Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 5)

khotbah idul adha mirza masroor ahmad

Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz menguraikan sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Penjelasan perihal Hijrah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Makkah ke Madinah yang ditemani Hadhrat Abu Bakr radhiyAllahu ta’ala ‘anhu dan peristiwa di gua Tsaur.

Pembacaan Al-Qur’an, Surah at-Taubah, 9:40 dan kaitannya dengan Hijrah Nabi Muhammad (saw) ke Madinah.

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) menulis dalam buku Sirat Khatamun Nabiyyin tentang pengumuman berhadiah di kalangan Quraisy Makkah dan penelusuran jejak langkah Rasulullah (saw) untuk menangkap beliau

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) membahas mengenai makna لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ‘Laa tahzan! Innallaaha ma’anaa’ – ‘Jangan mengkhawatirkan hal ini sedikit pun, Allah Ta’ala bersama kita.’

Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan penjelasan mengenai hijrah Nabi Isa (as) dan persamaannya dengan Hijrah Nabi Muhammad (saw). Penjelasan beliau mengenai ayat لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ‘Laa tahzan! Innallaaha ma’anaa’ – ‘Jangan mengkhawatirkan hal ini sedikit pun, Allah Ta’ala bersama kita.’

Penjelasan Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) dan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) mengenai peristiwa yang terjadi setelah keluarnya Nabi Muhammad (saw) dari Makkah.

Penjelasan Kitab-Kitab Hadits dan Tarikh mengenai peristiwa yang terjadi setelah keluarnya Nabi Muhammad (saw) dari Makkah.

Doa kala Hijrah.

Hudhur (atba) akan terus menyebutkan lebih lanjut berbagai kejadian dalam masa Hadhrat Abu Bakr radhiyAllahu ta’ala ‘anhu di khotbah-khotbah mendatang.

Tahun baru dan doa-doa. Shalat jenazah gaib tiga almarhum yang salah satunya dari Indonesia.

Malik Faruq Ahmad Khokhar Sahib, Amir Daerah Multan [Pakistan]

Rahmatullah Sahib dari Indonesia

Al-Haj Abdul Hamid Thak Sahib, Yaripurah, Kashmir

Hudhur (atba) akan terus menyebutkan lebih lanjut berbagai kejadian dalam masa Hadhrat Abu Bakr radhiyAllahu ta’ala ‘anhu di khotbah-khotbah mendatang.

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 31 Desember 2021 (31 Fatah 1400 Hijriyah Syamsiyah/27 Jumadil Awwal 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم

]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَآمين .

إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ فَأَنزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Pada khotbah lalu telah saya bahas perihal peristiwa ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) berada di Gua Tsaur. Kisah tibanya para penentang di Gua Tsaur digambarkan oleh Allah Ta’ala dalam Al-Quran, artinya sebagai berikut, “Jika kamu tidak menolongnya, maka sungguh Allah telah menolongnya ketika ia diusir oleh orang-orang kafir, sedangkan ia adalah yang kedua dari yang dua ketika keduanya berada dalam gua, lalu ia berkata kepada temannya, ‘Janganlah engkau sedih sesungguhnya Allah beserta kita’, lalu Allah menurunkan ketentraman-Nya kepadanya dan menolongnya dengan laskar-laskar yang kamu tidak melihatnya dan Dia menjadikan perkataan orang-orang yang kafir itu rendah sedangkan kalimat Allah itulah yang tertinggi, dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Surah at-Taubah, 9:40)

Berikut perihal peristiwa Gua Tsaur yang digambarkan di dalam Al-Qur’an yang mulia. Saat itu rombongan Kuffar Quraisy telah berbincang-bincang di depan Gua. Mendengar hal itu, Hadhrat Abu Bakr (ra) diliputi kekhawatiran seandainya Hadhrat Rasulullah (saw) tertangkap di sini, apa yang akan terjadi nanti, karena keberlangsungan Islam seolah bergantung pada wujud yang penuh berkat ini. Ketika Hadhrat Rasulullah (saw) melihat kekhawatiran yang meliputi Hadhrat Abu Bakr (ra), beliau (saw) bersabda, لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ‘Laa tahzan! Innallaaha ma’anaa’ – “Jangan khawatir, Abu Bakr! Sesungguhnya Tuhan kita bersama kita.”[1]

Ketika rombongan Kuffar Quraisy menelusuri jejak Hadhrat Rasulullah (saw) dan tiba di dekat gua Tsaur. Pencari jejak mengatakan, “Saya tidak tahu lagi, setelah dari sini, kedua orang itu menuju kemana?” Setelah tiba di dekat Gua Tsaur, pencari jejak mengatakan, “Demi Tuhan! Kedua orang yang kalian tengah cari ini, jejaknya berakhir hingga di sini.”[2]

Ketika si pencari jejak tersebut mengatakan hal itu di depan Gua dan ada seseorang dari antara mereka yang mengusulkan agar mengintip ke dalam gua, saat itu Umayyah Bin Khalf menimpal dengan nada sinis dan tidak peduli, berkata, “Saya sudah melihat keberadaan jaring laba-laba dan pohon ini bahkan sebelum Muhammad (saw) lahir, apakah kalian memakai otak? Bagaimana mungkin mereka bisa masuk kedalam gua ini, ayo kita tinggalkan tempat ini dan mencarinya di tempat lain.” Setelah itu rombongan mereka beranjak dari sana dan pulang. [3]

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) menulis berkenaan dengan pengumuman berhadiah di kalangan Quraisy Makkah dan penelusuran jejak langkah Rasulullah (saw), dalam buku Sirat Khatamun Nabiyyin, beliau menulis, “Mereka mengumumkan bahwa siapa yang berhasil menangkap dan membawa Muhammad hidup atau pun mati, akan diberikan hadiah 100 unta. Untuk itu, orang-orang dari berbagai penjuru Makkah berdatangan dengan membawa ambisi untuk mendapatkan hadiah.

Para tokoh Quraisy sendiri mengikuti jejak langkah beliau (saw) hingga tiba di mulut Gua Tsaur. Setibanya di sana, pencari jejak mengatakan, ‘Jejak langkah Muhammad hanya sampai sini saja. Untuk itu, kalua tidak sedang bersembunyi di sekitar sini, berarti Muhammad naik ke langit.’

Seseorang berkata, ‘Silahkan periksa sebentar ke dalam gua.’

Namun ada orang lain yang mengatakan, ‘Apakah ide tersebut masuk akal? Mungkinkah ada orang yang bersembunyi didalam gua ini? Kita selalu menyaksikan hingga saat ini bahwa Gua ini adalah tempat yang sangat gelap dan berbahaya.’

Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa setelah Rasulullah (saw) masuk ke dalam gua, laba-laba membuat jaring pada pohon yang berada di depan gua tersebut dan seekor merpati bertelur persis pada dahan yang berada di depan gua.”

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) sahib berpendapat, “Riwayat tersebut memang lemah, namun jika memang terjadi demikian maka bukan sesuatu yang mengherankan, karena laba-laba terkadang dapat membuat sarangnya dalam hitungan menit di satu tempat yang luas. Begitu pun merpati tidak memerlukan waktu lama untuk membuat sarang dan bertelur. Untuk itu jika untuk melindungi Rasul-Nya, Allah Ta’ala mengatur demikian maka sama sekali tidak mustahil, bahkan dari sisi keadaan saat itu, benar-benar masuk akal. Alhasil, tidak ada yang masuk diantara orang Quraisy saat itu, lalu mereka pulang.”[4]

Dalam Riwayat dikatakan, “Rombongan Quraisy sudah begitu dekatnya, sehingga dari dalam gua kaki mereka jelas dapat terlihat, begitu pun suara mereka pun terdengar jelas. Pada saat itu Hadhrat Abu Bakr (ra) khawatir, namun berbisik kepada Rasulullah (saw), نَظَرْتُ إِلَى أَقْدَامِ الْمُشْرِكِينَ عَلَى رُءُوسِنَا وَنَحْنُ فِي الْغَارِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ نَظَرَ إِلَى قَدَمَيْهِ أَبْصَرَنَا تَحْتَ قَدَمَيْهِ ‘Wahai Rasulullah (saw)! Mereka sudah begitu dekat sehingga kakinya tampak dan jika melihat sedikit saja ke dalam gua maka mereka akan dapat melihat kita.’[5]

Rasulullah (saw) bersabda, لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ‘Laa tahzan! Innallaaha ma’anaa’ – ‘Jangan mengkhawatirkan hal ini sedikitpun, Allah Ta’ala bersama kita.’ Beliau pun bersabda, مَا ظَنُّكَ، يَا أَبَا بَكْرٍ بِاثْنَيْنِ اللهُ ثَالِثُهُمَا؟ maa zhannuka, yaa Aba Bakri, bi itsnainiLllahi tsalitsuhumaa – ‘Wahai Abu Bakr! Bagaimana menurut anda berkenaan dengan dua orang manusia yang mana ketiganya adalah Allah Ta’ala.’”[6]

Di dalam riwayat lainnya lagi disebutkan, “Ketika Quraisy tiba di mulut gua, Hadhrat Abu Bakr (ra) sangat khawatir. Setelah merasakan ketakutan Hadhrat Abu Bakr (ra), Rasulullah (saw) menenangkan beliau dengan bersabda, لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ‘Tidak perlu khawatir.’

Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata sambil menangis, إن قتلت فإنما أنا رجل واحد، و إن قتلت أنت هلكت الأمة ‘In qutiltu fa ana rajulun wahidun, wa in qutilta anta halakatil ummah’ – ‘Wahai Rasulullah (saw)! Jika saya terbunuh, saya hanyalah satu jiwa, namun jika sesuatu menimpa tuan, na‘udzubillah, seolah olah seluruh umat ini telah binasa.’”[7]

Hadhrat Rasulullah (saw) mendapatkan ilham dari Allah Ta’ala dan bersabda, لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ‘Laa tahzan! Innallaaha ma’anaa’ – ‘Wahai Abu Bakr! Jangan khawatir sedikitpun karena Tuhan bersama dengan kita dan kita berdua berada dalam lindungan-Nya.’[8] Maksudnya, ‘Engkau mengkhawatirkanku dan dalam gejolak ketulusanmu, engkau tidak mengkhawatirkan jiwamu sedikit pun, namun saat ini Allah Ta’ala tidak hanya melindungiku bahkan engkau juga dan Dia akan menjaga kita dari kejahatan musuh.’”[9] (Sirat Khatamun Nabiyyin)

Dalam menjelaskan lebih lanjut, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Setelah Rasulullah (saw) mendapatkan restu dari Allah Ta’ala untuk hijrah, beliau mengajak Hadhrat Abu Bakr (ra) pergi menuju bukit Tsaur yang berjarak sekitar 6 atau 7 mil dari Makkah. Lalu mereka berdua bersembunyi di dalam gua yang terdapat di puncak bukit. Ketika orang-orang Kuffar melihat di pagi hari beliau (saw) sudah tidak ada di kediaman beliau, dan ternyata meskipun penjagaan yang ketat, Rasulullah (saw) berhasil keluar dari rumah, mereka segera melakukan pencarian. Mereka mengajak serta beberapa ahli pencari jejak langkah yang terbaik yang akan menunjukan jalan hingga ke bukit Tsaur. Para pencari jejak mengatakan, ‘Jika Muhammad (saw) ada, ia ada di sini, selebihnya tidak ada lagi jejak kakinya.’

Keadaan pada saat itu adalah musuh sudah berada persis di mulut gua dan ukuran mulut gua tidaklah sempit sehingga tidak sulit untuk mengintip kedalam. Mulut gua cukup lebar dan terbuka yang dengan mengarahkan pandangan ke dalam dapat diketahui dengan mudah bahwa ada seseorang didalam gua ataukah tidak. Namun dalam keadaan demikian pun Muhammad Rasululah (saw) tidak merasa khawatir sedikit pun, bahkan sebagai buah dari keberkatan quwwat qudsiyah beliau kalbu Hadhrat Abu Bakr (ra) pun menjadi kuat, tidak seperti para pengikut Nabi Musa yang mengatakan, bahwa kita telah tertangkap. Jikapun ada yang dikatakan itu hanyalah, Wahai Rasulullah (saw)! Musuh sudah begitu dekat jaraknya jika sedikit saja mengarahkan pandangannya ke bawah, maka mereka akan dapat melihat kita, namun Rasulullah (saw) bersabda, اسْكُتْ يَا أَبَا بَكْرٍ، اثْنَانِ اللَّهُ ثَالِثُهُمَا ’Usqut ya Aba Bakri itsnaaniLllaahu tsalitsuhuma’ – ‘Wahai Abu Bakr, diamlah! Saat ini kita tidak berdua, melainkan yang ketiga ada Tuhan juga bersama kita.’ Bagaimana bisa mereka akan menemukan kita. Memang seperti itulah yang terjadi.[10]

Meskipun musuh telah tiba di mulut gua, tetap saja mereka tidak dapat maju lalu menemukan mereka. Akhirnya mereka tidak berhasil dan pulang.

