Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz menguraikan sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.
Berbagai peristiwa setelah kewafatan Hadhrat ‘Umar (radhiyAllahu ta’ala ‘anhu: Ubaidullah putra Hadhrat ‘Umar (ra) membalas dendam atas pensyahidan ayahnya dengan membunuh orang-orang yang dicurigai bersekongkol terhadap ayahnya dan ingin membunuh seluruh tawanan bukan Arab di Madinah serta pencegahan dan penahanan oleh para Sahabat terhadapnya. Hadhrat ‘Utsman (ra) setelah dibaiat menjadi Khalifah menggelar musyawarah terkait putusan terhadap Ubaidullah putra Hadhrat ‘Umar (ra). Tiga pendapat diantara para Sahabat. Keputusan Hadhrat ‘Utsman (ra) menurut riwayat Kitab Tarikh.
Uraian Hadhrat Khalifatul Masih II radhiyAllahu ta’ala ‘anhu terkait hal ini: hukuman mati terhadap pembunuh adalah sama baik pembunuhnya Muslim atau bukan Muslim. Yang menangkap pembunuh dan memberikan hukuman kepadanya adalah pemerintah sah saat itu. Pemberian putusan untuk mengadili adalah di pihak otoritas yang berwenang. Eksekusi terhadap pembunuh apakah oleh alat negara atau ahli waris korban diserahkan kebijakannya kepada kebudayaan masing-masing yang jelas telah melewati proses pengadilan otoritas setempat.
Riwayat-riwayat dalam Kitab-Kitab Tarikh dan Hadits terkait kesabaran, kerendahan hati dan kepasrahan Hadhrat ‘Umar (ra) saat menghadapi kematian.
Wasiat-Wasiat terakhir Hadhrat ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
Pemakaman dan jenazah: pemandian, shalat jenazah, yang menurunkan ke liang kubur.
Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud ‘alaihis salaam (Pendiri Jemaat Ahmadiyah) mengenai Hadhrat ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
Usia Hadhrat ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu dalam berbagai riwayat.
Uraian Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) terkait Tingkat Pengorbanan Hadhrat ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
Uraian mengenai kutipan komentar para Sahabat Nabi (ra) sewaktu kewafatan Hadhrat ‘Umar (ra).
Kesaksian penulis terkenal dari kalangan Orientalis Barat (ahli ketimuran asal Eropa dan Amerika) tentang kualitas Hadhrat ‘Umar (ra): Edward Gibbon, Michael H. Hart dan Profesor Philip K. Hitti.
Informasi kewafatan lima Almarhum/Almarhumah, pengumuman shalat jenazah gaib dan dzikr-e-khair atas mereka. [1] Yang terhormat Sahibzadi Asifah Mas’udah Begum Sahibah istri Dokter Mirza Mubashir Ahmad Sahib bin Hadhrat Mirza Bashir Ahmad Sahib; [2] yang terhormat Clara Apa Sahibah, istri Roland Sainbaev Shahib, mantan Amir Jemaat Kazakhstan; [3] Abdul Rasyid Sahib salah seorang Komandan Squadron Angkatan Udara Pakistan; [4] Yang terhormat Zubaidah Begum Sahibah istri Karim Ahmad Naim Sahib dari Amerika Serikat dan [5] Hafiz Ahmad Ghaman Sahib di Rabwah, Pakistan.
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 22 Oktober 2021 (15 Ikha 1400 Hijriyah Syamsiyah/ 15 Rabi’ul Awwal 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Di dalam khotbah sebelumnya saya telah menyampaikan pertengkaran antara Hadhrat Ubaidullah bin ‘Umar dengan Hadhrat ‘Utsman perihal kesyahidan Hadhrat ‘Umar, dan juga telah menyampaikan satu riwayat tentangnya dimana Allah-lah yang lebih Mengetahui sejauh mana kebenaran riwayat tersebut, apakah telah terjadi pertengkaran antara mereka. Setelah penelitian yang lebih lanjut tentang perkara ini, saya pun akan menjelaskan hal-hal yang kemudian mengemuka. Di satu tempat pun disampaikan bahwa ketika Hadhrat Ubaidullah bin ‘Umar berseteru (bertengkar, bertikai) dengan Hadhrat ‘Utsman, saat itu Hadhrat ‘Utsman belum mengemban amanat khilafat. Sebelumnya pun telah saya sampaikan bahwa Ubaidullah bin ‘Umar berkeinginan di hari itu ia tidak akan membiarkan hidup seorang pun tawanan di Madinah.
