Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 32)

khotbah jumat 9 september 2022

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 166, Khulafa’ur Rasyidin Seri 04, Hadhrat ‘Abdullah Abu Bakr ibn ‘Utsman Abu Quhafah, radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, Seri 32)

  • Beberapa hal menjelang kewafatan Hadhrat Abu Bakr (ra): wasiat beliau mengenai siapa Khalifah setelah beliau.
  • Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjawab keberatan mengenai mengapa beliau dulu dicalonkan sebagai Khalifah oleh Khalifah sebelum beliau saat masih hidup sementara para Khalifah lain dicalonkan dan dipilih setelah wafat Khalifah sebelumnya.
  • Pembahasan mengenai kewafatan dan penguburan Hadhrat Abu Bakr (ra): sebab-sebab sakit dan kewafatan, wasiat, pemandian, pengafanan, siapa saja yang turun ke liang lahad untuk menguburkan dan lain-lain.
  • Jumlah dan nama-nama anggota keluarga Hadhrat Abu Bakr (ra). Empat istri, empat putra dan tiga putri.
  • Hadits Nabi Muhammad (saw) mengenai menerima hadiah dari non Muslim.
  • Penjelasan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) mengenai kedudukan Khalifah dan keteguhan hati beliau setelah menyerap musyawarah orang-orang dan telah membuat suatu keputusan
  • Pembentukan dan Pelaksanaan berbagai pengaturan pemerintahan oleh Hadhrat Abu Bakr (ra): Pembentukan lembaga Baitul Maal (pengelolaan dan distribusi harta kekayaan negara), allowance atau tunjangan yang diperuntukkan bagi Hadhrat Abu Bakr (ra) dari Baitul Mal, Keteladanan Khalifah Abu Bakr (ra) yang saat akan wafat telah mengembalikan allowance selama beliau menjadi Khalifah hal mana ditangisi oleh Hadhrat ‘Umar (ra) yang merasa takkan mampu atau sangat berat mengikuti jejak beliau.
  • Pembentukan Mahkamah Qadha (lembaga arbitrase, mediasi dan pengadilan)
  • Pembentukan Mahkamah Ifta (lembaga pemberi fatwa) dan orang-orang yang ditunjuk dalam hal ini.
  • Sekretariat: Pencatatan keputusan-keputusan pemerintahan, penulisan perjanjian-perjanjian, dan tugas pencatatan lainnya.
  • Lembaga Ketentaraan, peralatan perang dan dana perang.
  • Pandangan sejarawan modern, Muhammad Husain Haikal.
  • Beberapa pidato berisi nasehat dan petunjuk dari Hadhrat Abu Bakr (ra) bagi para komandan (pemimpin militer) yang mana dapat diterapkan juga untuk para pemimpin jenis apa pun dan pengurus Jemaat.
  • Pembagian pemerintahan Islam menjadi beberapa negara bagian dengan kota Madinah sebagai pusat pemerintahan.
  • Penjelasan metode pengangkatan para pejabat.
  • Prioritas pengangkatan pejabat: yang lebih dulu (senior) dalam hal masuk Islam dan memperoleh tarbiyat dari Nabi Muhammad (saw) serta yang telah sebelumnya dipilih oleh Nabi (saw) tidak akan beliau ubah.
  • Beliau umumnya memilih pejabat dengan memperhatikan siapa yang menerima lebih banyak limpahan keberkatan dan karunia dari Rasul yang mulia (saw) dan masuk Islam sebelum Fath Makkah.
  • Beliau menghormati pendapat masyarakat setempat dalam pengangkatan pejabat sehingga pejabat tertentu yang telah bertugas di suatu tempat tapi diminta lagi bertugas oleh masyarakat lainnya akan beliau pindahkan di tempat tersebut.
  • Hadhrat Abu Bakr (ra) biasa memberikan instruksi pada kesempatan pengangkatan pejabat. Contoh instruksi beliau.
  • Perbedaan khas Khalifah Abu Bakr (ra) dengan Khalifah ‘Umar (ra) dalam hal bersikap terhadap kesalahan-kesalahan para Amir dan anak buahnya. Khalifah Abu Bakr (ra) biasa mengabaikan dan memaafkan hal-hal sepele. Meski demikian, tetap menegur kesalahan serius mereka, setinggi apa pun pangkatnya.
  • Pembaharuan perjanjian antara gubernur dengan rakyatnya.
  • Para Amir berperan aktif dalam memberikan pendidikan agama kepada masyarakat di daerahnya masing-masing serta dalam berdakwah dan menyebarkan agama Islam.
  • Beliau tidak membiarkan suatu daerah kosong dari kepemimpinan karena Amirnya atau gubernurnya pergi ke daerah lain. Amir atau gubernur yang keluar wilayah harus menunjuk wakil atau pejabat sementaranya.
  • Hudhur (atba) akan terus menyebutkan lebih lanjut berbagai kejadian dalam masa Hadhrat Abu Bakr (ra) di khotbah-khotbah mendatang.

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 09 September 2022 (Tabuk 1401 Hijriyah Syamsiyah/ Shafar 1444 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم

[بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ]

(آمين)

Saya akan menyampaikan beberapa peristiwa dalam kehidupan Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra). Ketika waktu kewafatan Hadhrat Abu Bakr (ra) sudah dekat, beliau memanggil Hadhrat Abdurrahman ibn Auf (ra) lalu bersabda, أَخْبِرْنِي عَنْ عُمَرَ ‘Berikan saya saran berkenaan dengan ‘Umar.’

Hadhrat Abdurrahman ibn Auf mengatakan, يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ، هُوَ وَاللَّهِ أَفْضَلُ مِنْ رَأْيِكَ فِيهِ مِنْ رَجُلٍ، وَلَكِنْ فِيهِ غِلْظَةٌ ‘Wahai Khalifah Rasulullah (saw)! Demi Allah, beliau yakni Hadhrat ‘Umar (ra) lebih baik dari apa yang Anda pikirkan, kecuali, beliau memiliki tabiat yang keras.’

Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, ذَلِكَ لأَنَّهُ يَرَانِي رَقِيقًا، وَلَوْ أُفْضِيَ الأَمْرُ إِلَيْهِ لَتَرَكَ كَثِيرًا مِمَّا هُوَ عَلَيْهِ وَيَا أَبَا مُحَمَّدٍ قَدْ رَمَقْتُهُ، فَرَأَيْتُنِي إِذَا غَضِبْتُ عَلَى الرَّجُلِ فِي الشَّيْءِ أَرَانِي الرِّضَا عَنْهُ، وَإِذَا لِنْتُ لَهُ أَرَانِي الشِّدَّةَ عَلَيْهِ، لا تَذْكُرْ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ مِمَّا قُلْتُ لَكَ شَيْئًا ‘Beliau bersikap keras untuk mengimbangi kelembutan saya. Namun, jika kepadanya diserahkan tanggung jawab untuk memimpin, beliau akan melepaskan hal-hal seperti itu. Karena saya perhatikan, ketika saya bersikap keras terhadap seseorang, ‘Umar berusaha untuk meyakinkan saya tentang orang tersebut supaya saya bersikap ridha (lembut atau senang hati) kepadanya. Begitu pula, ketika saya bersikap lembut, ‘Umar biasanya meminta saya untuk bersikap keras kepadanya.’

Setelah itu Hadhrat Abu Bakr (ra) memanggil Hadhrat ‘Utsman dan meminta pendapat berkenaan dengan Hadhrat ‘Umar (ra). Hadhrat ‘Utsman berkata, اللَّهُمَّ عِلْمِي بِهِ أَنَّ سَرِيرَتَهُ خَيْرٌ مِنْ عَلانِيَتِهِ، وَأَنْ لَيْسَ فِينَا مِثْلُهُ ‘Keadaan beliau yang tersembunyi lebih baik daripada keadaannya yang terlihat dan tidak ada yang seperti beliau di antara kita.’”[1]

Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda kepada kedua sahabat tersebut, Hadhrat Abdurrahman ibn Auf dan Hadhrat ‘Utsman, لَا تَذْكُرَا مِمَّا قُلْتُ لَكُمَا شَيْئًا، وَلَوْ تَرَكْتُهُ مَا عَدَوْتُ عُثْمَانَ، وَالْخِيرَةُ لَهُ أَنْ لَا يَلِيَ مِنْ أُمُورِكُمْ شَيْئًا، وَلَوَدِدْتُ أَنِّي كُنْتُ مِنْ أُمُورِكُمْ خِلْوًا، وَكُنْتُ فِيمَنْ مَضَى مِنْ سَلَفِكُمْ ‘Apapun yang saya katakan kepada kalian berdua, jangan sampaikan kepada siapapun. Begitu pula, jika saya mengabaikan (tidak memilih-Pent) ‘Umar, (pilihan kedua) tidak akan lepas dari ‘Utsman.” Kemudian Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, “…dan siapapun yang saya pilih memiliki kewenangan diantara mereka berdua nantinya, harus tidak akan akan membuat kekurangan apa pun dalam urusan-urusan kalian. Sekarang saya ingin memisahkan diri dari urusan-urusan kalian dan menjadi salah seorang yang mendahului kalian (wafat).’”

Pada hari-hari ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) sakit, Hadhrat Thalhah ibn Ubaidullah datang menemui Hadhrat Abu Bakr (ra) dan berkata, اسْتَخْلَفْتَ عَلَى النَّاسِ عُمَرَ، وَقَدْ رَأَيْتَ مَا يَلْقَى النَّاسُ مِنْهُ وَأَنْتَ مَعَهُ، فَكَيْفَ بِهِ إِذَا خَلا بِهِمْ! وَأَنْتَ لاقٍ رَبِّكَ فَسَائِلُكَ عَنْ رَعِيَّتِكَ “Anda telah menetapkan Hadhrat ‘Umar (ra) sebagai Khalifah penerus Anda bagi umat Islam, padahal Anda sendiri mengetahui bagaimana beliau memperlakukan orang-orang di tengah keberadaan Anda, lantas bagaimana keadaannya nanti ketika beliau sendirian (sepeninggal tuan) sedangkan Anda akan bertemu dengan Tuhan Anda dan Allah Ta’ala akan bertanya kepada Anda mengenai rakyat Anda?”

Saat itu Hadhrat Abu Bakr (ra) tengah berbaring, beliau bersabda, “Dudukkanlah saya.” Beliau dibantu untuk duduk, lalu beliau bersabda, أَبِاللَّهِ تَفْرُقُنِي- أَوْ أَبِاللَّهِ تُخَوِّفُنِي- إِذَا لَقِيتُ اللَّهَ رَبِّي فَسَاءَلَنِي قُلْتُ: اسْتَخْلَفْتُ عَلَى أَهْلِكَ خَيْرَ أَهْلِكَ “Apakah Anda menakut-nakuti saya terhadap Allah Ta’ala? Ketika saya berjumpa dengan Allah Ta’ala nanti dan Dia bertanya kepada saya, akan saya katakan, ‘Saya telah memilih seseorang yang terbaik dari antara hamba-hamba Engkau untuk menjadi Khalifah bagi mereka.’”[2]

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) dengan mengutip rujukan dari buku-buku Tarikh (sejarah) bersabda mengenai hal ini, “Ketika kewafatan Hadhrat Abu Bakr (ra) telah dekat, beliau berkonsultasi dengan para sahabat mengenai siapa yang harus beliau tunjuk sebagai Khalifah. Sebagian besar sahabat menyampaikan pendapat mereka yang condong kepada nama Hadhrat ‘Umar (ra) dan hanya beberapa dari mereka yang menyampaikan keberatan bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) sangat keras wataknya sehingga jangan-jangan beliau akan bersikap keras terhadap orang-orang.

Beliau – Hadhrat Abu Bakr (ra) – bersabda, ‘Watak keras ini ada selama beliau – Hadhrat ‘Umar (ra) – tidak diberikan beban tanggung jawab. Sekarang, ketika tanggung jawab diberikan kepada beliau, watak keras beliau tersebut pun akan mereda.’

Selanjutnya, seluruh sahabat sepakat akan kekhalifahan Hadhrat Umar (ra).