Alhasil, satu sisi dari kejadian ini adalah ketika para sahabat Nabi Musa ketakutan, mereka mengatakan, ‘Wahai Musa kita telah tertangkap.’

Dengan kata lain mereka malah menggiring Nabi Musa juga bersama mereka dan beranggapan, ‘Sekarang kita akan tertangkap oleh Firaun.’ Namun, bagaimana ketawakkalan Hadhrat Rasulullah (saw) telah sedemikian rupa memberikan pengaruh kepada sahabat beliau sehingga tidak keluar dari mulutnya mengatakan bahwa kita telah tertangkap. Ia (Sang sahabat) hanya berkata, ‘Para musuh telah begitu dekat sehingga jika mereka mau, mereka dapat melihat kita.’ Namun, Muhammad Rasulullah (saw) tidak dapat menerima kekhawatiran seperti itu dan bersabda, ‘Janganlah berfikir seperti itu, saat ini kita tidak berdua, melainkan ada yang ketiga bersama kita yakni Tuhan kita.’”[11]

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) dalam satu kesempatan bersabda, “Ketika intimidasi yang dilakukan oleh penduduk Makkah terhadap Rasulullah (saw) sudah melampaui batas dan itu menyebabkan terhambatnya penyebaran agama maka Allah Ta’ala memerintahkan beliau untuk meninggalkan Makkah. Sahabat beliau bernama Abu Bakr pun bersedia untuk meninggalkan Makkah bersama beliau. Sebelum itu telah dikatakan kepada beliau (saw) berkali kali perihal untuk pergi, namun saat itu beliau (saw) masih belum bersedia. Ketika Rasulullah (saw) akan berangkat, beliau mengajak serta Hadhrat Abu Bakr (ra).

Pada saat beliau berangkat di malam hari di suatu tempat yang mana saya (Hadhrat Mushlih Mau’ud [ra]) telah pernah berkunjung ke tempat tersebut pada saat saya ibadah Haji, yakni satu gua biasa yang terletak di puncak bukit, yang mulutnya berukuran 2 atau 3 gaz (meter) dimana beliau berdua tinggal sementara di gua tersebut [yaitu gua Tsaur].

Ketika orang-orang Makkah mengetahui bahwa beliau telah pergi, mereka mulai mencari beliau. Pada masa itu, di Arab ada orang-orang yang mahir dalam menelusuri jejak kaki. Rombongan Quraisy Makkah itu berhasil tiba di mulut gua tempat Rasulullah (saw) bersama Abu Bakr tinggal sementara, berkat bantuan para pencari jejak tersebut. Qudrat (kekuasaan) Ilahi menghendaki agar tumbuh semak-semak di mulut gua yang ranting-rantingnya menyatu satu sama lain. Jika sekiranya para pencari itu menyingkirkan semak tersebut lalu melihat ke dalam gua maka akan tampak kepada mereka Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakr tengah berada di dalam. Ketika pakar pencari jejak tiba di sana, mereka berkata, ‘Kalau tidak naik ke langit, berarti mereka berada di dalam gua ini, tidak menunjukkan jejak bahwa mereka menempuh perjalanan dari sini. Coba bayangkan, betapa rentannya keadaan pada saat itu.

Saat itu Hadhrat Abu Bakr (ra) diliputi kekhawatiran, namun bukan mengkhawatirkan diri pribadi beliau, melainkan untuk Rasulullah (saw). Pada saat itu Rasulullah (saw) bersabda, لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ‘Laa tahzan! Innallaaha ma’anaa’ ‘Kenapa engkau khawatir? Tuhan bersama kita.’ Jika Rasulullah (saw) tidak menyaksikan Dzat Allah Ta’ala, bagaimana mungkin dalam keadaan yang genting seperti itu tidak diliputi kekhawatiran. Sekuat-kuatnya manusia sekalipun akan merasa takut Ketika mengetahui musuh sudah berada dekat seperti itu. Namun tatkala musuh sudah dekat seperti itu bahkan sudah begitu dekat, yang mana sejak 13 tahun lalu musuh tersebut terus berjuang untuk membunuh beliau, dan pencari jejak pun telah mengatakan, ‘Jika Muhammad tidak naik ke langit berarti ada di dalam gua ini, ia tidak melanjutkan perjalanan dari sini.’

Pada saat seperti itu Rasulullah (saw) bersabda, لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ‘Laa tahzan! Innallaaha ma’anaa’ – ‘Tuhan bersama kita! Anda tidak perlu takut’. Itu semata-mata merupakan irfan Ilahi yang membuat beliau (saw) mengatakan demikian. Beliau (saw) di dalam diri beliau sendiri menyaksikan Tuhan dan memahami, ‘Kebinasaanku dapat mengakibatkan kebinasaan irfan Ilahi. Karena itu, tidak ada yang dapat membinasakanku.’”[12]

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Hadhrat Isa (as) hanya memilih satu orang untuk menyertai beliau yaitu memilih Toma [Tomas] sebagaimana Nabi kita (saw) hanya memilih Hadhrat Abu Bakr (ra) ketika hijrah ke Madinah. Hal tersebut karena kerajaan Romawi telah menetapkan Hadhrat Isa sebagai pembangkang (pemberontak) yang atas pelanggaran itu jugalah Pilatus nantinya dibunuh atas perintah Kaisar karena secara diam-diam Pilatus memberikan dukungan kepada Nabi Isa dan istri Pilatus pun adalah murid Hadhrat Isa.[13] Karena itu, sudah pasti Hadhrat Isa keluar dari negeri itu secara diam-diam dan tidak mengajak serta kafilah (rombongan orang) sehingga beliau mengajak hanya seorang Hawari (pengikut setia) bernama Toma dalam perjalanan tersebut sebagaimana Nabi kita (saw) hanya mengajak Hadhrat Abu Bakr (ra) dalam perjalanan ke Madinah. Demikian pula, sebagaimana para sahabat Rasulullah (saw) lainnya pergi menghadap Rasulullah (saw) di Madinah dengan menempuh perjalanan yang berbeda, begitu jugalah para Hawari Nabi Isa (as) pergi menemui Hadhrat Isa dengan menempuh jalan dan waktu yang berbeda-beda pula.”[14]

Selanjutnya Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Ketulusan dan kesetiaan Hadhrat Abu Bakr (ra) terlihat pada saat Hadhrat Rasulullah (saw) diburu. Meskipun sebagian kaum Kuffar berpendapat agar Rasulullah (saw) diusir, namun tujuan utama dan rencana mereka sebenarnya adalah pembunuhan terhadap beliau. Dalam keadaan demikian, Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq menampilkan teladan ketulusan dan kesetiaan yang akan menjadi contoh untuk selama lamanya. Dalam saat saat yang genting seperti itu, pilihan Rasulullah (saw) menjadi bukti kuat akan ketulusan dan kesetiaan Hadhrat Abu Bakr (ra) yang luar biasa. Seperti itulah kualitas pilihan Rasulullah (saw). Pada saat itu Rasulullah (saw) memiliki sahabat yang berjumlah sekitar 70 hingga 80 orang, yang diantaranya adalah Hadhrat Ali ra juga, namun diantara mereka semua beliau (saw) memilih Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) untuk menyertai beliau. Apa rahasia dibalik itu? Masalahnya adalah, seorang Nabi melihat dengan menggunakan mata Allah Ta’ala dan dianugerahi pemahaman oleh Allah Ta’ala sehingga Allah Ta’ala mengabarkan beliau (saw) dengan perantaraan kasyaf dan ilham bahwa yang terbaik dan sesuai untuk tugas tersebut adalah Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra). Hadhrat Abu Bakr ada bersama beliau (saw) di saat yang sulit tersebut. Saat itu adalah saat ujian yang teramat sulit. Nabi Isa Almasih tatkala menghadapi ujian seperti demikian, para murid beliau pun berlari meninggalkan beliau, dan seseorang bahkan melaknati beliau. Akan tetapi, para sahabat beliau yang mulia, mereka semua memperlihatkan contoh kesetiaan yang sempurna.

Pendek kata, Hadhrat Abu Bakr (ra) menemani beliau sepenuhnya, kemudian mereka bersembunyi di satu gua yang bernama Gua Tsaur. Kaum kafir Makkah yang jahat, yang telah merencanakan untuk menganiaya beliau, dalam mencari beliau, mereka pun tiba di gua tersebut. Hadhrat Abu Bakr Siddiq (ra) berkata, ‘Sekarang mereka telah benar-benar ada di dekat kita, dan seandainya seorang dari antara mereka ada yang sedikit saja menengadah ke bawah, maka mereka akan melihat kita dan kita pasti akan ditangkap.’

Saat itu beliau (saw) bersabda, لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ‘Laa tahzan! Innallaaha ma’anaa’ – ‘ Jangan bersedih, Tuhan ada bersama kita.’ Renungkanlah lafaz ini! Yang Mulia Rasulullah (saw) menyertakan Hadhrat Abu Bakr Siddiq (sebagai sosok yang) bersama beliau. Oleh karena itu, di dalam firman Allah,  innallaaha ma’ana, kata ma’ana ditujukan pada kedua sosok tersebut, yakni ‘Allah Ta’ala ada bersama Anda (Hadhrat Abu Bakr) dan bersama saya.’ Allah Ta’ala memberi sebagian pada Hadhrat Rasulullah (saw) dan sebagian lain kepada Hadhrat ash-Shiddiq.

Terkait:   Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa, seri 56)

Saat itu keduanya ada di dalam ujian. Dan inilah keadaan, bahwa apakah Islam akan semakin kokoh dalam pondasinya atau akan menghadapi kehancurannya. Musuh telah ada di gua dan berbagai pendapat tengah saling mereka kemukakan. Sebagian berkata, ‘Periksalah goa ini, karena jejak kaki berakhir di sini’, namun sebagian diantara mereka berkata, ‘Bagaimana mungkin manusia singgah dan masuk di sini, karena terdapat jaring laba-laba dan ada merpati yang tengah bertelur.’ Suara percakapan tersebut pun masuk hingga ke dalam, dan beliau tengah mendengarnya dengan sangat jelas. Musuh datang dalam keadaan yang ingin menghabisi mereka dan terus maju tanpa menghiraukan apapun. Namun lihatlah betapa sempurnanya keberanian beliau (saw). Musuh telah sangat dekat, namun beliau (saw) bersabda kepada sahabat sejati beliau Hadhrat Siddiq, لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ‘Laa tahzan! Innallaaha ma’anaa’. Kata ini menampakkan dengan sangat jelas bahwa betapa beliau (saw) telah bersabda dengan lidah beliau, karena hal ini membutuhkan suara dan tidak bisa tersampaikan dengan isyarat semata. Musuh di luar tengah berbincang dan di dalam gua ada sosok majikan dan pelayan yang juga saling berbicara. Mereka berdua tidak menghiraukan apakah musuh akan mendengar suara mereka. Ini adalah bukti adanya keyakinan sempurna pada wujud Allah Ta’ala dan ma’rifat. Mereka percaya sepenuhnya akan janji-janji Allah Ta’ala. Contoh ini semata adalah cukup untuk menggambarkan keberanian Rasulullah (saw).”[15]

Kemudian, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda di satu tempat lain, “Allah Jalla Syaanuhu telah memperlihatkan suatu mukjizat dalam menjaga Nabi Suci-Nya, bahwa kendatipun para musuh telah sampai di gua, yang di dalamnya Yang Mulia Nabi (saw) bersama sahabatnya bersembunyi, mereka tidak sanggup melihat beliau (saw), karena Allah Ta’ala telah mengirim sepasang merpati dan di malam itu mereka membuat sarang di mulut gua, dan bertelur di sana. Demikian pula, atas izin Ilahi, laba-laba pun membuat sarangnya di gua yang menyebabkan para musuh tertipu sehingga mereka pun gagal dan kembali.”[16]