Golongan Muhajirin adalah yang pertama bersatu untuk menentangnya, kemudian mencegah dan mengecamnya. Ubaidullah berkata, “Demi Allah, saya pasti akan membunuh mereka.” (maksudnya, berapa pun jumlah para tawanan dan para budak di Madinah; dan ia pun tidak mengindahkan golongan Muhajirin). Hadhrat Amru bin al-’Ash pun tanpa henti berurusan dengannya, hingga ia (Ubaidullah) pun menyerahkan pedangnya kepada Amru bin al-’Ash. Hadhrat Sa’ad bin Abi Waqqas mendatangi Ubaidullah untuk menasihatinya. Kepada Hadhrat Sa’ad pun Ubaidullah bin ‘Umar bertengkar. Sebagaimana telah saya jelaskan, Ubaidullah tengah bertengkar melawan Hadhrat ‘Utsman dan orang-orang yang berusaha melerai mereka. Disebutkan peristiwa ini terjadi tatkala Hadhrat ‘Utsman belum diambil baiat; artinya, hingga saat itu Hadhrat ‘Utsman belum dipilih sebagai khalifah, dan hal ini telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, terdapat juga isyarat bahwa setelah itu Hadhrat Ubaidullah pun ditahan.
Setelah pengambilan baiat Hadhrat ‘Utsman, yakni beliau telah mengemban amanat Khilafat, Hadhrat Ubaidullah pun dibawa ke hadapan Hadhrat ‘Utsman. Kemudian Amirul Mukminin bertanya di hadapan Jemaat golongan Muhajirin dan Ansar, “Sampaikan kepada saya pendapat Anda sekalian tentang orang ini yang telah menimbulkan kerugian pada Islam.”[1]
Hadhrat Ali bin Abi Thalib bersabda, “Membiarkannya begitu saja adalah jauh dari keadilan. Menurut saya, ia (Ubaidullah bin ‘Umar) hendaknya dibunuh.”
Namun, sebagian Muhajirin menganggap usulan beliau sangat keras dan berat. Mereka berkata, “Hadhrat ‘Umar baru saja terbunuh kemarin dan hari ini putranya pun hendak dibunuh.” Keberatan ini menjadikan semua orang bersedih, sementara Hadhrat Ali pun terdiam.
Alhasil, Hadhrat ‘Utsman tetap berharap agar ada diantara hadirin yang bersedia memberikan jalan keluar atas kejadian yang sangat genting ini (yaitu memberi saran).
Hadhrat Amru bin al-’Ash yang juga ada di dalam majlis tersebut berkata, “Allah telah memaafkan (membebaskan) Anda atas hal ini. Peristiwa ini adalah perkara tatkala Anda bukan sebagai Amir bagi kaum Muslim.” Maksudnya, “Karena peristiwa ini terjadi sebelum masa kekhilafatan Anda sehingga Anda tidak memiliki tanggung jawab atasnya.”
Namun, Hadhrat ‘Utsman tidak sepakat dengan pendapat tersebut dan menganggap lebih baik agar darah dialirkan. Maka dari itu beliau bersabda, “Saya adalah wali bagi semua yang telah dibunuh itu. Oleh karena itu saya memutuskan pembayaran diyat (uang darah) yang akan saya bayar dengan harta saya.”[2] Ini adalah sebuah pendapat terkait perkara ini.
