Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 120, Khulafa’ur Rasyidin (Para Khalifah lurus) Seri 26)
Hadhrat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyAllahu ta’ala ‘anhu
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 16 Juli 2021 (Wafa 1400 Hijriyah Syamsiyah/06 Dzulhijjah 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Pembahasan mengenai salah seorang Khalifah dari Khulafa’ur Rasyidin (Para Khalifah yang Dibimbing dengan Benar) yaitu Hadhrat ‘Umar ibn al-Khaththab (عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
Kutipan dari Sejarawan Muslim India, ‘Allamah Shibli Nu’mani, mengenai luas wilayah umat Muslim di zaman kekhalifahan Hadhrat ‘Umar (ra).
Mata rantai peperangan dan penaklukan yang diraih oleh Islam telah dimulai pada masa Kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra); Partisipasi Hadhrat ‘Umar (ra) dalam Berbagai Ekspedisi Melalui Bimbingan intens melalui Surat-Menyurat kepada para Amir dan disampaikan kepada pasukan Muslim.
Kutipan dari Hadits al-Bukhari soal pemikiran Khalifah ‘Umar (ra) mengenai strategi.
Kutipan dari salah seorang ilmuwan Jemaat, Sayyid Meer Mahmud Ahmad Sahib yang telah menulis satu makalah berkenaan dengan masa Kekhalifahan Hadhrat ‘Umar (ra).
Pengaruh Kuat Hadhrat ‘Umar (ra)
Kutipan dari Kitab-Kitab Tarikh (Sejarah) dalam menguraikan perang menghadapi Kekaisaran Persia (Iran). Serangkaian perang menghadapi Persia: Pertempuran Namariq dan Kaskar; Komentar Meer Mahmood Ahmad Sahib mengenai ketinggian akhlak pasukan Muslim di bawah Abu Ubaid ats-Tsaqafi;
Kebijakan Hadhrat ‘Umar (ra) dalam memilih Komandan pasukan: lebih memilih seorang Muslim yang terdepan dalam menyambut seruan Khalifah meski bukan senior dalam masuk Islam, Abu Ubaid ats-Tsaqafi. Sebenarnya beliau ingin memilih Sahabat Nabi (saw) yang awal dalam masuk Islam namun karena dua kelemahan: (1) tidak paling dahulu menyambut seruan Khalifah dan (2) mempunyai sifat tergesa-gesa yang tidak tepat dalam perang. Petunjuk Hadhrat ‘Umar (ra) kepada Komandan Abu Ubaid agar tetap menyertakan para sahabat Nabi (saw) dalam membuat kebijakan dan keputusan.
Pertempuran Saqatiah; Pertempuran Barusma dan Pertempuran Jisr.
Kekalahan pasukan Muslim dalam Perang Jisr. Salah satu penyebabnya ialah Panglima Abu Ubaid tidak mengikuti saran beberapa Sahabat senior.
Pembahasan kejadian-kejadian dari kehidupan Hadhrat ‘Umar (ra) insya Allah dilanjutkan di Jumat-Jumat mendatang.
Informasi Kewafatan dan Shalat Jenazah Gaib: [1] Fathi Abdus Salam Sahib. Nama lengkap beliau adalah Fathi Abdus Salam Mubarak. Beliau berasal dari Mesir. [2] Almarhumah yang terhormat Radhiyah (Razia) Begum Sahibah, istri Khalil Mubashir Ahmad Sahib, mantan Mubaligh In Charge Kanada, dan mantan Amir serta Missionary In Charge Sierra Leone. [3] Almarhumah yang terhormat Sairah Sultan Sahibah, istri Dokter Sultan Mubashir Sahib dari Pakistan. [4] Almarhumah yang terhormat Ghusoon Al-Ma’dhamani Sahibah dari Suriah, yang akhir-akhir ini tinggal di Turki.
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Masih berlangsung pembahasan mengenai masa Kekhalifahan Hadhrat ‘Umar (ra). Berkenaan dengan peperangan dan kemenangan yang terjadi pada masa itu tertulis bahwa masa itu berlangsung sejak 13 hingga 23 Hijriah. Masa kekhalifahan Hadhrat ‘Umar (ra) berlangsung lebih kurang 10 tahun 5 bulan.
Dalam menjelaskan bertambahnya jumlah penaklukan pada masa itu, dalam kitabnya, Allamah Syibli Nu’mani menulis, “Jumlah total luas daerah-daerah taklukan pada masa Hadhrat ‘Umar (ra) adalah 2.251.030 mil persegi.”[1] Yang termasuk daerah-daerah taklukan tersebut diantaranya: Syam (Suriah dan sekitarnya), Mesir, Iran, Iraq, Khozistan, Armenia, Azerbaijan, Persia, Karmaan, Khurasan dan Makraan yang di dalamnya sebagian termasuk Baluchistan.
Mata rantai peperangan dan penaklukan yang diraih oleh Islam telah dimulai pada masa Kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra). Pada masa beliau laskar Islam tengah sibuk melakukan jihad dan dalam satu waktu berlangsung banyak jihad di berbagai tempat dan itu terus berlangsung.
Itu jugalah yang terjadi pada masa Kekhalifahan Hadhrat ‘Umar (ra). Satu hal yang sangat tampak jelas pada masa Hadhrat ‘Umar (ra) adalah meskipun beliau menghadapi kesibukan luar biasa, namun dapat dikatakan seolah-olah beliau hadir di tengah-tengah laskar pada setiap penaklukan.
Meskipun pada masa kekhalifahan beliau, beliau tidak ikut ambil bagian secara resmi dalam suatu peperangan, namun dengan menyerahkan laskar kepada para komandan Muslim, beliau mengirimkan berbagai instruksi dari Madinah atau dimanapun beliau berada, beliau selalu menjalin kontak dengan mereka, bahkan dari beberapa situasi perang dapat diketahui bahwa korespondensi yang dilakukan oleh Hadhrat ‘Umar (ra) dengan para komandan Muslim berlangsung setiap hari.
Hadhrat ‘Umar (ra) dari Madinah memberikan berbagai instruksi untuk menertibkan laskar Muslim. Beliau sedemikian rupa memberikan instruksi sehingga seolah-olah peta daerah-daerah tersebut ada di hadapan beliau atau daerah-daerah tersebut berada di hadapan beliau.
Di dalam Kitab Shahih al-Bukhari, Hadhrat Imam Bukhari menulis berkenaan dengan Hadhrat ‘Umar (ra), وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنِّي لأُجَهِّزُ جَيْشِي وَأَنَا فِي الصَّلاَةِ “Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Saya menyiapkan laskar dalam keadaan tengah shalat.’”[2] Artinya, sedemikian rupa beliau memikirkan, sehingga ketika shalat pun tugas untuk menyusun strategi laskar Islami terus berlangsung. (Pada saat shalat pun tentunya beliau terus-menerus mendoakannya). Inilah sebabnya, tampak jelas kepada kita bahwa dengan mengikuti instruksi beliau, dalam keadaan segenting apapun, dengan karunia Allah Ta’ala laskar Muslim selalu meraih berbagai kemenangan.
Sayyid Meer Mahmud Ahmad Sahib juga telah menulis satu makalah berkenaan dengan masa Kekhalifahan Hadhrat ‘Umar (ra).[3] Tim research cell Jemaat juga mengutip catatan dari makalah tersebut. Namun, ini telah dicek juga dari rujukan Kitab-Kitab aslinya. Beliau menulis berkenaan dengan penaklukan Iran dan Iraq, “Pada masa Kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr terjadi perang melawan bangsa Persia. Namun, pada saat yang bersamaan Hadhrat Abu Bakr jatuh sakit sehingga pesan instruksi yang dikirim kepada laskar pasukan mengalami keterlambatan. Untuk itu, Hadhrat Mutsanna menetapkan wakil untuk menggantikan tugas beliau lalu hadir menemui Hadhrat Abu Bakr untuk mengabarkan situasi terkini peperangan dan menyampaikan permohonan bantuan lebih banyak pasukan. Hadhrat Mutsanna tiba di Madinah dan mengabarkan kepada Hadhrat Abu Bakr.[4]
Kemudian, Hadhrat Abu Bakr memanggil Hadhrat ‘Umar (ra) dan memberikan instruksi, اسْمَعْ يَا عُمَرُ مَا أَقُولُ لَكَ، ثُمَّ اعْمَلْ بِهِ، إِنِّي لأَرْجُو أَنْ أَمُوتَ مِنْ يَوْمِي هذا –وذلك يوم الاثنين– فان انامت فَلا تُمْسِيَنَّ حَتَّى تَنْدُبَ النَّاسَ مَعَ الْمُثَنَّى، وَإِنْ تَأَخَّرْتُ إِلَى اللَّيْلِ فَلا تُصْبِحَنَّ حَتَّى تَنْدُبَ النَّاسَ مَعَ الْمُثَنَّى، وَلا تَشْغِلَنَّكُمْ مُصِيبَةٌ وَإِنْ عَظُمَتْ عَنْ أَمْرِ دِينِكُمْ، وَوَصِيَّةِ رَبِّكُمْ، وقد رأيتني متوفى رسول الله صلى الله عليه وسلم وَمَا صَنَعْتُ، وَلَمْ يُصَبِ الْخَلْقُ بِمِثْلِهِ، وَبِاللَّهِ لو انى انى عن امر رَسُولِهِ لَخَذَلَنَا وَلَعَاقَبَنَا، فَاضْطَرَمَتِ الْمَدِينَةُ نَارًا. ‘Wahai Umar! Dengarkan dengan seksama apa yang akan saya katakan lalu amalkanlah! Hari ini – saat itu hari senin – saya merasa ini hari terakhir saya. Jika saya wafat, sebelum tiba sore hari, perintahkanlah orang-orang untuk berjihad dan kirim mereka bersama dengan al-Mutsanna. Jika kematian saya tertunda hingga malam, sebelum masuk pagi, kumpulkanlah pasukan Muslim dan kirimkan bersama Mutsanna. Sebesar apapun kepanikan akibat kematian saya, jangan sekali-kali membuat anda terhenti untuk mengamalkan hukum agama dan Allah Ta’ala. Anda sendiri menyaksikan apa yang saya lakukan pada saat kewafatan Rasulullah, padahal orang-orang belum pernah mengalami kegentingan yang lebih dari itu. Demi Tuhan! Jika saya membiarkan terlambat dalam mengamalkan perintah Rasulullah (saw), walaupun sekejap saja, Tuhan akan menghukum kita dan api (kekacauan) akan berkobar di seluruh Madinah.’[5]
Paska kewafatan Hadhrat Abu Bakr, setelah terpilihnya Hadhrat ‘Umar (ra) sebagai Khalifah, dalam mengamalkan wasiyat tersebut, sehari paska pemakaman jenazah Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat ‘Umar (ra) mengumpulkan orang-orang.”