Karena keadaan kesehatan Hadhrat Abu Bakr (ra) telah sangat buruk, beliau dirawat oleh istri beliau, Asma dan dengan keadaan kaki beliau terhuyung-huyung dan tangan gemetar, beliau datang ke masjid dan berbicara ditujukan kepada seluruh umat Islam, ‘Selama berhari-hari, saya telah merenungkan masalah ini, bahwa jika saya meninggal, siapa yang akan menjadi Khalifah kalian? Akhirnya, setelah banyak merenungkan dan berdoa, saya merasa pantas untuk mencalonkan Umar (ra) sebagai Khalifah. Jadi, setelah kewafatan saya, Umar (ra) akan menjadi Khalifah kalian.’ Semua sahabat dan orang-orang lainnya mengakui kepemimpinan ini dan setelah kewafatan Hadhrat Abu Bakr (ra), baiat dilakukan kepada Hadhrat Umar (ra).”[3]

Kemudian di tempat lain, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda seraya menjawab keberatan mengenai mengapa beliau dulu dicalonkan [sebagai Khalifah oleh Khalifah sebelum beliau yang masih hidup]. Beliau bersabda, “Jika dikatakan, ‘Seseorang yang dipilih oleh umat saja-lah yang menjadi Khalifah’, lalu mengapa Hadhrat Abu Bakr (ra) mencalonkan Hadhrat ‘Umar (ra)? Maka, jawabannya adalah beliau – Hadhrat Abu Bakr (ra) – tidak mencalonkannya begitu saja, melainkan terbukti beliau (ra) terlebih dahulu meminta saran dari para sahabat. Satu-satunya perbedaan adalah Khalifah lainnya dipilih setelah kewafatan Khalifah sebelumnya, sementara Hadhrat ‘Umar (ra) dipilih ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) masih ada.

Kemudian, beliau tidak berhenti sampai di situ. Maksudnya, Hadhrat Abu Bakr (ra) tidak berhenti sampai di situ dan tidak merasa cukup dengan mengumumkan kekhalifahan Hadhrat Umar (ra) setelah meminta saran dari beberapa sahabat, bahkan meskipun sedang sakit parah dan sangat lemah, beliau datang ke masjid dengan dibantu oleh istri beliau dan bersabda kepada orang-orang, ‘Wahai manusia! Setelah saya meminta saran dari para sahabat, saya menyukai Umar (ra) sebagai Khalifah setelah saya. Apakah kalian juga menyetujui kekhalifahannya?’

Atas hal itu, semua orang menyatakan persetujuan mereka. Dengan demikian, ini pun merupakan suatu corak pemilihan.”[4]

Tertulis lebih lanjut berkenaan dengan sakit dan wasiyat Hadhrat Abu Bakr (ra). Di dalam Kitab Tarikh ath-Thabari disebutkan berkenaan dengan sakit dan kewafatan Hadhrat Abu Bakr (ra) sebagai berikut, كَانَ أَوَّلُ مَا بَدَأَ مَرَضُ أَبِي بَكْرٍ بِهِ أَنَّهُ اغْتَسَلَ يَوْمَ الاثْنَيْنِ لِسَبْعٍ خَلَوْنَ مِنْ جُمَادَى الآخِرَةِ، وَكَانَ يَوْمًا بَارِدًا فَحُمَّ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا لا يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاةِ، وَكَانَ يَأْمُرُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ، وَيَدُخُلُ النَّاسُ يَعُودُونَهُ، وَهُوَ يَثْقُلُ كُلَّ يَوْمٍ، وَهُوَ نَازِلٌ فِي داره التي قطع له رسول الله ص وُجَاهَ دَارِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ الْيَوْمَ، وَكَانَ عُثْمَانُ أَلْزَمَهُمْ لَهُ فِي مَرَضِهِ “Penyebab sakitnya Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah karena beliau mandi pada hari Senin, tanggal 7 Jumadil Akhir. Pada hari itu cuaca sangat dingin. Dikarenakan hal tersebut, beliau mengalami demam yang berlangsung selama 15 hari sampai-sampai beliau tidak mampu keluar untuk shalat di Masjid.

Beliau memerintahkan supaya Hadhrat Umar (ra) terus mengimami salat. Orang-orang berdatangan mengunjungi beliau, namun keadaan beliau semakin buruk dari hari ke hari.

Saat itu, Hadhrat Abu Bakr (ra) tinggal di rumah yang diberikan oleh Rasulullah (saw) yang terletak di depan rumah Hadhrat Utsman bin Affan (ra). Hadhrat Utsman (ra) yang paling banyak merawat beliau selama sakit.”[5]

Beliau sakit selama 15 hari. Seseorang mengatakan kepada beliau bahwa alangkah baiknya jika beliau memanggil tabib. Beliau mengatakan, “Dia (Tuhan) telah memeriksa saya.”

Orang-orang bertanya kepada beliau, “Apa yang Dia katakan kepada Anda?”

Beliau bersabda, “Dia mengatakan: إني أفعل ما أشاء “Aku melakukan apa yang Aku kehendaki.”[6]

Dalam riwayat lain disebutkan, “Ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) jatuh sakit, orang-orang bertanya, ‘Apakah kami perlu memanggilkan tabib untuk Anda?’

Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, ‘Dia telah memeriksa saya dan berfirman, انی فعال لما ارید “Aku pasti akan melakukan apa yang aku kehendaki.”’”[7] Bagaimanapun, yang beliau maksudkan adalah Allah Ta’ala sekarang bermaksud untuk memanggil beliau ke hadirat-Nya dan tidak diperlukan seorang tabib.

Hadhrat Abu Bakr (ra) wafat pada hari Selasa sore hari, tanggal 22 Jumadil Akhir, tahun ke-13 Hijriah, di usia 63 tahun. Masa kekhalifahan beliau berlangsung selama 2 tahun 3 bulan 10 hari.[8]

Kata-kata terakhir yang terucap dari lisan Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah ayat penuh berkat dari Al-Qur’an berikut ini, تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ artinya, “Wafatkanlah aku dalam keadaan patuh dan gabungkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh.”(12:102) [9]

Cincin Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) bertuliskan, نِعْمَ الْقَادِرُ الله yang artinya, Allah adalah sebaik-baik Yang Maha Kuasa.[10]

Hadhrat Aisyah (ra) menuturkan bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, “Setelah menyelesaikan pengurusan pemakaman saya, pastikanlah tidak ada sesuatu yang tersisa.” Barang-barang lainnya telah diserahkan kepada Hadhrat Umar (ra) sehingga tidak ada yang tersisa. Jika masih ada, itu pun harus dikirimkan kepada Hadhrat Umar (ra).

Berkenaan dengan pemakamannya, beliau bersabda, “Cucilah kain yang ada di badan saat ini dan tutupilah dengan kain lainnya.” Hadhrat Aisyah (ra) mengatakan bahwa kain itu sudah tua, hendaknya menggunakan yang baru sebagai kafan. Beliau bersabda, “Orang yang masih hidup lebih berhak atas pakaian yang baru daripada orang yang mati. Pakaikanlah kain yang masih baru itu kepada mereka yang masih hidup, hal ini lebih baik.”

Hadhrat Aisyah meriwayatkan bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) telah memberikan wasiyat supaya istri beliau, Hadhrat Asma binti ‘Umais yang hendaknya memandikan beliau. Hadhrat Abdurrahman (ra), putra Hadhrat Abu Bakr (ra) membantunya.

Kain kafan beliau terdiri dari dua kain. Salah satunya adalah kain yang akan digunakan digunakan untuk mandi. Terdapat juga riwayat bahwa beliau dikafani dengan tiga kain.

Beliau ditempatkan di dipan Hadhrat Rasulullah (saw). Ini adalah dipan tempat Hadhrat Aisyah (ra) biasa tidur. Jenazah beliau diangkat di atas dipan tersebut, lalu Hadhrat Umar (ra) menyalatkan jenazah beliau di antara makam dan mimbar Hadhrat Rasulullah (saw) dan beliau dimakamkan pada malam hari di hujrah (ruangan) yang sama di sebelah makam Hadhrat Rasulullah (saw). Kepala beliau (ra) diletakkan sejajar dengan bahu Rasulullah (saw).[11]

Pada saat penguburan, Hadhrat ‘Umar ibn al-Khaththab (ra), Hadhrat Utsman bin Affan (ra), Hadhrat Thalhah bin Ubaidullah (ra) dan Hadhrat Abdurrahman bin Abu Bakr (ra) turun ke kuburan dan menguburkannya. Ibnu Syihab meriwayatkan bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) menguburkan Hadhrat Abu Bakr (ra) pada malam hari.[12]

Hadhrat Salim bin Abdullah meriwayatkan perkataan ayahnya bahwa penyebab kewafatan Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) adalah kesedihan beliau atas kewafatan Rasulullah (saw), karena setelah kewafatan Rasulullah (saw), tubuh beliau semakin melemah, hingga tiba kewafatan beliau.[13]

Beberapa penulis biografi juga menyatakan bahwa penyebab kewafatan beliau adalah makanan yang dicampur dengan racun oleh seorang Yahudi, tetapi umumnya para penulis biografi menyangkal riwayat ini.[14]

Hadhrat Aisyah (ra) meriwayatkan bahwa ketika waktu kewafatan Hadhrat Abu Bakr (ra) telah dekat, beliau bertanya, “Hari apa sekarang?”

Orang-orang menjawab, “Hari Senin.”

Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, “Jika saya meninggal hari ini, saya tidak harus menunggu besok, karena saya menyukai siang atau malam yang lebih dekat dengan Rasulullah (saw).”[15] Artinya, lebih baik jika beliau dimakamkan di sana.

Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda mengenai warisannya, “Sepeninggal saya, bagikanlah itu sesuai dengan hukum-hukum Al-Qur’an.”[16] Demikian juga, terdapat riwayat bahwa beliau mewariskan seperlima dari kekayaannya kepada kerabat yang bukan ahli waris.[17] 

Disebutkan mengenai istri dan anak-anak Hadhrat Abu Bakr (ra) bahwa beliau memiliki empat istri. Yang pertama adalah Qutailah binti Abdul ‘Uzza (قُتَيلَة بِنتُ عَبْدِ الْعُزّی). Ada perbedaan pendapat mengenai masuk Islamnya beliau. Beliau adalah ibu Hadhrat Abdullah (ra) dan Hadhrat Asma (ra). Hadhrat Abu Bakr (ra) menceraikannya di masa jahiliyah. Beliau pernah membawa minyak samin kepada Hadhrat Asma (ra) di Madinah. Artinya, beliau datang kepada putrinya dengan membawa minyak samin dan keju sebagai hadiah, tetapi Hadhrat Asma menolak untuk menerima hadiah itu dan bahkan tidak mengizinkannya masuk ke rumah lalu Hadhrat Aisyah (ra) diutusnya untuk menanyakan hal ini kepada Rasulullah (saw). Hadhrat Asma berkata kepada Hadhrat Aisyah (ra), “Tanyakanlah dan ceritakanlah bahwa, ibu saya telah datang dengan membawa hadiah. Saya tidak membiarkannya masuk ke rumah. Apa petunjuk beliau (saw) mengenai hal ini?”

Atas hal tersebut, Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, لِتُدْخِلْها بيتَها ولْتَقْبَلْ هديتَها “Izinkan beliau masuk dan terimalah hadiahnya.”[18]

Istri kedua adalah Hadhrat Ummu Ruman binti Amir (أُمُّ رُومان بنتُ عامر مِن بني كِنانة بن خُزيمة). Beliau berasal dari Bani Kinanah bin Khuzaimah. Suami pertamanya, Harits bin Sakhbarah meninggal di Makkah. Setelah itu beliau menikah dengan Hadhrat Abu Bakr (ra). Beliau masuk Islam di masa-masa awal dan baiat kepada Rasulullah (saw) lalu hijrah ke Madinah. Hadhrat Abdurrahman (ra) dan Hadhrat Aisyah (ra) lahir dari rahim beliau. Beliau wafat di Madinah pada tahun 6 Hijriah. Rasulullah (saw) sendiri turun ke kubur beliau dan berdoa memohon maghfiroh untuk beliau.

