Nabi Isa Wafat Secara Alami

nabi iIsa wafat secara alami

Oleh Azhar Ahmad Goraya, Mubaligh Jamaah Muslim Ahmadiyah

Kami menemukan ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang secara tegas menyatakan Nabi Isa (as) wafat. Ada juga beberapa ayat yang rentan diberikan makna-makna lain yang terkadang disampaikan untuk membuktikan bahwa Nabi Isa (as) masih hidup, tapi tidak ada dari ayat tersebut yang definitif.

Hadist-hadits yang menyebutkan kedatangan Isa Ibnu Maryam di akhir zaman tidak dapat diartikan secara harfiah.  Karena Nabi Isa (as) telah wafat, beliau tidak dapat hidup kembali secara fisik dari kematian.  Hadist-hadits tersebut bersifat metafora, dan menunjukkan bahwa Matsil atau Buruz (perwujudan rohaniah) dari Nabi Isa (as) akan muncul di akhir zaman.  Sosok tersebut adalah orang yang berbeda yang akan menyandang nama Isa (as).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah menggambarkan kedatangan kedua kali Isa (as) ini ketika beliau menggambarkan bentuk fisik dari Isa (as) di masa yang akan datang, sebagai seorang yang berbeda dari Isa Ibnu Maryam di masa lalu (Sahih Bukhari) dan beliau menjelaskan bahwa Isa yang akan datang akan menjadi seorang ummati dan merupakan Imam yang berasal dari antara umat Islam saat kedatangannya. (Sahih Bukhari)

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Masih Mau’ud [Almasih yang dijanjikan) telah memberikan argumen yang meyakinkan dari Al-Qur’an dan Hadist untuk membuktikan bahwa Nabi Isa telah wafat secara alami dan tidak akan ada seorangpun yang turun dari surga atau langit. Salah seorang dari antara umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam– lah yang akan datang sebagai Al-Masih dan Imam Mahdi.

Al-Qur’an menyatakan bahwa nabi Isa telah wafat di berbagai ayat.

Penggunaan kata Tawaffa untuk nabi Isa (as)

Tawaffa dalam kata kerja Bahasa Arab artinya adalah: ‘mengambil nyawa dan meninggalkan tubuh’. Akar kata-nya adalah و ف ی  (wa-fa-ya). Tawaffa adalah kata kerja dari تَفَعُّلُ (Tafa’ulu) dari akar kata ini.

Ketika kata kerja tawaffa digunakan dalam kalimat yang subjeknya (فاعل) adalah Allah dan para malaikat, objeknya (مفعول)  adalah manusia, dan tidak ada penyebutan kata malam, maka artinya selalu kematian. Dengan kata lain, Allah mengambil nyawa dari orang itu secara permanen.

Susunan kata ini selalu artinya mengambil nyawa dan meninggalkan tubuh, yang disebut dengan kematian. Satu-satunya pengecualian untuk aturan ini adalah jika ada penyebutan yang jelas tentang malam atau tidur, sehingga artinya Allah mengambil nyawa seseorang secara sementara dan mengembalikannya.  Tidurpun merupakan satu bentuk kematian, yang karenanya telah dikaitkan dengan kata kerja tawaffa.

Allah telah menjelaskan menggunakan kata kerja ini untuk 2 kejadian dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:

اَللّٰهُ يَتَوَفَّى الْاَنْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَالَّتِيْ لَمْ تَمُتْ فِيْ مَنَامِهَا ۚ فَيُمْسِكُ الَّتِيْ قَضٰى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْاُخْرٰىٓ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

“Allah mencabut nyawa seseorang (yatawaffa) pada saat kematiannya dan yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia menahan roh yang Dia tetapkan atasnya mati dan mengirimkan yang lain sampai batas waktu yang telah ditetapkan. Sesungguhnya dalam yang demikian itu ada tanda-tanda bagi kaum yang merenungkan.” (QS Az-Zumar [39]:43)

Definisi ini didukung oleh kamus klasik dan standar Bahasa Arab:

(أساس البلاغ، الزمخشری، وفی) وتوفّاه الله تعالى، وأدركته الوفاة

“Dan Allah melakukan tawaffa (seseorang) artinya kematian telah datang padanya.” (Asaasul Balagha, Zamakhshari, di bawah kata wafaya)

وتُــوفِّيَ فلانٌ: إِذا ماتَ (وتَوفَّاهُ اللہ) ، عزَّ وجلَّ: إِذا (قَبَضَ) نَفْسَه؛ وَفِي الصِّحاحِ، (رُوْحَهُ)

(تاج العروس من جواهر القاموس، الزیدی)

“Dan tawaffa fulan (tuwuffiya fulanun) artinya dia telah meninggal. Dan arti ‘Allah melakukan tawaffa-nya’ artinya ‘Dia mengambil nyawanya (nafs); dan dalam AsSihaah disebutkan (mengambil ruh-nya).  (Taaj-ul-Uruus min Jawahir-il-Qamuus, Az-Zaidi)

Allah telah menggunakan kata tawaffa dimana Allah adalah subjek (فاعل), Isa (as) adalah objek (مفعول) dan tidak ada penyebutan kata malam di dua tempat Al-Qur’an. Pada satu tempat Allah berjanji untuk melakukan tawaffa Isa (as) dan di tempat lain Isa (as) menyebutkan pemenuhan janji ini:

اِذْ قَالَ اللّٰهُ يٰعِيْسٰٓى اِنِّيْ مُتَوَفِّيْكَ وَرَافِعُكَ اِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَجَاعِلُ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْكَ فَوْقَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِلٰى يَوْمِ الْقِيٰمَةِ ۚ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاَحْكُمُ بَيْنَكُمْ فِيْمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ

Ingatlah ketika Allah befirman, ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan mewafatkan engkau secara wajar (mutawaffika) dan akan meninggikan derajat engkau di sisi-Ku, dan akan membersihkan engkau dari tuduhan orang-orang yang ingkar kepada engkau, dan akan menjadikan orang-orang yang mengikuti engkau di atas orang-orang yang kafir hingga hari Kiamat. Kemudian kepada-Ku kamu akan dikembalikan, lalu Aku akan menghakimi di antaramu tentang apa-apa yang selalu kamu perselisihkan” (QS Ali Imran [3]:56)

مَا قُلْتُ لَهُمْ اِلَّا مَآ اَمَرْتَنِيْ بِهٖٓ اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ رَبِّيْ وَرَبَّكُمْ ۚوَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيْدًا مَّا دُمْتُ فِيْهِمْ ۚ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِيْ كُنْتَ اَنْتَ الرَّقِيْبَ عَلَيْهِمْ ۗوَاَنْتَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

“Aku sama sekali tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang telah Engkau perintahkan kepadaku, yaitu, ‘Beribadahlah kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu,’ dan aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di antara mereka, tetapi tatkala Engkau telah mewafatkanku (tawaffaitani) maka Engkaulah Yang menjadi Pengawas atas mereka, dan Engkau adalah Saksi atas segala sesuatu.” (QS Al-Ma’idah[5]:118)

Oleh karena itu, Allah telah menyatakan bahwa nabi Isa telah wafat, karena di kedua ayat ini tidak disebutkan tentang ‘malam’ yang akan mengubah maknanya menjadi tidur. Mengenai kedua ayat ini, kami menemukan sumber-sumber utama yang membuktikan kata tawaffa artinya adalah kematian.

Terkait surah Ali Imran ayat 56 Imam Bukhari telah mencatat penafsiran Ibnu Abbas (ra) mengenai arti kata mutawaffika, ia menulis:

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: {مُتَوَفِّيكَ} [آل عمران: 55]: «مُمِيتُكَ»

(صحیح البخاری، کتاب تفسیر القرآن، بَابُ {مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلاَ سَائِبَةٍ، وَلاَ وَصِيلَةٍ وَلاَ حَامٍ} [المائدة: 103])

Ibnu Abbas mengatakan: mutawaffika artinya “Aku akan mewafatkanmu” (Sahih Al-Bukhari, Kitabut Tafsir, Bab ‘Allah tidak membuat aturan tentang Bahirah, Saa’ibah, Wasiilah dan tidak pula Haam’ [Al-Ma’idah:103)

Tentang Surah Al-Ma’idah ayat 118 kami menemukan hadist yang jelas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memahami kata tawaffa yang mengacu pada Nabi Isa (as) dan juga merujuk pada kematian.

