kebenaran dan Keimanan dapat tegak kembali, dan ketakwaan kepada Tuhan dapat kembali menyala di hati manusia! Inilah tujuan kedatangan saya!” (Kitab al-Barriyya, h. 293-294).
Beliau mengingatkan para pengikutnya:
“Bersatulah, dan hilangkan semua rasa kikir, dendam, iri hati, dan lemahnya kasih sayang. Terdapat dua perintah yang luar biasa dalam Al-Qur’an. Yang pertama adalah persatuan, kecintaan dan ketaatan terhadap Tuhan, maha suci Allah; dan yang kedua, rasa simpati terhadap sanak saudaramu dan terhadap seluruh umat manusia.” (Izala Auham h. 446-452)
“Zaman ini telah kosong dari kebenaran dan kesucian sejati. Jalan Rasulullah saw, yang merupakan sarana penyucian diri telah ditinggalkan. Saat ini Allah Ta’ala menghendaki masa Kenabian Rasulullah saw harus dihidupkan kembali di zaman ini, dan kebenaran serta kesucian yang sama dapat ditumbuhkan kembali. Itulah tujuan Allah Ta’ala mendirikan Jemaat (Ahmadiyah) ini yaitu pemahaman yang telah hilang ditumbuhkan kembali di dunia melalui Jemaat ini.” (Speeches, h. 21-22)
Untuk memenuhi tujuan ini, metodologi beliau sangat jelas diterangkan :
“Hamba yang lemah ini ditunjuk oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Agung untuk bekerja demi umat manusia yang lebih baik seperti cara yang ditunjukkan Nabi Isa Israili dari Nazaret, Al-Masih, dengan penuh kerendahan hati, kelemah-lembutan, kesederhanaan, cinta, dan rasa hormat. Bagi mereka yang tidak peduli dengan jalan yang benar, saya akan tunjukkan mereka jalan yang lurus sehingga mereka dapat memperoleh keselamatan sejati, dan merasakan di dunia ini juga tanda-tanda tercapainya kehidupan surgawi, dan mengalami pencerahan yang diterima dan dicintai oleh Tuhan.” (Tabligh Risalat vol. 1 h. 11)
Kembalinya Khilafah ‘alaa Minhajin Nubuwwah
Beliau telah berhasil melaksanakan misi beliau, dan sebuah jamaah yang berisi orang-orang mukmin yang memiliki semangat telah berdiri di masa hidup beliau. Setelah kewafatan beliau, pada 27 Mei 1908, penerus beliau yang pertama, Hazrat Maulana Nuruddin ra terpilih secara mufakat. Beliau mendapat gelar Khalifatul Masih untuk meneruskan misi Al-Mahdi dan Al-Masih Yang Dijanjikan. Setelah kewafatan beliau, Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra (1889-1965) terpilih pada tanggal 13 Maret 1914, sebagai Khalifah kedua Jemaat Ahmadiyah. Beliau membentuk Dewan Pemilihan untuk pemilihan seorang Khalifah, dan berjalan dengan baik pada pemilihan tahun 1965, 1982, dan 2003 untuk memilih penerus setiap kewafatan Khalifah yang sedang menjabat. Saat ini, Hazrat Mirza Masroor Ahmad aba merupakan Khalifah ke 5 dari Jemaat Ahmadiyah. Jadi, sekali lagi Khilafah telah berdiri tegak di atas jejak Kenabian.
Khilafah Ahmadiyah dan Caliphate (Kekhalifahan Politik)
Khilafah Ahmadiyah merupakan sebuah lembaga yang murni memiliki tujuan menuntun manusia kepada jalan ketakwaan, membawa persatuan bangsa-bangsa di dunia, dan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan dengan cara menjaga kemerdekaan, kehidupan dan kehormatan seluruh umat manusia! Khilafah Ahmadiyah sangat berbeda dalam berbagai hal dengan “khalifah” terdahulu yang bersifat monarki. Khalifah dipilih dengan sarana dan bantuan doa yang berdasarkan kesalehan dan ketakwaan. Seperti yang difirmankan dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (4:59)
Khilafah merupakan sebuah tanggung jawab yang harus dipercayakan kepada orang yang paling layak, yang mampu mengabdi kepada Tuhan dan hamba-Nya, mencurahkan waktu dan segala kemampuannya dengan bimbingan Firman Allah dan sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Khilafah Ahmadiyah yakin akan terbentuknya perdamaian dan keharmonisan dengan melakukan reformasi pada karakter manusia yang berdasarkan akhlak. Khalifah Ahmadiyah menolak penggunaan paksaan dan kekerasan dalam hal keyakinan. Menurut Khilafah Ahmadiyah, metode untuk meyakinkan suatu kepercayaan kepada orang lain harus tetap dijalankan dengan cara-cara damai; yaitu melaksanakan dialog satu sama lain dan pendekatan yang baik diantara berbagai macam tradisi agama. Khalifah Ahmadiyah mendorong untuk menegakkan hak asasi manusia di semua tingkatan dan mengembangkan sikap saling membantu terhadap sesama.