Yang ketiga adalah Hadhrat Asma binti Umais bin Ma’bad bin Harits (أسماءُ بنتُ عُمَيس بنِ مَعْبَدِ بنِ الحارث). Nama kuniyah beliau adalah Ummu Abdullah (أُمُّ عبدِ الله). Beliau telah memeluk Islam dan baiat kepada Rasulullah (saw) sebelum kaum Muslimin memasuki Darul Arqam. Beliau adalah orang yang melakukan hijrah yang pertama. Beliau pertama kali berhijrah ke Habsyah bersama dengan suami beliau, Hadhrat Ja’far bin Abu Thalib (ra) dan dari sana beliau datang ke Madinah pada 7 Hijriah. Ketika Hadhrat Jafar (ra) syahid dalam pertempuran Mut’ah pada 8 Hijriah, beliau menikah dengan Hadhrat Abu Bakr (ra). Muhammad bin Abu Bakr (ra) lahir dari rahim beliau.

Terkait:   Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) seri-90

Istri yang keempat adalah Hadhrat Habibah binti Kharijah bin Zaid bin Abu Zuhair (حبيبةُ بنتُ خارجةَ بنِ زيدٍ بنِ أبي زُهير الأنصارية الخزرجية). Beliau berasal dari kaum Anshor, Bani Khazraj. Hadhrat Abu Bakr (ra) tinggal bersamanya di Sunh, pinggiran kota Madinah. Ummu Kultsum, putri Hadhrat Abu Bakr (ra) lahir dari rahim beliau beberapa saat setelah kewafatan Hadhrat Abu Bakr (ra).

Hadhrat Abu Bakr (ra) memiliki 4 putra dan 3 putri. Putra pertama adalah Hadhrat Abdurrahman bin Abu Bakr (عَبْدُ الرَّحْمَنِ بنُ أَبِي بَكْرٍ). Beliau adalah putra sulung Hadhrat Abu Bakr (ra). Beliau masuk Islam pada hari Hudaibiyah dan kemudian tetap teguh dalam Islam. Beliau memperoleh persahabatan dengan Rasulullah (saw). Beliau terkenal dengan keberaniannya. Setelah memeluk Islam beliau menjadi sosok yang mengagumkan.

Putra kedua adalah Hadhrat Abdullah bin Abu Bakr (عبد الله بن أبي بكر). Beliau memainkan peranan penting pada kesempatan hijrah Rasulullah (saw) ke Madinah. Beliau menghabiskan sepanjang hari di Makkah dan mengumpulkan informasi dari orang-orang Makkah dan kemudian pada malam hari beliau diam-diam pergi ke gua dan menyampaikan informasi tersebut kepada Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakr (ra), lalu kembali ke Makkah di pagi hari. Dalam pertempuran Thaif, beliau terkena anak panah dan lukanya tidak kunjung sembuh. Akhirnya dikarenakan luka tersebut beliau syahid di masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra).

Muhammad bin Abu Bakr (محمد بن أبي بكر) adalah anak yang ketiga. Beliau lahir dari rahim Hadhrat Asma binti Umais. Beliau lahir di Dzul hulaifah pada kesempatan Hujjatul Wida’. Beliau dibesarkan dalam pengasuhan Hadhrat Ali (ra) dan Hadhrat Ali (ra) mengangkatnya sebagai gubernur Mesir pada masa kekhalifahan beliau. Beliau terbunuh di sana. Beberapa riwayat menyebutkan namanya diantara para pembunuh Hadhrat ‘Utsman sehingga atas alasan inilah ia dibunuh.[19] Wallahu A’lam.

Keempat, keturunan beliau selanjutnya adalah Hadhrat Asma binti Abu Bakr (ra). Beliau masyhur dengan sebutan Dzatun Nithaqain (ذات النِطاقينِ) yang artinya pemilik dua ikat pinggang). Dari segi usia, beliau lebih tua dari Hadhrat Aisyah. Rasulullah (saw) menganugerahkan beliau sebutan Dzatun Nitaqain karena di peristiwa Hijrah, beliau menyiapkan tempat makanan untuk Rasulullah (saw) dan Ayahanda beliau, namun beliau tidak memiliki apapun untuk mengikatnya. Maka dari itu, beliau (ra) merobek kain ikat pinggang beliau menjadi dua lalu salah satunya dipakainya untuk mengikatnya. Hadhrat Zubair mengikat makanan yang disiapkan tersebut dengan bagian kain ikat pinggang itu dan memberikannya.

Hadhrat Asma menikah dengan Hadhrat Zubair bin Awwam (الزبير بن العوام), dan beliau hijrah ke Madinah saat hamil. Setelah peristiwa hijrah, lahirlah Hadhrat Abdullah bin Zubair, dan ini adalah bayi yang paling pertama lahir setelah peristiwa hijrah. Hadhrat Asma hidup hingga usia 100 tahun. Beliau wafat di Makkah pada tahun 73 Hijriah.[20]

Anak beliau kelima adalah Ummul Mukminin Hadhrat Aisyah binti Abu Bakr (عائشة أم المؤمنين). Beliau adalah istri suci Nabi yang mulia (saw). Beliau adalah sosok paling berilmu dari kalangan wanita. Rasulullah (saw) memberi beliau sebutan Ummu Abdullah. Rasulullah (saw) memiliki teladan kecintaan kepada beliau. Imam asy-Sya’bi (الشعبي) menjelaskan, كان مسروق إذا حدث عن عائشة قال : حدثتني الصديقة بنت الصديق ، حبيبة حبيب الله ، المبرأة من فوق سبع سماوات “Tatkala Masruq meriwayatkan dari Hadhrat Aisyah, ia berkata, ‘Telah meriwayatkan kepada saya ash-Shiddiqah binti ash-Shiddiq yang merupakan kekasih dari kekasih Allah dan Allah Ta’ala sendiri telah menyucikannya (dari tuduhan).’”[21]

Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) wafat pada tahun 57 Hijriah di usia 63 tahun. Menurut riwayat lain, beliau wafat pada tahun 58 Hijriah.

Anak beliau yang keenam adalah Ummu Kultsum binti Abu Bakr (ra). Beliau lahir dari Hadhrat Habibah binti Kharijah Ansariyah. Di waktu menjelang wafat, Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda kepada Hadhrat Aisyah, وَإِنَّمَا هُمَا أَخَوَاكِ وَأُخْتَاكِ فَاقْتَسِمُوهُ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ “Kamu memiliki 2 (dua) saudara dan 2 (dua) saudari.”

Hadhrat Aisyah berkata, يَا أَبَتِ وَاللَّهِ لَوْ كَانَ كَذَا وَكَذَا لَتَرَكْتُهُ إِنَّمَا هِيَ أَسْمَاءُ فَمَنِ الأُخْرَى “Saudari saya, Asma, saya telah mengetahuinya. Namun, siapakah saudari saya yang kedua?”

Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, ذُو بَطْنِ بِنْتِ خَارِجَةَ ‏.‏ أُرَاهَا جَارِيَةً “Ia bayi perempuan yang akan lahir dari putri Kharijah.”[22] (yakni saat itu belum lahir atau dalam kandungan ibunya dan yang akan lahir adalah anak perempuan). Beliau – Hadhrat Abu Bakr (ra) – berkata, قد ألقي في روعي أنها جارية فاستوصي بها خيرا “Di dalam hati, saya telah beranggapan bahwa ia akan melahirkan anak perempuan.” Dan demikianlah yang terjadi.[23] Ummu Kultsum lahir setelah kewafatan Hadhrat Abu Bakr (ra). Ummu Kultsum menikah dengan Hadhrat Talhah bin Ubaidillah yang disyahidkan di Perang Jamal.[24]

Menurut beberapa riwayat, salah satu putri Hadhrat Abu Bakr (ra) menikah dengan Hadhrat Bilal dan diijelaskan juga bahwa putri beliau yang ini berasal dari suami pertama salah satu dari keempat istri beliau [maksudnya dari pernikahan sebelum dengan Hadhrat Abu Bakr (ra)].[25]

Mengenai pengaturan pemerintahan tertera: Tatkala ada suatu perkara yang dihadapi oleh Hadhrat Abu Bakr (ra), lalu bagaimana beliau mengatur jalannya pemerintahan; kemudian jika beliau memerlukan pendapat-pendapat dari para pemberi pendapat; ketika beliau ingin mencari pendapat dari para ahli fiqih, beliau pun memanggil Hadhrat ‘Umar, Hadhrat ‘Utsman, Hadhrat Ali, Hadhrat Abdurrahman bin Auf, Hadhrat Mu’adz bin Jabal, dan Hadhrat Zaid bin Tsabit dari kalangan Muhajirin dan Ansar.[26] Atau terkadang beliau mengumpulkan kalangan muhajirin dan ansar dalam jumlah banyak.

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan kata dalam al-Qur’an yaitu وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ yang artinya ‘dan kamu (satu orang) bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’ [Ali Imran, 3:160] dengan bersabda, “Renungkanlah kata ini. Dari kata ini diketahui bahwa mukhathab (yang ditujukan atau diajak bicara dalam firman ini) adalah satu orang. Artinya, yang mengambil pendapat satu orang, bukan 2 (dua) orang lalu yang dimintakan pendapat berjumlah 3 (tiga) orang atau lebih dari 3 orang. Lalu ia akan merenungkan seluruh pendapat tersebut dan pada akhirnya terdapat perintah فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ yang artinya, ‘Jika telah berketetapan hati akan suatu hal maka sempurnakanlah itu.’ Maksudnya, hendaknya mengambil saran-saran dan setelah mendapatkannya maka pertimbangkanlah lalu amalkanlah dan janganlah menghiraukan siapa pun.”

Kemudian, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis: “Kita mendapati dalam sejarah Islam keteladanan sangat istimewa dalam hal ketetapan hati ini yang tampak di masa Hadhrat Abu Bakr (ra). Tatkala saat itu banyak orang telah mulai murtad, disarankan kepada beliau (ra) agar beliau menunda keberangkatan pasukan di bawah pimpinan Hadhrat Usamah.

Namun beliau memberi jawaban, ‘Saya tidak dapat mengembalikan pasukan yang telah ditetapkan diutus oleh Hadhrat Rasulullah (saw). Putra Abu Quhafah tidak sanggup melakukan hal seperti ini.’ Beliau tetap mengutus pasukan itu. Ada beberapa Sahabat Nabi (saw) yang beliau minta untuk tinggal, diantaranya adalah Hadhrat ‘Umar yang sebelumnya masuk di pasukan ini lalu beliau minta untuk tinggal.”

Kemudian tentang zakat dikatakan bahwa bebaskanlah mereka dari zakat agar mereka terhindar dari kemurtadan. Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab, ‘Jika seutas tali untuk mengikat unta pun telah mereka serahkan kepada Rasulullah (saw), maka ini pun akan saya ambil. Sekali pun kalian semua meninggalkan saya lalu kalian bergabung dengan orang-orang yang murtad dan hewan buas, saya sendiri akan memerangi mereka semua.’ Ini adalah contoh ketetapan hati. Apa yang terjadi selanjutnya Anda mengetahuinya. Ini adalah keteguhan Hadhrat Abu Bakr (ra), tatkala yang lain memberi pendapat-pendapat yang berbeda. Namun, lihat apa yang terjadi. Dari teladan keteguhan yang beliau perlihatkan ini, Allah Ta’ala telah membukakan pintu-pintu kemenangan karena keteguhan beliau. Ingatlah! Tatkala manusia telah takut kepada Tuhan, maka wibawa makhluk mana pun tidak akan berpengaruh padanya.”[27] Inilah hakikat manshab-e-khilafat (kedudukan khilafat). 