Dalam menerangkan arti sesungguhnya surah Al-Ma’idah 118 diriwayatkan:

حَدَّثَنَا أَبُو الوَلِيدِ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، أَخْبَرَنَا المُغِيرَةُ بْنُ النُّعْمَانِ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّكُمْ مَحْشُورُونَ إِلَى اللَّهِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا»، ثُمَّ قَالَ: {كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ، وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ} [الأنبياء: 104] إِلَى آخِرِ الآيَةِ، ثُمَّ قَالَ: ” أَلاَ وَإِنَّ أَوَّلَ الخَلاَئِقِ يُكْسَى يَوْمَ القِيَامَةِ إِبْرَاهِيمُ، أَلاَ وَإِنَّهُ يُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِي فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ الشِّمَالِ، فَأَقُولُ: يَا رَبِّ أُصَيْحَابِي، فَيُقَالُ: إِنَّكَ لاَ تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ، فَأَقُولُ كَمَا قَالَ العَبْدُ الصَّالِحُ: {وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ، فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ} [المائدة: 117] فَيُقَالُ: إِنَّ هَؤُلاَءِ لَمْ يَزَالُوا مُرْتَدِّينَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ مُنْذُ فَارَقْتَهُمْ “

(صحیح البخاری، کتاب التفسیر، بَابُ {وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ، فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ، وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ} [المائدة: 117]، حدیث ۴۶۲۵)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas (ra): ‘Rasulullah saw berkhutbah dan bersabda  ‘Wahai manusia, kalian akan dikumpulkan di hadapan Alah dengan tidak mengenakan alas kaki, telanjang dan tidak disunat.’  Kemudian beliau bersabda (mengutip Al-Qur’an) “Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan untuk pertama kalinya, dengan cara itu pula Kami akan mengulanginya lagi.  Suatu janji yang menjadi kewajiban atas Kami. Sesungguhnyah al itu pasti akan Kami laksanakan. (Al-Anbiya:104). Rasulullah saw kemudian bersabda “Orang pertama yang akan di beri pakaian di hari kebangkitan adalah Ibrahim. Sesungguhnya akan datang beberapa orang dari umatku, lalu mereka digiring (para malaikat) ke sisi kiri (api neraka). Aku akan berkata, ‘Ya Tuhanku (Mereka) adalah sahabat-sahabatku!’ Lalu datanglah jawaban (Yang Maha Kuasa) ‘Kamu tidak mengetahui apa yang dulu mereka lakukan setelah engkau,.’ Aku berkata seperti berkata hamba yang saleh (Nabi Isa as): ‘dan aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di antara mereka, tetapi tatkala Engkau telah mewafatkanku (tawaffaitani) maka Engkaulah Yang menjadi Pengawas atas mereka.’ (5.117) Kemudian dikatakan , ‘Orang-orang ini telah murtad sejak engkau meninggalkan mereka.’

(Sahih Al-Bukhari, Kitabut Tafsir, Bab: “dan aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di antara mereka, tetapi tatkala Engkau telah mewafatkanku (tawaffaitani) maka Engkaulah Yang menjadi Pengawas atas mereka’ [Al-Ma’idah: 117], Hadith #4625)

Sangat jelas, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan sesuatu tentang kematian beliau dalam ayat ini. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam akan melihat pada hari Penghakiman beberapa sahabat beliau dilemparkan ke dalam api, dan beliau akan mencoba dan memberikan syafaat di hadapan Allah dan bersaksi tentang kebaikan dan kesalehan mereka.  Kemudian Allah akan berfirman bahwa mereka telah meninggalkan Islam setelah kematian engkau. Faktanya, terdapat banyak orang Badui yang sebelumnya telah menerima Islam secara lahiriah kemudian mereka bergabung dengan gerakan nabi palsu seperti Musailamah al-Kazzab yang muncul setelah kewafatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Menanggapi hal ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam akan mengatakan ketidakbersalahan beliau atas tindakan mereka dan menjelaskan bahwa hal tersebut tidak terjadi disaat beliau ada, karena selama masa hidupnya, beliau menjaga mereka di jalan yang benar, tetapi setelah beliau sudah wafat, beliau tidak lagi bertanggungjawab terhadap tindakan mereka. 

Ini adalah keterangan yang sama yang diberikan Nabi Isa (as) di hadapan Allah, bahwa beliau tidak bertanggungjawab atas kesesatan yang dilakukan kaumnya, karena mereka tersesat setelah kewafatan beliau (tawaffaitani)

Apakah ‘tawaffa’ berarti ‘mengangkat’ atau ‘Mengambil Sepenuhnya’?

Kata tawaffa dalam dua ayat di atas yang merujuk kepada Nabi Isa (as) kadang-kadang diterjemahkan sebagai ‘diambil sepenuhnya’ atau ‘diangkat’.  Terjemahan-terjemahan yang bias ini dimaksudkan untuk menjelaskan keyakinan bahwa Nabi Isa (as) belum wafat.  Terjemahan ini tidak sesuai dengan Bahasa Arab pada umumnya, bahkan sangat bertentangan dengan muhawaroh Al-Qur’an.

Kata Tawaffa dalam konteks di atas telah digunakan 24 kali di dalam Al-Al-Qur’an dan semua artinya adalah wafat.  Beberapa contoh adalah :

رَبِّ قَدۡ اٰتَیۡتَنِیۡ مِنَ الۡمُلۡکِ وَ عَلَّمۡتَنِیۡ مِنۡ تَاۡوِیۡلِ الۡاَحَادِیۡثِ ۚ فَاطِرَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۟ اَنۡتَ وَلِیّٖ فِی الدُّنۡیَا وَ الۡاٰخِرَۃِ ۚ تَوَفَّنِیۡ مُسۡلِمًا وَّ اَلۡحِقۡنِیۡ بِالصّٰلِحِیۡنَ

“Ya Tuhanku, Engkau telah menganugerahkan sebagian kedaulatan kepadaku, dan mengajarku ta’wil mimpi. Wahai Pencipta seluruh langit dan bumi, Engkaulah penolongku di dunia dan akhirat. Wafatkanlah aku (tawaffani) dalam keadaan patuh taat kepada kehendak Engkau dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS Yusuf [12]:102)

فَکَیۡفَ اِذَا تَوَفَّتۡہُمُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ یَضۡرِبُوۡنَ وُجُوۡہَہُمۡ وَ اَدۡبَارَہُمۡ

“Maka bagaimana keadaan mereka apabila malaikat-malaikat akan mematikan mereka (tawaffathum) dengan memukul muka mereka dan punggung mereka?” (QS Muhammad [47]:28)

قُلۡ یَتَوَفّٰٮکُمۡ مَّلَکُ الۡمَوۡتِ الَّذِیۡ وُکِّلَ بِکُمۡ ثُمَّ اِلٰی رَبِّکُمۡ تُرۡجَعُوۡنَ

“Katakanlah, ‘Malaikat maut yang telah ditugaskan kepadamu akan mematikanmu (yatawaffaakum) kemudian kepada Tuhanmu kamu akan dikembalikan.” (QS As-Sajdah [32]:12)

Bukti yang lebih jelas lagi adalah susunan kata tawaffa ini telah digunakan tiga kali untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri dalam Al-Qur’an. Di setiap tempat artinya selalu adalah kewafatan.

وَاِمَّا نُرِيَنَّكَ بَعْضَ الَّذِيْ نَعِدُهُمْ اَوْ نَتَوَفَّيَنَّكَ فَاِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ اللّٰهُ شَهِيْدٌ عَلٰى مَا يَفْعَلُوْنَ

“Dan jika Kami perlihatkan kepada engkau sebagian dari yang telah Kami ancamkan kepada mereka, atau jika Kami wafatkan engkau (natawaffayannaka) sebelum itu, maka kepada Kami juga tempat Kembali mereka; dan engkau akan mengetahuinya di alam akhirat, dan Allah menjadi saksi atas segala yang mereka kerjakan.” (QS Yunus [10]:47)

وَاِنْ مَّا نُرِيَنَّكَ بَعْضَ الَّذِيْ نَعِدُهُمْ اَوْ نَتَوَفَّيَنَّكَ فَاِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلٰغُ وَعَلَيْنَا الْحِسَابُ

“Dan jika Kami perlihatkan kepada engkau sebagian dari hal-hal yang telah Kami ancamkan kepada mereka ataupun Kami wafatkan engkau (natawaffayannaka), akan sedikit saja bedanya; maka sesungguhnya tugas engkau hanya menyampaikan, dan atas Kami-lah pelaksanaan perhitungan.” (QS Ar-Ra’d [13]:41)

Terkait:   Yesus – Seorang Nabi Allah

فَاصْبِرْ اِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ ۚفَاِمَّا نُرِيَنَّكَ بَعْضَ الَّذِيْ نَعِدُهُمْ اَوْ نَتَوَفَّيَنَّكَ فَاِلَيْنَا يُرْجَعُوْنَ

“Maka bersabarlah engkau. Sesungguhnya, janji Allah pasti sempurna, meskipun Kami memperlihatkan kepada engkau sebagian siksa yang Kami janjikan kepada mereka, ataupun Kami mewafatkan engkau (natawaffayannaka) sebelum janji Kami sempurna, namun kepada Kami-lah mereka akan dikembalikan.” (QS Al-Mu’min [40]: 78)

Bukankah tidak adil, ketika kata tawaffa digunakan untuk nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, terjemahan selalu diartikan ‘mencabut nyawa secara permanen (kematian)’ tetapi ketika kata yang sama digunakan untuk Nabi Isa (as) dalam konteks yang sama, artinya berubah menjadi ‘diangkat’ atau ‘dibangkitkan’?