Lembaga Syura dalam Khilafah Ahmadiyah
Al-Qur’an menyatakan Musyawarah (Syuro) sangat diperlukan dalam kepemimpinan untuk membuat aturan dan melaksanakan urusan pemerintahan (3:160). Khilafah Ahmadiyah, dalam hal ini , menempatkan pentingnya musyawarah diantara pemimpin yang terpilih dengan perwakilan para jamaah yang kompeten. Syura merupakan proses yang penting di bawah Khilafah. Pada saat yang sama, anggota Jamaah benar-benar dilatih untuk memperhatikan dan mentaati keputusan akhir yang dibuat oleh pimpinan yang berhubungan dengan kepatuhan pada perintah-perintah Allah dan dan Rasullullah saw.
Esensi Khilafah Ahmadiyah
Khilafah Ahmadiyah sangat berbeda sekali dengan angan-angan sebagian kelompok Islam yang mamahami Khilafah sebagai kekuasaan politik dan militer di seluruh dunia. Khilafah Ahmadiyah tidak bersifat politik; tetapi bersifat rohani dan keagamaan. Jadi, Ahmadiyah mendukung konsep “pemisahan antara negara dan agama”. Dengan tetap menghormati keinginan beberapa pihak untuk mengambil berbagai macam jenis sistem politik yang sesuai untuk mereka yang baik bagi administrasi publik mereka, Ahmadiyah tidak mengharapkan kekuasaan politik. Walaupun negara Islam yang ideal menghendaki suatu kepala pemerintahan untuk menjalankan kekuasaan sekuler dan keagamaan, lembaga Khilafah dapat dan harus tetap fokus kepada permasalahan akhlak dan kerohanian saja, memberikan tuntunan yang diperlukan oleh para pemimpin politik agar dapat menciptakan keadilan dan keharmonisan sosial.
Saat Umat Islam yang lain menunggu kedatangan Imam Mahdi yang akan melancarkan Jihad ‘berdarah’ terhadap orang-orang kafir, Khilafah Ahmadiyah memegang motto “Love for all, hatred for none” (Cinta untuk semua tidak ada kebencian bagi siapapun). Berdasarkan ajaran pendirinya, Ahmadiyah mempercayai dan mengamalkan jihad yang mengharuskan untuk mengalahkan dorongan dosa dan tindakan amoral dalam diri masing-masing, berpegang teguh pada keimanannya, dan meningkatkan kualitas kehidupan sosial. Khilafah Ahmadiyah menolak terorisme dan sangat menentang perbuatan kekerasan. Khilafah Ahmadiyah mengajarkan kesetiaan kepada negaranya, dan menghormati serta mematuhi hukum di mana mereka tinggal. Keinginan untuk merubah aturan harus ditempuh dengan cara yang legal, tidak dengan cara menciptakan kekacauan dan kerusuhan di negaranya. Khilafah Ahmadiyah melawan kebodohan, penyakit, kelaparan, dan tindakan-tindakan amoral dengan cara-cara yang baik. Dengan demikian, hal ini menguatkan keyakinan bahwa Khilafah ini akan terus mendapatkan dukungan Samawi selama tetap berjalan di bawah hukum-hukum Allah.
Sebagai kesimpulan, Khilafah Ahmadiyah telah berhasil muncul sebagai kekuatan utama di kalangan umat Islam lainnya dalam mengikuti sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Khilafah Ahmadiyah bekerja untuk menegakkan keyakinan pada Tauhid Ilahi di seluruh dunia. Khilafah Ahmadiyah mengajarkan Al-Qur’an, dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Khilafah Ahmadiyah berusaha dalam menegakkan persamaan hak diantara orang-orang yang berbeda ras dan suku. Khilafah Ahmadiyah mendorong perubahan akhlak setiap orang, mengajarkan cinta dan saling menghormati. Di atas semua itu, Khilafah Ahmadiyah membantu manusia untuk mewujudkan hubungan yang hidup dan penuh cinta kepada Allah.
Judul asli : Khilafah and Caliphate
Penulis : Mubasher Ahmad, M.A. LL.B
Penerjemah : Syihab Ahmad
Editor : Khaeruddin Ahmad Jusmansyah
Sumber : Alislam.org