Pendirian Baitul Mal. Di masa Rasul termulia (saw) yang penuh berkat, harta yang datang dari bagian ghanimah, khumus, fa’i, zakat, dan lainnya langsung beliau bagikan saat itu juga di hadapan semuanya sembari duduk di masjid. Dalam corak ini dapat disimpulkan bahwa lembaga Baitul Mal telah ada sejak era kenabian. Jelaslah bahwa di era Hadhrat Abu Bakr (ra) – kecuali di beberapa waktu saja – lembaga ini mulai mendapat cukup banyak penerimaan dari ghanimah dan jizyah dikarenakan kemenangan-kemenangan yang diraih. Hadhrat Abu Bakr (ra) merasakan perlunya didirikan satu tempat untuk Baitul Mal, supaya harta yang ada dapat disimpan disana terlebih dahulu sebelum dibagikan atau dipergunakan. Maka dari itu, sesuai dengan saran dari para sahabat terkemuka, beliau mengkhususkan satu tempat untuk ini. Namun Baitul Mal ini hanya sekedar nama saja, karena Hadhrat Abu Bakr (ra) selalu berupaya agar harta itu dibagikan sesuai dengan kepastian berapa jumlah dan jenisnya. Menurut beberapa riwayat, tanggung jawab lembaga Baitul Mal ini ada di pundak Hadhrat Abu Ubaidah.[28]

Di permulaan, Hadhrat Abu Bakr (ra) mendirikan Baitul Mal di lembah Sunh (السُّنْح). Beliau tidak mengangkat satu penjaga untuknya. Sunh berada di sekitar Madinah di jarak kurang lebih 2 mil dari Masjid Nabawi. Pada satu kali ada seseorang bertanya bahwa mengapa beliau tidak mengangkat seseorang untuk menjaga Baitul Mal. Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab, “Satu induk kunci adalah cukup untuk menjaganya” (artinya, cukuplah ia terkunci) karena apapun yang terkumpul di Baitul Mal, beliau lantas membagikannya sehingga di banyak waktunya Baitul Mal adalah kosong atau sama sekali kosong. Lalu tatkala beliau berpindah ke Madinah, beliau memindahkan Baitul Mal di rumahnya. Cara beliau adalah kapan pun harta masuk ke Baitul Mal, beliau langsung membagikannya ke segenap orang hingga Baitul Mal pun menjadi kosong. Beliau memberi sama rata dalam membagikannya. Dari harta inilah beliau (ra) membeli unta, kuda, senjata, dan membagikannya di jalan Allah. Satu saat beliau membeli kain dari seorang Arab Badui lalu membagikannya kepada segenap janda di Madinah.[29] Beliau pasti sering melakukan hal ini. Meski demikian tentang hal ini tertera satu kali di satu riwayat.

Tentang tunjangan yang diperuntukkan bagi Hadhrat Abu Bakr (ra) dari Baitul Mal, tertera bahwa tatkala Hadhrat Abu Bakr (ra) telah terpilih menjadi Khalifah, beliau diberi suatu tunjangan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan beliau. Hadhrat Aisyah menjelaskan: لَمَّا اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ ، قَالَ : لَقَدْ عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لَمْ تَكُنْ تَعْجِزُ عَنْ مَئُونَةِ أَهْلِي ، وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ المُسْلِمِينَ ، فَسَيَأْكُلُ آلُ أَبِي بَكْرٍ مِنْ هَذَا المَالِ ، وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ “Tatkala Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) menjadi Khalifah, beliau bersabda, ‘Kaum saya mengetahui bahwa mata pencaharian saya sebelum ini bukanlah pekerjaan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga saya. Pemasukan saya dulu adalah sedemikian rupa dimana saya dapat menjalani rumah tangga dengan nyaman. Namun kini saya sibuk dalam tugas-tugas kaum Muslimin.’”[30]

Maka dari itu, kini anak dan istri Abu Bakr (ra) akan mendapat makanan dari Baitul Mal dan Hadhrat Abu Bakr (ra) akan mengelola harta Baitul Mal ini dalam perdagangan demi [keuntungan] kaum Muslim, sehingga dengan demikian jumlah harta akan semakin bertambah. Alhasil, kaum Muslimin menetapkan tunjangan hidup sejumlah uang 6.000 dirham per tahun untuk beliau.

Sebagian menuturkan bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) menyetujui jumlah yang secukupnya untuk kebutuhan beliau. Beliau adalah Wali pertama yakni pemimpin suatu pemerintahan pertama, yang mana para warganya sepakat memberikan tunjangan nafkah terhadap beliau.[31]

Di dalam satu riwayat tertera bahwa tatkala Hadhrat Abu Bakr (ra) diangkat sebagai khalifah, suatu hari beliau pergi ke pasar di pagi hari. Di pundak beliau ada kain yang dengannya beliau dahulu biasa berdagang. Hadhrat Abu Bakr (ra) lalu berjumpa dengan Hadhrat ‘Umar ibn al-Khaththab dan Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah. Mereka berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah (saw). Hendak kemanakah Anda?”

Beliau bersabda, “Saya sedang pergi ke pasar.”

Mereka berkata, “Apa yang Hudhur lakukan? Hudhur adalah Wali dalam segenap urusan umat Muslim.”

Beliau bersabda, “Lantas bagaimana saya memberi makan anak dan istri saya?”

Mereka pun menyampaikan bahwa bagian untuk beliau telah ditetapkan.[32]

Maka dari itu, telah dianggarkan 3.000 dirham per tahun sebagai tunjangan untuk beliau. Menurut beberapa riwayat – sebagaimana telah saya sampaikan – ada 6.000 dirham yang telah ditetapkan sebagai tunjangan. Menurut beberapa riwayat lainnya, jumlah untuk seluruh periode kekhalifahan beliau adalah 6.000 dirham. Demikian pula, buku-buku sejarah kurang lebih sepakat bahwa meskipun Hadhrat Abu Bakr mengambil bagian beliau dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan beliau dan keluarga beliau, pada waktu kewafatan beliau mengembalikan seluruh uang tersebut. Maka dari itu, dalam satu riwayat tertera ketika waktu kewafatan beliau telah dekat, beliau mewasiyatkan untuk menjual tanah beliau dan hasilnya dipergunakan untuk membayar jumlah yang telah beliau ambil dari Baitul Mal untuk kebutuhan-kebutuhan pribadi beliau.[33]

Di dalam satu riwayat lain tertera bahwa tatkala waktu kewafatan Hadhrat Abu Bakr (ra) telah dekat, beliau bersabda kepada Hadhrat Aisyah, أما إنا مند ولينا أمر المسلمين لم نأكل لهم دينارا ولا درهما ولكنا قد أكلنا من جريش طعامهم في بطوننا ولبسنا من خشن ثيابهم على ظهورنا وليس عندنا من فئ المسلمين قليل ولا كثير إلا هذا العبد الحبشي وهذا البعير الناضح وجرد هذه القطيفة فإذا مت فابعثي بهن إلى عمر “Semenjak kami menjadi Khalifah, saya tidak pernah menggunakan sepeser pun dinar dan dirham milik kaum Muslim, dan saya senantiasa makan dan mengenakan pakaian sederhana, sementara ganimah milik umat Muslim hanyalah ini yakni hamba sahaya, unta, dan kain-kain. Maka dari itu, serahkanlah semua hal itu kepada ‘Umar setelah kewafatan saya.” Hadhrat Aisyah bersabda, “Ketika kelak Hudhur wafat, saya akan menyerahkan semua itu kepada Hadhrat Umar.” Melihat segenap hal ini Hadhrat ‘Umar pun menangis hingga air mata beliau jatuh ke tanah. Lantas Hadhrat ‘Umar bersabda, رحم الله أبا بكر لقد أتعب من بعده رحم الله أبا بكر لقد أتعب من بعده يا غلام ارفعهن “Semoga Allah mengasihi Abu Bakr (ra). Beliau telah memasukkan orang-orang setelah beliau dalam kesusahan.”[34] 

Tatkala Hadhrat Abu Bakr (ra) wafat, Hadhrat ‘Umar memanggil beberapa sahabat untuk memeriksa Baitul Mal, dan Hadhrat ‘Umar tidak mendapati ada dirham dan dinar di dalamnya.[35] Tidak ada apa pun di dalamnya, semua telah dibagikan. 

Hadhrat ‘Umar melanjutkan lembaga Qada. Meskipun lembaga Qada belum dijalankan secara rutin di masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra), Hadhrat Abu Bakr (ra) telah mengamanatkan tanggung jawab Mahkamah Qada kepada Hadhrat ‘Umar.[36]

Di dalam satu riwayat tertera: Tatkala Hadhrat Abu Bakr (ra) menjadi Khalifah, Hadhrat ‘Umar menyampaikan, “Saya dengan [perkenan] Hudhur, [bersedia] untuk menyelesaikan tugas-tugas peradilan.” Hadhrat ‘Umar menunggu hingga 1 tahun untuk hal ini. Namun di masa ini tidak ada 2 orang pun yang datang untuk urusan Qada ini.[37] Tidak ada perselisihan, pertikaian, serta masalah-masalah lainnya. Jumlah peradilan pun sangat sedikit. Kalau pun ada suatu peradilan, Hadhrat Abu Bakr (ra) sendiri sering meluangkan waktu beliau untuk menyelesaikannya. Saat itu ketua Mahkamah Qada adalah Hadhrat ‘Umar, dan sahabat-sahabat berikut diangkat untuk membantu beliau yaitu: Hadhrat Ali, Hadhrat Mu’adz bin Jabal, Hadhrat Ubay bin Ka’ab, Hadhrat Zaid bin Tsabit, Hadhrat Abdullah bin Mas’ud.[38] 

Hadhrat ‘Umar menerangkan, “Saat itu adalah masa dimana kedamaian dan kejujuran adalah sedemikian tinggi dimana bulan demi bulan berlalu tanpa adanya dua (2) orang yang datang kepada saya untuk memintakan putusan.”[39]

Mengenai Mahkamah Ifta, tertera: Saat itu banyak kabilah-kabilah dan permukiman-permukiman baru yang terus menerima Islam, sehingga keadaan-keadaan ini pun menimbulkan berbagai permasalahan terkait fiqh. Oleh karena itu, Hadhrat Abu Bakr (ra) mencanangkan Lembaga Ifta untuk memberi kemudahan dan bimbingan bagi kaum Muslim awam. Beliau pun mengangkat Hadhrat ‘Umar, Hadhrat Utsman, Hadhrat Ali, Hadhrat Abdurrahman bin Auf, Hadhrat Ubay bin Ka’b, Hadhrat Mu’az bin Jabal, dan Hadhrat Zaid bin Tsabit sebagai pemberi fatwa, karena para sahabat ini lebih unggul dari yang lainnya dalam hal tafaqqahu fiddiin, keilmuan, dan mengambil ijtihad. Menurut satu riwayat, Hadhrat Abdullah bin Mas’ud pun ikut masuk dalam sahabat-sahabat yang memberi fatwa tersebut. Selain mereka, tidak ada lagi yang diizinkan untuk memberikan fatwa.[40]

Seorang sejarawan mengenai tugas pencatatan ini, ia menulis: Di masa kini, seorang katib ‘pencatat’ hendaknya disebut dengan sekretaris pemerintah. Sekretaris di masa Hadhrat Abu Bakr (ra) bertugas mencatat poin-poin rapat. Lembaga Diwan belum berdiri di masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra). Namun, dalam hal pencatatan keputusan-keputusan pemerintahan, penulisan perjanjian-perjanjian, dan tugas pencatatan lainnya, telah ada beberapa orang yang dikhususkan untuk hal ini. Hadhrat Abdullah bin Arqam telah diangkat untuk berkhidmat dalam hal pencatatan sejak masa kenabian. Maka dari itu, di era kekhalifahan Siddiqi pun tugas ini diamanatkan kepada beliau.[41]

Menurut satu riwayat, Hadhrat Zaid bin Tsabit mengemban tugas lembaga pencatatan ini di era kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra), dan terkadang beberapa sahabat lain seperti Hadhrat Ali atau Hadhrat ‘Utsman pun [ikut] mengemban amanat ini.[42]

Lembaga Ketentaraan. Terkait hal ini tertera: Di masa Hadhrat Abu Bakr (ra) tidak ada pengaturan tetap dalam hal kemiliteran. Di saat jihad, setiap Muslim adalah menjadi mujahid. Pembagian pasukan disesuaikan dengan kabilah yang ada. Setiap kabilah memiliki Amir yang berbeda, dan diatas amir-amir itu ada kedudukan Amir tertinggi (Amirul Umara – أمير الأمراء) yang ditemukan dan diadakan oleh Hadhrat Abu Bakr (ra).[43]

Terkait:   Keistimewaan Ali bin Abi Thalib

Untuk menghimpun peralatan-peralatan perang, Hadhrat Abu Bakr (ra) mengupayakan agar dari berbagai penerimaan yang ada, terdapat suatu anggaran terpisah dengan jumlah yang terukur untuk pengeluaran militer dan dengan anggaran ini akan dibeli berbagai senjata serta hewan tunggangan. Kemudian telah dikhususkan beberapa tempat penggembaan untuk perawatan hewan-hewan unta dan kuda untuk jihad.[44]

Seorang sejarawan menulis, “Cara pengaturan kemiliteran Hadhrat Abu Bakr (ra) lebih condong ke metode Arab Beduin yang memang telah biasa dijalankan bahkan sebelum era Rasulullah (saw) di antara para kabilah Arab. Saat itu tidak ada suatu pengaturan kemiliteran tetap dari pihak pemerintah, karena setiap orang biasa menyerahkan dirinya untuk berkhidmat di berbagai pertempuran. Tatkala suatu pertempuran diumumkan, maka kabilah-kabilah pun turun dengan menyandang senjata mereka dan bergerak menghadapi musuh. Kabilah-kabilah tidak lantas melirik ke pemerintah pusat dalam hal sarana transportasi dan persenjataan, tetapi justru mereka mempersiapkan sendiri hal-hal tersebut.