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as) telah memberikan tantangan sebesar 1000 rupee kepada siapa saja yang meragukan bahwa arti tawaffa itu adalah ‘mencabut nyawa dan meninggalkan tubuh’ dengan memberikan bukti yang bertententangan dengan sumber-sumber Islam klasik dan Bahasa Arab.

بعض علماء وقت کو اس بات پرسخت غلو ہے کہ مسیح ابن مریم فوت نہیں ہوا بلکہ زندہ ہی آسمان کی طرف اٹھایا گیا اور حیات جسمانی دنیوی کے ساتھ آسمان پر موجود ہے اورنہایت بے باکی اورشوخی کی راہ سے کہتے ہیں کہ تَوَفِّی کالفظ جو قرآن کریم میں حضرت مسیح کی نسبت آیا ہے اس کے معنے وفات دینا نہیں ہے بلکہ پورا لینا ہے یعنی یہ کہ روح کے ساتھ جسم کو بھی لے لینا۔مگر ایسے معنے کرنا اُن کا سراسر افتراء ہے قرآن کریم کا عمومًا التزام کے ساتھ اس لفظ کے بارہ میں یہ محاورہ ہے کہ وہ لفظ قبض روح اور وفات دینے کے معنوں پر ہریک جگہ اس کو استعمال کرتاہے۔ یہی محاورہ تمام حدیثوں اور جمیع اقوال رسول اللہ صلی اللہ علیہ وسلم میں پایا جاتاہے۔ جب سے دنیا میں عرب کا جزیرہ آباد ہواہے اور زبان عربی جاری ہوئی ہے کسی قول قدیم یاجدید سے ثابت نہیں ہوتا کہ تَوَفِّی کا لفظ کبھی قبض جسم کی نسبت استعمال کیاگیاہوبلکہ جہاں کہیں تَوَفّی کے لفظ کو خدائے تعالیٰ کا فعل ٹھہرا کر انسان کی نسبت استعمال کیا گیا ہے وہ صرف وفات دینے اور قبض روح کے معنی پر آیاہے نہ قبض جسم کے معنوں میں۔ کوئی کتاب لغت کی اس کے مخالف نہیں۔ کوئی مثل اور قول اہل زبان کا اس کے مغائر نہیں غرض ایک ذرہ احتمال مخالف کے گنجائش نہیںؔ ۔اگر کوئی شخص قرآن کریم سے یا کسی حدیث رسول اللہ صلعم سے یااشعار وقصائد و نظم ونثر قدیم وجدید عرب سے یہ ثبوت پیش کرے کہ کسی جگہ تَوَفِّی کا لفظ خدا تعالیٰ کا فعل ہونے کی حالت میں جو ذوی الروح کی نسبت استعمال کیا گیا ہو وہ بجُز قبض روح اور وفات دینے کے کسی اور معنی پر بھی اطلاق پاگیا ہے یعنی قبض جسم کے معنوں میں بھی مستعمل ہوا ہے تو میں اللہ جلَّ شَانُہٗ کی قسم کھا کر اقرار صحیح شرعی کرتاہوں کہ ایسے شخص کو اپنا کوئی حصہ ملکیت کا فروخت کر کے مبلغ ہزار روپیہ نقد دوں گا اور آئندہ اس کی کمالات حدیث دانی اور قرآن دانی کا اقرارکرلوں گا۔ (روحانی خزائن، جلد ۳، ازالہ اوھام، صفحہ ۶۰۲ تا ۶۰۳)

“Beberapa ulama kontemporer bersikeras bahwa Al-Masih ibnu Maryam tidak mati, melainkan diangkat ke langit secara hidup-hidup, dan kehidupan jasmani, duniawinya akan berada di surga. Dan dengan sangat berani dan sombong mereka mengatakan bahwa kata tawaffi yang disebutkan di dalam Al-Qur’an yang mengacu pada Al-Masih tidak berarti mati, namun ‘mengambil keseluruhan’ yakni mengambil tubuh bersama jiwanya. Namun menerjemahkannya dengan cara ini sungguh dibuat-buat. Al-Qur’an dalam muhawaroh-nya (bahasa ungkapan) menggunakan kata itu di berbagai tempat dalam arti ‘mencabut nyawa atau wafat’. Ungkapan ini juga ditemukan dalam semua hadits dan semua sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sejak jazirah Arab dihuni dan Bahasa Arab mulai digunakan, tidak ada bukti melalui teks kuno maupun modern bahwa kata tawaffi pernah digunakan untuk mengambil tubuh. Sebaliknya, di mana pun kata tawaffa dikaitkan kepada kata kerja bagi Allah dalam kaitannya dengan manusia, kata itu hanya berarti menyebabkan kematian dan mengambil nyawa dan bukan dalam arti mengambil tubuh. Tidak ada kamus Bahasa Arab menyajikan sesuatu yang bertentangan dengan ini. Tidak ada permisalan atau perkataan para ahli bahasa yang menentang hal ini. Jadi tidak ada sedikitpun kemungkinan adanya makna yang berbeda.

Jika ada seseorang yang memberikan bukti dari Al-Qur’an atau hadist Rasulullah, atau sajak, atau syair atau prosa Arab kuno maupun modern bahwa di tempat mana pun kata tawaffi  sebagai fi’il Allah Ta’ala sehubungan dengan makhluk yang bernyawa, artinya adalah mengambil jasad, bukan menyebabkan kematian atau mencabut nyawa, maka aku bersumpah demi Allah Yang Maha Agung, dengan sumpah menurut hukum Islam yang benar, aku akan memberikan uang tunai kepada orang tersebut seribu rupee dengan menjual sebagian hartaku dan selanjutnya akan mengakui keunggulannya dalam ilmu hadits dan Al-Qur’an.”  (Ruhani Khazain Vol 3, Izala Auham, hal 602-603)

Semua Nabi sebelum nabi Muhammad saw telah wafat

Selain pernyataan tegas yang terdapat dalam kata tawaffa, Al-Qur’an menyatakan bahwa semua nabi sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat.

وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۗ اَفَا۟ىِٕنْ مَّاتَ اَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلٰٓى اَعْقَابِكُمْ ۗ وَمَنْ يَّنْقَلِبْ عَلٰى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللّٰهَ شَيْـًٔا ۗوَسَيَجْزِى اللّٰهُ الشّٰكِرِيْنَ

“Dan Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu rasul-rasul sebelum beliau. Apakah jika ia mati atau terbunuh kamu akan berbalik atas tumitmu? Dan barangsiapa berbalik atas tumitnya maka ia tidak akan memudaratkan Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran [3]:145)

Argumen yang diberikan dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang benar, dan kematian, baik secara alami maupun karena mati syahid, tidak akan membatalkan kebenaran beliau.  Faktanya, setiap nabi sebelum beliau telah wafat.  Sebagaimana seluruh nabi sebelumnya wafat, maka nabi Muhammad juga akan wafat.

Ini adalah ijma’ (kesepakatan) para sahabat atas ayat ini ketika wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka semua sepakat bahwa ayat ini berlaku untuk semua nabi sebelumnya dan tidak ada yang masih hidup Ketika Nabi Muhammad telah wafat.