Saat itu orang-orang berduyun-duyun datang dari berbagai tempat untuk baiat kepada Khalifah terpilih. Itu berlangsung sampai tiga hari. Hadhrat ‘Umar (ra) tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu untuk menghimbau khalayak umum untuk jihad, karena sejak dulu bangsa Arab memendam rasa gentar akan kehebatan negeri Iran dan kekuatan laskarnya yang dahsyat dan pada umumnya orang-orang beranggapan Iraq adalah ibukota pemerintahan Persia dan tidak akan bisa ditaklukan tanpa Hadhrat Khalid Bin Waleed. Untuk itu, semua orang terdiam.
Hadhrat ‘Umar (ra) sampai berhari-hari menceramahi mereka, namun tidak berpengaruh. akhirnya pada hari keempat beliau menyampaikan pidato dengan penuh semangat sehingga hati orang-orang terbangun dan gairah iman mereka bangkit kemudian Abu Ubaid bin Mas’ud ats-Tsaqafi (أَبو عُبَيد بن مسعود الثَّقَفي) maju dan menyerukan ucapan, أَنَا لَهَا ‘Ana lahaa’ yang artinya, ‘Saya hadir untuk itu!’[6]
Beliau mendaftarkan nama untuk jihad tersebut. Setelah beliau, diikuti oleh Hadhrat Sa’d Bin Rabi dan Sulaith bin Qais tampil ke depan.
Setelah mereka tampil, gairah iman menggebu didalam hati umat Islam dan dengan penuh semangat mereka mendaftarkan nama mereka untuk berjihad ke Iraq.
Sebelum itu yang bertindak sebagai komandan laskar untuk ke Iraq adalah Hadhrat Khalid Bin Waleed, namun mengingat pentingnya peperangan dengan bangsa Syam, pada masa-masa terakhir, Hadhrat Abu Bakr mengutus Hadhrat Khalid ke Syam dan sekarang komando Laskar Islam ke Iraq diserahkan kepada Hadhrat Mutsanna Bin Haritsah (الْمُثَنَّى بن حارثة).
Pada kesempatan itu, ketika Hadhrat ‘Umar (ra) menyeru umat Muslim untuk mendaftarkan nama mereka masing-masing ke perang Iraq, Hadhrat Mutsanna pun telah berada di Madinah. Beliau pun menyampaikan pidato yang berapi-api, bersabda, أَيُّهَا النَّاسُ، لَا يَعْظُمَنَّ عَلَيْكُمْ هَذَا الْوَجْهُ، فَإِنَّا قَدْ فَتَحْنَا رِيفَ فَارِسَ، وَغَلَبْنَاهُمْ عَلَى خَيْرِ شِقَيِّ السَّوَادِ، وَنِلْنَا مِنْهُمْ، وَاجْتَرَأْنَا عَلَيْهِمْ، وَلَنَا إِنْ شَاءَ اللَّهُ مَا بَعْدَهَا ‘Hadirin! Janganlah menganggap peperangan ini sangat berat dan sulit. Kita telah berperang dengan bangsa Persia dan mendapatkan kemenangan, insya Allah, setelah ini pun kemenangan akan berpihak kepada kita.’
Para laskar Mujahidin dari Madinah dan sekitarnya telah bersiap untuk ikut serta dalam peperangan melawan Iraq. Sejarawan ath-Thabari dan Biladuri (البلاذري) menyebutkan jumlahnya 1000 pasukan. Adapun penulis Kitab Akhbarut Thiwaal, Allamah Abu Hanifah ad-Dinawari menulis 5000 pasukan. Tampaknya jumlah laskar Ketika berangkat dari Madinah 1000 orang, namun dalam perjalanan untuk sampai peperangan jumlahnya menjadi 5000 pasukan. Sebagaimana Biladuri dan Abu Hanifah menjelaskan bahwa Amir laskar menyeru orang-orang dari setiap kabilah Arab yang dilewati dalam perjalanan.
Sekarang timbul pertanyaan, siapa yang menjadi komandon pasukan ini. Pandangan Hadhrat ‘Umar (ra) yang sarat dengan hikmah tertuju kepada Hadhrat Mutsanna namun siapa komandan atas laskar yang baru dipersiapkan. Dalam hal ini Hadhrat ‘Umar (ra) memilih Abu Ubaid Tsaqafi. Pemilihan ini menimbulkan keheranan yakni kenapa para sahabat Muhajirin dan Anshar awal diabaikan yang notabene telah menyemaikan benih tanaman Islam dengan darah mereka, lalu menetapkan seseorang yang datang di kemudian sebagai komandan. Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, إِنَّمَا فُضَّلَ الصَّحَابَةُ بِسُرْعَتِهِمْ إِلَى الْعَدُوِّ وَكِفَايَتِهِمْ مَنْ أَبَى، فَإِذَا فَعَلَ فِعْلَهُمْ قَوْمٌ وَاثَّاقَلُوا كَانَ الَّذِينَ يَنْفِرُونَ خِفَافًا وَثِقَالا أَوْلَى بِهَا مِنْهُمْ، وَاللَّهِ لا أَبْعَثُ عَلَيْهِمْ إِلا أَوَّلَهُمُ انْتِدَابًا فَأَمَّرَ أَبَا عُبَيْدٍ، وَأَوْصَاهُ بِجُنْدِهِ “Jika ada keistimewaan yang dimiliki oleh para sahabat tiada lain karena mereka dari pihak Islam telah mengorbankan jiwa raga dalam mengkhidmati Islam dan menghadapi musuh dengan tanpa gentar, namun kali ini mereka berada di belakang [terlambat menyambut seruan Khalifah] dan kehilangan haknya [menjadi pemimpin]. Karena itu, pada kesempatan ini yang paling dahulu tampil di muka untuk melindungi Islam, dialah yang berhak untuk menjadi pemimpin.”
Setelah Hadhrat Abu Ubaid, yang paling dahulu mengucapkan labbaik atas seruan Hadhrat ‘Umar (ra) untuk berperang menghadapi Iraq ialah Sa’d Bin Ubaid (سَعْدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْأَنْصَارِيُّ) dan Sulaith bin Qais al-Badri (سُلَيْطٌ بن قيس البدري). Hadhrat ‘Umar (ra) memanggil mereka berdua dan bersabda kepada mereka berdua, لَوْ سَبَقْتُمَاهُ لَوَلَيَّتُكُمَا، وَلَأَدْرَكْتُمَا بِهَا إِلَى مَا لَكُمَا مِنَ السَّابِقَةِ “Jika kalian paling dahulu dalam menyambut seruan saya, maka disebabkan kalian lebih dahulu dalam menerima Islam, kepada kalianlah saya serahkan komando.”
Meskipun berkenaan dengan memberikan prioritas pada Abu Ubaid daripada Sulaith bin Qais, selain alasan pertama, Hadhrat ‘Umar (ra) menyatakan juga bahwa untuk misi ini diperlukan seseorang yang tidak tergesa-gesa dan bersikap sabar dan berpikiran matang dalam memutuskan setiap langkahnya, Adapun Sulaith bin Qais dalam hal invasi militer bersikap tergesa-gesa.
Meskipun Hadhrat ‘Umar (ra) menyerahkan komando penting ini kepada Abu Ubaid disebabkan beliau yang paling dahulu menyatakan labbaik (siap-sedia!), namun di sisi lain, mengabaikan pengkhidmatan dan pengalaman para sahabat suci yang lebih dahulu baiat, pun bukan kebijakan yang sesuai (tepat) sehingga Hadhrat ‘Umar (ra) menegaskan kepada Hadhrat Abu Ubaid Tsaqafi untuk meminta nasihat dari para sahabat dan mengikuti gagasan mereka dalam hal pengaturan.[7] Semua kejadian ini disebutkan oleh berbagai buku Tarikh (sejarah), diantaranya adalah Tarikh ath-Thabari.