Pemerintah pun saat itu belum memberikan gaji (uang upah) kepada mereka dan mereka menjadikan harta ghanimah (harta rampasan perang) sebagai remunerasi (pemberian upah) atas pengkhidmatan mereka. Sejumlah 4/5 (empat per lima atau 80 persen) bagian dari harta ganimah yang diraih di medan pertempuran dibagikan untuk mereka yang ikut dalam pertempuran, sementara sejumlah 1/5 (satu per lima atau 20 persen) bagian dikirim ke pusat pemerintahan untuk diserahkan ke hadapan Khalifah lalu dikumpulkan di Baitul Mal. Dengan harta khums (seperlimaan dari ghanimah), pengeluaran pemerintahan yang sifatnya tidak besar, dapat terpenuhi. Itu merupakan instruksi yang diberikan dalam perang, kepada para komandannya.”[45]

Berkenaan dengan Hadhrat Abu Bakr (ra) tertulis bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) biasa memberikan instruksi kepada para jenderal dan komandan perang. Ketika berbicara kepada tentara Hadhrat Usamah, Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) bersabda, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، قِفُوا أُوصِكُمْ بِعَشْرٍ فَاحْفَظُوهَا عَنِّي: لا تَخُونُوا وَلا تَغِلُّوا، وَلا تَغْدِرُوا وَلا تُمَثِّلُوا، وَلا تَقْتُلُوا طِفْلا صَغِيرًا، وَلا شَيْخًا كَبِيرًا وَلا امْرَأَةً، وَلا تَعْقِرُوا نَخْلا وَلا تُحَرِّقُوهُ، وَلا تَقْطَعُوا شَجَرَةً مُثْمِرَةً، وَلا تَذْبَحُوا شَاةً وَلا بَقَرَةً وَلا بَعِيرًا إِلا لِمَأْكَلَةٍ، وَسَوْفَ تَمُرُّونَ بِأَقْوَامٍ قَدْ فَرَّغُوا أَنْفُسَهُمْ فِي الصَّوَامِعِ، فَدَعُوهُمْ وَمَا فَرَّغُوا أَنْفُسَهُمْ لَهُ، وَسَوْفَ تَقْدَمُونَ عَلَى قَوْمٍ يَأْتُونَكُمْ بِآنِيَةٍ فِيهَا أَلْوَانُ الطَّعَامِ، فَإِذَا أَكَلْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا بَعْدَ شَيْءٍ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا وَتَلْقَوْنَ أَقْوَامًا قَدْ فَحَصُوا أَوْسَاطَ رُءُوسِهِمْ وَتَرَكُوا حَوْلَهَا مِثْلَ الْعَصَائِبِ، فَاخْفِقُوهُمْ بِالسَّيْفِ خَفْقًا انْدَفِعُوا باسم الله، أفناكم اللَّهُ بِالطَّعْنِ وَالطَّاعُونِ. “Saya nasihatkan 10 (sepuluh) hal kepada kalian. Janganlah kalian berkhianat, jangan mengambil ghanimah sebelum dibagi, jangan melanggar janji, jangan memutilasi (memotong-motong badan musuh), serta jangan membunuh anak kecil atau orang lanjut usia, maupun perempuan. Jangan pula kalian merusak dan membakar pohon kurma, janganlah kalian menyembelih hewan kecuali untuk dimakan. Kalian akan melewati suatu kaum yang berdiam di biara-biara, biarkan mereka. Kalian akan melewati suatu kaum yang menyuguhkan makanan dalam berbagai wadah, makanlah itu dengan menyebut nama Allah. Kalian juga akan menemukan yang tidak menyisakan rambut pada bagian tengahnya dan meninggalkan rambutnya seperti empat helai, maka perangilah mereka karena mereka memprovokasi untuk menentang umat Islam. Berangkatlah dengan menyebut nama Allah Semoga Allah Ta’ala melindungi kalian dari berbagai luka, penyakit dan wabah thaun.”[46]

Demikian pula, Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda saat mengutus Hadhrat Yazid bin Abu Sufyan untuk berperang di Suriah. Saya telah menyampaikannya pada beberapa khotbah saya sebelumnya. saya akan sampaikan lagi dengan menggarisbawahi beberapa poin pentingnya. Ini adalah poin penting untuk diingat oleh para pengurus Jemaat. Beliau bersabda: إني قد ولّيتك لأبلوك وأجرّبك وأخرجك، فإن أحسنت رددتك إلى عملك وزدتك، وإن أسأت عزلتك، فعليك بتقوى الله فإنه يرى من باطنك مثل الذي من ظاهرك، وإن أولى الناس بالله أشدهم توليًا له، وأقرب الناس من الله أشدهم تقربًا إليه بعمله، وقد وليتك عمل خالد فإياك وعبية الجاهلية، فإن الله يبغضها ويبغض أهلها، وإذا قدمت على جندك فأحسن صحبتهم وابدأهم بالخير وعدهم إياه، وإذا وعظتهم فأوجز فإن كثير الكلام ينسي بعضه بعضاً، وأصلح نفسك يصلح لك الناس، وصل الصوات لأوقاتها بإتمام ركوعها وسجودها والتخشع فيها، وإذا قدم عليك رسل عدوك فأكرمهم وأقلل لبثهم حتى يخرجوا من عسكرك وهم جاهلون به ولا ترينهم فيروا خللك ويعلموا علمك، وأنزلهم في ثروة عسكرك، وامنع من قبلك من محادثتهم، وكن أنت المتولي لكلامهم، ولا تجعل سرك لعلانيتك فيخلط أمرك، وإذا استشرت فاصدق الحديث تصدق المشورة، ولا تخزن عن المشير خبرك فتؤتى من قبل نفسك، واسمر بالليل في أصحابك تأتك الأخبار وتنكشف عندك الأستار، وأكثر حرسك وبددهم في عسكرك، وأكثر مفاجأتهم في محارسهم بغير علم منهم بك، فمن وجدته غفل عن محرسه فأحسن أدبه وعاقبه في غير إفراط، وأعقب بينهم بالليل، واجعل النوبة الأولى أطول من الأخيرة فإنها أيسرهما لقربها من النهار، ولا تخف من عقوبة المستحق، ولا تلجن فيها، ولا تسرع إليها، ولا تخذلها مدفعاً، ولا تغفل عن أهل عسكرك فتفسده، ولا تجسس عليهم فتفضحهم، ولا تكشف الناس عن أسرارهم، واكتف بعلانيتهم، ولا تجالس العباثين، وجالس أهل الصدق والوفاء، واصدق اللقاء، ولا تجبن فيجبن الناس، واجتنب الغلول فإنه يقرب الفقر ويدفع النصر، وستجدون أقواماً حبسوا أنفسهم في الصوامع فدعهم وما حبسوا أنفسهم له “Saya mengangkat Anda sebagai Wali (Amir atau gubernur) supaya saya dapat menguji dan menilai Anda serta saya dapat mendidik dan melatih Anda dengan mengirim Anda keluar bertugas. Jika Anda menjalani segenap kewajiban Anda dengan baik, saya akan kembali mengangkat Anda pada tugas ini dan akan menaikkan jabatan Anda. Tapi jika Anda melakukan kelemahan, saya akan memakzulkan (memberhentikan) Anda dari jabatan.

Peganglah ketakwaan kepada Allah. Dia melihat batiniah [hal tersembunyi] Anda seperti halnya Dia melihat lahiriah (hal-hal yang keliatan) dari Anda. Diantara segenap manusia, yang paling dekat dengan Allah adalah mereka yang paling memenuhi hak persahabatan dengan Allah. Yang paling dekat kepada Allah diantara manusia adalah orang yang melalui amalannya ia menjadi yang paling dekat dengan-Nya.

Menghindarlah dari kebodohan dan kebencian. Allah sangat membenci hal-hal ini dan mereka yang melakukannya.

Perlakukanlah para laskar dengan baik. Hadapilah mereka dengan baik.

Kemudian, ketika Anda menasihati mereka, sampaikanlah dengan singkat, karena pembahasan panjang akan melupakan banyak hal.

Perbaikilah diri Anda sendiri niscaya segenap orang akan menjadi baik demi Anda.” (Maksudnya, jika Anda (atau seorang pemimpin) menjadikan dirinya sendiri baik maka segenap orang dengan sendirinya akan menjadi baik.)

“Dan dirikanlah shalat-shalat pada waktunya dan sempurnakanlah ruku dan sujudnya.” Disiplin dalam shalat sangatlah penting.

“Tatkala para utusan musuh datang kepada Anda, perlakukanlah mereka dengan terhormat dan santun. Persingkatlah berbicara dengan mereka hingga mereka pergi dari pasukan Anda dan mereka tidak tahu apa-apa tentangnya.” (Jangan biarkan mereka tinggal lama di tempat kita dan buatlah agar segera ia keluar dari pasukan kita supaya ia tidak dapat mengetahui ihwal pasukan.) “Dan janganlah Anda beritakan kegiatan Anda kepada mereka (para utusan musuh) dan berikanlah pada mereka perkataan-perkataan ringkas – dan cegahlah orang-orang Anda berbicara dengan mereka.” Artinya, jangan biarkan duta atau utusan pihak musuh bertemu dengan siapa saja yang mereka inginkan dari kalangan kita dan pergi ke mana pun mereka mau di lingkungan kita, melainkan mereka harus bertemu dengan yang bersangkutan saja dan tidak menyusup ke masyarakat kita sekehendaknya.

“Jadilah Anda orang yang bertanggungjawab untuk berhati-hati atau sangat jeli lagi waspada dalam berbicara dengan mereka (para utusan musuh). Jika Anda sendiri berbicara dengan mereka, jangan ungkapkan rahasia-rahasia Anda.” Dalam kata lain, orang-orang kita yang mereka temui pun harus hati-hati berbicara.

Kemudian, beliau (ra) bersabda mengenai meminta musyawarah (saran), “Bilamana Anda meminta musyawarah dari seseorang, katakanlah dengan jujur apa adanya secara tulus ikhlas, dengan begitu Anda akan mendapat saran yang tepat. Beritahukan pada mereka secara rinci, baru kemudian meminta musyawarah. Janganlah menyembunyikan perkara-perkara yang Anda ketahui dari para penasihat, karena hal ini akan membawa kerugian pada Anda sendiri atas kesalahan Anda sendiri.”