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ ـ رضى الله عنها ـ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَاتَ وَأَبُو بَكْرٍ بِالسُّنْحِ ـ قَالَ إِسْمَاعِيلُ يَعْنِي بِالْعَالِيَةِ ـ فَقَامَ عُمَرُ يَقُولُ وَاللَّهِ مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم‏.‏ قَالَتْ وَقَالَ عُمَرُ وَاللَّهِ مَا كَانَ يَقَعُ فِي نَفْسِي إِلاَّ ذَاكَ وَلَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ فَلَيَقْطَعَنَّ أَيْدِيَ رِجَالٍ وَأَرْجُلَهُمْ‏.‏ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَبَّلَهُ قَالَ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي طِبْتَ حَيًّا وَمَيِّتًا، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يُذِيقُكَ اللَّهُ الْمَوْتَتَيْنِ أَبَدًا‏.‏ ثُمَّ خَرَجَ فَقَالَ أَيُّهَا الْحَالِفُ عَلَى رِسْلِكَ‏.‏ فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ جَلَسَ عُمَرُ‏.‏ فَحَمِدَ اللَّهَ أَبُو بَكْرٍ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ أَلاَ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَىٌّ لاَ يَمُوتُ‏.‏ وَقَالَ ‏{‏إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ‏}‏ وَقَالَ ‏{‏وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ‏}‏ قَالَ فَنَشَجَ النَّاسُ يَبْكُونَ ـ

(صحیح البخاری، كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم، باب قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ‏”‏ لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً ‏”‏ قَالَهُ أَبُو سَعِيدٍ، حدیث  ۳۶۶۸)

Diriwayatkan ‘Aisyah radliallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia, Abu Bakar sedang berada di Sunuh”. Isma’il berkata; “Yakni sebuah perkampungan ‘Aliyah, Madinah”. Maka ‘Umar tampil berdiri sambil berkata; ‘Demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah meninggal”. ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata, Selanjutnya ‘Umar berkata; “Tidak ada perasaan pada diriku melainkan itu. Dan pasti Allah akan membangkitkan beliau dan siapa yang mengatakannya (bahwa beliau telah meninggal dunia), pasti Allah memotong tangan dan kaki mereka”.

Lalu Abu Bakr datang kemudian menyingkap penutup (yang menutupi) jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menutupnya kembali. Abu Bakr berkata; “Demi bapak ibuku, sungguh baik hidupmu dan ketika matimu. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh Allah tidak akan memberikan baginda merasakan dua kematian selamanya”. Kemudian dia keluar dan berkata; “Wahai kaum yang sudah bersumpah setia, tenanglah”. Ketika Abu Bakr berbicara, ‘Umar duduk. Abu Bakr memuji Allah dan mensucikan-Nya lalu berkata; “Barangsiapa yang menyembah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya Muhammad sekarang sudah mati, dan siapa yanng menyembah Allah, sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Hidup selamanya tidak akan mati”. Lalu dia membacakan firman Allah “Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka pun akan mati (39:30) dan dan membacakan “Dan Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu rasul-rasul sebelum beliau. Apakah jika ia mati atau terbunuh kamu akan berbalik atas tumitmu? Dan barangsiapa berbalik atas tumitnya maka ia tidak akan memudaratkan Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur.” (3:144). Perawi (‘Amru) berkata; “Maka orang-orang menangis tersedu-sedu.

(Shahih Bukhari, Kitab tentang Keutamaan Para Sahabat Nabi (saw), Bab: Sabda Nabi (saw) – ‘lau kuntu muttakhidzan khaliila’, Hadits #3668)

Tampaknya Umar (ra) percaya bahwa Nabi Muhammad saw telah tertidur atau beliau telah diangkat ke surga atau tempat lain dan Allah akan mengutusnya Kembali sebagai nabi. Abu Bakar ra menghilangkan kesalahpahaman ini dengan mengutip Surah Ali Imran ayat 145, yang dengan tegas menyatakan bahwa semua nabi telah meninggal sebelum nabi Muhammad saw, oleh karena itu kewafatannya juga merupakan sesuatu yang pasti terjadi.

Jika ada salah seorang nabi sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang belum wafat dan diangkat ke surga atau terhindar dari kematian dengan cara lain, maka keterangan tersebut tidak lagi sesuai. Umar (ra) tentu akan berdiri dan menyatakan bahwa ayat ini tidak bersifat jelas dan beliau akan menyampaikan pandangan bahwa Nabi Isa (as) belum wafat melainkan hidup di surga. Jadi ayat ini tidak dapat digunakan untuk membuktikan kematian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tetapi apa yang sebenarnya terjadi adalah semua sahabat setelah mendengar ayat ini menerima kewafatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam karena ayat itu sangat jelas bahwa semua nabi sebelumnya telah meninggal dan tidak akan kembali dan hal yang sama akan terjadi pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada pengecualian untuk aturan tersebut.

Semua mahluk yang disembah pada masa Nabi (sa) telah mati

Al-Qur’an menyatakan bahwa semua mahluk yang disembah pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebenarnya telah mati.

وَالَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ لَا يَخْلُقُوْنَ شَيْـًٔا وَّهُمْ يُخْلَقُوْنَۗ اَمْوَاتٌ غَيْرُ اَحْيَاۤءٍ ۗوَمَا يَشْعُرُوْنَۙ اَيَّانَ يُبْعَثُوْنَ ࣖ

 “Dan mereka yang diseru selain Allah mereka itu tidak menciptakan sesuatu pun, bahkan mereka sendiri yang telah diciptakan. Mereka itu mati, tidak hidup; dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan” (QS An-Nahl [16]:21-22)

Nabi Isa (as) juga termasuk yang disembah pada saat itu oleh orang-orang Kristen.  Ayat-ayat ini juga menyatakan bahwa beliau telah wafat.

Tidak mungkin manusia hidup sangat panjang atau kekal

Al-Qur’an menegaskan bahwa tidak mungkin ada manusia umurnya sangat panjang secara tidak alami atau hidup kekal.

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَۗ اَفَا۟ىِٕنْ مِّتَّ فَهُمُ الْخٰلِدُوْنَ

“Dan Kami tidak pernah menjadikan seorang manusia pun sebelum engkau untuk hidup kekal. Maka jika engkau mati, apakah mereka akan hidup kekal?” (QS Al-Anbiya [21:35)

Ayat ini menegaskan bahwa siapapun yang diberikan umur panjang akan kembali ke keadaan lemah (seperti bayi), kehilangan kemampuan dan kekuatannya.

وَ مَنۡ نُّعَمِّرۡہُ نُنَکِّسۡهُ فِی الۡخَلۡقِ ؕ اَفَلَا یَعۡقِلُوۡنَ

“Dan barang siapa Kami panjangkan umurnya, tentu Kami melemahkan dalam kejadiannya, maka apakah mereka tidak menggunakan akal?” (QS Yasin [36]:69)

Setiap orang tunduk pada proses penuaan, yang akhirnya mengakibatkan usia tua dan kematian.

Terkait:   Yesus di Kashmir

هُوَ الَّذِیۡ خَلَقَکُمۡ مِّنۡ تُرَابٍ ثُمَّ مِنۡ نُّطۡفَةٍ ثُمَّ مِنۡ عَلَقَةٍ ثُمَّ یُخۡرِجُکُمۡ طِفۡلًا ثُمَّ لِتَبۡلُغُوۡۤا اَشُدَّکُمۡ ثُمَّ لِتَکُوۡنُوۡا شُیُوۡخًا ۚ وَ مِنۡکُمۡ مَّنۡ یُّتَوَفّٰی مِنۡ قَبۡلُ وَ لِتَبۡلُغُوۡۤا اَجَلًا مُّسَمًّی وَّ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ

“Dialah yang telah menciptakanmu dari tanah, kemudian dari air mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian Dia mengeluarkanmu sebagai seorang anak, kemudian supaya kamu mencapai kedewasaanmu, lalu kamu menjadi tua, dan sebagian dari antaramu ada yang diwafatkan sebelum itu, dan supaya kamu sampai kepada batas waktu yang telah ditetapkan, dan supaya kamu menggunakan akal.” (QS Al-Mu’min [40]:68)

Dengan demikian, tidak mungkin kita menerima bahwa Nabi Isa (as) hidup selama lebih dari 2000 tahun di surga.  Jika beliau dianggap diangkat hidup-hidup ke surga, sudah pasti beliau sudah wafat di sana sejak lama.