Sebuah pertempuran terjadi pada 13 H, yang dikenal dengan Pertempuran Namariq dan Kaskar. Sebelum Hadhrat Abu Ubaid berangkat dengan pasukannya, Hadhrat Mutsanna telah pulang [dari Madinah] ke Al-Hirah. Al-Hirah adalah ibu kota pemerintahan Arab kuno di Irak dan terletak di sebelah barat Efrat di mana kemudian Kufah didirikan.[8] Hadhrat Mutsanna kembali ke Al-Hirah dan mengambil alih kendali pasukannya. Namun, situasi berubah dengan sangat cepat sehingga Hadhrat Mutsanna dan pasukannya harus mundur.
Rinciannya adalah sebagai berikut, “Ketidaksepakatan dan perbedaan telah muncul di istana penguasa Persia. Namun, muncul kepribadian baru dan kuat, Rustum, yang merupakan putra gubernur Khurasan, Farrukhzad. Rustum diangkat sebagai penguasa rakyat oleh pengadilan Persia dan semua pejabat pemerintah yang sebelumnya berselisih satu sama lain dan terpecah serta melemahkan kekuatan kekuasaan mereka, sekarang sepenuhnya mematuhi Rustum. Rustum adalah pria yang sangat berani dan cerdik. Segera setelah dia mengambil alih kepemimpinan, dia mengirim orang-orangnya ke daerah-daerah yang telah ditaklukkan oleh kaum Muslim dan memicu pemberontakan. Dia sangat menghasut orang-orang yang tinggal di daerah tetangga Efrat untuk melawan umat Muslim dan juga mengirim pasukan untuk berperang melawan Hadhrat Mutsanna. Mengingat keadaan ini, Hadhrat Mutsanna merasa bahwa tindakan yang paling tepat adalah mundur sedikit dari posisi mereka. Karena itu, ia meninggalkan Al-Hirah dan mendirikan kamp di Khafan (yang terletak dekat dengan Kufah).
Rustum, di sisi lain, sedang bersiap untuk berperang dan telah menyiapkan pasukan besar dan mengirim mereka melalui dua rute yang berbeda untuk berperang melawan kaum Muslim. Satu tentara Persia berada di bawah komando Jaban yang tiba di Namariq (Namariq juga terletak di Irak dekat dengan Kufah). Pasukan lainnya dikirim di bawah komando Narsi menuju Kaskar. Kaskar adalah sebuah kota yang terletak di sebelah barat Sungai Tigris dan terletak di antara Baghdad dan Bashrah di mana saat ini kota Wasith (واسط) berada.
Baru sebulan setelah Hadhrat Mutsanna kembali dari Madinah dan sekarang tentara Muslim di bawah komando Hadhrat Abu Ubaid juga telah tiba di Khafan (خفان) dan bergabung dengan mereka. Khafan juga terletak dekat dengan Kufah. Para tentara ini terdiri dari beberapa ribu Muslim yang tiba di medan perang pada saat situasi tidak terlalu menguntungkan bagi umat Islam di Irak dan umat Islam secara bertahap kehilangan wilayah yang telah mereka taklukkan sebelumnya.
Setelah menghabiskan beberapa hari di Khafan untuk mengumpulkan dan mengatur tentara, Hadhrat Abu Ubaid dan setelah itu menuju Namariq (النمارق). Di Namariq tentara Persia yang kuat di bawah seorang prajurit tua dan berpengalaman, Jaban, berkemah di sana. Hadhrat Abu Ubaid mengorganisasi tentara dan menyerahkan bendera tentara kepada Hadhrat Mutsanna. Beliau memberikan komando pasukan sayap kanan kepada Walik bin Judarah (والق بن جيدارة) dan mengangkat Amr bin Haytsam (عمرو بن الهيثم) sebagai komandan pasukan sayap kiri. Dua sayap pasukan Persia dikomandoi oleh Joshandma (جشنس ماه) dan Mardan Shah (مردان شاه).
Sehubungan dengan ajaran Islam yang ditampilkan selama pertempuran ini, Meer Mahmood Ahmad Sahib berkomentar tentang ini, “Pertempuran sengit terjadi di Namariq, dimana Iran menderita kekalahan dan selama pertempuran ini teladan akhlak Islam yang luhur ditunjukkan. Panglima tentara Persia, Jaban, ditawan, tetapi Mathar bin Fidhah (مَطَرُ بْنُ فِضَّةَ), yang menangkapnya tidak mengenali Jaban. Memanfaatkan keadaan tersebut, Jaban (جابانَ) membayar uang tebusan lalu bebas.
Beberapa saat kemudian, kaum Muslim menangkap Jaban lagi dan membawanya kepada Hadhrat Abu Ubaid dan memberitahukan pangkat Jaban di kalangan tentara Iran. Namun, Hadhrat Abu Ubaid tidak menyetujui jika dia ditangkap lagi setelah kaum Muslimin menerima tebusan darinya. Orang-orang bersikeras mengatakan bahwa Jaban seperti raja mereka, namun Hadhrat Abu Ubaid menyatakan, ‘Saya tidak bisa melanggar janji.’ Selanjutnya, Jaban dibebaskan. Peristiwa ini mencerminkan akhlak luhur yang menjadi bagian dari perilaku tentara Muslim, sekalipun ada keuntungan yang bisa diambil, namun mereka tidak akan pernah meninggalkan akhlak mereka.”[9]
Kemudian terjadi Pertempuran Saqatiah, yang terjadi pada tahun 13 H. Setelah mengalami kekalahan dalam Pertempuran Namariq, tentara Iran mundur ke Kaskar, di mana komandan Iran Narsi telah mengumpulkan pasukan besar untuk melawan tentara Muslim. Abu Ubaid menuju Kaskar untuk menghadapi pasukan ini.
Narsi (نرسي), komandan tentara Iran di Kaskar, memiliki kedudukan tinggi dalam pandangan Raja Iran saat itu. Komandan dua sayap tentara Iran – Banduyah (بندويه) dan Tairuyah (تيرويه) adalah kerabat dekat raja-raja Sasania.
Berita kekalahan di Namariq sampai ke raja Iran. Rustum masih mengatur untuk mengirim bala bantuan untuk membantu Narsi ketika Abu Ubaid memajukan pasukannya dengan cepat dan tiba di daerah Kaskar yang lebih rendah sebelum bala bantuan tiba, yaitu menyerang mereka, di tempat yang dikenal sebagai Saqatiah. Setelah pertempuran sengit dan dengan karunia Allah Ta’ala, umat Islam menang dalam Pertempuran Saqatiah. Setelah pertempuran utama berhenti, Hadhrat Abu Ubaid mengirim kontingen yang lebih kecil untuk menghadapi pasukan musuh yang ada di sekitar wilayah Kaskar.
Selanjutnya adalah perang Barusma (بَارُوسْمَا) yang terjadi pada tahun 13 H. Barusma adalah sebuah tempat yang terletak diantara Kaskar (كسكر) dan Saqatiah (السقاطية), dimana terjadi pertempuran pasukan Muslim melawan pasukan Iran dengan komandan perang Iran, Jalinus, yang datang sebagai bantuan untuk Jaban. Rustum memberangkatkan satu pasukan di bawah pimpinan seorang panglima Iran untuk membantu Narsi. Abu Ubaid pun mengetahuinya, dan dengan sangat piawai beliau menyerang Narsi beserta pasukannya sebelum pasukan Jalinus datang. Setelah mengalahkannya, Hadhrat Abu Ubaid pun menjatuhkan mental para prajurit Jalinus.
Kini, dari Barusama, Jalinus menyiapkan barisannya di Baqusyaasa (بَاقُسْيَاثَا). (Desa-desa yang berada di antara Bashrah dan Syam (Suriah) disebut dengan Tanah Sawad (أرض السواد).[10] Barusma dan Baqusiasa adalah dua desa di dalamnya). Abu Ubaid tiba di Baqusyaasa dan setelah pertempuran singkat, beliau mengalahkan pasukan Iran dan Jalinus melarikan diri. Abu Ubaid bermukim di sana. Beliau menguasai sepenuhnya daerah-daerah di sekitarnya. (ini adalah penjelasan dari ath-Thabari, sejarawan).
Al-Baladhuri menulis, “Saat itu telah ada perdamaian dengan Jalinus.” Meski demikian, sejarawan setelahnya yaitu Ibnu Khaldun dan Ibnu Atsir lebih mendukung ath-Thabari.
Beberapa hal tentang perang Jisr pernah disampaikan sebelumnya, namun saya anggap penting untuk kembali menjelaskannya.
Perang Jisr terjadi antara pasukan Muslim melawan orang-orang Iran di tepi sungai Eufrat pada 13 Hijriah ( sekitar 634 Masehi). Komandan (Panglima) pasukan Muslim adalah Hadhrat Abu Ubaid bin Mas’ud ats-Tsaqafi (أَبو عُبَيد بن مسعود بن عَمْرو بن عُمَير بن عَوف بن عُقْدة بن غِيَرَةَ بن عوف بن ثقيفٍ الثَّقَفي), sedangkan komandan laskar Iran (Persia) adalah Bahman Jadzawiyah.[11] Jumlah pasukan Muslim adalah 10.000 (sepuluh ribu) orang sedangkan pasukan Iran adalah 30.000 (tiga puluh ribu) orang dan 300 gajah perang. Disebabkan ada penghalang berupa adanya sungai Eufrat, yakni sungai Eufrat berada di tengah-tengah dua pasukan itu sehingga kedua kelompok pasukan berhenti berperang sampai agak lama.
Kemudian, disiapkanlah sebuah Jisr atau jembatan di Eufrat dengan persetujuan kedua pihak. Disebabkan adanya jembatan itulah sehingga perang itu disebut perang Jisr. Ketika jembatan sudah siap, Bahman Jadzawiyah mengirimkan pesan kepada Hadhrat Abu Ubaid ats-Tsaqafi, “Akankah kalian datang dengan menyebrangi jembatan ataukah kalian akan mengizinkan kami menyeberangi jembatan?”