Kemudian tertera di dalam suatu riwayat, ثُمَّ لَحِقَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَأَبُو بَكْرٍ بِغَارٍ فِي جَبَلٍ يُقَالُ لَهُ ثَوْرٌ، فَمَكُثَ فِيهِ ثَلاَثَ لَيَالٍ يَبِيتُ عِنْدَهُمَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ، وَهْوَ غُلاَمٌ شَابٌّ لَقِنٌ ثَقِفٌ، فَيَرْحَلُ مِنْ عِنْدِهِمَا سَحَرًا، فَيُصْبِحُ مَعَ قُرَيْشٍ بِمَكَّةَ كَبَائِتٍ، فَلاَ يَسْمَعُ أَمْرًا يُكَادَانِ بِهِ إِلاَّ وَعَاهُ، حَتَّى يَأْتِيَهُمَا بِخَبَرِ ذَلِكَ حِينَ يَخْتَلِطُ الظَّلاَمُ، وَيَرْعَى عَلَيْهِمَا عَامِرُ بْنُ فُهَيْرَةَ مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ مِنْحَةً مِنْ غَنَمٍ، فَيُرِيحُهَا عَلَيْهِمَا حِينَ تَذْهَبُ سَاعَةٌ مِنَ الْعِشَاءِ، فَيَبِيتَانِ فِي رِسْلِهَا حَتَّى يَنْعِقَ بِهَا عَامِرُ بْنُ فُهَيْرَةَ بِغَلَسٍ، يَفْعَلُ ذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ مِنْ تِلْكَ اللَّيَالِي الثَّلاَثِ “Berdasarkan rencana yang telah dibuat sebelumnya, putra Hadhrat Abu Bakr yang cerdas, Hadhrat Abdullah bin Abu Bakr datang ke Gua Tsaur di waktu malam, dan memberitakan sepenuhnya tentang keadaan di Makkah. Beliau lalu menerima petunjuk, dan di waktu pagi kembali ke Makkah seolah-olah sepanjang malam beliau memang berada di Makkah. Ditambah juga kecerdasan Amir bin Fuhairah, bahwa di waktu malam, setelah beliau memeras susu kambing [di padang gembalaan], beliau memulangkan kambing gembalaan tersebut dengan berjalan sedemikian rupa hingga jejak langkah Hadhrat Abdullah bin Abu Bakr pun serta-merta menjadi hilang.”[17]

Beberapa Sejarawan pun menjelaskan bahwa Hadhrat Asma setiap harinya mengantarkan makanan.[18] Tetapi, ini tampaknya bertentangan dengan qiyas (analogi rasional). Pendapat sebagian adalah tampak benar, bahwa di masa yang sangat berbahaya itu, perginya seorang wanita ke sana adalah sama dengan mengungkapkannya [membukakan hal yang terjadi]. Padahal, Abdullah bin Abu Bakr pergi ke sana setiap harinya sehingga apa perlunya Hadhrat Asma membawakan makanan ke sana? Bisa saja itu terjadi, namun Allah lebih mengetahui. Alhasil, tiga hari berlalu seperti demikian.

Selanjutnya, tatkala orang-orang Makkah selesai mencari di setiap tempat dan gagal menemukannya, mereka bersama-sama seraya mengumumkan imbalan yang sangat besar, memutuskan untuk mengirim tim pencari ke desa-desa sekitar untuk mengumumkan bahwa siapa saja yang dapat membawa Muhammad (saw) hidup atau mati akan diberi imbalan 100 unta. Karena tamak akan imbalan tersebut, banyak orang akhirnya bertekad mencari Hadhrat Rasulullah (saw).[19]

Di sisi lain, setelah 3 (tiga) hari berlalu, sesuai perjanjian, Abdullah bin Uraiqit datang membawa unta.

Di dalam salah satu riwayat di Sahih Bukhari tertera, “Telah ada perjanjian dengan Abdullah bin Uraiqit bahwa setelah berlalu waktu 3 hari, ia akan datang di waktu pagi dengan membawa Unta.”[20] Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa keberangkatan dari Gua Tsaur ke Madinah dimulai di waktu pagi. Namun ada juga di riwayat lain di Bukhari yang menjelaskan bahwa perjalanan dimulai di waktu malam.

Atas hal ini, Hadhrat Mirza Basyir Ahmad Sahib dalam menerangkan tentang Abdullah bin Uraiqit, beliau menulis, “Hadhrat Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakr (ra) sebelumnya telah mengamanatkan perihal unta mereka kepadanya dan memerintahkannya agar setelah berlalu 3 malam, pada hari ketiga di waktu pagi ia akan datang ke Gua Tsaur seraya membawa unta-unta tersebut. Alhasil, ia pun tiba sesuai kesepakatan itu. Ini dari satu riwayat yang masyhur di dalam Bukhari.[21] Namun sejarawan menulis bahwa Rasulullah (saw) berangkat di waktu malam, karena hal ini pun telah dibenarkan pada satu riwayat lain di dalam Bukhari.[22] Lebih lanjut lagi, pendapat ini pun lebih mendekati qiyas yaitu beliau (saw) telah berangkat di waktu malam.”[23]

Rasul yang mulia (saw) berangkat dari Gua Tsaur di hari Senin malam pada tanggal 1 Rabiul Awwal. Menurut Ibnu Sa’d, beliau berangkat dari Gua pada tanggal 4 Rabiul Awwal di Senin malam. Adapun riwayat yang pertama tertulis dalam Tarikh al-Khamis (تاريخ الخميس).[24]

Penulis syarh [komentar] Sahih Bukhari, Allamah Ibnu Hajar Asqalani menulis, وَقَالَ الْحَاكِم تَوَاتَرَتْ الْأَخْبَار أَنَّ خُرُوجه كَانَ يَوْم الِاثْنَيْنِ وَدُخُوله الْمَدِينَة كَانَ يَوْم الِاثْنَيْنِ ، إِلَّا أَنَّ مُحَمَّد بْن مُوسَى الْخُوَارِزْمِيّ قَالَ : إِنَّهُ خَرَجَ مِنْ مَكَّة يَوْم الْخَمِيس . قُلْت : يُجْمَع بَيْنهمَا بِأَنْ خُرُوجه مِنْ مَكَّة كَانَ يَوْم الْخَمِيس وَخُرُوجه مِنْ الْغَار كَانَ لَيْلَة الِاثْنَيْنِ ، لِأَنَّهُ أَقَامَ فِيهِ ثَلَاث لَيَالٍ ، فَهِيَ لَيْلَة الْجُمُعَة وَلَيْلَة السَّبْت وَلَيْلَة الْأَحَد وَخَرَجَ فِي أَثْنَاء لَيْلَة الِاثْنَيْنِ “Imam Hakim menuturkan bahwa pendapat yang mutawatir adalah Hudhur (saw) keluar dari Makkah di hari senin dan tiba di Madinah pun di hari Senin. Berbeda dengan Muhammad bin Musa al-Khawarizmi yang menuturkan bahwa Rasulullah (saw) berangkat dari Makkah di hari kamis.” Allamah Ibn Hajar, dalam menyelaraskan riwayat-riwayat tersebut menulis, “Rasul yang mulia (saw) berangkat dari kota Makkah di hari kamis dan setelah bermukim 3 malam di gua pada hari Jumat, Sabtu dan Ahad (Minggu), beliau lalu berangkat ke Madinah pada senin malam.”[25]

Rasulullah (saw) mendapat satu unta yang bernama Qashwah dan menungganginya. Hadhrat Abu Bakr menunggangi unta beliau bersama Amir bin Fuhairah, dan Uraiqit menunggangi untanya sendiri. Hadhrat Abu Bakr membawa serta perbendaharaan beliau sebanyak 5 atau 6 ribu dirham.

Menurut beberapa riwayat, Amir bin Fuhairah dan Hadhrat Asma bertugas mengantarkan makanan yaitu daging kambing panggang, namun setelah selesai menyiapkan makanan yang akan diantar tersebut, barulah terpikirkan bahwa tidak ada kain atau benda lain untuk mengikatkan makanan beserta kantung air minum. Atas hal ini, Hadhrat Asma mengeluarkan nithaq (tali ikat pinggang) beliau dan menjadikannya dua bagian, satu untuk mengikat tempat makanan, dan satu lagi untuk mengikat mulut kantung air. Nabi yang mulia (saw) telah memberi kabar suka akan 2 nithaaq kepada Hadhrat Asma di surga. Kemudian beliau meninggalkan mereka dan memulai perjalanan seraya berdoa, اَللّٰهُمَّ اصْحَبْنِيْ فِيْ سَفَرِيْ، وَاخْلُفْنِيْ فِيْ أَهْلِيْ ‘Allahumma ash-habnii fi safari wakhlufnii fii ahlii’ yang artinya, ‘Wahai Allah, dalam perjalananku ini, jadilah Engkau sebagai temanku di perjalananku ini dan jadilah Engkau sebagai penggantiku untuk keluargaku.’[26]

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa peristiwa mengikat makanan dengan nitaaq ini terjadi saat Hadhrat Abu Bakr berangkat dari rumah beliau. Akan tetapi di sini, telah disebutkan dalam sejarah, peristiwa ini terjadi di dua tempat. Sebagian berpendapat bahwa ini terjadi saat Yang Mulia Nabi (saw) tengah ada di rumah Hadhrat Abu Bakr di Makkah, saat akan berangkat ke Gua Tsaur untuk hijrah, dan sebagian berpendapat bahwa ini terjadi saat Yang Mulia Nabi (saw) tengah berangkat dari Gua Tsaur ke Madinah. Jadi, terdapat penyebutan terkait kedua corak itu.

Namun di dalam Bukhari, tentang rincian perjalanan hijrah yang disampaikan oleh Hadhrat Aisyah (ra), di dalam runtunan riwayat tersebut dapat disimpulkan bahwa ini adalah peristiwa saat keberangkatan yang dari rumah Hadhrat Abu Bakr. Maka dari itu, mengutamakan riwayat Bukhari akan menjadi lebih tepat, karena pertama, bermukimnya beliau di Gua Tsaur dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga perihal perginya Hadhrat Asma ke sana pun dapat diabaikan, ditambah bahwa Hadhrat Abdullah bin Abu Bakr dan Hadhrat Amir bin Fuhairah, kedua pemuda itu pergi setiap hari secara sembunyi-sembunyi. Oleh karena itu, perginya seorang wanita adalah tampak bertolak belakang dengan prinsip kehati-hatian tersebut.

Dengan demikian, peristiwa mengikatkan makanan dengan nithaaq yang terjadi rumah pun telah menampakkan dengan jelas pengorbanan dan kecintaan mendalam yang dimiliki Hadhrat Asma, karena saat itu alih-alih ia menyia-nyiakan waktu untuk mencari benda guna mengikat makanan, (dapat dikatakan bahwa peristiwa ini terjadi di Gua, karena di sana tidak ada benda apapun) namun peristiwa ini pun dapat juga terjadi di rumah, karena saat beliau tidak menemukan benda apapun, dan beliau khawatir waktu akan terbuang sia-sia, maka beliau mengeluarkan tali ikat pinggang beliau lalu mengikat makanan dengannya dan menyiapkan keberangkatan Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat Rasulullah (saw). Alhasil, menurut riwayat Bukhari, pendapat ini dianggap lebih tepat, yaitu peristiwa mengikat makanan terjadi di waktu keberangkatan di rumah Hadhrat Abu Bakr, dan bukan di Gua Tsaur saat hendak memulai safar menuju Madinah. Wallahu A’lam.

Hadhrat Asma menjelaskan: لَمّا خَرَجَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَخَرَجَ أَبُو بَكْرٍ مَعَهُ احْتَمَلَ أَبُو بَكْرٍ مَالَهُ كُلّهُ وَمَعَهُ خَمْسَةُ آلَافِ دِرْهَمٍ أَوْ سِتّةُ آلَافٍ فَانْطَلَقَ بِهَا مَعَهُ “Tatkala Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakr (ra) berangkat untuk hijrah, Hadhrat Abu Bakr membawa seluruh hartanya yang sejumlah 5 atau 6 ribu dirham.” Hadhrat Asma menjelaskan, فَدَخَلَ عَلَيْنَا جَدّي أَبُو قُحَافَةَ وَقَدْ ذَهَبَ بَصَرُهُ فَقَالَ وَاَللّهِ إنّي لَا أَرَاهُ قَدْ فَجَعَكُمْ بِمَالِهِ مَعَ نَفْسِهِ. قَالَتْ قُلْت: كَلّا يَا أَبَتِ إنّهُ قَدْ تَرَكَ لَنَا خَيْرًا كَثِيرًا. قَالَتْ فَأَخَذْت أَحْجَارًا فَوَضَعْتهَا فِي كُوّةٍ فِي الْبَيْتِ الّذِي كَانَ أَبِي يَضَعُ مَالَهُ فِيهَا، ثُمّ وَضَعْت عَلَيْهَا ثَوْبًا، ثُمّ أَخَذْت بِيَدِهِ فَقُلْت: يَا أَبَتِ ضَعْ يَدَك عَلَى هَذَا الْمَالِ. قَالَتْ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهِ فَقَالَ لَا بَأْسَ إذَا كَانَ تَرَكَ لَكُمْ هَذَا فَقَدْ أَحْسَنَ وَفِي هَذَا بَلَاغٌ لَكُمْ. وَلَا وَاَللّهِ مَا تَرَكَ لَنَا شَيْئًا وَلَكِنّي أَرَدْت أَنْ أُسَكّنَ الشّيْخَ بِذَلِكَ “Kakek kami, Abu Quhafah datang berkunjung. Saat itu penglihatan beliau telah berkurang. Beliau berkata, ‘Demi Allah, saya menganggap bahwa ia (Hadhrat Abu Bakr), tidak hanya menimpakan bencana secara batin tetapi juga secara materi.’”