Selain Al-Qur’an ada berbagai hadist yang secara langsung atau tidak langsung berbicara tentang kewafatan nabi Isa, serta banyak tokoh terkemuka sepanjang sejarah Islam yang menerima kewafatan Nabi Isa (as) seperti Ibnu Abbas (as), Imam Malik, Imam Bukhari dan Ibnu Hazam.

Ayat-ayat yang diduga menunjukkan Nabi Isa (as) masih hidup

Berbeda dengan ayat-ayat di atas, terdapat beberapa ayat yang samar (mutasyabbih) dari Al-Qur’an yang kadang-kadang digunakan secara keliru untuk membuktikan tentang masih hidupnya Nabi Isa (as). Al-Qur’an mengatakan kepada kita bahwa ayat-ayat yang samar, harus ditafsirkan berdasarkan ayat-ayat yang jelas.

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ

“Dialah yang menurunkan Kitab kepada engkau, di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah Ummul Kitab, dan yang lain adalah ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada kebengkokan maka mereka mengikuti yang mutasyabihat darinya, karena ingin menimbulkan fitnah dan ingin mencari-cari takwilnya yang salah, padahal tidak ada yang mengetahui kebenaran takwilnya kecuali Allah, dan orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam berkata, ‘Kami mengimaninya; semuanya itu berasal dari sisi Tuhan kami,’ dan tidak ada yang mengambil Pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imran [3]:8)

Arti kata Rafa’ Nabi Isa (as)

Ada dua ayat dimana Allah menyatakakn bahwa Dia melakukan rafa’ (رفع) Nabi Isa (as) yang kadang-kadang diterjemahkan secara keliru sebagai “diangkat secara fisik”. Di satu tempat terdapat janji Allah bahwa Dia akan melakukan rafa’ Isa (as) dan di tempat lain disebutkan tentang terpenuhinya janji tersebut.

اِذْ قَالَ اللّٰهُ يٰعِيْسٰٓى اِنِّيْ مُتَوَفِّيْكَ وَرَافِعُكَ اِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَجَاعِلُ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْكَ فَوْقَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِلٰى يَوْمِ الْقِيٰمَةِ ۚ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاَحْكُمُ بَيْنَكُمْ فِيْمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ

Ingatlah Ketika Allah berfirman, ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan mewafatkan engkau secara wajar dan akan meninggikan (raafi’uka) derajat engkau di sisi-Ku, dan akan membersihkan engkau dari tuduhan orang-orang yang ingkar kepada engkau, dan akan menjadikan orang-orang yang mengikuti engkau di atas orang-orang yang kafir hingga hari Kiamat. Kemudian kepada-Ku kamu akan dikembalikan, lalu Aku akan menghakimi di antara-mu tentang apa-apa yang selalu kamu perselisihkan.” (QS Ali Imran [3]:56)

وَّقَوْلِهِمْ اِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيْحَ عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُوْلَ اللّٰهِۚ وَمَا قَتَلُوْهُ وَمَا صَلَبُوْهُ وَلٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ ۗوَاِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ ۗمَا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍ اِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوْهُ يَقِيْنًاۢ – بَلْ رَّفَعَهُ اللّٰهُ اِلَيْهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا ۙ

“Dan karena ucapan mereka, ‘Sesungguhnya kami telah membunuh Almasih, Isa Ibnu Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibkannya, akan tetapi ia diserupakan kepada mereka seolah-olah telah mati di atas salib; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih dalam hal ini pasti ada dalam keraguan mengenainya. Mereka tidak memiliki pengetahuan yang pasti tentang ini, melainkan mengikuti dugaan; dan mereka tidak membunuhnya dengan yakin. Bahkan Allah telah mengangkatnya (rafa’ahu) kepada-Nya, dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS An-Nisa [4]:158-159)

Istilah rafa’ umumnya diterjemahkan sebagai ‘diangkat’ atau ‘ditinggikan’, tetapi keliru jika mengangap bahwa kata itu mengarah pada tubuh fisiknya.  Kata itu sebenarnya mengacu hanya pada jiwanya, dalam hal ini terjemahannya adalah “Allah telah meninggikan dia/mengangkat jiwanya kepada-Nya.

Al-Qur’an menyatakan bahwa Kalimah Tayyib (kalimah atau nafs)yang diangkat kepada Allah.

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّٰهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعًاۗ اِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهٗ ۗوَالَّذِيْنَ يَمْكُرُوْنَ السَّيِّاٰتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۗوَمَكْرُ اُولٰۤىِٕكَ هُوَ يَبُوْرُ

“Barang siapa menginginkan kemuliaan, maka hendaklah ia mengetahui bahwa kemuliaan itu semuanya milik Allah. Kepada-Nya naik perkataan-perkataan yang baik dan amal saleh Dialah yang mengangkatnya, dan orang-orang yang merencanakan keburukan bagi mereka ada azab yang sangat keras; dan rencana mereka itu akan hancur.” (QS Fatir [35]:11)

یٰۤاَیَّتُهَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّةُ۔ ارۡجِعِیۡۤ اِلٰی رَبِّکِ رَاضِیَةً مَّرۡضِیَّةً۔ فَادۡخُلِیۡ فِیۡ عِبٰدِیۡ۔ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ

“Hai jiwa yang tentram! Kembalilah kepada Tuhan engkau, engkau rida kepada-Nya dan Dia pun rida kepada engkau. Maka masuklah di antara hamba-hamba pilihan-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS Al-Fajr [89]:28-31)

Sebaliknya, Al-Qur’an menyebutkan bahwa ‘pintu-pintu surga’ tidak akan dibuka untuk orang-orang jahat dan mereka malah akan dikutuk ke neraka.

اِنَّ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَاسْتَكْبَرُوْا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ اَبْوَابُ السَّمَاۤءِ وَلَا يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتّٰى يَلِجَ الْجَمَلُ فِيْ سَمِّ الْخِيَاطِ ۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُجْرِمِيْنَ – لَهُمْ مِّنْ جَهَنَّمَ مِهَادٌ وَّمِنْ فَوْقِهِمْ غَوَاشٍۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الظّٰلِمِيْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan dengan takabur berpaling darinya, tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit rohani dan tidak pula mereka akan masuk surga hingga unta masuk ke lubang jarum, dan demikianlah Kami membalas orang-orang yang berdosa. Bagi mereka ada hamparan Jahannam sedangkan di atas mereka ada selimut Jahannam, dan demikianlah Kami membalas orang-orang yang aniaya.” (QS Al-A’raf [7]:41-42)

Akan keliru jika kita percaya bahwa Allah berbicara disini tentang kedua tubuh fisik dan jiwa orang-orang yang ditolak masuk surga.  Ayat-ayat tersebut berbicara tentang kondisi jiwa setelah kematian, dan bukan tubuh fisik.  Artinya, jiwa orang jahat pergi ke Neraka, bukan tubuh fisik mereka.

Al-Qur’an tidak pernah menyebutkan tubuh fisik yang diangkat bersama jiwa-jiwa suci ke surga.

Penting untuk memahami konteks Surah An-Nisa ayat 159 untuk mengetahui arti sebenarnya.  Ayat ini berbicara tentang orang Yahudi dan tuduhan mereka terhadap Nabi Isa (as). Mereka percaya bahwa beliau dibunuh di kayu salib, sehingga jiwanya dianggap terkutuk dan msauk neraka.  Allah menyangkal kedua tuduhan tersebut, pertama dengan menyatakan bahwa Nabi Isa tidak wafat di kayu salib dan kedua jiwanya tidak masuk neraka, sebaliknya jiwanya diangkat ke surga setelah kewafatannya sebagaimana jiwa orang-orang yang benar. (89:28-31)

Kata kerja rafa’ dalam muhawaroh Al-Qur’an ketika Allah adalah subyek (فاعل) dan manusia adalah obyek (مفعول) selalu mengacu pada peninggian Rohani, tidak pernah artinya mengangkat seseorang seara fisik.  Misalnya Al-Qur’an menyatakan :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Lapangkanlah tempat di dalam majlis’, maka hendaklah kamu melapangkan tempat, Allah akan melapangkan bagimu; Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah’, maka hendaklah kamu berdiri, Allah akan mengangkat (yarfai) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha Mengetahui atas apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadalah 58]:12)

Di tempat lain , Allah menyandingkan kata rafa’ dengan keinginan dan kecenderungan duniawi.