Hadhrat Abu Ubaid berpendapat supaya pasukan Muslim menyeberangi jembatan dan berperang melawan musuh. Sedangkan salah seorang pemimpin laskar, Hadhrat Sulaith bin Qais al-Badri (سُلَيْطٌ بن قيس البدري) menentang pendapat tersebut.[12]
Tetapi Hadhrat Abu Ubaid menyebrangi sungai Eufrat (Furat) dan menyerang laskar ahli Faris (orang-orang Persia atau Iran). Peperangan terus berlanjut sampai agak lama. Setelah itu, Bahman Jadzawiyah melihat tentaranya terpencar. Dia melihat pasukan Iran telah mundur sehingga ia memerintahkan untuk memajukan gajah-gajah. Dengan majunya gajah-gajah [dinaiki beberapa penunggang dan pemanah], barisan Muslim tidak tertib. Laskar Islam mulai cerai-berai dan menepi ke sana-sini.
Hadhrat Abu Ubaid berkata kepada pasukan Muslim, “Hai hamba-hamba Allah! Seranglah gajah-gajah dan patahkanlah gading-gadingnya.”
Setelah mengatakan demikian, Hadhrat Abu Ubaid sendiri berderap maju dan menyerang gajah satu per satu dan mematahkan gading-gadingnya. Laskar yang lain melihat keberanian pemimpin mereka ini juga mulai berperang dengan gesit. Mereka mematahkan beberapa gading dan kaki-kaki gajah serta membunuh para penunggangnya. Secara kebetulan, Hadhrat Abu Ubaid datang di depan seekor gajah. Beliau tebas dan patahkan gadingnya. Namun, beliau berada di bawah kaki gajah tersebut dan beliau syahid karena terhimpit (terinjak) kaki gajah tersebut.
Satu riwayat di dalam Kitab Tarikh ath-Thabari, وَقَبْلَ ذَلِكَ مَا قَدْ رَأَتْ دَوْمَةُ امْرَأَةُ أَبِي عُبَيْدٍ رُؤْيَا وَهِيَ بِالْمَرْوَحَةِ، أَنَّ رَجُلا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ بِإِنَاءٍ فِيهِ شَرَابٌ، فَشَرِبَ أَبُو عُبَيْدٍ وَجَبْرٌ فِي أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِهِ، فَأَخْبَرَتْ بِهَا أَبَا عُبَيْدٍ، فَقَالَ: هَذِهِ الشِّهَادَةُ، وَعَهِدَ أَبُو عُبَيْدٍ إِلَى النَّاسِ، فَقَالَ: “Istri Hadhrat Abu Ubaid, Dumah sebelum perang melihat di dalam mimpi bahwa ada seseorang yang datang dari langit membawa satu mangkuk berisi minuman dari surga, lalu Hadhrat Abu Ubaid dan Jabar bin Abu Ubaid meminumnya. Demikian pula beberapa orang keluarga beliau pun meminumnya. Dumah menyampaikan mimpi ini ke suaminya. Hadhrat Abu Ubaid berkata, ‘Arti mimpi ini adalah kesyahidan.’
Setelah itu Hadhrat Abu Ubaid berwasiyat kepada orang-orang, إِنْ قُتِلْتُ فَعَلَى النَّاسِ جَبْرٌ، فَإِنْ قُتِلَ فَعَلَيْكُمْ فُلانٌ ‘Jika saya mati syahid, Jabr akan menjadi panglima perang. Jika ia pun syahid, maka sosok fulan dan fulan akan menjadi panglima.’ Alhasil, siapa saja yang meminum dari mangkuk itu, secara berurutan Hadhrat Abu Ubaid menjadikannya panglima dan bersabda, إِنْ قُتِلَ أَبُو الْقَاسِمِ فَعَلَيْكُمُ الْمُثَنَّى ‘Jika Abul Qasim pun syahid, maka Hadhrat Mutsanna akan menjadi panglimamu.’”[13]
Mimpi Dumah ini telah sempurna kata demi kata. Di perang ini, setelah Hadhrat Abu Ubaid, secara berurutan keenam sosok tersebut memegang erat panji perang dan mereka pun berturut-turut syahid. Sosok yang kedelapan adalah Hadhrat Mutsanna yang mengambil panji Islam dan berupaya membangun kembali serangan dengan penuh semangat, tetapi barisan laskar Islam telah tidak beraturan dan mereka mulai terpencar berlari ke sana-sini setelah secara berturut-turut menyaksikan 7 Amir (komandan) disyahidkan, sedangkan sebagian dari mereka melompat ke dalam sungai.
Hadhrat Mutsanna bersama para sahabatnya berperang dengan jantan. Akhirnya, Hadhrat Mutsanna terluka dan beliau seraya berperang, menyeberangi sungai Eufrat dan kembali. Dalam peristiwa tersebut, kaum Muslimin banyak menanggung kerugian. Empat ribu orang Islam syahid, sedangkan enam ribu tentara Iran terbunuh.[14]
Kekalahan ini menggoreskan kepedihan bagi umat islam hingga waktu yang lama. Namun keberuntungan yang didapat adalah, secara alami muncul kesempatan dimana musuh tak dapat lagi memburu orang Muslim, karena di antara para pembesar kekaisaran Iran pun terjadi perselisihan yang menyebabkan Bahman Jazwiyah harus kembali ke pusat pemerintahan (ibukota).
Ibnu Asir menulis, “Hal ini disebabkan di pusat pemerintahan Iran di Madain, ada segolongan pembesar yang memberontak terhadap Rustum.”
Hadhrat Muslih Mau’ud pun menjelaskan tentang perang Jisr ini, “Kekalahan sangat memilukan yang dialami Islam adalah di perang Jisr. Satu pasukan Muslim yang besar diberangkatkan untuk melawan [kerajaan] Iran. Panglima tentara Iran menunggu di seberang sungai dan membangun kamp. Laskar Islam maju dengan penuh semangat dan menyerang serta telah berupaya memukul mereka. Namun ini adalah siasat panglima iran. Ia mengirim satu pasukan dari sayap dan menguasai jembatan serta menyerang balik tentara Muslim. Kaum Muslim memilih kembali, namun melihat bahwa jembatan telah dikuasai musuh. Saat ke arah lain, mereka menerima serangan hebat sehingga banyak prajurit Muslim yang terpaksa terjun ke sungai hingga mati. Kerugian ini sedemikian hebatnya hingga Madinah pun terguncang. Hadhrat Umar (ra) lalu mengumpulkan para sahabat dan bersabda, ‘Kini tidak ada lagi batasan antara Madinah dan Iran. Madinah telah terbuka lebar. Dan sangat mungkin musuh akan tiba disini dalam beberapa hari. Dengan ini, saya sendiri yang akan pergi dan memimpinnya.’
Sahabat lain menerima usulan ini. Namun Hadhrat Ali berkata, ‘Seandainya sesuatu menimpa Huzur, maka segenap Muslim akan tercerai-berai, dan persatuan mereka akan sama sekali runtuh. Jadi sebaiknya kirimlah seseorang dan janganlah anda yang pergi.’
Atas hal ini, Hadhrat Umar menulis kepada Hadhrat Sa’d yang tengah giat dalam perang melawan barisan Romawi, ‘Kirimlah laskar sebanyak yang engkau butuhkan karena saat ini Madinah telah terbuka lebar. Dan jika musuh tidak segera ditahan, maka Madinah akan dikuasai.’”
Pembahasan ini masih berlanjut. Insya Allah akan saya sampaikan. Masih mengenai perang ini. Penjelasan tentang peperangan lainnya akan disampaikan kelak.
Sekarang saya hendak menyampaikan tentang beberapa yang telah wafat, yang Insya Allah saya akan memimpin shalat jenazahnya. Pertama, Fathi Abdus Salam Sahib. Nama lengkap beliau adalah Fathi Abdus Salam Mubarak (فتحي عبد السلام مبارك). Berasal dari Mesir. Wafat beberapa hari yang lalu di usia 75 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Ayah beliau adalah pengikut tarekat Naqsyabandiyah. Ayah beliau berjanji mewakafkan satu anaknya untuk mempelajari agama dan memilih Fathi Sahib. Fathi Sahib selesai menghafalkan Al-Quran di usia 10 tahun. Karena cintanya kepada Al-Quran, Ayahanda Fathi Sahib pun mulai menghafalkan Al-Quran bersamanya dan menyelesaikannya. Setelah itu, dengan karunia Allah, ayahanda beliau pun baiat di usia 88 tahun. Setelah selesai menghapal Al-Quran, Fathi Sahib menyelesaikan pendidikan di satu SMA di bawah Al-Azhar dengan sangat berhasil. Lalu mengambil pendidikan insinyur di Universitas Kairo. Kecintaan mendalam terhadap mutalaah membuat beliau selalu menyisihkan uang saku demi membeli buku lalu membacanya.
Lalu beliau diangkat sebagai pejabat di Angkatan Udara. Di ketentaraan, beliau dituduh terlibat dalam rencana rahasia gerakan-gerakan revolusi Islam, padahal beliau memusuhinya dan berupaya untuk meluruskannya. Alhasil, setelah mendekam hingga satu masa di penjara, beliau pun dibebaskan.