Menurut Tarikh ath-Thabari, Hadhrat ‘Utsman menyerahkan Hadhrat Ubaidullah kepada putra Hurmuzan supaya ia membunuhnya sebagai qishash (pembalasan atas pembunuhan) ayahnya, namun putra Hurmuzan memaafkannya.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) dalam menyampaikan jawaban atas apakah seorang pembunuh yang juga Muslim dapat dihukum sebagai balasan atas korbannya yang seorang kafir – hal mana ini pun telah saya sampaikan di dalam khotbah sebelumnya, dan akan saya sampaikan kembali di sini untuk memperjelas -, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda: “Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab Tarikh ath-Thabari, Qumadzuban putra Hurmuzan (القماذبان بن الهرمزان) meriwayatkan peristiwa pembunuhan ayahnya bernama Hurmuzan yang adalah salah seorang petinggi Iran dan penganut agama Majusi. Ia dianggap ikut serta dalam perencanaan pembunuhan Hadhrat ‘Umar (ra), Khalifah ke-2. Atas hal itu, dengan terbawa emosi dan tanpa melakukan penyelidikan, Ubaidullah putra Khalifah ‘Umar membunuhnya. Ia (Qumadzuban) menuturkan, كَانَتِ العجم بِالْمَدِينَةِ يستروح بعضها إِلَى بعض، فمر فيروز بأبي، وَمَعَهُ خنجر لَهُ رأسان، فتناوله مِنْهُ، وَقَالَ: مَا تصنع بهذا فِي هذه البلاد؟ فقال: آنس بِهِ، فرآه رجل، فلما أصيب عمر، قَالَ: رأيت هَذَا مع الهرمزان، دفعه إِلَى فيروز. فأقبل عُبَيْد اللَّهِ فقتله، فلما ولي عُثْمَان دعاني فأمكنني مِنْهُ، ثُمَّ قَالَ: يَا بني، هَذَا قاتل أبيك، وأنت أولى بِهِ منا، فاذهب فاقتله، فخرجت بِهِ وماا فِي الأرض أحد إلا معي، إلا أَنَّهُمْ يطلبون إلي فِيهِ فقلت لَهُمْ: ألي قتله؟ قَالُوا: نعم- وسبوا عُبَيْد اللَّهِ- فقلت: أفلكم أن تمنعوه؟ قَالُوا: لا،، وسبوه فتركته لله ولهم فاحتملوني، فو الله مَا بلغت المنزل إلا عَلَى رءوس الرجال وأكفهم ‘Orang-orang ‘Ajam (bukan Arab, maksudnya dalam hal ini Iran) hidup berdampingan di Madinah dan saling mengunjungi sesama mereka.’ (Hal ini sebagaimana menjadi kaidah bahwa orang-orang yang satu negeri dan pindah ke negeri lain bila mereka berjumpa akan tampak semangat nasionalisme/perkauman/semangat sesama satu negeri) ‘Pada suatu hari Fairuz yang nantinya merupakan pembunuh Hadhrat ‘Umar (ra) bertemu dengan ayah saya dan ia membawa belati yang kedua sisinya tajam. Ayah saya mengambil pisau belati tersebut dan bertanya kepadanya, “Apa gunanya belati ini di negeri ini?” (Artinya, Madinah ini adalah negeri yang damai, di sini tidak diperlukan senjata semacam ini.) Ia mengatakan, “Saya menggunakannya untuk menggiring unta.”
Ketika keduanya tengah berbincang seseorang melihat mereka, dan ketika Hadhrat ‘Umar (ra) dibunuh, maka ia menceritakan bahwa ia melihat sendiri Hurmuzan mengambil belati Fairuz. Atas hal ini, Ubaidullah – yang merupakan putra bungsu Hadhrat ‘Umar (ra) – pergi dan membunuh ayah saya (Hurmuzan).
Ketika Hadhrat Utsman (ra) menjadi Khalifah, beliau memanggil saya dan menangkap Ubaidullah, lalu menyerahkannya kepada saya, dan berkata, “Wahai anakku! Inilah pembunuh ayahmu dan engkau lebih berhak atasnya daripada kami. Oleh karena itu, pergi dan bunuhlah dia!”