وَ اتۡلُ عَلَیۡہِمۡ نَبَاَ الَّذِیۡۤ اٰتَیۡنٰہُ اٰیٰتِنَا فَانۡسَلَخَ مِنۡہَا فَاَتۡبَعَہُ الشَّیۡطٰنُ فَکَانَ مِنَ الۡغٰوِیۡنَ۔ وَ لَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنٰہُ بِہَا وَ لٰکِنَّہٗۤ اَخۡلَدَ اِلَی الۡاَرۡضِ وَ اتَّبَعَ ہَوٰٮہُ ۚ فَمَثَلُہٗ کَمَثَلِ الۡکَلۡبِ ۚ اِنۡ تَحۡمِلۡ عَلَیۡہِ یَلۡہَثۡ اَوۡ تَتۡرُکۡہُ یَلۡہَثۡ ؕ ذٰلِکَ مَثَلُ الۡقَوۡمِ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا ۚ فَاقۡصُصِ الۡقَصَصَ لَعَلَّہُمۡ یَتَفَکَّرُوۡنَ

“Dan ceritakanlah kepada mereka kisah orang yang telah Kami berikan kepadanya tanda Kami, lalu ia menyimpang darinya; maka setan mengikutinya dan ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan seandainya Kami menghendaki niscaya Kami meninggikannya (larofa’naahu) dengan tanda-tanda itu; akan tetapi ia cenderung ke bumi dan mengikuti hawa nafsunya. Maka keadaannya seperti seekor anjing kehausan;, jika engkau menghalaunya ia menjulurkan lidahnya dan jika engkau membiarkannya, ia pun menjulurkan lidahnya. Demikianlah keadaan orang-orang yang mendustakan tanda-tanda Kami. Maka ceritakanlah kisah ini supaya mereka merenungkan.” (QS Al-A’raf [7]: 176-177)

Jelas perbandingan ini akan sesuai jika rafa’ berarti pemuliaan rohani. Pengangkatan fisik sama sekali tidak dapat disandingkan dengan kecenderungan dan keinginan duniawi.

Mustahil masuk ke Surga dengan tubuh fisik

Selain itu Al-Qur’an menyebutkan ketidakmungkinan pergi ke surga secara fisik. Orang-orang kafir pernah meminta mukjizat ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan jawaban beliau adalah beliau hanyalah seorang manusia.

وَ قَالُوۡا لَنۡ نُّؤۡمِنَ لَکَ حَتّٰی تَفۡجُرَ لَنَا مِنَ الۡاَرۡضِ یَنۡۢبُوۡعًا۔ اَوۡ تَکُوۡنَ لَکَ جَنَّةٌ مِّنۡ نَّخِیۡلٍ وَّ عِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الۡاَنۡهٰرَ خِلٰلَهَا تَفۡجِیۡرًا۔ اَوۡ تُسۡقِطَ السَّمَآءَ کَمَا زَعَمۡتَ عَلَیۡنَا کِسَفًا اَوۡ تَاۡتِیَ بِاللّٰهِ وَ الۡمَلٰٓئِکَةِ قَبِیۡلًا۔ اَوۡ یَکُوۡنَ لَکَ بَیۡتٌ مِّنۡ زُخۡرُفٍ اَوۡ تَرۡقٰی فِی السَّمَآءِ ؕ وَ لَنۡ نُّؤۡمِنَ لِرُقِیِّکَ حَتّٰی تُنَزِّلَ عَلَیۡنَا کِتٰبًا نَّقۡرَؤُہٗ ؕ قُلۡ سُبۡحَانَ رَبِّیۡ هَلۡ کُنۡتُ اِلَّا بَشَرًا رَّسُوۡلًا

 “Dan mereka berkata, ‘Sekali-kali kami tidak akan beriman kepada engkau sebelum engkau pancarkan dari bumi sebuah mata air untuk kami; atau engkau mempunyai kebun kurma dan anggur, lalu engkau alirkan sungai-sungai yang banyak sekali di tengah-tengahnya; atau engkau jatuhkan langit ke atas kami berkeping-keping, sebagaimana telah engkau da’wakan, atau engkau datangkan Allah dan para malaikat berhadap-hadapan; atau engkau mempunyai rumah dari emas atau engkau naik ke langit; dan sekali-kali tidak akan kami percaya kenaikan engkau ke langit, sebelum engkau turunkan kepada kami sebuah kitab yang dapat kami membacanya’. Katakanlah, ‘Mahasuci Tuhanku! Aku tidak lain hanyalah seorang manusia, yang diutus sebagai seorang rasul.” (QS Bani Israil [17]: 91-94)

Artinya, merupakan hal yang bertentangan dengan hukum Allah, bahwa seorang manusia naik ke surga dengan tubuh fisik dan jiwa.

Semua orang-orang Yahudi harus beriman kepada Nabi Isa sebelum kewafatannya

Ayat mutasyabihat lain yang disajikan untuk mencoba membuktikan bahwa Nabi Isa (as) masih hidup adalah firman Allah:

وَ اِنۡ مِّنۡ اَهْلِ الۡکِتٰبِ اِلَّا لَیُؤۡمِنَنَّ بِهٖ قَبۡلَ مَوۡتِهٖ ۚ وَ یَوۡمَ الۡقِیٰمَةِ یَکُوۡنُ عَلَیۡهِمۡ شَهِیۡدًا

“Dan tidak ada seorang pun dari Ahlikitab melainkan akan tetap memercayai peristiwa itu sebelum ajalnya; dan pada hari Kiamat, ia, Nabi Isa, akan menjadi saksi terhadap mereka.” (QS An-Nisa [4]:160)

Sebagian orang mengartikan ayat di atas bahwa semua orang Yahudi harus beriman kepada Nabi Isa (as) sebelum beliau meninggal. Mereka menyimpulkan bahwa karena mereka semua belum beriman kepadanya, maka pasti beliau masih hidup.

Pendapat ini keliru karena beberapa alasan:

Pertama Al-Qur’an menyatakan dengan tegas bahwa orang-orang Yahudi akan hidup sampai hari kiamat dengan keyakinan mereka secara utuh.

وَ مِنَ الَّذِیۡنَ قَالُوۡۤا اِنَّا نَصٰرٰۤی اَخَذۡنَا مِیۡثَاقَهُمۡ فَنَسُوۡا حَظًّا مِّمَّا ذُکِّرُوۡا بِهٖ ۪ فَاَغۡرَیۡنَا بَیۡنَهُمُ الۡعَدَاوَۃَ وَ الۡبَغۡضَآءَ اِلٰی یَوۡمِ الۡقِیٰمَةِؕ وَ سَوۡفَ یُنَبِّئُهُمُ اللّٰهُ بِمَا کَانُوۡا یَصۡنَعُوۡنَ

“Dan juga dari orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya kami orang-orang Nasrani,’ Kami telah mengambil perjanjian dari mereka, tetapi mereka telah melupakan sebagian dari apa-apa yang telah dinasihatkan kepada mereka dengannya. Maka Kami timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka hingga hari Kiamat, dan Allah segera akan memberitahu mereka mengenai apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-Ma’idah [5]15)

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ يَدُ اللّٰهِ مَغْلُوْلَةٌ ۗغُلَّتْ اَيْدِيْهِمْ وَلُعِنُوْا بِمَا قَالُوْا ۘ بَلْ يَدٰهُ مَبْسُوْطَتٰنِۙ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاۤءُۗ وَلَيَزِيْدَنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ مَّآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ طُغْيَانًا وَّكُفْرًاۗ وَاَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ اِلٰى يَوْمِ الْقِيٰمَةِۗ كُلَّمَآ اَوْقَدُوْا نَارًا لِّلْحَرْبِ اَطْفَاَهَا اللّٰهُ ۙوَيَسْعَوْنَ فِى الْاَرْضِ فَسَادًاۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

“Dan orang Yahudi berkata ‘Tangan Allah terbelenggu.’ Tangan merekalah yang akan dibelenggu dan mereka akan dilaknat disebabkan apa yang mereka katakan. Bahkan kedua tangan-Nya terbentang lebar Dia memberi rezeki sebagaimana Dia kehendaki, dan niscaya apa yang diturunkan kepada engkau dari Tuhan engkau akan menyebabkan kebanyakan mereka bertambah durhaka dan kafir, dan Kami timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari Kiamat. Setiap kali mereka menyalakan api untuk perang Allah memadamkannya, dan mereka berusaha membuat kerusakan di muka bumi, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS Al-Ma’idah [5]:65)

Terkait:   Perjalanan Rasulullah ke Langit dalam Peristiwa Mi'raj

Jadi, mereka tidak akan pernah bisa beriman kepada Nabi Isa (as) jika mereka semua menjadi muslim.