Atas hal ini Hadhrat Asma menuturkan, “Saya berkata, ‘Tidak, kakek, sama sekali tidak. Beliau pergi dengan meninggalkan banyak harta.’

Hadhrat Asma menuturkan, “Saya mengambil beberapa batu dan meletakkannya di lemari dinding dimana Ayahanda saya biasa meletakkan hartanya, lalu saya meletakkan kain diatasnya. Kemudian saya menggenggam tangan kakek saya dan berkata, ‘Kakek, coba letakkan tangan pada harta ini.’ Kemudian beliau pun meletakkan tangannya dan berkata, ‘Tidak apa-apa. Jika ia sedemikian banyak meninggalkan harta, sungguh ia telah berbuat baik.’ Hadhrat Asma bersabda, “Padahal, Demi Allah! Hadhrat Abu Bakr sama sekali tidak meninggalkan apapun untuk kami, namun saya berkeinginan untuk menenangkan orang tua ini dengan cara demikian.’”[27]

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad Sahib menulis dalam hal menyebutkan keberangkatan dari Gua Tsaur, “Ketika keluar dari Gua Tsaur, beliau (saw) menunggangi seekor unta yang menurut sebagian riwayat bernama Al-Qashwa. Unta yang kedua ditunggangi oleh Hadhrat Abu Bakr dan khadim beliau, Aamir bin Fuhairah.[28] Saat berangkat, beliau (saw) memandang Makkah untuk terakhir kali dan bersabda dengan nada menyesal, ‘Wahai negeri Makkah, engkau bagiku paling kucinta dari semua tempat yang ada, namun penduduk engkau tidak memperbolehkan aku tinggal di dalamnya.’[29] Saat itu Hadhrat Abu Bakr berkata, ‘Orang-orang ini telah mengusir Nabi mereka. Kini pasti mereka akan hancur.’”[30]

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Setelah menunggu 2 (dua) hari lamanya di Gua itu dan sesuai dengan yang telah disepakati, dikirimlah beberapa tunggangan ke dekat Gua di waktu malam, dan Nabi Muhammad (saw) beserta sahabat beliau berangkat dengan dua unta yang cepat. Satu unta ditunggangi oleh Hadhrat Muhammad Rasulullah (saw) dan seorang penunjuk jalan. Tertera juga di dalam satu riwayat bahwa dua orang duduk di satu tunggangan, namun di satu riwayat lain menyebutkan ada 3 unta. Pendek kata, Hadhrat Abu Bakr dan khadim beliau, Amir bin Fuhairah menunggangi unta yang kedua.

Sebelum berangkat dari Madinah, Rasul yang mulia (saw) menengadahkan wajah beliau ke arah Makkah, kota suci tempat beliau lahir, tempat beliau diangkat sebagai nabi, dan tempat dimana sejak masa Hadhrat Ismail (as), leluhur beliau terus-menerus tinggal di sana. Beliau (saw) memandang untuk terakhir kali dan dengan nada menyesal bersabda kepadanya, ‘Wahai negeri Makkah, engkau paling kucinta dari semua tempat yang ada, namun penduduk engkau tidak memperbolehkan aku tinggal di sini.’[31] Saat itu Hadhrat Abu Bakr pun berkata dengan sangat menyesal, ‘Orang-orang ini telah mengusir Nabi mereka. Kini, mereka pasti akan hancur.’”[32]

Menurut satu riwayat, ayat berikut ini turun tatkala mereka tiba di tempat bernama Juhfah (Juhfah berjarak lebih kurang 82 mil dari Makkah), إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ ۚ قُل رَّبِّي أَعْلَمُ مَن جَاءَ بِالْهُدَىٰ وَمَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ “Sesungguhnya Dia Yang telah mengikatkan ajaran Al-Qur’an kepadamu, akan membawamu kembali ke tempatmu lagi yang semula. Katakanlah, ‘Tuhanku lebih mengetahui siapa yang membawa petunjuk, dan siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata.’” (28:86)[33]

Perjalanan ini berlangsung sepanjang malam, hingga tatkala waktu siang akan tiba, kafilah berhenti di sebuah naungan suatu bukit untuk beristirahat. Hadhrat Abu Bakr menggelar alas tidur dan memohon kepada Yang Mulia Nabi (saw) agar beliau beristirahat. Nabi (saw) pun berbaring. Hadhrat Abu Bakr pun keluar untuk memantau apakah ada pengejar yang datang. Di saat itu pula ada seorang penggembala kambing yang datang untuk mencari naungan.

Hadhrat Abu Bakr menuturkan, فَسَأَلْتُهُ فَقُلْتُ لَهُ لِمَنْ أَنْتَ يَا غُلاَمُ قَالَ لِرَجُلٍ مِنْ قُرَيْشٍ سَمَّاهُ فَعَرَفْتُهُ. فَقُلْتُ هَلْ فِي غَنَمِكَ مِنْ لَبَنٍ قَالَ نَعَمْ. قُلْتُ فَهَلْ أَنْتَ حَالِبٌ لَبَنًا قَالَ نَعَمْ. فَأَمَرْتُهُ فَاعْتَقَلَ شَاةً مِنْ غَنَمِهِ، ثُمَّ أَمَرْتُهُ أَنْ يَنْفُضَ ضَرْعَهَا مِنَ الْغُبَارِ، ثُمَّ أَمَرْتُهُ أَنْ يَنْفُضَ كَفَّيْهِ، فَقَالَ هَكَذَا ضَرَبَ إِحْدَى كَفَّيْهِ بِالأُخْرَى فَحَلَبَ لِي كُثْبَةً مِنْ لَبَنٍ، وَقَدْ جَعَلْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِدَاوَةً عَلَى فَمِهَا خِرْقَةٌ، فَصَبَبْتُ عَلَى اللَّبَنِ حَتَّى بَرَدَ أَسْفَلُهُ، فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم “Saat itu saya bertanya kepadanya, ‘Nak, siapa majikanmu?’ Ia menjawab, ‘Saya budak seorang Quraisy.’ Ia menyebutkan namanya dan saya pun mengenalinya. Saya berkata, ‘Apakah ada kambing Anda yang memberi susu?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Saya berkata, ‘Apakah tersedia susu untuk diberikan kepada kami?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Maka dari itu saya memintanya untuk memeras susu darinya. Ia lalu memegang kaki salah satu diantara kambingnya dan menjepitnya diantara paha dan betisnya. Maka saya berkata kepadanya, ‘Pertama, bersihkanlah kelenjar susunya dengan baik.’”

Beliau (Hadhrat Abu Bakr) pun mengawasinya memerah susu hingga ke dalam sebuah wadah. Beliau memasukkan sejumlah air ke dalam wadah itu untuk mengurangi kadar kekentalan susu tersebut dan memberikannya ke hadapan Rasulullah (saw).[34]

Di dalam beberapa riwayat lain, tatkala Hadhrat Abu Bakr selesai menyiapkan susu untuk Yang Mulia Nabi (saw), beliau (saw) saat itu masih beristirahat. Hadhrat Abu Bakr menganggap tidaklah tepat untuk mengganggu istirahat beliau. Maka dari itu, Hadhrat Abu Bakr menunggu beliau (saw) bangun. Saat Nabi (saw) telah bangun [dari berbaring atau tidur], Hadhrat Abu Bakr memberikan beliau susu dan berkata, “Minumlah wahai Rasulullah (saw).” Beliau (saw) sedemikian rupa meminumnya sehingga Hadhrat Abu Bakr menuturkan, “Saya sangat bahagia.[35] Kemudian saya berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), telah tiba waktu melanjutkan perjalanan.’ Beliau (saw) bersabda, ‘Ya.’”[36]

Atau dalam satu riwayat lain tertera Nabi (saw) bersabda, “Mari kita lanjutkan perjalanan kita.” Hadhrat Abu Bakr menjawab, “Baik, junjunganku”. Alhasil perjalanan pun dilanjutkan.[37]

Tentang peristiwa pengejaran oleh Suraqah bin Malik sebagai berikut: Perjalanan ini, yang ada dibawah pimpinan Uraiqit, seorang penunjuk jalan ulung, dimulai dengan melewati desa-desa di pesisir laut yang kemudian mengarah ke Madinah. Mereka mengambil jalur yang berbeda dari rute umum terkenal menuju Madinah. Di Makkah dan kampung-kampung lain di sekitarnya telah diumumkan oleh kaum Kuffar mengenai hadiah sebanyak 100 ekor unta dan banyak orang yang ingin mendapatkan hadiah yang sangat besar tersebut.

Suraqah bin Malik (سراقة بن مالك بن جعشم) di kemudian hari beliau masuk Islam dan setelah masuk Islam beliau sendiri meriwayatkan peristiwa ini sebagai berikut, “Utusan Quraisy datang kepada kami. Mereka telah menetapkan imbalan bagi yang berhasil membunuh atau menangkap hidup-hidup Hadhrat Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakr (ra).”

Suraqah menuturkan, “Saya sedang duduk di satu Majlis kaum saya, Bani Mudlij (بَنِي مُدْلِجٍ). Seseorang datang dari hadapan kami dan berdiri di samping kami ketika kami duduk. Ia berkata, ‘Wahai Suraqah! Aku melihat beberapa sosok orang menuju pantai’, atau ia berkata, ‘Aku melihat satu kafilah yang terdiri dari tiga orang dan saya berpemikiran bahwa jangan-jangan itu adalah Muhammad (saw).’”

Suraqah bin Malik menuturkan, “Saya mengetahui ini adalah benar kafilah Muhammad (saw), namun saya tidak ingin bersama saya ada orang lain yang mendapat bagian dari hadiah ini. Oleh karena itu saya segera menangani momen yang genting tersebut dan memberikan isyarat dengan mata pada orang tersebut supaya ia diam dan saya sendiri mengatakan, ‘Bukan! Orang-orang yang engkau ceritakan itu tidak mungkin kafilah Muhammad (saw). Kafilah ini baru saja lewat di depan kita, mereka adalah Banu Pulan yang sedang pergi untuk mencari unta mereka yang hilang.’

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 37)

Suraqah mengatakan, “Saya tetap berada di majlis tersebut untuk beberapa lama supaya tidak ada seorang pun yang curiga lalu saya mengatakan kepada seorang budak perempuan saya, ‘Bawakan kuda saya yang cepat, simpanlah di belakang rumah dan tunggulah saya.’ Tidak berapa lama ia sendiri sampai di sana.” Beliau meriwayatkan, “Saya mengundi untuk mengambil keputusan, namun yang keluar malah bertentangan dengan perjalanan tersebut. Tapi, saya tidak mempedulikannya. Kuda itu berlari kencang dan mulai mengejar kafilah tersebut yang saya yakini merupakan kafilah Hadhrat Rasulullah (saw).”

Suraqah mengatakan, “Dengan melewati berbagai rintangan, saya tiba di dekat kafilah tersebut dengan cepat. Ketika jaraknya sudah sangat dekat, di luar kebiasaan, kuda tersebut tersandung sehingga saya terjatuh darinya. Kemudian saya bangkit dan mengundi lagi, kemudian hasilnya berlawanan dengan niat saya. Namun saya berkeinginan untuk membawa pulang Muhammad (saw) dan mendapatkan 100 ekor unta. Kemudian saya bangkit dan menunggangi kuda. Kali ini saya telah begitu dekat sehingga saya tidak hanya mengenali mereka adalah Muhammad (saw) dan Abu Bakr (ra), bahkan saya mendengar suara Muhammad (saw). Tidak berapa lama kuda saya tersandung dengan parah dan kaki-kakinya terperosok ke dalam pasir dan saya terjatuh darinya. Kemudian saya menghardik kuda tersebut dan bangkit. Yakni berdiri sambil mencaci makinya, dan kuda itu tidak bisa mengeluarkan kaki-kakinya dari tanah. Ketika ia akhirnya dengan serentak berdiri, maka debu naik dari kedua kakinya dan menyebar seperti kepulan asap di udara. Begitu dalamnya ia terperosok sehingga ketika ia mengeluarkan kaki-kakinya, debu beterbangan dari tanah atau pasir.”