Selanjutnya, mengenai bagaimana para pengurus, para komandan atau para pemimpin menyerap sebanyak mungkin berita terkini setiap hari, beliau bersabda, “Berbincanglah dengan para sahabat Anda – yang pilihan – di waktu malam, maka Anda akan mendapatkan banyak berita dan himpunlah sebanyak mungkin informasi maka hal-hal yang tersembunyi akan terungkap pada Anda.

Adakanlah sebanyak mungkin inspeksi secara mendadak (tanpa pemberitahuan) ke pos-pos penjagaan mereka (para prajurit Anda).” (Pengawasan ialah hal yang penting juga) “Dimana saja Anda mendapati mereka lalai dalam tugasnya, nasehatilah (perbaikilah) mereka dengan sebaik-baiknya.

Janganlah tergesa-gesa dalam menghukum, namun jangan juga mengabaikannya sama sekali. Janganlah lalai (tidak peduli) akan prajuritmu, sehingga mereka menjadi rusak.” (Kedua segi ini sama-sama pentingnya; seseorang tidak boleh tergesa-gesa menghukum atau mengeluarkan sebuah keputusan dan tidak boleh juga sama sekali tidak peduli dan tidak berbuat apa-apa)

Janganlah merendahkan mereka (para prajuritmu) dengan mencari-cari aib (memata-matai) mereka. (tiap saat mencari-cari kelemahan mereka mengarahkan pada mempermalukan mereka) Janganlah menceritakan hal-hal rahasia mereka kepada orang lain. Cukuplah dengan apa yang terlihat ada pada mereka.” (Apa saja berita rahasia yang kau terima tentang mereka (para prajurit bawahan engkau, janganlah engkau siarkan kepada orang lain)

Janganlah duduk dengan orang-orang yang sia-sia. Duduklah bersama orang-orang yang benar dan setia.

Bersikaplah berani saat berhadapan dengan musuh. Jangan bersikap takut, karena jika Anda takut maka orang-orang [Anda] pun akan menjadi takut.

Hindarilah berkhianat (tidak jujur atau korupsi) dalam hal pembagian harta ghanimah, karena ini mendekatkan pada kemiskinan, menunda pertolongan dan kemenangan.”[47]

Ini banyak hal yang telah saya sampaikan, beberapa di antaranya juga diperlukan selain untuk para pemimpin, para perwira militer dan komandan, seperti yang saya katakan sebelumnya, penting juga bagi para pengurus kita, dengan begitu dalam tugas-tugas akan meraih keberkatan. Saya telah sampaikan ringkasan ini dan pernah disampaikan juga sebelumnya untuk menjadi perhatian para pengurus jemaat.

Berkenaan dengan pembagian pemerintahan Islam menjadi beberapa negara bagian tertulis bahwa pada masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra), pemerintahan Islam dibagi menjadi beberapa negara bagian. Beliau menunjuk para Amir dan Gubernur di setiap negara bagian tersebut. Madinah adalah ibu kotanya. Hadhrat Abu Bakr (ra) berdomisili di Madinah sebagai Khalifah.[48]

 Berkenaan dengan metode (tata cara) pengangkatan para pejabat, Hadhrat Abu Bakr (ra) selalu mengikuti Sunnah Rasul yang mulia (saw) saat mengangkat seorang gubernur di suatu negara bagian yakni jika terdapat individu yang saleh dalam suatu negara bagian, beliau akan mengangkat gubernur dari antara mereka. Seperti itulah beliau mengangkat seorang gubernur di Taif dan beberapa suku lain, dan ketika beliau menunjuk seseorang sebagai gubernur, beliau akan memintanya untuk menulis surat perjanjian atas daerah itu dan sering menentukan cara untuk mencapai daerah itu untuknya dan di dalamnya beliau biasa menyebutkan tempat-tempat yang harus mereka lewati. Khususnya jika penunjukan itu menyangkut daerah-daerah yang belum ditaklukkan dan berada di luar kendali Khilafah Islamiyah. Dalam penaklukan Suriah dan Irak dan perang melawan orang-orang murtad, hal-hal ini cukup menonjol dan terkadang beliau menggabungkan beberapa negara bagian dengan yang lain, terutama setelah memerangi para murtadin. Sebagaimana Hadhrat Ziyad bin Labid, yang merupakan gubernur Hadramaut, memasukkan Kindah di bawah pengawasannya dan setelah itu beliau menjadi gubernur Hadhramaut dan Kindah.[49]

Pada masa Hadhrat Abu Bakr (ra), pengangkatan para pejabat pun memprioritaskan mereka yang lebih dulu masuk Islam dan seseorang yang telah mendapatkan tarbiyat dari Rasulullah (saw), yang telah bergaul dengan Nabi (saw). Dalam hal ini standar beliau adalah orang yang ditunjuk oleh Rasul yang mulia (saw) untuk tugas itu, Hadhrat Abu Bakr (ra) tidak akan pernah mengubahnya. Misalnya, Hadhrat Rasulullah (saw) telah menetapkan Hadhrat Usamah sebagai komandan laskar. Belakangan, beberapa orang menyarankan untuk menunjuk seorang Sahabat senior untuk jabatan tersebut dengan memperhatikan sisi baiknya, namun Hadhrat Abu Bakr (ra) tetap mempertahankan Hadhrat Usamah.

Demikian pula, beliau biasa melihat siapa yang menerima lebih banyak limpahan keberkatan dari Rasul yang mulia (saw). Inilah sebabnya mengapa beliau sering mempercayakan berbagai tanggungjawab kepada mereka yang telah masuk Islam sebelum Fath Makkah. Dalam hal ini, beliau tidak pernah menganut sikap tribalisme (karena kesamaan suku atau bangsa) atau nepotisme (karena kesamaan asal keluarga). Sebagai buah dari prinsip yang ketat dan standar yang tinggi inilah para pejabat dan amir yang ditunjuk oleh beliau selalu mengerahkan segenap kapasitas mereka untuk mengkhidmati Islam dan umat Muslim.[50]

Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) juga menghormati pendapat masyarakat setempat dalam pengangkatan pejabat, sebagaimana Hadhrat ‘Alaa bin al-Hadhrami adalah gubernur Bahrain pada masa Nabi (saw), kemudian dikirim ke tempat lain karena suatu alasan. Selama kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra), orang-orang Bahrain meminta Hadhrat Abu Bakr (ra) untuk mengirim Hadhrat Alaa kembali kepada mereka, untuk itu Hadhrat Abu Bakr (ra) mengangkat Hadhrat ‘Alaa bin al-Hadhrami sebagai gubernur Bahrain dan mengembalikannya kepada mereka.[51]

Hadhrat Abu Bakr (ra) juga memberikan instruksi kepada para Amil (pejabat pemungut zakat dan lain-lain). Tertulis tentang hal ini bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) sendiri biasa memberikan instruksi pada kesempatan pengangkatan pejabat, sebagaimana dalam Tarikh al-Thabari beliau bersabda ketika menasihati Amru bin al-‘Ash dan Walid bin Uqbah: اتَّقِ اللَّهَ فِي السِّرِّ وَالْعَلانِيَةِ، فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ، وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْراً فَإِنَّ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرُ مَا تَوَاصَى بِهِ عِبَادُ اللَّهِ، إِنَّكَ فِي سَبِيلٍ مِنْ سُبُلِ اللَّهِ، لا يَسَعُكَ فِيهِ الإِذْهَانُ وَالتَّفْرِيطُ وَالْغَفْلَةُ عَمَّا فِيهِ قَوَامُ دِينِكُمْ، وَعِصْمَةُ أَمْرِكُمْ، فَلا تَنِ وَلا تَفْتُرْ وَكَتَبَ إِلَيْهِمَا: اسْتَخْلِفَا عَلَى أَعْمَالِكُمَا، وَانْدُبَا مَنْ يَلِيكُمَا “Takutlah kepada Allah baik batin maupun lahir [baik tidak terlihat maupun terlihat orang]. Siapa yang takut kepada Allah, Dia akan menciptakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari sumber yang tidak dia sangka-sangka. Siapa bertakwa, maka akan diampuni dosa-dosanya, artinya Allah mengampuni dosa-dosanya dan memberinya pahala yang berlipat. Menempuh ketakwaan kepada Allah adalah yang terbaik dari semua yang mana hamba Tuhan saling menasihati satu sama lain. Kalian sedang menempuh salah satu jalan Tuhan, untuk itu mengabaikan apa yang diperlukan untuk kekuatan agama Anda dan keamanan pemerintahan adalah kejahatan yang tidak termaafkan. Jadi, tidak boleh ada kemalasan dan kelalaian di pihak kalian.”[52]

Hadhrat Al-Mustaurid bin Syaddad (الْمُسْتَوْرِدِ بْنِ شَدَّادٍ) meriwayatkan, سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ كَانَ لَنَا عَامِلًا فَلْيَكْتَسِبْ زَوْجَةً فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَكْتَسِبْ خَادِمًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَسْكَنٌ فَلْيَكْتَسِبْ مَسْكَنًا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ أُخْبِرْتُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اتَّخَذَ غَيْرَ ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ “Saya mendengar Nabi (saw) bersabda, ‘Siapa pun yang diangkat sebagai pejabat kami maka ia boleh membawa istri dan memperoleh nafkah untuknya, apabila dia tidak memiliki pembantu maka boleh dia mendapat pembantu, dan apabila ia tidak memiliki tempat tinggal maka boleh dia memperoleh (sekadar untuk) tempat tinggal baginya.’” Al-Mustaurid berkata, “Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, ‘Siapa yang mengambil selain hal-hal tersebut maka dia adalah pengkhianat atau dikatakan juga pencuri (koruptor).’”[53]

Bagaimana dalam memberikan penilaian terhadap para pejabat? Hadhrat Abu Bakr (ra) biasa memperhatikan setiap gerak-gerik para pejabat, karena mereka telah mendapatkan keberkatan dari pergaulan dengan Rasul yang mulia (saw), sehingga tidak seperti Hadhrat ‘Umar, Hadhrat Abu Bakr (ra) biasa memaafkan kesilapan kecil yang terkadang mereka lakukan. (Tarikh Tabari). Beliau biasa mengawasi apa yang mereka lakukan, namun sering mengabaikan hal-hal kecil.

Disebutkan dalam riwayat ath-Thabari bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) tidak memenjarakan para pejabat dan anak buahnya, tetapi ketika seseorang melakukan kesalahan serius, beliau akan memberinya peringatan yang tepat, tidak peduli seberapa tinggi kedudukannya. Ketika beliau mengetahui tentang Hadhrat Muhajir bin Umayyah (ra) bahwa dia telah membuat tanggal gigi seorang wanita yang mengolok-olok seorang Muslim, beliau segera menulis surat teguran kepada Hadhrat Muhajir bin Umayyah (ra). Bahkan, jika beliau mengetahui Hadhrat Khalid bin Walid melakukan kesalahan, beliau pun tidak akan ragu untuk menegurnya.[54]

Tertulis berkenaan dengan tanggung jawab para Amir dan gubernur bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) telah memberikan tanggung jawab dan tugas yang berbeda kepada para gubernur dan Amir yang ditunjuk di berbagai wilayah, kota dan kota kecil.

Para Amir dan wakil mereka juga memiliki tanggung jawab mengurusi keuangan. Mereka biasa mengumpulkan zakat dari orang kaya di daerah mereka dan membagikannya kepada orang miskin juga memungut jizyah dari non-Muslim dan menyimpannya di Baitul Mal. Tanggung jawab ini sudah bermula sejak zaman Nabi (saw).

Perjanjian yang dibuat pada masa pemerintahan Rasul yang mulia (saw) diperbarui. Wali (gubernur wilayah) Najran memperbarui perjanjian antara Nabi dan penduduk Najran karena orang-orang Nasrani Najran menuntutnya.

Para Amir berperan aktif dalam memberikan pendidikan agama kepada masyarakat di daerahnya masing-masing serta dalam berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Kebanyakan dari mereka biasa membentuk lingkaran di masjid-masjid dan mengajari orang-orang Al-Qur’an dan hukum islam dan adab. Mereka mengamalkan sepenuhnya sunnah Rasulullah (saw). Tanggung jawab ini dianggap paling penting di mata Rasul yang mulia (saw) dan khalifahnya, Hadhrat Abu Bakr (ra). Itulah sebabnya para Amir dan gubernur Hadhrat Abu Bakr (ra) menjalankan tanggung jawab ini dengan baik dan melakukannya dengan baik.