Setelah itu beliau pergi ke Iraq. Beliau cukup lama bekerja sebagai insinyur di sana. Ketika di tahun 1991 meletus perang di Iraq, beliau melewatinya dengan sangat sulit. Di daerah beliau tinggal bahkan jatuh 10 bom di satu malam. Saat itu beliau bersama keluarga sibuk dalam berdoa, dan Allah dengan luar biasa telah menjaga mereka. Lalu beliau pindah ke Yordania dan masuk di golongan Mu’tazilah. Lalu beliau pindah ke Mesir dan condong ke golongan Ahli Quran hingga akhirnya mengenal jemaat. di Ahmadiyah, Fathi Sahib menemukan jawaban dari semua permasalahan yang menyulitkan beliau.
Beliau telah menjelaskan sendiri peristiwa baiat beliau, “Di 1995, ada berbagai ceramah yang diadakan di pusat pendidikan bernama Ibnu Khaldun (مركز ابن خلدون) di Mesir.[15] Saya mendapat kesempatan untuk beberapa kali memberi ceramah dan menjawab banyak pertanyaan tentang berbagai tema. Di tahun 1998, Bapak Mustafa Sabit Sahib mendengar ceramah saya dan sangat memujinya serta mengundang saya ke rumahnya. Disana saya diperlihatkan satu video (dari kaset) yang berdurasi 3 jam, yang di dalamnya yang terhormat almarhum Hilmi Syafi Sahib memberi pembahasan panjang terkait hal-hal yang terkandung dalam hadits-hadits tentang dajjal, yang darinya saya sangat tertarik.”
Fathi sahib berkata, “Dalam menjawab pertanyaan saya, Almarhum Sabit Sahib berkata, ‘Ini adalah tafsir dari sang pembunuh dajjal, yaitu Hadhrat Masih Mau’ud (as).’
Di tahun 1999, Mustafa Sabit Sahib memberi saya buku Filsafat Ajaran Islam dan dalam diri saya lahir satu perubahan yang sangat luar biasa sehingga saya pun memutuskan untuk meneliti Imam Mahdi (as) secara mendalam. Saat itu, melalui penelitian sendiri, saya sampai pada kesimpulan bahwa ajaran nasikh-mansukh adalah salah dan bertentangan dengan kemuliaan Al-Quran, dan saya menerima [asas] kebebasan beragama. Lalu saya mulai meneliti Ahmadiyah, dan saya melihat bahwa Ahmadiyah justru menyokong hal-hal tersebut. Lalu dari pertanyaan saya tentang beberapa ayat Al-Quran, Mustafa Sabit Sahib memberi saya five volume commentary [Tafsir 5 jilid berbahasa Inggris] dan berkata bahwa semua jawaban pertanyaan saya ada di sini. Saya melihat bahwa di dalamnya terdapat jawaban dari semua pertanyaan saya yang adalah selaras dengan pola pikir dan harapan saya. Saya lantas terus merenunginya.”
Fathi Sahib berkata, “Saya sangat merenunginya. Seorang yang secara dusta mengaku menerima wahyu ilahi adalah kezaliman yang sangat besar. Namun, semua hal yang dibawa oleh Imam Mahdi (as) adalah suatu kebenaran, petunjuk dan hal-hal keruhanian. Jika hanya satu atau dua tidaklah mengapa, namun kandungan yang sedemikian benar ini dan dalam jumlah yang sangat banyak ini, tidak ada seorang pun di abad ini yang Allah Ta’ala anugerahkan kepadanya. Maka, apakah mungkin Allah Ta’ala menganugerahkan karunia yang sedemikian besar ini kepada seorang yang telah melakukan kezaliman besar dengan mengaku menerima wahyu ilahi?
Akhirnya, setelah doa dan merenung, di 2001, ketika Mustafa Sabit Sahib datang ke Mesir, saya berkata kepadanya bahwa saya mengimani Imam Mahdi (as). Karena penuh gejolak, sesaat beliau tidak percaya akan keputusan saya. Setelah itu saya mulai membaca buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud (as) yang berbahasa Arab dan di hadapan saya terhampar satu samudra khazanah yang luas yang akan saya selami.”
Tentang semangat pengkhidmatan Fathi Sahib di jemaat di bidang keilmuan, beliau menerjemahkan buku Sirat Nabi Muhammad ((saw)) (Life of Muhammad) karya Hadhrat Mushlih Mau’ud dari bahasa Inggris ke Arab. Beliau juga mengisi program Alhiwar Almubasyar dan menjawab berbagai pertanyaan dengan penuh semangat, berdalil, dan terperinci, dan para pemirsa pun sangat menyukainya.
Seorang pendeta Kristen dari Mesir membuat satu serial berisi keberatan atas Al-Quran Suci yang berjudul ھل القرآن کلام اللہ ? (yakni Apakah Al-Quran itu kalam Allah?). Dalam menjawabnya, di tahun 2006 Fathi Sahib merekam satu program berjudul نعم انّہ کلام اللہ (yakni, Ya, sungguh ini adalah Kalam Allah Ta’ala).
Beliau juga membuat satu program bernama روح القُدُس (Ruhul Qudus) yang berisi penjelasan qasidah-qasidah Hadhrat Masih Mau’ud (as) berbahasa Arab, di mana beliau dengan sangat indah menjelaskan keindahan-keindahan lafaz maupun maknanya. Beliau pun mengisi berbagai program lainnya diantaranya نُبُوّات تَحَقَّقَتْ (yakni nubuatan-nubuatan yang telah sempurna), makrifat-makrifat keilmuan dalam Barahin Ahmadiyah, فی سموات القرآن (Di dalam Langit-Langit al-Qur’an), sejarah Islam, Khataman Nabiyyin dan lain-lain.
Selain itu, pengkhidmatan lain di jemaat pun beliau jalankan. Beliau berkhidmat dalam kurun waktu yang panjang sebagai sekretaris tablig di jemaat beliau tinggal. Beliau pun mewakafkan diri beliau, dan hingga beberapa tahun lamanya beliau berkhidmat di jemaat sebagai wakaf zindegi. Beliau kerap menyampaikan dars di pusat jemaat.
Putra beliau, Ibrahim Fathi sahib berkata, “Almarhum ayah saya adalah insan yang menjalani kehidupan yang hakiki (seperti halnya di surah Al-Fatihah)”. Kehidupan beliau diberkati dengan nikmat nur khilafat. Beliau memiliki kecintaan, penghormatan, dan gejolak yang luar biasa terhadap khalifah yang ada. menurutnya jalan keluar dari semua kesulitan, cara memahami semua permasalahan, dan cara untuk mengetahui jalan menuju Allah Ta’ala hanyalah satu cara yaitu khilafat.
Putranya menulis, “Ayah saya terkenal karena kejujuran baik dalam perkataan maupun perbuatan. Sebelum melakukan setiap pekerjaan, beliau senantiasa berdoa dan berkeluh-kesah ke hadapan Tuhan. Jika ada yang berkata kepada beliau agar memberinya nasihat, beliau menjawab, ‘Berdoalah! Mohonlah siratal mustaqim kepada Allah Ta’ala, dan tulislah permohonan doa kepada Hadhrat Khalifah.’
Beliau memiliki ilmu yang mendalam dan wawasan yang luas. Beliau gemar menelaah. Beliau membaca buku berbagai disiplin ilmu dan terus berupaya memahami berbagai pemikiran dan penelitian terkini. Beliau senantiasa menyibukkan diri dalam memahami ilmu hasil penelaahan beliau dan memahami perkara-perkara keagamaan yang halus serta mengajarkannya. Cara beliau dalam belajar mengajar sangat indah, dan terkadang memberi hal jenaka (lucu).
Beliau senantiasa menelaah buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud (as), mengeluarkan mutiara makrifat dari dalamnya dan menjadikannya panduan bagi keseharian beliau. Di hari jumat setiap memberi ceramah, dan di berbagai program MTA, beliau menjelaskan makrifat-makrifat tersebut.”
Tekad beliau mengkhidmati agama sangat tinggi. [putranya] berkata, “Ketika beliau sakit dan berada di rumah sakit, meskipun kesulitan dalam bernafas, beliau terus menyampaikan tablig ahmadiyah kepada para perawat. Jika beliau memberi nasihat tentang akhlak yang luhur, beliau pun mengamalkannya di rumah. Beliau senantiasa berpegang teguh pada takwa baik dalam kesulitan dan kemudahan. Beliau sangat berharap akan perjumpaan dengan Allah Ta’ala. Beliau sering berkata, ‘Dunia ini tidaklah berarti apa-apa. Melakukan amalan di dunia demi kehidupan akhirat adalah keselamatan yang hakiki.’”
Beliau sering berbicara mengenai keinginannya untuk bertemu dengan Allah Ta’ala. Putra beliau menuturkan, “Di hari-hari terakhirnya beliau menatap saya dengan gelisah, lalu mengatakan, ‘Duduklah di dekat saya dan bacalah surah Al-Fatihah serta shalawat dengan berulang-ulang, karena kesembuhan dari penyakit terjadi dengan izin Allah Ta’ala dan Dia-lah juga yang mengetahui obatnya. Obat tidak berfungsi apa pun tanpa izinnya. Saya tidak peduli dengan dunia, bahkan saya mengidamkan pertemuan dengan Allah Ta’ala.’”
Putra beliau ini menulis, “Ibunda saya menuturkan, ‘Suami saya selalu mendahulukan pengkhidmatan terhadap Jemaat di atas semua pekerjaan lainnya. Sebagian besar waktu beliau dilalui di luar rumah dengan bertabligh. Berkat inilah Allah Ta’ala pun menjaga anak-anak kami secara menakjubkan.’”