Beliau menuturkan, “Kali ini saya kembali mengundi dengan anak-anak panah, maka keluarlah hasil yang saya tidak sukai. Dari tempat itu saya menyerukan perdamaian dan berkata, ‘Anda semua tidak akan mendapatkan kerugian apapun dari saya.’

Atas hal itu Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), ‘Tanyakan kepadanya, apa yang ia inginkan?’

Ia mengatakan, ‘Saya adalah Suraqah dan saya ingin berbicara dengan Anda.’”

Mendengar ini mereka berhenti. Suraqah menceritakan, “Orang-orang Makkah telah menetapkan hadiah 100 ekor unta bagi yang menangkap anda dalam keadaan hidup atau mati dan saya telah mengejar anda dalam keserakahan ini. Namun, sesuatu terjadi pada diri saya yang karenanya saya menjadi yakin bahwa pengejaran saya ini tidak benar.”

Ia menawarkan biaya perjalanan dan sebagainya kepada yang mulia Nabi (saw), namun beliau (saw) tidak menerimanya. Beliau (saw) hanya bersabda, “Jangan ceritakan mengenai kami kepada siapapun.” Ia berjanji akan hal ini dan bersama dengan itu juga mengatakan, “Saya yakin, suatu hari anda akan meraih kerajaan. Mohon tuliskanlah sebuah perjanjian bagi saya bahwa ketika nanti saya hadir di hadapan anda, mohon saya diperlakukan dengan hormat.” Berdasarkan beberapa riwayat, ia telah memohon surat perjanjian perlindungan. Oleh karena itu, atas instruksi dari yang mulia Nabi (saw), Hadhrat Abu Bakr (ra) menulisnya.[38]

Berdasarkan satu riwayat lainnya Aamir bin Fuhairah-lah yang telah menulis surat tersebut dan ia membawa pulang surat tersebut. [39]

Riwayat ini masih akan berlanjut di kesempatan mendatang.

Insya Allah, tahun baru juga dimulai. Semoga Allah Ta’ala memberikan keberkatan pada tahun yang akan datang bagi setiap anggota Jemaat dari segala segi, menjaga Jemaat dari segala jenis keburukan dan menghancurkan segala makar musuh untuk menentang Jemaat. Semoga kita bisa melihat sempurnanya janji-janji yang Allah Ta’ala telah berikan kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as) dalam kehidupan kita. Semoga Allah Ta’ala memperlihatkan pemandangan ini kepada kita.

Alhasil, perbanyaklah berdoa. Masukilah tahun baru dengan doa-doa, berikanlah perhatian khusus pada tahajud. Di sebagian masjid tahajud biasa dilaksanakan, bagi yang tidak biasa melaksanakan, hendaknya melaksanakannya juga. Jika tidak dilaksanakan secara berjamaah, maka hendaknya dilaksanakan secara perseorangan di rumah-rumah dan hendaknya berdoa. Pertama-tama, hal ini harus menjadi kebiasaan yang permanen, tetapi ketika anda melaksanakannya besok atau malam ini, maka berusahalah menjadikannya sebagai bagian permanen dari kehidupan. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada semuanya.

Selain sholawat dan istighfar, perbanyaklah membaca doa-doa berikut ini: رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ “Wahai Tuhan Kami! Janganlah biarkan hati kami bengkok (sesat) setelah Engkau memberikan petunjuk kepada kami dan anugerahkanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Anugerah.” (Surah Aali Imran, 3:9)

Kemudian, bacalah juga doa: رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ Artinya: “Wahai Tuhanku! Ampunilah dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan dalam urusan kami dan teguhkanlah langkah-langkah kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada setiap Ahmadi untuk melaksanakannya.” (3:148)

Setelah jumat saya akan mengimami shalat jenazah gaib untuk beberapa Almarhum. Saya ingin menyampaikan riwayat mereka. Jenazah pertama, yang terhormat Malik Faruq Ahmad Khokhar (ملک فاروق احمد کھوکھر صاحب) Sahib, Amir Daerah Multan [Pakistan]. Beliau wafat pada 18 Desember di usia 80 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Ayahanda beliau bernama yang terhormat Malik Umar Ali Khokhar Sahib yang dikenal sebagai Rais Multan dan ibunda beliau adalah Sayyidah Nushrat Jahan Begum Sahibah. Dikenal dengan nama Sayyidah Begum. Beliau adalah putri Hadhrat Mir Muhammad Ishaq.

Hadhrat Malik Umar Ali Sahib [ayah almarhum] menerima Ahmadiyah di masa mudanya. Beliau datang ke Qadian di masa Hadhrat Khalifah Tsani (ra) dan mendapatkan kehormatan untuk baiat. Malik Umar Ali Sahib wafat di usia muda, ketika itu Malik Faruq Ahmad Sahib masih seorang pemuda berusia antara 20 dan 22 tahun. Selain lahan-lahan, Malik Sahib juga memiliki beberapa bisnis di Karachi. Beliau menjalankan bisnis tersebut dengan sangat baik dan merawat kedua ibunya [ayahnya punya dua istri, salah satu adalah ibu kandungnya dan satu lagi istri ayahnya yang lain] serta saudara-saudarinya.

Malik Faruq Khokhar Sahib dalam waktu yang lama berkhidmat pada jabatan sebagai Qaid Daerah Multan, Qaid Majlis Khuddamul Ahmadiyah Daerah Multan dan kemudian Qaid Wilayah Multan. Dari 1980 hingga 1985 beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Amir Daerah Multan. Pada masa itu beliau juga mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Amir Kota Multan. Beliau menikah pada tahun 1968 dengan Dardanah Sahibah, putri dari Hadhrat Mirza ‘Aziz Ahmad Sahib. Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits (rh) memimpin pernikahan beliau. Allah Ta’ala menganugerahkan satu putra dan lima putri kepada beliau.

Istri beliau menuturkan, “Beliau sosok yang penuh cinta dan perhatian. Memperhatikan hal-hal yang kecil, melaksanakan tahajud secara dawam dan membangunkan saya juga untuk tahajud setiap hari. Pada hari ketika beliau wafat, malam itu pun beliau melaksanakan shalat nafal sebelum tidur. Beliau berusaha untuk senantiasa dalam keadaan berwudhu.”

Beliau menuturkan, “Ketika beliau belum menjadi Amir, namun ketika ada seorang Ahmadi yang memiliki suatu permasalahan, kapan pun beliau menerima telepon darinya maka beliau sepenuhnya siap untuk bekerja. Ketika menjadi Amir Jemaat, beliau memerintahkan saya supaya setiap saat tersedia makanan dan cae, karena tamu bisa datang kapan saja.”

Beliau menuturkan, “Saya tidak ingat kapan rumah saya kosong dari tamu. Selalu ada saja yang datang untuk singgah. Beberapa mubaligh juga biasa menginap di rumah. Rumah beliau dijadikan kantor. Beliau seseorang yang mencintai dengan tulus. Beliau sangat menghormati dan mencintai semua kerabat ghair Ahmadi, bahkan seluruh keluarga besar Khokhar. Beliau senantiasa menjaga hubungan baik dengan mereka. Dengan karunia Allah Ta’ala, beliau sangat baik dalam tilawat Al-Qur’an. Ketika saya melakukan tilawat, beliau biasa memperbaiki bacaan Al-Quran saya tanpa beliau membuka Al-Qur’an.”

Putra beliau bernama Talhah menuturkan, “Beliau sangat memperhatikan kedua ibunya dan tidak pernah membeda-bedakan dan beliau sendiri yang mengatur pernikahan semua saudara dan saudari beliau. Rumah beliau, seperti halnya hati beliau, selalu terbuka bagi setiap orang, khususnya bagi para Waqifin Jemaat. Beliau mempunyai satu rumah di Khaira Gali, Muree dan biasa mengatakan, ‘Saya membangunnya untuk Jemaat.’ Beliau tidak pernah menolak siapa pun yang ingin pergi dan menginap di sana.

Pada masa penuh ujian setelah ordonansi pemerintah pada 1984, dengan karunia Allah Ta’ala dengan kepribadian beliau yang pemberani, beliau senantiasa menyemangati semua saudara-saudara Ahmadi di Distrik dan Kota Multan. Beliau tidak membiarkan mereka menjadi lemah. Pada perjalanan hijrah Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh), dengan karunia Allah Ta’ala beliau mendapatkan taufik ikut serta dalam kafilah Huzur (rh). Pada satu kesempatan beliau bahkan memimpin kafilah dan memandu perjalanan.”

Putra beliau menulis, “Di masa keamiran ayahanda, rumah kami lebih seperti kantor. Sangat ramai. Beliau menyerahkan pekerjaan menggarap lahan pada adik laki-lakinya dan mewaqafkan seluruh waktunya untuk agama. Semua orang biasa datang dengan penuh keakraban. Beliau seorang yang santai dan tidak formal. Beliau juga biasa membantu perekonomian kerabat-kerabat yang non-Ahmadi. Beberapa kerabat datang pada pemakaman beliau, maka mereka sambil menangis mengatakan, “Hari ini kami tidak memiliki pewaris”. Karena beliau biasa membantu mereka. Beliau selalu menasihati kami mengenai shalat, khususnya shalat subuh.

Putri kecil beliau, Faizah menuturkan, “Ketawakalan ayah pada Allah adalah sebuah teladan bagi kami. Saya melihat beliau pada setiap masa, beliau menjadi yatim di masa muda, mengalami masa yang sulit maupun tentram, namun sejak kecil saya melihat bahwa ayahanda secara terbuka menzahirkan ketawakalannya pada Allah dan selalu mengatakan bahwa, “Allah Ta’ala sendiri yang akan menyelesaikan semua tugas saya.”

Beliau menuturkan, “Ayahanda sangat mencintai Khilafat dan biasa menangis ketika menceritakan tentang Khilafat dan ketika beliau ditimpa suatu musibah, beliau melewatinya dengan penuh kesabaran dan doa.

Adik laki-laki beliau dari ibu kedua, Malik Thariq Ali Khokhar menuturkan, “Saya berusia 9 tahun ketika ayahanda saya wafat dan kakak saya, Malik Faruq berusia 22 tahun, namun beliau menjaga kami layaknya seorang ayah dan sepanjang umur tidak pernah membiarkan saya merasakan kehilangan sosok ayah.”

Kemudian beliau menulis, “Beliau memiliki karisma yang istimewa di hadapan kerabat ghair Ahmadi dan beliau sangat memperhatikan mereka. Beliau merawat banyak keluarga Ahmadi. Beliau banyak mendidik anak-anak dan menyiapkan mereka untuk bekerja.”

Kemudian beliau menuturkan, “Kakak saya memberikan pinjaman kepada setiap orang yang membutuhkan tanpa pernah menuntut pengembalian. Beliau selalu memberikannya dengan niat sebagai qardhan hasanah (pinjaman yang baik di sisi Allah Ta’ala, pent.). Banyak mubayi’in baru mengatakan bahwa setelah masuk Jemaat, Malik Faruq Ahmad Khokhar Sahib memperlakukan kami seperti layaknya saudara dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kami.” Dua tahun sebelum kewafatan, beliau selalu memikirkan untuk bisa melunasi jaidadnya. Sebagian besar jaidadnya sudah dibayar, masih tersisa sedikit lagi. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada anak-anak beliau untuk dapat melunasinya.”

Tahirah, adik perempuan beliau yang juga dari ibu yang lain menuturkan, “Kakak saya selalu memperlakukan saya layaknya seorang ayah yang penyayang. Keistimewaan terbesar beliau adalah, beliau tidak pernah membeda-bedakan antara saudara kandung dan saudara tiri. Beliau memperlakukan semua saudara-saudari beliau dengan sama dan memperlakukan kedua ibu beliau dengan sama. Beliau tidak pernah membiarkan kami merasa bahwa kami berbeda ibu.”

Kemudian menuturkan, “Beliau betul-betul menggantikan sosok ayah saya. Sebagaimana seorang ayah yang dengan tenang menemani kesedihan dan kebahagiaan putrinya, persis seperti itulah hubungan saya dengan beliau.”