Saya menangkapnya dan pergi keluar dari kota. Di jalan, orang-orang yang bertemu dengan saya lalu menyertai saya, namun tidak ada seorang pun yang melawan saya. Mereka hanya memohon kepada saya supaya saya melepaskannya. Maka saya berbicara kepada semua orang Islam, “Apakah saya memiliki hak untuk membunuhnya?”
Semua orang menjawab, “Ya, engkau memiliki hak untuk membunuhnya.”
Kemudian mereka mencela Ubaidullah atas keburukan yang telah ia lakukan.
Kemudian saya bertanya, “Apakah kalian memiliki hak untuk melepaskannya dari saya?”
Mereka menjawab, “Sama sekali tidak!” Mereka pun mulai mencela Ubaidullah bahwa ia telah membunuh ayah saya tanpa bukti.
Atas hal tersebut, saya melepaskannya [melepaskan Ubaidullah] demi Allah Ta’ala dan karena orang-orang itu.’ (Setelah begitu banyaknya rekomendasi dan tanya jawab yang terjadi, maka beliau mengatakan, “Saya melepaskannya demi Allah Ta’ala dan orang-orang tersebut.”)
Orang-orang Islam karena begitu gembiranya mereka mengangkat saya di atas pundak-pundak mereka dan demi Allah! Saya sampai ke rumah dalam keadaan di atas kepala dan pundak orang-orang. Mereka tidak membiarkan saya memijakkan kaki di tanah.’[3]
Dari riwayat ini terbukti ini merupakan praktik para sahabat bahwa mereka memberikan hukuman mati kepada orang Muslim yang membunuh orang bukan Muslim dan ini juga membuktikan jika ada seseorang yang membunuh siapapun (apakah Muslim atau non-Muslim) kasusnya dianggap sama.
Demikian juga peristiwa ini membuktikan bahwa yang menangkap pembunuh dan memberikan hukuman kepadanya adalah pemerintah sah saat itu. Kita telah melihat dalam riwayat bahwa Hadhrat ‘Utsman (ra)-lah yang memerintahkan penangkapan ‘Ubaidullah putra ‘Umar ibn al-Khaththab dan memberikannya kepada putra Hurmuzan. Bukanlah seorang ahli waris Hurmuzan yang menjalankan sendiri pengadilannya (main hakim sendiri) dan bukan pula ia yang menangkapnya.”
Hadhrat Khalifatul Masih Tsani (ra) bersabda, “Di tempat ini tampaknya perlu juga untuk menghilangkan keraguan bahwa memberikan hukuman kepada seorang pembunuh apakah harus diserahkan kepada ahli waris korban sebagaimana yang Hadhrat Utsman (ra) lakukan atau harus dilakukan oleh pemerintah sendiri? Jadi, hendaknya diingat bahwa ini satu perkara khusus yang untuk itu Islam menyerahkan pengamalannya sesuai dengan keperluan setiap zaman. Negara bisa menempuh cara yang tampak paling bermanfaat sesuai dengan kebudayaan dan keadaan masing-masing. Dan tidak diragukan lagi, kedua cara ini bermanfaat pada situasi-situasi khusus tertentu masing-masing.”[4]
Setelah menjelaskan hal ini, sekarang saya ingin menyampaikan peristiwa-peristiwa lain terkait Hadhrat ‘Umar (ra). Mengenai bagaimana kesabaran, kerendahan hati dan kepasrahan Hadhrat ‘Umar (ra) saat menghadapi kematian, putra beliau meriwayatkan bahwa Hadhrat ‘Umar berkata kepadanya, واقصدوا في كفني فإنه إن كان لي عند الله خير أبدلني ما هو خير منه وإن كنت على غير ذلك سلبني فأسرع سلبي واقصدوا في حفرتي فإنه إن كان لي عند الله خير أوسع لي فيها مد بصري وإن كنت على غير ذلك ضيقها علي حتى تختلف أضلاعي ولا تخرج معي امرأة ولا تزكوني بما ليس في فإن الله هو أعلم فإذا خرجتم فأسرعوا بي المشي فإنه إن كان لي عند الله خير قدمتموني إلى ما هو خير لي وإن كنت على غير ذلك ألقيتم عن رقابكم شرا تحملونه “Kafanilah saya secara sederhana. Jika ada kebaikan di sisi Allah untuk saya, Dia akan menggantikannya dengan pakaian yang lebih baik. Jika saya terkecuali darinya, Dia akan merampasnya dari saya dan Dia bersegera dalam merampas.