Kedua, menyatakan bahwa ayat itu berarti ‘semua orang Yahudi harus beriman kepadanya’ berarti kita juga harus percaya bahwa tidak ada orang Yahudi yang akan mati sejak zaman Isa (as) dan tidak akan mati sampai dia kembali.  Atau mereka semua akan dibangkitkan pada saat kedatangan nabi Isa (as), sehingga mereka semua bisa beriman kepada beliau. Jelas hal ini tidak masuk akal.

Apakah ayat tersebut benar-benar merujuk pada kematian Nabi Isa (as), dan keimanan dalam bentuk apa, masih diperdebatkan oleh para mufassir klasik.

Sebagian orang meyakini bahwa ayat ini sama sekali tidak merujuk pada Nabi Isa (as), melainkan kepada Allah dan Nabi Muhammad shallallau ‘alaihi wasallam.  Hal ini dikarenakan kata ganti به (bihi) tidak secara jelas menunjuk kepada Nabi Isa (as), melainkan dapat juga merujuk kepada seseorang atau sesuatu yang lain.

Sebagian lagi percaya bahwa istilah موته (mautihi) ‘kematiannya’  bukan merujuk pada kematian Nabi Isa (as) melainkan kematian orang-orang Yahudi sendiri. Artinya, setiap orang Yahudi akan beriman kepada Nabi Isa (as) saat sebelum kematiannya ketika para malaikat Allah memberitahunya tentang kebenarannya. Hal ini ditegaskan oleh bacaan alternatif (tafsir) di mana موته (mautihi) ‘kematiannya’ telah dijelaskan sebagai موتھم (mautihim) ‘kematian mereka’.

Dalam Tafsir Kasyaaf 4:160 Imam Zamakhshari menyatakan:

لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ جملة قسمية واقعة صفة لموصوف محذوف تقديره: وإن من أهل الكتاب أحد إلا ليؤمننّ به. ونحوه: (وَما مِنَّا إِلَّا لَهُ مَقامٌ مَعْلُومٌ) ، (وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وارِدُها) والمعنى: وما من اليهود والنصارى أحد إلا ليؤمننّ قبل موته بعيسى، وبأنه عبد اللَّه ورسوله، يعنى: إذا عاين قبل أن تزهق روحه ۔۔۔

وتدل عليه قراءة أبىّ: إلا ليؤمننّ به قبل موتهم، بضم النون على معنى: وإن منهم أحد إلا سيؤمنون به قبل موتهم۔۔۔

وقيل: الضمير في: (بِهِ) يرجع إلى اللَّه تعالى. وقيل: إلى محمد صلى اللَّه عليه وسلم.

(الكشاف عن حقائق غوامض التنزيل، زمخشری)

لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ (Layu’minanna bihi) adalah pernyataan kalimat fakta, dimana sifat objek yang dijelaskan telah dihilangkan sebelum disebutkan. وإن من أهل الكتاب أحد إلا ليؤمننّ به. ‘Dan tidak ada seorangpun (ahadun) dari antara ahlikitab yang akan beriman kepadanya.’ Dan ada contoh serupa juga ditemukan dalam Al-Qur’an seperti misalnya: وَما مِنَّا إِلَّا لَهُ مَقامٌ مَعْلُومٌ   (Dan tidak ada seorang pun di antara kita, melainkan dia telah memiliki tempat yang tetap.’ (37:165) وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وارِدُها  (Dan tidak ada seorang pun dari antara kamu, melainkan dia akan memasukinya.’ (19:72).

Maknanya adalah: dan tidak ada seorang pun dari kalangan Yahudi atau Nasrani yang tidak beriman sebelum kematiannya, yaitu beriman kepada Isa (as). Hal ini karena ia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Artinya ketika mereka melihat (para malaikat) sebelum jiwa mereka meninggalkan tubuh mereka…

Hal ini didukung oleh bacaan Ubay bin Ka’ab: إلا ليؤمننّ به قبل موتهم (illa layu’minanna bihi qabla mautihim). Dengan kasrah di bawah nun, yang artinya tidak ada seorangpun di antara mereka melainkan akan beriman kepada Isa (as) sebelum kematian mereka…

Dan dikatakan bahwa kata ganti dalam به (bihi) (padanya) merujuk kepada Allah, dan dikatakan juga bahwa hal itu mengacu pada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (Tafsir Al Kashaaf, Zamakhshari)

Pemahaman sederhana tentang ayat ini dapat disimpulkan dari konteksnya. Ayat sebelumnya menyatakan bahwa baik orang Yahudi maupun Kristen tidak yakin apakah Isa (as) dibunuh.  Ini adalah pernyataan yang ajaib, mengingat pernyataan ini menyerang akar kedua agama.

Al-Qur’an kemudian menyatakan bahwa tidak ada seorang pun melainkan akan percaya pada hal ini (yakni, apa yang dinyatakan oleh Al-Qur’an dalam hal ini adalah mereka tidak memiliki pengetahuan pasti tentang kematiannya) sebelum kematian mereka.  Jadi pernyataan mukjizat ini tergenapi selama kehidupan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.  Terlepas dari tantangan ini, tidak ada satupun dari mereka yang berani menentangnya dan menerima tantangan itu dengan menyatakan bahwa mereka yakin berdasarkan bukti kuat bahwa Isa telah mati di kayu salib.  Seluruh generasi itu telah meninggal tanpa mengajukan keberatan terhadapnya, dan dengan demikian mukjizat ilmu Al-Qur’an yang hebat telah dibuktikan.

Dari sudut pandang yang berbeda, ayat ini juga bisa merujuk pada suku-suku Israel dan bukan setiap orang Yahudi.  Terjemahannya adalah, “Dan tidak ada satu pun suku di antara Ahlikitab melainkan mereka akan beriman kepadanya sebelum kematiannya’.

Terjemahan ini juga benar dan menunjukkan bahwa Nabi Isa (as) pasti melakukan perjalanan dan menyampaikan risalahnya kepada semua dua belas suku Israel dan anggota dari setiap suku beriman kepadanya sebelum kematiannya.

Nabi Isa sebagai tanda hari kiamat

Beberapa Muslim percaya bahwa Al-Qur’an telah menyatakan bahwa kedatangan Nabi Isa (as) secara fisik merupakan tanda akhir zaman.  Oleh karena itu, dia tidak mungkin mati, melainkan dia dibangkitkan dan akan kembali.

وَ اِنَّہٗ لَعِلۡمٌ لِّلسَّاعَۃِ فَلَا تَمۡتَرُنَّ بِہَا وَ اتَّبِعُوۡنِ ؕ ہٰذَا صِرَاطٌ مُّسۡتَقِیۡمٌ

“Tetapi, sesungguhnya ia memberi tanda tentang Saat itu, maka janganlah kamu ragu-ragu tentang Kiamat melainkan ikutilah aku. Inilah jalan yang lurus. (QS Az-Zukhruf [43]:62)

Dalam konteks ini, ayat tersebut tidak merujuk pada turunannya Isa (as) sebagai tanda akhir zaman.

Pertama, ayat ini tidak secara khusus menyebutkan nama Isa (as), melainkan hanya kata ganti yang digunakan dalam bentukانه  (innahu), ‘sungguh dia/itu’. Para mufassirin klasik di antara penafsiran lainnya, juga menyatakan bahwa kata ganti itu tidak mencacu pada Isa (as), melainkan Al-Qur’an. Dalam Mu’alim At Tanziil fi Tafsiiril Al-Qur’an atau dikenal sebagai Tafsir Baghawi, disebutkan bahwa:

وَقَالَ الْحَسَنُ وَجَمَاعَةٌ: وَإِنَّهُ يَعْنِي وَإِنَّ الْقُرْآنَ لَعِلْمٌ لِلسَّاعَةِ يُعْلِمُكُمْ قِيَامَهَا. وَيُخْبِرُكُمْ بِأَحْوَالِهَا وَأَهْوَالِهَا، فَلا تَمْتَرُنَّ بِها (معالم التنزيل في تفسير القرآن = تفسير البغوي)

Dan Hasan bersama dengan sekelompok orang lain telah menyatakan: “wa innahu (dan sesungguhnya) mengacu pada Al-Qur’an sebagai tanda Hari Kiamat, karena itu mengajarkan kepadamu detailnya, Dan memberi tahumu tentang karakteristik dan kejadiannya, jadi jangan meragukannya.