Kemudian putri beliau, Namud Sahar menuturkan, “Ada beberapa hal yang sangat menonjol dalam kehidupan ayahanda dan selalu teringat. Di antaranya terutama adalah pengkhidmatan terhadap tamu dan jalinan kecintaan dengan orang-orang.”

Kemudian beliau menuturkan, “Kualitas keramahan terhadap tamu pada diri beliau sedemikian rupa, hingga ketika masakan telah siap di rumah, lalu tamu datang, sedangkan anggota keluarga telah duduk untuk makan, tapi kemudian masakan tersebut lalu dihidangkan kepada para tamu dan anggota keluarga makan dengan menggoreng telur. Kemudian beliau menuturkan bahwa dalam kehidupan, manusia biasa banyak melakukan kekeliruan-kekeliruan, manusia terkadang terlibat perselisihan dan karenanya mereka melalui cobaan, namun berkenaan dengan Khilafat beliau tidak pernah membicarakan hal yang membuat kami berpemikiran bahwa Khalifah telah mengambil keputusan yang keliru. Di rumah kami selalu memberikan perhatian khusus pada menyimak khutbah dan menjalin hubungan dengan Jemaat.”

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfiroh dan rahmat kepada beliau, memberikan ketabahan dan kesabaran kepada anak-anak beliau dan memberikan taufik untuk maju dalam kebaikan-kebaikan.

Jenazah selanjutnya, Rahmatullah Sahib (رحمت اللہ صاحب) dari Indonesia. Beliau wafat pada usia 66 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau lahir di Jawa Timur. pada 1980 Beliau baiat masuk ke dalam Jemaat melalui Raisuttabligh Jemaat Indonesia yang terdahulu, yang terhormat Sayuti Aziz Sahib. Pada 1993 beliau bergabung dalam nizam Al-Wasiyat. Hingga kewafatannya beliau mendapatkan taufik berkhidmat di Jemaat Karang Tengah (Jawa Barat). Di antara yang ditinggalkan, selain 3 anak juga 6 cucu.

Istri beliau menulis bahwa Almarhum melihat sebuah mimpi, di dalamnya beliau melihat diri beliau berdiri di tengah-tengah barisan manusia. Beliau dalam mimpi bertanya kepada seseorang bahwa, “Saya harus masuk ke barisan yang mana?”

Seseorang menunjuk pada satu barisan yang di dalamnya ada satu wujud suci. Almarhum tidak mengenali wujud suci tersebut. Beberapa waktu kemudian beliau mengetahui bahwa wujud suci yang beliau lihat dalam mimpi tersebut adalah Hadhrat Masih Mau’ud (as) Dikarenakan mimpi ini lah Almarhum mengakui kebenaran Jemaat dan kemudian baiat.

Putri beliau menulis bahwa Almarhum setelah baiat selain berkhidmat di Jemaat lokal, juga di Majlis Anshorullah Lokal. Jemaat mendapatkan serangan dan caci makian dari para penentang. Almarhum membela Jemaat dengan sangat berani. Beliau sosok yang sangat dermawan. Setiap kali ada yang meminta bantuan atau meminjam uang, beliau selalu membantunya. Putri ketiga beliau menuturkan bahwa beliau sosok yang sangat mencintai Khilafat dan sangat taat.

Abdul Basith Sahib, Amir Indonesia menulis bahwa beliau adalah seorang yang sangat mencintai Khilafat dan Jemaat. Di satu kota di Jawa Barat terdapat satu Jemaat, di sana beberapa kali para penentang Jemaat menyerang masjid kita dan meminta pemerintah setempat untuk membatasi kegiatan-kegiatan Jemaat. Pada kesempatan tersebut Rahmatullah Sahib menghadapi para penentang dan pemerintah setempat dengan berani dan menjawab tuduhan-tuduhan mereka, dan berkat upaya-upaya Almarhum hingga sekarang Jemaat tetap berdiri di sana dan tidak dikenakan pembatasan.

Semoga Allah Ta’ala memberikan maghfiroh dan rahmat kepada Almarhum dan menganugerahkan taufik kepada anak keturunan Almarhum untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan Almarhum.

Jenazah selanjutnya, Al-Haj Abdul Hamid Thak Sahib (الحاج عبدالحمید ٹاک صاحب), dari Yaripurah, Kashmir. Beliau wafat pada 24 Desember di usia 94 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau seorang Mushi. Beliau adalah putra Muhammad Akram Sahib Yaripura yang merupakan salah satu Ahmadi awalin di daerah tersebut. Almarhum seorang yang saleh, lemah lembut, rendah hati, penuh kasih sayang, serius dan pendiam.

Beliau mendapatkan taufik mengkhidmati Jemaat dalam waktu yang lama. Selain sebagai Amir Provinsi Jammu Kashmir, beliau juga mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Amir Daerah dan Nazim Anshorullah. Di Jemaat Lokal, beliau mendapatkan taufik berkhidmat di berbagai bidang kepengurusan. Bertahun-tahun beliau menjadi anggota independen Anjuman Tahrik-e-Jadid Bharat. Pada 1987, di masa keamiran beliau di Provinsi Wadi Kashmir berdiri 5 buah sekolah Jemaat.

Beliau telah sangat bekerja keras untuk pembangunan masjid-masjid dan rumah-rumah misi. Beliau melakukan upaya-upaya besar untuk memperkuat dan meningkatkan kemampuan intelektual para pemuda dan selalu menjadi yang terdepan dalam pekerjaan ini. Beliau sangat dihormati di wilayah Yaripura dikarenakan pengkhidmatan sosial beliau.

Semoga Allah Ta’ala memberikan maghfiroh dan ampunan kepada beliau, dan menjadikan anak keturunan beliau orang-orang yang saleh dan diberikan taufik untuk berkhidmat. [40]

Khotbah II

الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


[1] Syarh (Kitab komentar) az-Zurqani atas kitab al-Mawahib al-Laduniyyah (شرح الزرقاني على المواهب اللدنية بالمنح المحمدية) karya Abu Abdullah Muhammad ibn Abd al-Baqi bin Yusuf bin Ahmad bin Ulwan az-Zurqani (أبوعبد الله محمد بن عبد الباقي بن يوسف بن أحمد بن علوان الزرقاني، الفقيه المالكي الأصولي),  (جزء 2 صفحہ 122-123، دار الکتب العلمیۃ بیروت 1996ء) Volume 2, pp. 122-123, Bābu Hijratil-Muṣṭafā wa Aṣḥābihi ilal-Madīnah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996). Penulis ini lahir pada 1122 H/1645 – wafat 1122 H/1710 M. Zurqan ialah nama sebuah desa di Mesir. Karya-karya az-Zurqani yang lain ialah Sharh al-Muwatta al-Malik (شرح موطأ الإمام مالك) dan Mukhtashar al-maqāshid al-hasanah fī bayān kathīr min al-ahādīth al-mushtaharah alá al-alsinah (مختصر المقاصد الحسنة للسَّخاوي وهو مطبوع).

[2] Tarikh al-Khamis, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon (2009) (تاریخ الخمیس جلد 2 صفحہ15 فی وقائع السنۃ الاولیٰ من الہجرۃ دارالکتب العلمیۃ 2009ء)

[3] Tercantum dalam Mawahib al-Laduniyyah bi al-Minah al-Muhammadiyyah (نام کتاب : المواهب اللدنية بالمنح المحمدية نویسنده : القسطلاني جلد : 1 صفحه : 174, Karunia Ilahiah dalam Bentuk Karunia Muhammadiyyah) karya Imam Ahmad Shihabuddin ibn Muhammad ibn Abu Bakr al-Qastallani (wafat 923 H/1517 M) yang pada terbitan Maktabah Islami di Beirut, 2004 berada pada jilid 1, halaman 292-293 (المواھب اللدنیہ لعلامہ قسطلانی جلد1 صفحہ292-293 مطبوعہ المکتب الاسلامی بیروت 2004ء). Al-Qasthalani seorang ahli hadits yang menyusun syarh atas Sahih Bukhari (judulnya Irsyad as-Sari). Kitab Mawahib ini adalah biografi Nabi Muhammad sall-Allahu alayhi wasallam. Pemikiran beliau banyak terpengaruh Syafii, Maliki dan Asyari.

[4] Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Muḥammad bin ‘Abdul-Bāqī Az-Zarqānī, Volume 2, p. 126, Bābu Hijratil-Muṣṭafā wa Aṣḥābihi ilal-Madīnah, Dārul-Kutubil- ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996); * Tārīkhul-Khamīs, By Ḥusain bin Muḥammad bin Ḥasan Dayār Bakrī, Volume 1, p. 329, Al-Faṣlul-Awwalu fī Khurūjihisa ma‘a Abī Bakrin mim-Makkata ilal-Ghār, Muwassasatu Sha‘bān, Beirut

Terkait:   Khotbah Idul Adha: Esensi Pengorbanan adalah Ketakwaan

[5] Shahih Muslim 2381, Kitab Fadhailish Shahabah (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), keutamaan Abu Bakr (باب مِنْ فَضَائِلِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رضى الله عنه).

[6] Ṣaḥīḥ Bukhārī, Kitābu Faḍā’ili Aṣḥābin-Nabiyyi sa (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Bābu Manāqibil-Muhājirīna wa Faḍlihim-minhum Abū Bakrin ‘Abdullāh bin Abī Quḥāfah at-Taimi radhiyallahu ‘anhu (باب مَنَاقِبِ الْمُهَاجِرِينَ وَفَضْلِهِمْ مِنْهُمْ أَبُو بَكْرٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي قُحَافَةَ التَّيْمِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), Ḥadīth No. 3652-3653.

[7] Kitab komentar az-Zurqani atas kitab al-Mawahib al-Laduniyyah (شرح الزرقاني على المواهب اللدنية بالمنح المحمدية) Syarh karya Abu Abdullah Muhammad ibn Abd al-Baqi bin Yusuf bin Ahmad bin Ulwan az-Zurqani (أبوعبد الله محمد بن عبد الباقي بن يوسف بن أحمد بن علوان الزرقاني، الفقيه المالكي الأصولي), Volume 2, pp. 122-123, Bābu Hijratil-Muṣṭafā wa Aṣḥābihi ilal-Madīnah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996). Tercantum juga dalam Mawahib al-Laduniyyah bi a-Minah al-Muhammadiyyah (نام کتاب : المواهب اللدنية بالمنح المحمدية نویسنده : القسطلاني جلد : 1 صفحه : 174, Karunia Ilahiah dalam Bentuk Karunia Muhammadiyyah) karya Imam Ahmad Shihabuddin ibn Muhammad ibn Abu Bakr al-Qastallani, وروى أيضا: أن أبا بكر لما رأى القافة اشتد حزنه على رسول الله صلى الله عليه وسلم- وقال إن قتلت أنا فإنما أنا رجل واحد، وإن قتلت أنت هلكت الأمة، فعندها قال له رسول الله- صلى الله عليه وسلم-: لا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنا . Rujukan diatas juga dalam ar-Raudhul Anf (الروض الأنف والمشرع الروى فيما اشتمل عليه كتاب السيرة واحتوى 1-2 ج2) karya Imam as-Suhaili (أبي القاسم عبد الرحمن بن عبد الله/السهيلي); (صحيح مسلم وإكمال إكمال المعلم ومكمل إكمال الأكمال – ج 6); (صحيح مسلم بشرح الأبي والسنوسي 1-9 ج8) karya (الأبي والسنوسي); (كتاب الثقات 1_10_الطبعة الهندية – 2); as-Sirah an-Nabawiyah karya Raghib as-Sarjani (كتاب السيرة النبوية – راغب السرجاني), bahasan (الهجرة إلى المدينة), (إعداد الرسول صلى الله عليه وسلم للهجرة مع أبي بكر وعلي رضي الله عنهما), (جهود قريش في البحث عن الرسول صلى الله عليه وسلم وأبي بكر بعد خروجهما من مكة مهاجرين). Tercantum juga dalam al-Basith karya al-Wahidi (البسيط للواحدي — الواحدي (٤٦٨ هـ)); ar-Rakhiq al-Makhtum karya al-Mubarakfuri (نام کتاب : الرحيق المختوم نویسنده : صفي الرحمن المباركفوري جلد : 1 صفحه : 150); Al-Wasith fi Tafsiril Qur’an (الوسيط في تفسير القرآن المجيد – ج 2)

[8] At-Taubah (9:40)

[9] Sirat Khataman Nabiyyin, halaman 237-239 (سیرت خاتم النبیینؐ صفحہ 237 تا 239)

[10] Sahih al-Bukhari 3922, Kitab Manaqib para Anshar (كتاب مناقب الأنصار),bab hijrah Nabi (باب هِجْرَةُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَصْحَابِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ)

[11] Tafsir Kabir jilid 7 halaman 146 (تفسیر کبیر جلد 7صفحہ147،146)

[12] ‘Irfan Ilahi dan keluhuran martabat kecintaan terhadap Allah, Anwarul ‘Ulum, jilid 11, 223-224 (عرفان الٰہی اورمحبت باللہ کا عالی مرتبہ، انوارالعلوم جلد11صفحہ223-224)

[13] Bahasan lebih mendalam mengenai naskah-naskah zaman awal yang membahas Pilatus diantaranya dibahas pada karya Grüll, Tibor (2010). “The Legendary Fate of Pontius Pilate”. Classica et Mediaevalia. Gereja Barat dan Bizantium meriwayatkan negatif [menggambarkan cenderung buruk] tentang Pilatus. Tradisi riwayat yang positif (baik) mengenai Pilatus biasanya ada di Gereja Timur, khususnya Koptik Mesir, Syriak dan Ethiopia. Tradisi penulis Kristen awal (abad kedua) menggambarkan Pilatus secara lebih baik daripada kepenulisan setelahnya. Tulisan-tulisan apokrif (tidak dirujuk sebagai sumber utama Gereja mainstream sekarang) menggambarkan Pilatus mengimani Yesus atau berusaha menyelamatkannya serta wafat sebagai martir [syahid] dalam keadaan mengimani Yesus. Tertulianus [abad 2] menyatakan telah melihat laporan Pilatus ke Kaisar Tiberius yang menyatakan Pilatus menjadi Kristen secara sadar.