Terkait:   Jalsah Jerman 2023: Cara Terbaik Merayakan 100 Tahun Jemaat Jerman

Bahkan, seorang sejarawan menulis tentang seorang Amir bernama Ziyad Bin Labid yang ditunjuk Hadhrat Abu Bakr (ra) bahwa ketika pagi tiba, Ziyad biasa mengajarkan Al-Qur’an kepada banyak orang, sebagaimana ia dahulu biasa mengajar Quran sebelum menjadi Amir. Demikian pula melalui pendidikan dan pelatihan, para Amir ini memainkan peran yang sangat penting dalam menyebarkan Islam di daerah mereka. Berkat pendidikan ini, Islam menjadi lebih kuat di daerah-daerah yang ditaklukkan dan di daerah-daerah yang banyak orang-orang murtad dan pemberontak. Di daerah-daerah di mana penduduknya banyak yang mualaf dan tidak mengetahui hokum-hukum agama, pendidikan ini memberikan hasil yang signifikan di daerah-daerah ini, sementara di pusat-pusat Islam yang kuat seperti Makkah, Taif, dan Madinah, guru-guru seperti itu ditunjuk untuk mengajar orang-orang. Mereka biasa menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. Semua ini dilakukan atas perintah khalifah atau amirnya atau mereka yang secara khusus ditunjuk oleh khalifah untuk mengadakan program pendidikan di berbagai daerah.

Amir atau Gubernur daerah bertanggung jawab langsung atas urusan pemerintahan provinsinya. Jika ia harus melakukan perjalanan, ia akan menunjuk wakilnya yang akan mengawasi urusan administrasi sampai dia kembali. Contohnya, Hadhrat Muhajir bin Abi Umayyah diangkat sebagai gubernur Kindah oleh Rasul yang mulia (saw). Sepeninggal beliau (saw) pun Hadhrat Abu Bakr (ra) tetap mempertahankannya di posisi yang sama. Hadhrat Muhajir tidak bisa pergi ke Yaman karena sakit sehingga terpaksa tinggal sementara di Madinah lalu mengirim Ziyad bin Labaid untuk menggantikan beliau hingga beliau sembuh dan kembali ke Yaman. Hadhrat Abu Bakr (ra) juga mengizinkannya. Demikian pula, selama melaksanakan tugas sebagai gubernur di Irak, Hadhrat Khalid bin Walid biasa menunjuk wakilnya sampai beliau kembali ke Hira.[55]

Topik ini masih akan berlanjut nanti, insya Allah.[56]

Khotbah II

الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


[1] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 3 صفحه : 428), pemilihan ‘Umar (ذكر استخلافه عمر بن الخطاب وعقد أبو بكر في مرضته التي توفي فيها لعمر بْن الخطاب عقد الخلافة من بعده).

[2] Ibnu al-Atsir dalam Al-Kamil Fi Al-Tarikh, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003], pp. 272-273. (الکامل فی التاریخ لابن اثیر جلد 2 صفحہ 272 تا 273دارالکتب العلمیۃ بیروت لبنان2003ء); Tarikh ath-Thabari (تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 3 صفحه : 428), pemilihan ‘Umar (ذكر استخلافه عمر بن الخطاب وعقد أبو بكر في مرضته التي توفي فيها لعمر بْن الخطاب عقد الخلافة من بعده).

[3] Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra) dalam karyanya, Khilafat Rasyidah, Anwar-ul-Ulum, Vol. 15, pp. 484-483 (ماخوذ از خلافت راشدہ، انوار العلوم جلد 15صفحہ483-484). Merujuk pada kitab sejarah karya Ibnu al-Atsir berjudul Tarikh al-Kamil. Al-Kamil fit Tarikh, Vol. 2, p. 425, by ‘Izzuddin Abul Hasan Ali bin Abul Karam Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdul Wahid Ash-shibani, known as Ibnil Athir, publisher Daru Sadir, Dar Beirut,AH 1385, AD 1965.

[4] Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra) dalam karyanya, Khilafat Rasyidah Anwar-ul-Ulum, Vol. 15, p. 555 pada bahasan Why did Hadrat Abu Bakr ra Nominate Hadrat Umar ra? (خلافت راشدہ ، انوار العلوم جلد 15 صفحہ 555)

[5] Tarikhul Umam Wal Muluuk (تاريخ الأمم والملوك) atau Tarikh ar-Rusul wal Muluuk (تاريخ الرسل والملوك) karya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (محمد بن جرير الطبري أبو جعفر), berita tentang apa yang terjadi pada tahun ke-13 (سنة ثلاث عشرة (ذكر الخبر عما كَانَ فِيهَا من الأحداث), bahasan (ذكر مرض ابى بكر ووفاته), jilid ke-2 halaman 348 terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Lebanon (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ348دارالکتب العلمیۃ بیروت لبنان 2012ء).

[6] Tarikhul Umam Wal Muluuk (تاريخ الأمم والملوك) atau Tarikh ar-Rusul wal Muluuk (تاريخ الرسل والملوك) karya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (محمد بن جرير الطبري أبو جعفر), berita tentang apa yang terjadi pada tahun ke-13 (سنة ثلاث عشرة (ذكر الخبر عما كَانَ فِيهَا من الأحداث), bahasan (ذكر مرض ابى بكر ووفاته) jilid ke-2 halaman 347 terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Lebanon, 2012 (تاریخ الطبری جلد 2 صفحہ347دارالکتب العلمیۃ بیروت لبنان 2012ء).

[7] Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqaat al-Kubra, jilid ke-3 halaman 148, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Lebanon, 2012 (الطبقات الکبریٰ لابن سعد المجلد الثالث صفحہ 148’ابوبکر الصدیق‘ذکر وصیۃ ابی بکر ۔دارالکتب العلمیۃ بیروت 2012ء); Hilyatul Auliya (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء » المهاجرون من الصحابة » أبو بكر الصديق » كلمات مأثورة عنه).

[8] Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqaat al-Kubra, jilid ke-3 halaman 151, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Lebanon, 2012 (ماخوذ از الطبقات الکبریٰ لابن سعد المجلد الثالث صفحہ 151’ابوبکر الصدیق‘ذکر وصیۃ ابی بکر ۔دارالکتب العلمیۃ بیروت 2012ء)

[9] Tarikhul Umam Wal Muluuk (تاريخ الأمم والملوك) atau Tarikh ar-Rusul wal Muluuk (تاريخ الرسل والملوك) karya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (محمد بن جرير الطبري أبو جعفر), berita tentang apa yang terjadi pada tahun ke-13 (سنة ثلاث عشرة (ذكر الخبر عما كَانَ فِيهَا من الأحداث), bahasan (ذكر الخبر عمن غسله والكفن الذي كفن فيه أبو بكر ومن صلى عليه والوقت الذي صلى عليه فيه والوقت الذي توفي فيه ). Muhammad Husain Haikal dalam Abu Bakr ash-Shiddiq, halaman 478, Islami Kutub Khanah, Lahore-Pakistan (ابوبکر الصدیق از محمد حسین ہیکل صفحہ 478 اسلامی کتب خانہ لاہور).

[10] Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqaat al-Kubra, jilid ke-3 halaman 158, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Lebanon, 1990 (طبقات الکبریٰ جلد 3 صفحہ 158 دار الکتب العلمیۃ بیروت 1990ء)

[11] Al-Mustadrak karya Hakim Naisaburi, juz ke-3, h. 66, Hadits 4409, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Lebanon, 2002 (مستدرک حاکم ، الجزء الثالث صفحہ66 حدیث نمبر 4409 دار الکتب العلمیۃ بیروت 2002ء).

[12] Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqaat al-Kubra, jilid ke-3 halaman 156, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Lebanon, 1990 (الطبقات الکبریٰ جلد 3 صفحہ 156 دارالکتب العلمیۃ بیروت 1990ء).

[13] Al-Mustadrak karya Hakim Naisaburi, juz ke-3, h. 66, Hadits 4410, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Lebanon, 2002 (مستدرک حاکم ، الجزء الثالث صفحہ 66 حدیث نمبر 4410 دار الکتب العلمیۃ بیروت 2002ء)

[14] Sirat Syedna Siddiq Akbar (ra), Ustad Umar Abu Al-Nasr, p. 726, Mushtaq Book Corner, Urdu Bazaar, Lahore (سیرت سیدنا صدیق اکبرؓ از عمر ابو النصر (مترجم) صفحہ726مشتاق بک کارنر لاہور)

[15] Musnad Ahmad ibnu Hanbal, Musnad Abi Bakr, jilid 1, halaman 88, riwayat 45, ‘Alamul Kutub, 1998 (مسند احمد بن حنبل جلد 1 صفحہ88 مسند ابی بکر الصدیق حدیث 45۔ عالم الکتب بیروت 1998ء).

[16] Sirat Khulafa-e-Rasyidin, Muhammad Ilyas ‘Adil, p. 152, Mushtaq Book Corner, Urdu Bazaar, Lahore (سیرت خلفائے راشدین از محمد الیاس عادل صفحہ 152 مشتاق بک کارنر لاہور)

[17] Muhammad Husain Haikal dalam Abu Bakr ash-Shiddiq, halaman 475, Islami Kutub Khanah, Lahore-Pakistan (ابوبکر الصدیق از محمد حسین ہیکل صفحہ 475 اسلامی کتب خانہ لاہور).

[18] Ath-Thabaqaat al-Kubra (نام کتاب : الطبقات الكبرى – ط دار صادر نویسنده : ابن سعد جلد : 8 صفحه : 252).

[19] Muhammad bin Abu Bakr dibunuh oleh para perwira Amir Mu’awiyah dengan dipimpin Mu’awiyah bin Hudaij. Peristiwa ini terjadi di masa akhir Khilafat Hadhrat ‘Ali (ra). Muhammad diutus oleh Hadhrat ‘Ali (ra) untuk menjadi Amir (gubernur) di Mesir di pihak Hadhrat ‘Ali (ra). Pihak-pihak yang menolak baiat tunduk kepada Khalifah ‘Ali (ra) yaitu di bawah pimpinan Amir Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang semenjak akhir jaman Khalifah ‘Umar (ra) telah memimpin Syam dan sebagian Mesir mencegat Muhammad agar tidak masuk Mesir. Pihak-pihak yang menolak baiat kepada Khalifah ‘Ali (ra) beralasan Khalifah ‘Ali (ra) tidak menegakkan hukum qishash kepada para komplotan pemberontak dan pembunuh Khalifah sebelumnya, Hadhrat ‘Utsman bin ‘Affan (ra), malahan beberapa komplotan tersebut menjadi pejabat bawahan Khalifah ‘Ali (ra), contohnya Muhammad bin Abu Bakr dan Malik al-Asytar. Dalam beberapa riwayat Muhammad bin Abu Bakr ikut serta dalam gerakan pemberontakan terhadap Khalifah ‘Utsman (ra). Ia termasuk dari beberapa orang yang ikut masuk ke rumah dan kamar Khalifah dan sempat menganiaya beliau, meski kemudian setelah dinasehati Khalifah, ia menyesal dan keluar dari kamar beliau.

[20] Kitab sejarah ath-Thabaqaat ibnu Sa’d menyebutkan bahwa putra-putri Hadhrat Asma dengan Hadhrat Zubair bin Awwam ialah ‘Abdullah bin Zubair, al-Mundzir bin Zubair dan Urwah bin Zubair, ‘Ashim bin Zubair, al-Muhajir bin Zubair, Khadijah binti Zubair, Ummul Hasan binti Zubair dan ‘Aisyah binti Zubair. Hadhrat Asma dengan Hadhrat Zubair menikah di jaman Nabi (saw) masih di Makkah. Menurut riwayat saat itu Hadhrat Zubair belum berharta. beliau mulai berharta dan kaya raya setelah jaman Madinah. Sekitar tahun ke-29 Hijriyah di jaman Khalifah ‘Utsman, setelah selama 29 tahun Asma mendampinginya, Az Zubair menceraikan ‘Asma. Asma tinggal di Makkah bersama ‘Abdullah bin Zubair, putranya.