Dalam tafsir yang sama, pada bagian “ikutilah aku” telah dijelaskan kata ini mengacu pada nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sementara sebagian penafsir mengklaim bahwa ayat ini mengacu kepada kedatangan Nabi (as) di akhir zaman, setelah diperiksa lebih dalam, kita menemukan bahwa konteks dan pemahaman yang muncul dari ayat ini tidak membenarkan penafsiran ini.

Hal ini karena Al-Qur’an menyatakan di sini bahwa tanda kebangkitan itu benar adanya di hadapan orang-orang kafir, oleh karena itu mereka tidak boleh meragukannya (yaitu kenyataan Hari Kiamat). Jika tanda itu adalah kedatangan kembali Isa (as), bagaimana mungkin orang-orang kafir dapat diharapkan untuk percaya pada hari kebangkitan hari kiamat jika tanda itu belum diperlihatkan?

Berlawanan dengan sikap yang tidak logis ini, Al-Qur’an menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan tanda yang pasti akan kebenaran hari Kiamat karena memberikan kehidupan kepada orang yang mati Rohani di hadapan orang-orang kafir. Hal ini melalui motif air yang memberikan kehidupan pada tanah yang kehilangan kehidupan.

وَ اَنۡزَلۡنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً طَهُوۡرًا ۔  لِّنُحۡیِ یَ بِہٖ بَلۡدَۃً مَّیۡتًا

“Dan Dialah yang mengirimkan angin sebagai pembawa kabar suka sebelum kedatangan rahmat-Nya; dan Kami turunkan air bersih dari awan. Supaya denga itu Kami menghidupkan negeri yang telah mati…” (QS Al-Furqan [25]:49-50)

وَ اَحۡیَیۡنَا بِهٖ بَلۡدَۃً مَّیۡتًا ؕ کَذٰلِکَ الۡخُرُوۡجُ

“Sebagai rezeki bagi hamba-hamba Kami, dan dengan itu Kami menghidupkan negeri yang mati. Seperti itulah terjadinya kebangkitan. (QS Qaf [50]:12)

Terlebih Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga disebutkan telah memberikan kehidupan kepada orang mati secara rohani.  Oleh karena itu, akan sesuai jika kita mengasumsikan bahwa ayat tersebut mengacu kepada beliau.

یٰۤاَیُّهَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اسۡتَجِیۡبُوۡا لِلّٰهِ وَ لِلرَّسُوۡلِ اِذَا دَعَاکُمۡ لِمَا یُحۡیِیۡکُمۡ

“Hai orang-orang yang beriman! Sambutlah seruan Allah dan Rasul-Nya apabila ia menyerumu supaya ia menghidupkanmu… (QS Al-Anfal [8]:25)

Jika kita menerima bahwa ayat itu sepenuhnya mengacu pada Nabi Isa, maka ayat itu hanya mengenai masa beliau di antara orang-orang Yahudi sebelum kematiannya, dan bukan tentang kemunculan beliau di masa depan. Hal ini menunjuk kepada masa lalu, dan bukan masa depan. Jika benar-benar mengacu pada masa depan,  kata-katanya akan menjadi:

وَإِنَّهُ سَیَکُوْنُ لَعِلْمٌ لِّلسَّاعَةِ

Innahu sayakuunu la ilmul lis’saa’ati

Dalam ayat lain, Al-Qur’an menyebutkan kelahiran beliau sebagai tanda bagi sekelompok manusia.

وَلِنَجْعَلَهٗٓ اٰيَةً لِّلنَّاسِ

“Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia [QS Maryam [19]:22]

‘Manusia’ yang dimaksud di sini adalah kaum Saduki, sebuah aliran Yahudi yang menolak kebangkitan. Beberapa Nabi mereka telah menerima kabar gembira bahwa Mesiah akan lahir dari seorang perawan.  Kelahiran ajaib ini akan menjadi tanda bagi mereka tentang kebenarannya, sebagaimana Allah dapat menghidupkan seseorang tanpa adanya campur tangan seorang laki-laki, dengan cara yang sama, Dia dapat menghidupkan orang mati.

Jika dilihat dari sudut yang berbeda, ayat tersebut tidak menyebutkan hari Akhir, atau hari Kiamat, melainkan kata yang digunakan dalam Bahasa Arab adalah ساعة  [Saa’ah] yang secara harfiah berarti waktu. 

Di tempat-tempat tertentu, hari kiamat dipahami sebagai Hari Pembalasan, tetapi juga dapat dipahami sebagai ‘setiap saat terjadinya perubahan yang sangat penting, seperti masa-masa hukuman duniawi dari Tuhan.

Para ulama umumnya memahami sa’ah dalam dua pengertian umum: pertama adalah ساعة الکبری (saa’atul kubra), yang secara harfiah artinya waktu yang lebih besar, mengacu pada hari Penghakiman. Dan ساعة الصغری  (saa’at us sughra) yang secara harfiah artinya waktu yang lebih kecil dan mengacu pada kematian suatu generasi atau kematian individu. Jelas, makna yang mendasarinya adalah bencana atau perubahan yang sangat besar.

Makna ini ditegaskan oleh Al-Qur’an dan Hadist yang menyatakan bahwa masa saa’ah telah didekatkan pada masa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:

اِقۡتَرَبَتِ السَّاعَۃُ وَ انۡشَقَّ الۡقَمَرُ

“Telah dekat Saat dan bulan terbelah.” (QS Al-Qomar [54]:2)

بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ (صحیح البخاری،کتاب الرقاق، باب قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: «بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ»، حدیث ۶۵۰۴)

Diriwayatkan Anas: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Telah diutus diriku dan Kiamat (sudah dekat) seperti dua jari ini. (Sahih Al-Bukhari, Kitabu Riqaq, bab “Aku telah diutus dan waktunya seperti dua ini” Hadist 6504)

Adalah fakta bahwa setelah kedatangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, seluruh dunia melihat perubahan yang sangat besar, dimulai dari bangsa Arab. Para musuh yang menentang beliau menyaksikan banyak hukuman Ilahi, dan akhirnya dihancurkan.  Sebuah tatanan dunia baru telah terbentuk. Dengan demikian pergolakan besar ini merupakan pendahuluan dan bukti bagi datangnya Hari Penghakiman, yang akan serupa dalam hal implikasi dan pergolakannya yang luas.

Menurut terjemahan ini ayat maka ayat tersebut akan berbunyi “Dan Isa (as) adalah tanda datangnya hukuman duniawi.”

Kedatangan Isa (as) yang menandakan pergolakan penting bagi orang-orang Yahudi sehubungan dengan datangnya hukuman duniawi juga disebutkan dalam ayat lain dalam Al-Qur’an:

اِنۡ ہُوَ اِلَّا عَبۡدٌ اَنۡعَمۡنَا عَلَیۡہِ وَ جَعَلۡنٰہُ مَثَلًا لِّبَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ

“Dan tidaklah ia melainkan seorang hamba, yang Kami telah anugerahkan nikmat kepadanya, dan Kami telah menjadikan ia suatu perumpamaan bagi Bani Israil. (QS Az-Zukhruf [43]:60)

Setelah kedatangan Isa (as), kaum Yahudi kehilangan nikmat kenabian karena setelah itu dipindahkan ke rumah Ismail (as).

Pada tahun 79 M, setelah pemberontakan Yahudi selama bertahun-tahun, kota Yerusalem jatuh ke tangan Romawi.  Bangsa Romawi tidak menunjukkan belas kasihan, kota itu dijarah dan ribuan orang dibantai. Bait suci Kedua diratakan dengan tanah, dan banyak dari mereka yang ditawan, diperbudak dan dikirim untuk bekerja keras di tambang Mesir, sementara yang lain disebarkan ke arena di seluruh kekaisaran untuk dibantai sebagai hiburan publik.  Relik-relik Bait Suci dibawa ke Roma dimana mereka dipamerkan untuk merayakan kemenangan.  Setelah masa itu orang-orang Yahudi hidup dalam pengasingan selama lebih dari seribu tahun dan sampai hari ini belum mampu membangun kembali Bait Suci.

Pergolakan besar dan hukuman duniawi ini jelas menjadi contoh atau pendahuluan bagi orang-orang yahui terhadap pergolakan yang akan datang terjadi pada Hari penghakiman.

Sumber: Alislam.org – Jesus Christ died a natural death
Penerjemah: N. Damayanti Khalid
Editor: Khaeruddin Ahmad Jusmansyah

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.