[14] Dhamimah Barahin Ahmadiyah bagian ke-5, Ruhani Khazain jilid 21, 402 (ضمیمہ براہین احمدیہ حصہ پنجم روحانی خزائن جلد 21 صفحہ 402)

[15] Malfuzhaat jilid 1 halaman 378 (ملفوظات جلد 1 صفحہ 376تا 378)

[16] Surmah Casyam Ariyah, Ruhani Khazain jilid 2, halaman 66 (سرمہ چشم آریہ، روحانی خزائن جلد 2 صفحہ 66حاشیہ)

[17] Sahih al-Bukhari 2905, Kitab Manaqib, bab Hijrah Nabi (صحیح بخاری کتاب مناقب الانصار باب ہجرۃ النبیﷺ … حدیث نمبر3905); as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (السیرۃ النبویۃ لابن ہشام جزء1-2 صفحہ 289 ، ذکر ھجرۃ الرسول، مطبوعہ دارالکتاب العربی بیروت 2008ء). Sahih al-Bukhari 5807, Kitab pakaian (كتاب اللباس), bab at-Taqannu (باب التَّقَنُّعِ). Tercantum juga dalam Strategi hijrah: prinsip-prinsip ilmiah dan ilham Tuhan, cetakan pertama, 2004, Solo, penulis Ahmad Abdul Azhim Muhamad

[18] As-Sirah al-Halbiyah (السیرۃ الحلبیہ جزء2 صفحہ54 باب عرض رسول اللّٰہﷺ نفسہ۔۔۔ دارالکتب العلمیۃ بیروت2002ء)

[19] As-Sirah al-Halbiyah (السیرۃ الحلبیہ جلد2 صفحہ 58 باب الھجرۃ الی المدینۃ مطبوعہ دارالکتب العلمیۃ بیروت 2002ء)

[20] as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (السیرۃ النبویۃ لابن ہشام صفحہ 344، ھجرۃ الرسول مطبوعہ دارالکتب العلمیۃ بیروت 2001ء); Sahih al-Bukhari 2905, Kitab Manaqib, bab Hijrah Nabi (صحیح بخاری کتاب مناقب الانصار باب ہجرۃ النبیﷺ … حدیث نمبر3905); Fathul Bari (فتح الباری شرح صحیح البخاری جلد 7 صفحہ 238 دار المعرفۃ بیروت)

[21] Ṣaḥīḥ Bukhārī, Kitābu Manāqibil-Anṣār, Bābu Hijratin-Nabiyyisa wa Aṣḥābihī ilal-Madīnah, Ḥadīth No. 3905

[22] Ṣaḥīḥ Bukhārī, Kitābu Manāqibil-Anṣār, Bābu Hijratin-Nabiyyi sa wa Aṣḥābihī ilal-Madīnah, Ḥadīth No. 3917

[23] Sirat Khataman Nabiyyin, halaman 239-240 (سیرت خاتم النبیینؐ صفحہ239-240)

[24] Tarikh al-Khamis (تاریخ الخمیس جلد2 صفحہ 18، ذکر خروجہﷺ مع ابی بکر من مکۃ۔۔۔ دارالکتب العلمیۃ بیروت2009ء). 1 Rabī‘ul-Awwal of 15 Nabawī, equivalent to the 12th of September 622 A.D. * Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Muḥammad bin ‘Abdul-Bāqī Az-Zarqānī, Volume 2, pp. 101-102, Bābu Hijratil-Muṣṭafā wa Aṣḥābihi ilal-Madīnah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996); * Maḥmūd Pāshā Miṣrī; * Taqwīmut-Tārīkhī, By ‘Abdul-Quddūs Hāshmī, p. 1, Idāra-e-Taḥqīqāt-e-Islāmī, Pakistan (1987)

[25] Fathul Bari Ibnu Hajar 5236 / 10164 https://carihadis.com/Fathul_Bari_Ibnu_Hajar/5236 (فتح الباری شرح صحیح البخاری لابن حجر جلد7 صفحہ299مطبوعہ قدیمی کتب خانہ مقابل آرام باغ کراچی)

[26] Muhammad Rasulullah walladzina ma’ahu karya ‘Abdul hamid Jaudah as-Sahar, jilid 3, halaman 61, Maktabah Mesir (محمدرسول اللّٰہ والذین معہ از عبدالحمید جودۃ السحار جلد3 صفحہ 61مکتبۃ مصر); as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (السیرۃ النبویۃ لابن ہشام صفحہ 345، دا رالکتب العلمیة بیروت 2001ء); As-Sirah al-Halbiyah (السيرة الحلبية – الحلبي – ج ٢ – الصفحة ٢١٥). Tercantum juga dalam Mushannaf (مصنف عبد الرزاق), Kitab al-Manasik (كتاب المناسك), bab ucapan saat perjalanan (باب القول في السفر), 8964: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَنِي وَلَمْ أَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا ، اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى هَوْلِ الدُّنْيَا ، وَبَوَائِقِ الدَّهْرِ ، وَمَصَائِبِ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ ، اللَّهُمَّ اصْحَبْنِي فِي سَفَرِي ، وَاخْلُفْنِي فِي أَهْلِي ، وَلَكَ فَدَلِّلْنِي وَذَلِكَ عَلَى خُلُقٍ صَالِحٍ فَقَوِّمْنِي ، وَإِلَيْكَ يَا رَبِّ فَحَبِّبْنِي ، وَإِلَى النَّاسِ فَلَا تَكِلْنِي ، رَبٌّ لِلْمُسْتَضْعَفِينَ فَأَنْتَ رَبٌّ ، أَعُوذُ بِوَجْهِكَ الْكَرِيمِ الَّذِي أَشَرَقَتْ لَهُ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ ، وَكَشَفْتَ بِهِ الظُّلُمَاتِ ، وَأَصْلَحْتَ بِهِ أَمْرَ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ ، أَنْ تُحْلِلَ عَلَيَّ سَخَطِكَ ، أَوْ تُنْزِلَ عَلَيَّ غَضَبَكَ ، لَكَ الْعُتْبَى عِنْدِي مَا اسْتَطَعْتُ ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ  –  Alhamdu liLlaahi khalaqtani walam akun syai-am madzkuura, Allahumma a’innii ‘alaa haulid dunyaa, wabawaa-iqid dahri, wa mashaa-ibil layaali wal ayyaami. Allahumma ash-habnii fi safari, wakhlufnii fii ahlii, wa laka fadallani wa dzaalika ‘ala khuluqin shaalihin faqawwimnii,  wa ilaaika Yaa Rabbii fahabbibnii, wa ilan naasi falaa takilnii. Anta Rabbul mustadh’afiina wa Anta Rabbun, a’uudzu bi-wajhikal kariimi lladzii asyraqat lahu nuurus samaawaati wal ardhi, wa kasyafta bihizh zhulumaatu, wa ashlahta bihil amral awwaliina wal aakhiriina, ay yahlila ‘alayya sakhatika au tunzila ‘alayyaa ghadhabaka, lakal ‘utbaa ‘indi mastatha’tu, laa haula walaa quwwata illa biLlaahi.’ “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakanku sementara aku sebelum itu tidak disebut-sebut. Ya Allah! Tolonglah aku atas ketakutan dunia dan bencana-bencana zaman serta musibah-musibah malam dan siang. Ya Allah! Temanilah aku dalam perjalananku. Gantikanlah aku dalam menjaga keluargaku. Jadikanlah aku hanya tunduk kepada-Mu, tetapkanlah aku pada penciptaanku yang baik, jadikan Engkau selalu mencintaiku, dan jangan serahkan aku pada manusia. Wahai Tuhan orang-orang yang lemah! Engkaulah Tuhan. Aku berlindung dengan wajah-Mu yang Maha Mulia yang menyinari cahaya langit dan bumi. Engkau menyingkap kegelapan serta menjadikan baik perkara orang-orang terdahulu dan orang-orang setelahnya, agar kemarahan-Mu tidak mengenaiku dan kemurkaan-Mu tidak turun kepada-ku. Hanya dengan perkenan engkau-lah semua kebaikan bisa kulakukan. Tiada daya untuk terhindar dari dosa dan tiada kekuatan untuk melakukan kebaikan kecuali atas perkenan Allah.”

[27] as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (كتاب: سيرة ابن هشام المسمى بـ «السيرة النبوية» (نسخة منقحة)) bahasan Abu Quhafah dan Asma setelah Hijrah Abu Bakr (أَبُو قُحَافَةَ وَأَسْمَاءُ بَعْدَ هِجْرَةِ أَبِي بَكْرٍ), Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001) (السیرۃ النبویۃ لابن ہشام 345،ھجرۃ الرسولﷺ،دا رالکتب العلمیة بیروت 2001ء)

[28] Tārīkhul-Khamīs, By Ḥusain bin Muḥammad bin Ḥasan Dayār Bakrī, Volume 1, p. 330, Dhikru Khurūjihimā minal-Ghāri wa Khurūjihimā ilal-Madīnah, Muwassasatu Sha‘bān, Beirut; Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Muḥammad bin ‘Abdul-Bāqī Az-Zarqānī, Volume 2, p. 129, Bābu Hijratil-Muṣṭafā wa Aṣḥābihi ilal-Madīnah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)

[29] Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Muḥammad bin ‘Abdul-Bāqī Az-Zarqānī, Volume 2, p. 108, Bābu Hijratil-Muṣṭafā wa Aṣḥābihi ilal-Madīnah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[30] Sirat Khataman Nabiyyin, halaman 239-240 (سیرت خاتم النبیینؐ صفحہ240); Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Muḥammad bin ‘Abdul-Bāqī Az-Zarqānī, Volume 2, p. 218, Kitābul-Maghāzī, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)

[31] Jami’ al-Tirmidhi Book: 49 Kitab tentang Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), Hadith: 4305: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِمَكَّةَ  ” مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ وَأَحَبَّكِ إِلَىَّ وَلَوْلاَ أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ .

[32] Debacah Tafsirul Qur’an (دیباچہ تفسیر القرآن انوار العلوم جلد 20 صفحہ223-224); as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (السیرۃ النبویۃ لابن ہشام باب ہجرۃ الرسولﷺ صفحہ 344 دار الکتب العلمیۃ بیروت 2001ء); Jami` at-Tirmidhi 3171, Kitab at-Tafsir (كتاب تفسير القرآن عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), Surah al-Hajj (باب وَمِنْ سُورَةِ الْحَجِّ): عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ لَمَّا أُخْرِجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مِنْ مَكَّةَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَخْرَجُوا نَبِيَّهُمْ لَيَهْلِكُنَّ فَأَنْزَلَ اللَّهُ : (أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ ) الآيَةَ . فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ لَقَدْ عَلِمْتُ أَنَّهُ سَيَكُونُ قِتَالٌ . . Shahih ibn Hibban (صحيح ابن حبان), Kitab as-Sair (كِتَابُ السَّيَر), bab kewajiban jihad (بَابُ فَرْضِ الْجِهَاد), dizikr al-khabar al-mudhidh qaul man za’ama (ذِكْرُ الْخَبَرِ الْمُدْحِضِ قَوْلَ مَنْ زَعَمَ). Sunan an-Nasa’i 3085, Kitab al-Jihad (كتاب الجهاد), bab kewajiban berjihad (باب وُجُوبِ الْجِهَادِ): عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ لَمَّا أُخْرِجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مِنْ مَكَّةَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَخْرَجُوا نَبِيَّهُمْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ لَيَهْلِكُنَّ . فَنَزَلَتْ { أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ } فَعَرَفْتُ أَنَّهُ سَيَكُونُ قِتَالٌ . Begitu juga tercantum dalam Musnad Ahmad .

[33] Muhammad Rasulullah walladzina ma’ahu karya ‘Abdul hamid Jaudah as-Sahar, jilid 3, halaman 61, Maktabah Mesir (محمد رسول اللّٰہ والذین معہ از عبدالحمید جودۃ السحار جلد3 صفحہ 64مکتبۃ مصر); (شرح زرقانی علی مواہب اللدنیہ جلد 2 صفحہ 172 دار الکتب العلمیۃ بیروت)

Tafsir al-Qurthubi (تفسير القرطبي – القرطبي – ج ١٣ – الصفحة ٣٢١): وقال مقاتل: خرج النبي صلى الله عليه وسلم من الغار ليلا مهاجرا إلى المدينة في غير طريق مخافة الطلب، فلما رجع إلى الطريق ونزل الجحفة عرف الطريق إلى مكة فاشتاق إليها، فقال له جبريل إن الله يقول: ” إن الذي فرض عليك القرآن لرادك إلي معاد ” أي إلى مكة ظاهرا عليها. قال ابن عباس: نزلت هذه الآية بالجحفة ليست مكية ولا مدنية . (روح البيان في تفسير القرآن)

[34] Sahih al-Bukhari 3652, kitab fadhail ashhabin nabiyyi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab manaqib kaum Muhajirin (باب مَنَاقِبِ الْمُهَاجِرِينَ وَفَضْلِهِمْ)

[35] Sahih al-Bukhari 3615, Kitab tentang Manaqib (كتاب المناقب), bab tanda-tanda kenabian (باب عَلاَمَاتِ النُّبُوَّةِ فِي الإِسْلاَمِ): فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَكَرِهْتُ أَنْ أُوقِظَهُ، فَوَافَقْتُهُ حِينَ اسْتَيْقَظَ، فَصَبَبْتُ مِنَ الْمَاءِ عَلَى اللَّبَنِ حَتَّى بَرَدَ أَسْفَلُهُ، فَقُلْتُ اشْرَبْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ـ قَالَ ـ فَشَرِبَ، حَتَّى رَضِيتُ ثُمَّ قَالَ ” أَلَمْ يَأْنِ لِلرَّحِيلِ “. قُلْتُ بَلَى . Sahih Muslim 2009c: فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَكَرِهْتُ أَنْ أُوقِظَهُ مِنْ نَوْمِهِ فَوَافَقْتُهُ اسْتَيْقَظَ فَصَبَبْتُ عَلَى اللَّبَنِ مِنَ الْمَاءِ حَتَّى بَرَدَ أَسْفَلُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ اشْرَبْ مِنْ هَذَا اللَّبَنِ – قَالَ – فَشَرِبَ حَتَّى رَضِيتُ ثُمَّ قَالَ ‏”‏ أَلَمْ يَأْنِ لِلرَّحِيلِ ‏”‏ ‏.‏ قُلْتُ بَلَى ‏.‏  .

[36] Sahih al-Bukhari 3652, kitab fadhail ashhabin nabiyyi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab manaqib kaum Muhajirin (باب مَنَاقِبِ الْمُهَاجِرِينَ وَفَضْلِهِمْ): فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَوَافَقْتُهُ قَدِ اسْتَيْقَظَ، فَقُلْتُ اشْرَبْ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَشَرِبَ حَتَّى رَضِيتُ ثُمَّ قُلْتُ قَدْ آنَ الرَّحِيلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ ” بَلَى “ .

[37] Subulul Huda (سبل الھدیٰ والرشاد جلد3 صفحہ243-244،جماع ابواب الھجرۃ الی المدینۃ…. دارالکتب العلمیۃ بیروت 1993ء)

[38] al-Mu’jamul Kabir nomor 6473 ( المعجم الكبير), bab sin (باب السين), nama Suraqah (من اسمه سراقة), Suraqah bin Malik bin Ju’syum (سراقة بن مالك بن جعشم), apa yang diriwayatkan Suraqah bin Malik (ما أسند سراقة بن مالك), (كعب بن مالك بن جعشم عن أخيه سراقة):حَدَّثَنِي ابْنُ شِهَابٍ ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَالِكِ بْنِ جُعْشُمٍ الْمُدْلِجِيُّ ، أَنَّ أَبَاهُ مَالِكًا أَخْبَرَهُ أَنَّ أَخَاهُ سُرَاقَةَ بْنَ مَالِكِ بْنِ جُعْشُمٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ لَمَّا خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَكَّةَ مُهَاجِرًا إِلَى الْمَدِينَةِ جَعَلَتْ قُرَيْشٌ لِمَنْ رَدَّهُ عَلَيْهِمْ مِائَةَ نَاقَةٍ ، قَالَ : فَبَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ فِي نَادِي قَوْمِي جَاءَ رَجُلٌ مِنَّا ، فَقَالَ : وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَكَبَةً ثَلَاثَةً مَرُّوا عَلَيَّ آنِفًا ، إِنِّي لَأَظُنُّهُ مُحَمَّدًا قَالَ : فَأَوْمَأَتُ إِلَيْهِ : أَنِ اسْكُتْ ، وَقُلْتُ : إِنَّمَا هُمْ بَنُو فُلَانٍ يَتَّبِعُونَ ضَالَّةً لَهُمْ , قَالَ : لَعَلَّهُ ثُمَّ سَكَتَ ، فَمَكَثْتُ قَلِيلًا ، وَقُمْتُ , فَأَمَرْتُ بِفَرَسِي ، فَقِيدَ إِلَى بَطْنِ الْوَادِي ، فَأَخْرَجَتُ سِلَاحِي مِنْ وَرَاءِ حُجْرَتِي ، ثُمَّ أَخَذْتُ قِدَاحِي الَّتِي أَسْتَقْسِمُ بِهَا ، ثُمَّ لَبِسْتُ لَأْمَتِي ، ثُمَّ أَخْرَجْتُ قِدَاحِي ، فَاسْتَقْسَمْتُ بِهَا ، وَقَالَ : فَخَرَجَ الَّذِي أَكْرَهُ : لَا يَضُرُّهُ ، وَكُنْتُ أَرْجُو أَنْ أَرُدَّهُ ، فَآخُذَ الْمِائَةَ النَّاقَةَ ، فَرَكِبْتُ عَلَى أَثَرِهِمْ , فَبَيْنَمَا فَرَسِي يَشْتَدُّ بِي عَثَرَ ، فَسَقَطْتُ عَنْهُ ، فَأَخْرَجَتُ قِدَاحِي فَاسْتَقْسَمْتُ فَخَرَجَ السَّهْمُ الَّذِي أَكْرَهُ : لَا يَضُرُّهُ ، فَأَبَيْتُ إِلَّا أَنْ أَتَّبِعَهُ ، فَرَكِبْتُهُ , فَلَمَّا بَدَا لِيَ الْقَوْمُ ، فَنَظَرْتُ إِلَيْهِمْ عَثَرَ بِي فَرَسِي ، وَذَهَبَتْ يَدَاهُ فِي الْأَرْضِ ، فَسَقَطْتُ ، فَاسْتَخْرَجَ يَدَهُ ، وَأَتْبَعَهَا دُخَانٌ مِثْلُ الْعُثَانِ ، فَعَرَفْتُ أَنَّهُ قَدْ مُنِعَ مِنِّي , وَأَنَّهُ ظَاهِرٌ ، فَنَادَيْتُهُمْ فَقُلْتُ : أَنْظِرُونِي , فَوَاللَّهِ إِنِّي لَا أَرِيبُكُمْ , وَلَا يَبْدَؤُكُمْ مِنِّي شَيْءٌ تَكْرَهُونَهُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قُلْ لَهُ : مَاذَا يَبْتَغِي ؟ فَقُلْتُ : اكْتُبْ لِي كِتَابًا بَيْنِي وَبَيْنَكَ آيَةً ، قَالَ : اكْتُبْ يَا أَبَا بَكْرٍ ، قَالَ : فَكَتَبَ لِي ، ثُمَّ أَلْقَاهَا إِلَيَّ ، فَرَجَعْتُ ، فَسَكَتُّ , فَلَمْ أَذْكُرْ شَيْئًا مِمَّا كَانَ , حَتَّى إِذَا فَتَحَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مَكَّةَ ، وَفَرَغَ مِنْ أَهْلِ حُنَيْنٍ خَرَجْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَعِيَ الْكِتَابُ الَّذِي كَتَبَ لِي , قَالَ : فَبَيْنَمَا أَنَا عَامِدٌ لَهُ , دَخَلْتُ بَيْنَ ظَهْرَيْ كَتِيبَةٍ مِنْ كَتَائِبِ الْأَنْصَارِ ، فَطَفِقُوا يَقْرَعُونِي بِالرِّمَاحِ ، وَيَقُولُونَ : إِلَيْكَ إِلَيْكَ حَتَّى إِذَا دَنَوْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى نَاقَتِهِ أَنْظُرُ إِلَى سَاقَيْهِ فِي غَرْزِهِ كَأَنَّهَا جُمَّارَةٌ ، فَدَفَعْتُ يَدِي بِالْكِتَابِ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَذَا كِتَابُكَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَوْمُ وَفَاءٍ وَبِرٍّ ، ادْنُهْ فَأَسْلَمْتُ . Al-Iktifa (الاكتفاء بما تضمنه من مغازي رسول الله والثلاثة الخلفاء) karya Sulaiman bin Musa al-Kala-i al-Andalusi (أبو الربيع سليمان بن موسى الكلاعي الأندلسي), Hadits tentang keluarnya Rasulullah (saw) dan Abu Bakr sebagai muhajir ke Madinah (ذكر الحديث عن خروج رسول الله {صلى الله عليه وسلم} وأبي بكر الصديق رضي الله عنه مهاجرين إلى المدينة); Ash-Shalat wal Basyar fish Shalati ‘alal Khairil Basyar (الصلات والبشر في الصلاة على خير البشر) karya Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (مجد الدين محمد بن يعقوب/الفيروزآبادي); Tercantum juga dalam As-Sirah al-Halbiyah (السيرة الحلبية – الحلبي – ج ٢ – الصفحة ٢١٧) karya Nuruddin al-Halabi (نور الدين الحلبي), juz kedua bahasan Hijrah ke Madinah (الجزء الثاني باب الهجرة إلى المدينة).

[39] Shahih al-Bukhari, Kitab Manaqib al-Anshar – kemuliaan kaum Anshar (كتاب مناقب الأنصار), bab Hijrah Nabi (saw) dan para Sahabat beliau ke Madinah (باب هِجْرَةُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَصْحَابِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ), no. 3906. Subulul Huda (سبل الھدیٰ والرشاد جلد3 صفحہ248،قصۃ سراقۃؓ…… دارالکتب العلمیۃ بیروت 1993ء); Muhammad Rasul Allah (محمد رسول اللّٰہ والذین معہ جلد 3 صفحہ 64-65 مطبوعہ مصر). Suraqah asal Kabilah Bani Mudlij yang berdomisili di sebuah lembah yang disebut lembah Qadid. Kala itu Bani Mudlij adalah kabilah Arab yang terkenal dengan kepandaian mencari jejak. Suraqah meminta surat jaminan keamanan karena sudah berkeyakinan Nabi (saw) akan mengalahkan mereka yang memusuhinya. Ia perlu itu untuk memastikan akan diperlakukan baik oleh Nabi (saw) dan para pengikutnya nanti ketika dalam keadaan menang atau berkuasa.

[40] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Referensi: www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab). Al-Fazl internsional, 21 Januari 2022 (الفضل انٹرنیشنل 21؍جنوری2022ءصفحہ5تا10) https://www.alfazl.com/2022/01/16/39803/

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.