Kemudian, kuburkanlah saya secara sederhana. Jika ada kebaikan di sisi Allah untuk saya, Dia akan sedemikian rupa melapangkannya hingga sejauh saya dapat memandang. Jika saya terkecuali darinya, Dia pasti akan menyempitkannya hingga akan meremukkan tulang-tulang rusuk saya.
Janganlah menyertakan siapapun wanita bersama jenazah saya.
Janganlah memuji sesuatu yang tidak ada di dalam diri saya, karena Allah lebih mengetahui diri saya.
Kemudian tatkala Anda sekalian akan berjalan membawa saya, berjalanlah dengan cepat. Jika ada kebaikan di sisi Allah untuk saya, Anda akan mengantarkan saya menuju tempat yang lebih baik bagi saya. Jika saya terkecuali darinya, Anda akan menghindarkan keburukan ini dengan pundak-pundak Anda.”[5]
Selain itu tertera juga bahwa Hadhrat ‘Umar mewasiyatkan agar jangan memandikan dirinya dengan misk yakni wewangian kasturi atau yang lain.
Diriwayatkan dari Hadhrat ‘Utsman bin Affan, “Saya pergi menuju Hadhrat ‘Umar. Ketika itu kepala beliau ada di atas pangkuan Hadhrat Abdullah bin ‘Umar [putra beliau]. Hadhrat ‘Umar berkata kepadanya (Hadhrat Abdullah bin ‘Umar), ‘Baringkanlah saya diatas tanah.’
Hadhrat Abdullah menjawab, ‘Pangkuan saya dan tanah adalah sama.’ (maksudnya, apakah ada jarak diantara keduanya).
Hadhrat ‘Umar berkata untuk kedua hingga ketiga kalinya, ‘Saya mohon, letakkanlah kepala saya di atas tanah.’ Beliau (Hadhrat ‘Umar) pun menyatukan kedua kaki beliau.” Perawi (Hadhrat ‘Utsman) menuturkan, “Lalu saya mendengar Hadhrat ‘Umar bersabda, وَيْلِي وَوَيْلُ أُمِّي إِنْ لَمْ يَغْفِرِ اللَّهُ لِي ‘Saya dan ibunda saya pasti akan binasa, seandainya Allah Ta’ala tidak mengampuni saya’, hingga beliau pun akhirnya wafat.”[6]
Hadhrat Simak al-Hanafi (سِمَاكٍ الْحَنَفِيِّ) menuturkan bahwa ia telah mendengar Ibnu Abbas berkata, قُلْتُ لِعُمَرَ مَصَّرَ اللَّهُ بِكَ الأَمْصَارَ وَفَتَحَ بِكَ الْفُتُوحَ وَفَعَلَ بِكَ وَفَعَلَ “Saya berkata kepada Hadhrat ‘Umar, ‘Allah telah menjadikan kota-kota baru ramai berpenghuni [orang-orang Muslim] dengan perantaraan Tuan. Dengan perantaraan Tuan-lah kemenangan-kemenangan telah diraih dan dengan perantaraan Tuan-lah berbagai pekerjaan telah terwujud.’
Atas hal ini Hadhrat ‘Umar bersabda, لَوَدِدْتُ أَنِّي أَنْجُوَ مِنْهُ لا أَجْرَ وَلا وِزْرَ ‘Saya berkeinginan, agar dengan ini saya meraih suatu keselamatan yang di dalamnya saya tidak meraih ganjaran maupun beban.’”[7] (Artinya, beliau tidak berbangga bahwa beliau telah melakukan berbagai pekerjaan besar dan kemenangan-kemenangan besar telah terjadi di waktu beliau, namun rasa takut akan wujud Allah Ta’ala senantiasa unggul di dalam diri beliau dan terus memikirkan akhirat beliau).