Dokter Hatim Hilmi Shafi Sahib menulis, “Saudara kami dan guru kami, yang terhormat Fathi Abdussalam Sahib sungguh termasuk orang-orang yang mengenainya Allah Ta’ala berfirman, مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا ‘Di antara orang-orang yang beriman ada sebagian orang yang telah memenuhi janji mereka kepada Allah Ta’ala.’
Dari sejak baiat hingga kewafatannya, saya mendapati beliau sebagai sosok yang luar biasa. Beliau mabuk dalam kecintaan kepada Allah Ta’ala, sifat-sifat-Nya dan ketauhidan-Nya. Beliau mencintai Rasulullah (saw) dan Al-Qur’an Karim. Beliau fana dalam kecintaan kepada surah Al-Fatihah, dan dalam daras-darasnya yang berharga, tafsir Hadhrat Masih Mau’ud (as) mengenai surat Al-Fatihah tampak terbang di langit.”
Husain Al-Mishri Sahib dari Yordania menulis, “Fathi Sahib begitu mencintai Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan Qadian. Beliau memiliki keimanan yang teguh kepada Khilafat. Beliau adalah sosok yang sangat cendekia.”
Kemudian beliau menceritakan kisahnya bahwa mereka bersama-sama hadir dalam Jalsah Salanah Qadian 2018. Beliau menuturkan, “Ketika sampai di Qadian, saya ditempatkan di Sara-e-Wasim. Fathi Sahib dengan penuh kecintaan menemui saya di sana. Setelah prosesi jalsah, pada malam harinya beliau berbincang dengan saya mengenai Barahin Ahmadiyah. Beliau sangat mencintai Qadian. Beliau menuturkan mengenai Qadian, ‘Ini adalah kampung kita tercinta.’ Kami bersama-sama melihat tempat-tempat suci di Qadian, dan saya merasa heran bahwa Fathi Sahib mengetahui semua tempat beserta rincian sejarahnya.
Pada hari ketika beliau akan berangkat dari Qadian, setelah shalat subuh kami pergi ke Baitudz-Dzikr dan Baitud-du’a. Di sana, melihat kekhusyukan beliau, saya pun tidak dapat mengendalikan perasaan saya. Setelah selesai dari sana, ketika beliau keluar dan sampai di dekat persimpangan Bahesyti Maqbarah, beliau melihat kesana-kemari dengan gelisah, dan tidak lama kemudian ketika saya tanya, beliau menangis dan tersedu-sedu. Kemudian beliau bersujud di tanah. Lalu beliau bangun dan menengadahkan tangan ke arah langit, dan dengan suara bergetar beliau mengatakan, ‘Ya Allah! Engkau mengetahui, betapa aku mencintai untuk tinggal di sisi kekasihku. Ya Allah! Engkau mengetahui bahwa aku ingin melewati malam ini di sini, namun waktu keberangkatan kami tidak lama lagi. (karena telah diinformasikan kepada beliau bahwa hari itu di mana peristiwa tersebut terjadi adalah hari kepulangan beliau). Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu, semua pekerjaan ada di tanganmu, dengan izin Engkaulah segala sesuatu terjadi, dan peraturan bisa tetap dan berubah, maka tundalah perjalanan saya hingga beberapa jam sehingga mata saya mendapatkan kesejukan.’”
Kemudian yang terjadi adalah, mobil datang dan dikarenakan telah diinformasikan kepada beliau maka barang-barang Fathi Sahib diletakkan di tempat duduk beliau. Tidak berapa lama kemudian suara Fathi Sahib menggema di Sarae Wasim, ‘Allahu akbar! Allahu akbar!’
Almarhum mengatakan, ‘Rabb-Ku yang Maha Pengasih telah mendengar doaku dan menunda perjalananku.’ Almarhum larut dalam puji sanjung dan syukur kepada Allah Ta’ala.”
Husain Al-Mishri Sahib menuturkan, “Saya turun ke bawah, lalu beliau memeluk saya dengan erat dan mengatakan, ‘Anda lihat, bagaimana dengan keberkatan Hadhrat Masih Mau’ud (as) Allah Ta’ala telah mengabulkan doa-doa kita.’
Kemudian beliau meneteskan air mata dan dengan melihat beliau saya pun berlinang air mata. Beliau menjelaskan, ‘Para panitia telah keliru mengira bahwa penerbangan saya adalah hari ini, padahal bukan hari ini, melainkan keesokan harinya atau pada hari lain.’”
Beliau pun mengetahui mengenai kewafatannya yang mana ini beliau ungkapkan kepada Husain Sahib. Beliau pun memberikan petunjuk-petunjuk mengenai program yang beliau buat untuk MTA.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menerima satu ilham, يدعون لك أبدال الشام وعباد الله من العرب ‘yad’uuna abdaalusy Syaam wa ‘ibaaduLlahi minal ‘Arab’ – “Orang-orang suci dari Syam (Abdaalusy-Syaam) akan berdoa untuk engkau, dan para hamba Allah dari Arab akan berdoa.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menulis, “Saya tidak mengetahui perkara ini dan juga mengenai kapan serta bagaimana perwujudannya. والله أعلم بالصواب Wallaahu ‘alamu bish-showwaab – hanya Allah Ta’ala Yang Lebih Mengetahuinya.”
Bagaimanapun, kita telah melihat, dengan karunia Allah Ta’ala di mana pun Jemaat-Jemaat ini berdiri di Arab, di Jemaat-Jemaat tersebut dan juga dari contoh yang baru saja saya sampaikan dari Fathi Sahib ini, tampak bahwa bagaimana Allah Ta’ala telah menciptakan orang-orang yang tulus dari antara orang-orang Arab, yang juga mengirimkan shalawat dan salam kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan mengungkapkan kecintaan, kasih sayang dan keterikatan emosional yang kuat.
Dengan memberikan kesaksian mengenai hal ini, Hatim Sahib juga menulis, “Kecintaan Fathi Sahib kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as), buku-buku dan syair-syair beliau (as) tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Kecintaan dan sikap hormat Almarhum kepada Khilafat tampak dari perkataan dan amalan beliau, dan semua orang melihat ini. Beliau memiliki keyakinan yang kuat bahwa Khilafat adalah nikmat agung Allah Ta’ala dan beliau melantunkan puji sanjung serta syukur karena telah mendapatkannya. Beliau memegang dengan erat tali Allah ini dan fana dalam ketaatan kepada Khilafat.”
Saya pun (Huzur) melihat hal ini, kecintaan dan kasih sayang itu tampak dan terpancar dengan luar biasa di mata beliau dan dari setiap gerak-gerik beliau pada kesempatan mulaqat, dan bersamaan dengan itu juga sangat tampak sikap takzim dan hormat. Jika beliau membawa suatu poin diskusi intelektual, dan saya menolaknya atau meminta beliau untuk melakukan penelitian lebih lanjut, maka beliau menerimanya dengan penuh keterbukaan. Seolah-olah beliau merupakan seorang pengikut setia dan penolong sejati Khilafat.
Usamah Abdul ‘Azim Sahib menulis, “Fathi Abdussalam Sahib adalah seorang yang sangat berilmu. Meskipun secara usia telah lanjut, namun beliau sosok yang rendah hati. Beliau bersikap sangat hormat sekalipun kepada yang paling muda dari antara kami dan menerima masukannya. Seseorang yang memiliki semangat yang tinggi.
Jika ada perlakuan yang tidak pantas dari seseorang, maka beliau dengan penuh kerendahan hati meminta maaf kepadanya di hadapan semua orang dan mencium kepalanya. Almarhum sangat mencintai Islam dan ingin menjadikan para pemuda Ahmadi sebagai Khadim dan tentara Jemaat yang memiliki ilmu dan juga kerohanian. Hingga malam hari beliau menasihati kami dan mengingatkan akan tanggung jawab-tanggung jawab keJemaatan.
Beliau seorang yang sangat lemah lembut. Jika ada orang yang berkata kasar kepada beliau, beliau tidak menjawabnya dengan keras. Saya juga mengetahui, beberapa orang menyakiti beliau dan bersikap kasar kepada beliau, namun jika pun secara kebetulan dikarenakan suatu alasan tertentu keluar juga kata-kata keras dari lisan Fathi Sahib, maka beliau meminta maaf dan terkadang menulis juga kepada saya bahwa saya mengatakan seperti ini kepada seseorang dan saya juga memohon maaf kepadanya. Keberanian seperti ini jarang terdapat pada diri orang-orang.”
Tamim Sahib menulis, “Almarhum sering kali mengatakan, ‘Dalam Islam tidak ada suatu pekerjaan yang bisa benar tanpa Khilafat. Hal apa yang kita butuhkan, janganlah itu membuat kita condong pada berbagai macam ide dan gagasan, melainkan yang kita perlukan adalah Khalifah yang akan memutuskan perselisihan-perselisihan dan memberikan bimibingan kepada kita dengan petunjuk dari Allah Ta’ala.’
Almarhum selalu siap untuk meninggalkan setiap perkara yang terhadapnya Khalifah-e-waqt tidak memberikan persetujuan. Setiap kali beliau pulang setelah bertemu dengan Hudhur, beliau tampak diliputi suatu kegembiraan yang menakjubkan dan menceritakan mengenai mulaqat dan segala hal yang terjadi pada kesempatan tersebut dengan penuh keharuan dan kecintaan.”