[21] Al-Bidayah wan Nihayah (البداية والنهاية » ثم دخلت سنة ثمان وخمسين » وممن توفي في هذه السنة أم المؤمنين عائشة بنت أبي بكر الصديق)

[22] Muwatta Malik (موطأ مالك) bahasan kitab tentang pengadilan (كتاب الأقضية). Tercantum juga dalam Syarh Ushul Aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah (شرح أصول اعتقاد أهل السنة و الجماعة للالكائي سياق ما روي عن الصحابة في إكرام الله عز وجل إياهم حديث رقم 2389)

[23] Kitab sejarah ath-Thabaqaat al-Kubra kaya ibnu Sa’d (الطبقات الكبرى – محمد بن سعد – ج ٣ – الصفحة ١٩٥). Imam as-Suyuthi (السيوطي) dalam karyanya Tarikh al-Khulafa (كتاب تاريخ الخلفاء), bahasan Khalifah pertama (الخلفاء الراشدون الخليفة الأول: ابو بكر الصديق رضي الله عنه).

[24] Muhammad al-Salabi, Sayyiduna Abu Bakr Siddiqra Shakhsiyyat aur Karname [Khan Garh, Pakistan: Al-Furqan Trust], pp. 48-52. (ماخوذازسیدنا ابوبکرؓ شخصیت اور کارنامے از ڈاکٹر صلابی مترجم صفحہ 48تا 52، الفرقان ٹرسٹ خان گڑھ ضلع مظفر گڑھ پاکستان); Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Vol. 8, [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001] pp. 87 and 99. (البدایۃ والنہایۃ جلد 8 صفحہ 99، 58ھ، ممن توفی فی ہذہ السنۃ، دار الکتب العلمیۃ بیروت 2001ء); Usd al-Ghabah fi Ma’rifat al-Sahabah, Vol. 5, [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah], 97. (اسد الغابہ جلد 5 صفحہ 98 دار الکتب العلمیۃ بیروت); Al-Ishabah, Vol. 8, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, p. 392 (اصابہ جلد 8 صفحہ 392 دار الکتب العلمیۃ بیروت).

[25] Umar Abu Al-Nasr, Sirat Syedna Siddiq-e-Akbar, Mushtaq Book Corner, Lahore, p. 647 (سیرت سیدناصدیق اکبرؓ ، از عمر ابو النصر (مترجم) صفحہ647 مشتاق بک کارنر لاہور).

[26] Ibn Sa’d, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2012], p. 267.

[27] Mansab-e-Khilafat, Anwar-ul-Ulum, Vol. 2, p. 58 (ماخوذ از منصب خلافت ،انوار العلوم جلد2صفحہ58).

[28] Bashir Sajid, Ashra Mubashra, [Lahore: Al-Badr Publications, 2000], p. 181 (عشرہ مبشرہ از بشیر ساجد صفحہ 181 البدر پبلیکیشنز لاہور 2000ء).

[29] Allamah Al-Suyuti, Tarikh Al-Khulafa, [Beirut: Dar-ul-Kitab Al-Arabi, 1999], pp. 63-64), (Furhang-e-Sirat, [Karachi: Zawar Academy], p. 157.

[30] Shahih al-Bukhari Kitab jual-beli, bab usaha seseorang dnegan tangannya dan makan dari itu, nomor 1986 (صحيح البخاري كتاب البيوع باب كسب الرجل وعمله بيده حديث رقم 1986) atau 2070 (نمبر2070).

[31] Ibn Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006], p. 272. (ماخوذ از الکامل فی التاریخ لابن اثیرجلد2صفحہ272دارالکتب العلمیۃ بیروت2006ء).

[32] Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqaat al-Kubra, jilid ke-3 halaman 137, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Lebanon, 2021 (ماخوذ از الطبقات الکبری جلد 3 صفحہ 137 ’ابوبکر الصدیق‘ دارالکتب العلمیۃ بیروت 2012ء)

[33] Ibn Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006], p. 272. (الکامل فی التاریخ لابن اثیرجلد2صفحہ272دارالکتب العلمیۃ بیروت2006ء); Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqaat al-Kubra, jilid ke-3 halaman 143, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Lebanon, 1990 (طبقات الکبریٰ جلد 3 صفحہ 143 دار الکتب العلمیۃ بیروت 1990ء)

[34] ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبرى – محمد بن سعد – ج ٣ – الصفحة ١٩٦); Ibn Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006], p. 271. (الکامل فی التاریخ لابن اثیر جلد2صفحہ271 مطبوعہ دارالکتب العلمیۃ بیروت2006ء).

[35] Allamah Al-Suyuti, Tarikh Al-Khulafa, [Beirut: Dar-ul-Kitab Al-Arabi, 1999], p. 64 (تاریخ الخلفاء از علامہ سیوطی صفحہ64 دارالکتاب العربی بیروت1999ء)

[36] Umar Abu Al-Nasr, Sirat Syedna Siddiq-e-Akbar, Mushtaq Book Corner, Lahore, p. 699 (سیدنا صدیق اکبر از ابوالنصرمترجم صفحہ699)

[37] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2012], p. 351. ((تاریخ الطبری جلد2صفحہ351 دارالکتب العلمیۃ بیروت2012ء)

[38] Umar Abu Al-Nasr, Sirat Syedna Siddiq-e-Akbar, Mushtaq Book Corner, Lahore, pp. 699-700 (سیدنا صدیق اکبرؓ از ابوالنصرمترجم صفحہ699-700)

[39] Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqaat al-Kubra, jilid ke-3 halaman 137, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Lebanon, 2012 (الطبقات الکبری لابن سعد الجزء الثالث صفحہ 137’ابوبکر الصدیق‘ دارالکتب العلمیۃ بیروت 2012ء).

[40] Bashir Sajid, Ashra Mubashra, [Lahore: Al-Badr Publications, 2000], p. 182 (عشرہ مبشرہ از بشیر ساجدصفحہ 182البدر پبلیکیشنز لاہور2000ء); Umar Abu Al-Nasr, Sirat Syedna Siddiq-e-Akbar, Mushtaq Book Corner, Lahore, p. 700 (سیدنا صدیق اکبرؓ از ابوالنصرمترجم صفحہ700).

[41] Professor Ali Muhsin Siddiqi, Al-Siddiq, [Karachi: Qirtas, 2002] p. 194 (الصدیقؓ از پروفیسر علی محسن صدیقی صفحہ194قرطاس کراچی2002ء)

[42] Dr Ali Muhammad As-Salabi, Abu Bakr Al-Siddiq [Beirut, Damascus; Dar ibn Kathir, 2003], p. 162 (ابوبکر الصدیقؓ از ڈاکٹر علی محمد صلابی صفحہ 162مطبوعہ دارابن کثیر دمشق بیروت 2003ء)

[43] ‘Umar Abu Nashr dalam karyanya ash-Shiddiq Umar Abu Al-Nasr, Sirat Syedna Siddiq-e-Akbar, Mushtaq Book Corner, Lahore, p. 701 (سیدنا صدیق اکبرؓ از ابوالنصرمترجم صفحہ701).

[44] Allamah Muhammad Shoaib Chishti dalam karyanya “Commander Sahaba” atau “Kepemimpinan para Sahabat”, [Lahore: Mumtaz Academy Urdu Bazar], pp. 87-88 (کمانڈر صحابہ از علامہ محمد شعیب چشتی صفحہ87-88مطبوعہ ممتاز اکیڈمی اردو بازار لاہور).

[45] Muhammad Husain Haikal dalam karyanya ash-Shiddiq Abu Bakr, terbitan Islami Kutub Khana, Lahore, Pakistan, pp. 456-457. (ماخوذاز ابوبکر الصدیقؓ از محمد حسین ہیکل مترجم صفحہ456-457مطبوعہ اسلامی کتب خانہ لاہور).

[46] Tarikhul Umam Wal Muluuk (تاريخ الأمم والملوك) atau Tarikh ar-Rusul wal Muluuk (تاريخ الرسل والملوك) karya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (محمد بن جرير الطبري أبو جعفر), berita tentang apa yang terjadi pada tahun ke-11 (سنة إحدى عشرة (ذكر الأحداث التي كانت فيه), jilid ke-2 halaman 246, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Lebanon, 2012 (تاریخ الطبری لابی جعفر محمد بن جریر طبری جلد2 صفحہ246 دارالکتب العلمیۃ بیروت 2012ء).

[47] Al-Kaamil fit Taarikh (الكامل في التاريخ – ابن الأثير – ج ٢ – الصفحة ٤٠٤) Ibn Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003], pp. 253-254 (الکامل فی التاریخ جلد2 صفحہ253-254 دارالکتب العلمیة بیروت 2003ء)

[48] Dr Ali Muhammad As-Salabi, Abu Bakr Al-Siddiq [Beirut, Damascus; Dar ibn Kathir, 2003], pp. 176, 180, 181 (خلاصہ از ابوبکر الصدیقؓ از ڈاکٹر علی محمد صلابی صفحہ181،180،176مطبوعہ دارابن کثیر دمشق بیروت 2003ء)

[49] Ash-Shalabi dalam Abu Bakr ash-Shiddiq. Dr Ali Muhammad As-Salabi, Abu Bakr Al-Siddiq [Beirut, Damascus; Dar ibn Kathir, 2003], p. 179 ((ابوبکر الصدیقؓ از ڈاکٹر علی محمد صلابی صفحہ 179مطبوعہ دارابن کثیر دمشق بیروت 2003ء)

[50] Umar Abu Al-Nasr, Sirat Syedna Siddiq-e-Akbar, Mushtaq Book Corner, Lahore, p. 693 (سیدنا صدیق اکبرؓ از ابوالنصرمترجم صفحہ693)

[51] Imam Abu al-Hasan Ahmad bin Yahya al-Buladhari, Futuh al-Buldan [Karachi: Nafees Academy], p. 131. (ماخوذ از فتوح البلدان لبلاذری صفحہ131 مترجم مطبوعہ نفیس اکیڈمی کراچی)

[52] Tarikhul Umam Wal Muluuk (تاريخ الأمم والملوك) atau Tarikh ar-Rusul wal Muluuk (تاريخ الرسل والملوك) karya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (محمد بن جرير الطبري أبو جعفر), berita tentang apa yang terjadi pada tahun ke-13 (سنة ثلاث عشرة (ذكر الخبر عما كَانَ فِيهَا من الأحداث). Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987], p. 332. (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ332 دارالکتب العلمیۃ بیروت)

[53] Hadits Abu Daud Nomor 2945 Kitab al-Kharaaj wal Imarati wal Fai, bab fi azraaqil ‘Ummal atau rezeki bagi para pegawai (سنن أبي داوود كتاب الخراج والإمارة والفيء باب في أرزاق العمال حديث رقم 2602)

[54] Umar Abu Al-Nasr, Sirat Syedna Siddiq-e-Akbar, Mushtaq Book Corner, Lahore, p. 695 (سیدنا صدیق اکبرؓ از ابوالنصرمترجم صفحہ695)

[55] ‘Abdul Malik Mujahid dalam karyanya Hadhrat Abu Bakr ki zindegi ke Sunehre waqi’aat, h. 188-189, Maktabah Darus Salam ar-Riyaadh, Saudi Arabia (حضرت ابوبکرؓکی زندگی کے سنہرے واقعات ، ازعبدالمالک مجاہد، صفحہ 189،188 مکتبہ دارالسلام الریاض)

[56] Sumber referensi: https://www.alfazl.com/2022/09/25/55864/; Official Urdu transcript published in Al Fazl International, 30 September 2022, pp. 5-10. Translated by The Review of Religions https://www.alislam.org/friday-sermon/2022-09-09.html; https://www.alhakam.org/friday-sermon-men-of-excellence-hazrat-abu-bakr-9-september-2022/; https://www.alislam.org/urdu/khutba/2022-09-09/; https://www.islamahmadiyya.net/cat.asp?id=116.

Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.