Seorang wanita dari Palestina, Sama’ Sahibah menuturkan, “Saya melihat dalam mimpi yang tampak seperti kenyataan, bahwa saya bersama saudari perempuan saya duduk makan sahur dan ia mengatakan kepada saya bahwa seseorang telah memberitahukannya bahwa, ada satu malaikat duduk di satu majlis dan melingkungi para Ahmadi. Ketika Fathi Sahib datang, malaikat tersebut mengatakan kepada Fathi Sahib, ‘Engkau adalah bunga melati yang paling indah.’ Atas hal ini, saya mengatakan kepada saudari perempuan saya bahwa Fathi Sahib begitu suci bersih.”
Tahir Nadim Sahib yang berkhidmat di Arabic Desk menulis, “Dalam diri beliau terdapat satu keistimewaan bahwa meskipun beliau seseorang yang sangat terpelajar, beliau adalah figur yang rendah hati. Beliau begitu mencintai kalam Hadhrat Masih Mau’ud (as) sehingga entah berapa kali beliau menamatkan Barahin Ahmadiyah dan beliau terus menemukan serta menyampaikan pengertian-pengertian yang baru dari buku tersebut. Beliau juga merekam beberapa program mengenai hal ini. Beliau juga menyemarakkan Jalsah. Semua orang tahu akan hal ini. Beliau meneriakkan slogan-slogan dengan suara lantang dan terutama pada hari terakhir, terdapat satu gejolak semangat dalam pekikan beliau dan tampak bahwa suara itu muncul dari kedalaman hati.”
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufik kepada anak keturunan beliau untuk mengikuti jejak langkah beliau dan mengabulkan doa-doa beliau bagi anak keturunan beliau, serta meninggikan derajat beliau.
Jenazah selanjutnya, yang terhormat Radhiyah (Razia) Begum (رضية بيغم) Sahibah, istri dari Khalil Mubashir Ahmad Sahib, mantan Mubaligh In Charge Kanada, dan mantan Amir serta Missionary In Charge Sierra Leone. Beliau juga wafat beberapa hari yang lalu. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.
Khalil Sahib menulis, “Istri saya, Radhiyah Begum, mendapatkan taufik mengkhidmati Jemaat dengan bahu membahu bersama suaminya yang seorang Waqif Zindegi, dengan kesabaran, semangat dan antusiasme untuk masa yang panjang di medan pertablighan. Khususnya di Afrika, beliau mendapatkan taufik untuk sepenuhnya menjamu dan mengkhidmati para tamu. Beliau tidak pernah menuntut yang tidak semestinya dan dengan bersabar dan bersyukur dalam segala keadaan, beliau mendapatkan taufik untuk mengkhidmati agama bersama suami yang merupakan waqaf zindegi.
Almarhumah dawam dalam ibadah-ibadah dan ikut serta dalam sedekah dan pengorbanan harta dengan antusias dan penuh semangat. Sebelum kewafatannya Almarhumah melunasi pembayaran semua candah-candahnya. Almarhumah seorang Mushiah. Di antara yang ditinggalkan antara lain, satu putra dan tiga putri, serta anak keturunan lainnya. Semoga Allah Ta’ala memberikan maghfiroh dan rahmat-Nya kepada Almarhumah dan meninggikan derajat Almarhumah.
Jenazah selanjutnya yang terhormat Sairah Sultan (سائرة سلطان) Sahibah, istri Dokter Sultan Mubashir Sahib. Beliau juga wafat pada beberapa hari yang lalu dikarenakan serangan jantung. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau juga mendapatkan taufik berkhidmat di berbagai departemen di Lajnah Imailah Pakistan dan secara khusus mendapatkan banyak taufik berkhidmat di bidang Khidmat Khalq. Suami beliau, Dokter Sultan Mubashir Sahib menulis, “Beliau adalah seorang yang setia pada Jemaat dan Khilafat. Beliau sangat bahagia bahwa rumah kami dekat dengan masjid Mubarak. Ketika beliau menikah, ibu mertua beliau telah wafat, sedangkan ayah mertua beliau, yaitu Maulana Dost Muhammad Syahid Sahib masih hidup saat itu. Almarhumah mengkhidmati beliau selayaknya putri kandung dan memperhatikan semua keperluan-keperluan beliau. Almarhumah biasa sepenuhnya mengkhidmati para tamu yang datang kepada beliau dari berbagai negara, kapanpun mereka datang. Beliau menunaikan kewajibannya sebagai menantu dari seorang Waqif Zindegi.
Beliau seorang yang sangat memperhatikan orang-orang miskin dan tangan beliau sangat terbuka dalam hal ini sehingga terkadang sampai berhutang. Terkadang beliau juga menjual perhiasannya, namun beliau membantu orang-orang miskin dalam segala hal.
Beliau dawam dalam candah-candah, seorang mushiah, beliau juga membayar sebagian candahnya dengan sebelumnya menjual perhiasan. Beliau memberikan perhiasannya untuk beberapa gerakan pengorbanan. Tidak hanya candah beliau sendiri, bahkan beliau juga memberikan candah atas nama kedua orang tuanya. Beliau menyukai kesucian, rajin berdoa, disiplin dalam shalat dan puasa serta rajin tahajud.”
Semoga Allah Ta’ala memberikan maghfiroh dan rahmat-Nya, meninggikan derajat beliau. Beliau memiliki dua orang putra, semoga Allah Ta’ala juga memberikan taufik kepada mereka untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan beliau, memberikan kesabaran dan ketabahan kepada putra-putra beliau dan Dokter Sahib.
Jenazah selanjutnya, yang terhormat Ghusoon Al-Ma’dhamani (غصون المعضماني) Sahibah dari Suriah, yang akhir-akhir ini tinggal di Turki. Beliau juga wafat beberapa hari yang lalu di usia 39 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau sakit sejak lama. Dengan karunia Allah Ta’ala Almarhumah seorang Mushi. Ketua Jemaat dan Mubaligh Jemaat Turki, Shadiq Batt Sahib menulis, “Beliau hijrah dari Syria ke Turki pada 2015. Pada 2016, beliau ditetapkan sebagai Sadr Lajnah Iskandarun dan hingga nafas terakhirnya beliau berkhidmat sebagai Sadr Lajnah. Beliau telah sejak lama sakit dan hanya terbaring di tempat tidur. Meskipun demikian dalam keadaan sakit ini pun beliau sepanjang waktu sibuk mengkhidmati agama. Beliau terus bertabligh melalui internet di berbagai forum. Beliau juga memberikan peranan penting dalam ta’lim dan tarbiyat para wanita Ahmadi Syiria. Beliau dicintai oleh semua orang, memiliki simpati sejati dan penuh belas kasihan.”
Dan beberapa lajnah pun menulis kepada saya dan mereka sangat memuji beliau. Semoga Allah Ta’ala memberikan maghfiroh dan rahmat-Nya kepada Almarhumah dan meninggikan derajat Almarhumah. Sebagaimana telah saya sampaikan, saya akan memimpin shalat jenazah gaib mereka semua setelah shalat.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq.
Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)
[1] Omar the Great: The Second Caliph of Islam, Volume 2; Pengarang Shiblī Nuʻmānī; Edisi 2; Penerbit Sh. M. Ashraf, 1961, Asli dari Universitas Indiana; Didigitalkan 4 Mei 2009. Universitas Michigan di Amerika Serikat melakukan digitalisasi buku ini pada 2008.
[2] Shahih al-Bukhari, Kitab Perbuatan dalam Shalat (كتاب العمل فى الصلاة), bab seseorang memikirkan sesuatu di kala shalat (باب تَفَكُّرِ الرَّجُلِ الشَّىْءَ فِي الصَّلاَةِ), 1221.
[3] Syed (Sayyid) Mir Mahmud Ahmad Nasir adalah Principal (Kepala Sekolah) Jamiah Ahmadiyah, sebuah Institut Teologi dan Bahasa milik Jemaat Ahmadiyah di Rabwah, Pakistan. Penulis adalah seorang cendekiawan ulung dalam berbagai segi. Keahlian beliau di bidang Hadits dan Sunnah telah diakui oleh semua kalangan. Beliau juga ahli dalam bidang pembahasan Muwazanah Madzahib (Studi Perbandingan agama). Beliau juga pernah berkhidmat sebagai Mubaligh perintis di Britania Raya dan Amerika Serikat selama beberapa tahun.
[4] Mutsanna saat itu tengah berada di Front Iraq perbatasan Persia.
[5] Tarikh al-Kamil karya Ibnu Atsir bahasan mengenai Mutsanna dan Abu Ubaid (ذِكْرُ خَبَرِ الْمُثَنَّى بْنِ حَارِثَةَ وَأَبِي عُبَيْدِ بْنِ مَسْعُودٍ).
[6] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري), karya Abu Ja’far ath-Thabari (محمد بن جرير بن يزيد بن كثير بن غالب الآملي، أبو جعفر الطبري (المتوفى: 310هـ)) yang wafat pada 310 Hijriyyah., bahasan tahun ke-13 (سنة ثلاث عشرة (ذكر الخبر عما كَانَ فِيهَا من الأحداث)).
[7] Peristiwa ini tercantum dalam Tarikh ath-Thabari (تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري), karya Abu Ja’far ath-Thabari (محمد بن جرير بن يزيد بن كثير بن غالب الآملي، أبو جعفر الطبري (المتوفى: 310هـ)) yang wafat pada 310 Hijriyyah., bahasan tahun ke-13 (سنة ثلاث عشرة (ذكر الخبر عما كَانَ فِيهَا من الأحداث)): ثُمَّ دَعَا أَبَا عُبَيْدٍ، وَسُلَيْطًا وَسَعْدًا، فَقَالَ: أَمَّا إِنَّكُمَا لَوْ سَبَقْتُمَاهُ لَوَلَّيْتُكُمَا وَلأَدْرَكْتُمَا بِهَا إِلَى مَا لَكُمَا مِنَ الْقُدْمَةِ فَأَمَّرَ أَبَا عُبَيْدٍ عَلَى الْجَيْشِ، وَقَالَ لأَبِي عُبَيْدٍ: اسمع من اصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وَسَلَّمَ، وَأَشْرِكْهُمْ فِي الأَمْرِ، وَلا تَجْتَهِدْ مُسْرِعًا حَتَّى تَتَبَيَّنَ، فَإِنَّهَا الْحَرْبُ، وَالْحَرْبُ لا يُصْلِحُهَا إِلا الرَّجُلُ الْمَكِيثُ الَّذِي يَعْرِفُ الْفُرْصَةَ وَالْكَفَّ. وَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لأَبِي عُبَيْدٍ: إِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أُؤَمِّرَ سُلَيْطًا إِلا سُرْعَتُهُ إِلَى الْحَرْبِ، وَفِي التَّسَرُّعِ إِلَى الْحَرْبِ ضَيَاعٌ إِلا عَنْ بَيَانٍ، وَاللَّهِ لَوْلا سُرْعَتُهُ لأَمَّرْتُهُ، وَلَكِنَّ الْحَرْبَ لا يُصْلِحُهَا إِلا الْمَكِيثُ. Hadhrat ‘Umar memanggil Abu Ubaid, Sulaith bin Qais dan Sa’d….beliau menjadikan Abu Ubaid sebagai Amir (Komandan) atas semua pasukan front Iraq. Beliau berkata kepada Abu Ubaid, “Dengarlah para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ikut sertakanlah mereka dalam setiap urusan. Janganlah memutuskan secara terburu-buru hingga sesuatu itu jelas dan gamblang. Itulah perang. Perang tidak akan baik dan dimenangkan kecuali oleh seorang pria yang tahu betul kapan dan dimana untuk mengambil kesempatan dan menahan diri. Tidak ada yang mencegah saya untuk menjadikan Sulaith sebagai Amir kecuali karena sifatnya yang tergesa-gesa dalam berperang. Sifat terburu-buru dalam peperangan ialah sebuah kerugian kecuali dalam hal yang jelas sekali. Demi Allah, bila bukan karena ini, pasti akan saya jadikan Sulaith sebagai Amir.”
[8] Al-Hira (sekarang di Kufah, Irak) ialah ibukota kerajaan Arab Lakhmid yang merupakan vassal (bawahan) kerajaan Persia dinasti Sasania. Orang-orang Arab Lakhmid ini beragama Manichean, Paganis dan Kristen. Di pihak lain, ada kerajaan Arab Ghassan yang warganya mayoritas Kristen di wilayah Syam (Suriah dan sekitarnya) beribukota di Bosra, bawahan kekaisaran Romawi Bizantium. Keduanya sering terlibat perng proxy dan masing-masing mendapat dukungan dari sekutu dan atasannya.
[9] Peristiwa ini tercantum dalam Tarikh ath-Thabari (تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري), karya Abu Ja’far ath-Thabari (محمد بن جرير بن يزيد بن كثير بن غالب الآملي، أبو جعفر الطبري (المتوفى: 310هـ)) yang wafat pada 310 Hijriyyah., bahasan tahun ke-13 (سنة ثلاث عشرة (ذكر الخبر عما كَانَ فِيهَا من الأحداث)): فَهَزَمَ اللَّهُ أَهْلَ فَارِسَ، وَأُسِرَ جَابَانُ، أَسَرَهُ مطر بن فضه التيمى، واسر مردان شاه، أَسَرَهُ أَكْتَلُ بْنُ شَمَّاخٍ الْعُكْلِيُّ، فَأَمَّا أَكْتَلُ فانه ضرب عنق مردان شاه، وَأَمَّا مَطَرُ بْنُ فِضَّةَ فَإِنَّ جَابَانَ خَدَعَهُ، حَتَّى تَفَلَّتَ مِنْهُ بِشَيْءٍ فَخَلَّى عَنْهُ، فَأَخَذَهُ الْمُسْلِمُونَ، فَأَتَوْا بِهِ أَبَا عُبَيْدٍ وَأَخْبَرُوهُ أَنَّهُ الْمَلِكُ، وَأَشَارُوا عَلَيْهِ بِقَتْلِهِ، فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ أَنْ أَقْتُلَهُ، وَقَدْ آمَنَهُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ، وَالْمُسْلِمُونَ فِي التَّوَادِّ وَالتَّنَاصُرِ كَالْجَسَدِ، مَا لَزِمَ بَعْضَهُمْ فَقَدْ لَزِمَهُمْ كُلَّهُمْ.فَقَالُوا لَهُ: إِنَّهُ الْمَلِكُ، قَالَ: وَإِنْ كَانَ لا أَغْدُرُ، فَتَرَكَهُ .
[10] Ardh Sawaad artinya tanah hitam. Sekarang sebutan untuk sebagian daerah Iraq.
[11] Abu Ubaid bin Mas’ud bin Amr bin Umair berasal dari Banu (keluarga besar) Tsaqif keturunan Banu Hawazin di Thaif. Mereka lama menjadi penentang keras Nabi Muhammad saw. Mereka umumnya masuk Islam setelah 9 Hijriyah. Pelopor masuk Islam di kalangan mereka ialah Mughirah bin Syu’bah, Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi, Utsman bin Abul Ash, Abdu Yalil bin Amr bin Umair, Mas’ud bin Amr bin Umair, dan Hubaib bin Amr bin Umair. Abu Ubaid bin Mas’ud ats-Tsaqafi mempunyai saudara bernama Sa’d bin Mas’ud, Amir Madain pada masa Khilafat Hadhrat Ali (565-660). Ia pelindung Imam Hasan saat diberontak perusuh Kufah pada 40 Hijriyah (661 M). Mukhtar bin Abu Ubaid dan Shafiyyah binti Abu Ubaid ialah putra/i terkenal Abu Ubaid ats-Tsaqafi. Shafiyyah istri Abdullah bin Umar bin Khaththab.
[12] Di dalam Kitab al-Bidaayah wan Nihaayah dan Tarikhul Khulafa’ disebutkan, Hadhrat Khalifah Umar (ra) berpidato berkali-kali dalam suatu waktu di tiga hari berturut-turut guna mengumpulkan bala bantuan untuk umat Muslim yang tengah berperang di dua front, front melawan Romawi di wilayah Syam (Suriah dsk) dan front melawan Persia atau Iran di wilayah Iraq-Iran sekarang. Orang pertama di hari keempat yang menjawab seruan itu ialah Abu Ubaid bin Mas’ud ats-Tsaqafi diikuti ribuan Muslim setelahnya. Khalifah Umar mengangkatnya menjadi panglima front Iraq meski sebagian orang keberatan yang menganggapnya bukan Sahabat Nabi yang beriman sejak awal. Khalifah Umar justru mengembalikan argumen mereka yang keberatan, kenapa mereka tidak lebih awal menanggapi seruannya. Khalifah memberi wasiat kepada Abu Ubaid agar di medan peperangan selalu bermusyawarah dan satu pendapat dengan para Sahabat Nabi, khususnya Salith (Sulaith) bin Qais, Sahabat perang Badr. Salith bin Qais dan para pejuang senior yang mengkritik keputusan Abu Ubaid menyeberangi sungai tetap ikut berperang bahkan Salith termasuk yang syahid di perang Jisr itu. Dalam tiga kali perang melawan Persia sebelum perang Jisr, pasukan Muslim dibawah Panglima Abu Ubaid selalu memenangkan perang.
[13] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري), juz ketiga, tahun ke-13, peristiwa Kirkis (الجزء الثالث سنه ثلاث عشره وقعه القرقس).
[14] Tarikh ibn Khaldun, terjemahan Hakim Ahmad Hussain Al-Abadi, Vol. 3, pp. 270-273, Dar-ul-Isha’at Karachi, 2003. Para panglima pengganti Abu Ubaid memegang kepemimpinan dalam perang sesuai wasiat Abu Ubaid sebelum perang dimulai. Seperti biasanya, pergerakan dan peristiwa di medan perang dilaporkan ke Khalifah. Peristiwa dalam perang Jisr ini pun dikabarkan oleh Panglima terakhir yang masih hidup [yaitu Mutsanna] di medan perang kepada Khalifah Umar (ra). Di dalam Kitab Akhbaruth Thiwaal (الأخبار الطوال) karya Dinawari (أبي حنيفة أحمد بن داود/الدينوري), Hadhrat Umar (ra) menangis menerima laporan tersebut. Namun, beliau langsung memberikan instruksi-instruksi baru dan detil. Mutsanna pun wafat setelah menanggung kesakitan akibat perang tersebut. Tiga perang melawan Persia setelah perang Jisr juga dimenangkan pihak Muslim dengan Panglima Perang yang berbeda. Perang tersebut ialah perang Buwaib, perang Qadisiyah dan perang Nahawand. Setelah itu, pihak Persia tidak lagi melakukan perlawanan yang berarti.
[15] Markaz Ibnu Khaldun Liddirasat Al-Inma’i (Pusat Kajian pengembangan dan pembangunan Ibnu Khaldun) yang berpusat di Kairo.