(عن زيد بن أسلم عن أبيه قال:) Zaid bin Aslam meriwayatkan dari Ayahnya, لما حضرت عمر الوفاة قال: أبالإمارة تغيظونني، فوالله لوددت أني أنجو كفافاً لاَ عَلَىَّ وَلاَ لِي “Tatkala masa kewafatan Hadhrat ‘Umar telah dekat, Hadhrat ‘Umar bersabda, ‘Anda sekalian meragukan saya dalam kepemimpinan ini? Demi Tuhan, saya lebih menghendaki bahwa saya meraih suatu keselamatan yang لاَ عَلَىَّ وَلاَ لِي – yakni tiada azab yang akan menimpa saya dan tidak pula pahala dan ganjaran -.’”[8]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) terkait hal ini bersabda, “Hadhrat ‘Umar, sesosok insan yang telah mewakafkan segenap usianya dalam kegelisahan dan memikirkan negeri Islam, sosok yang setiap waktunya telah menunaikan pengorbanan-pengorbanan luhur – meskipun dari segi amalan, pengorbanan beliau tidak hingga derajat pengorbanan Hadhrat Abu Bakr (ra) – namun dari segi keinginan dan niat, semuanya adalah sama. Tatkala Hadhrat Abu Bakr (ra) wafat, Hadhrat ‘Umar (ra) pun berlinang air mata, dan beliau bersabda, ‘Semoga Allah Ta’ala menurunkan keberkatan kepada Abu Bakr (ra). Saya berkali-kali telah berupaya untuk melampaui beliau, namun saya tidak pernah berhasil. Satu saat Rasulullah (saw) bersabda, “Berkorbanlah harta!” Maka dari itu, saya membawa setengah harta saya dan berpikir bahwa saat ini saya akan melampaui Hadhrat Abu Bakr (ra). Namun, Hadhrat Abu Bakr (ra) telah tiba sebelum saya di sana. Karena Rasulullah (saw) pun memiliki hubungan kerabat dengannya, dan beliau (saw) mengetahui bahwa Hadhrat Abu Bakr tidak menyisakan apapun, maka beliau (saw) pun bertanya, “Abu Bakr, apa yang Anda sisakan di rumahmu?”
Beliau menjawab, “Saya hanya meninggalkan nama Allah dan Rasul-Nya di rumah saya.”’
Seraya menuturkan ini, Hadhrat ‘Umar menangis dan bersabda, ‘Saat itu pun saya tidak sanggup melampauinya.’”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Inilah pengorbanan-pengorbanan beliau. Hadhrat Abu Bakr (ra) pun sebelumnya selalu mengorbankan hartanya. Namun tatkala tiba kesempatan yang khas, maka beliau memberikan seluruhnya. Di satu sisi, terdapat sosok-sosok seperti demikian, dan di sisi lain terdapat orang-orang yang untuk mengorbankan 1/10 hartanya pun mereka tidak memiliki kesempatan dan mereka berkata bahwa hartanya telah dirampas (diperas). Tatkala Hadhrat ‘Umar (ra) akan wafat, mata beliau berkali-kali basah seraya bersabda, ‘Wahai Tuhanku, Aku tidak berhak akan ganjaran apapun. Aku hanya berkeinginan agar terhindar dari hukuman.’”
Putra beliau, Hadhrat Abdullah menyampaikan berkenaan dengan penguburan jenazah beliau. Putra beliau, Hadhrat Abdullah ibnu ‘Umar (ra) memandikan jenazah Hadhrat ‘Umar (ra).
Diriwayatkan dari Hadhrat Ibnu ‘Umar, “Jenazah Hadhrat ‘Umar dishalatkan di Masjid Nabawi dan Hadhrat Shuhaib mengimami shalat jenazah beliau. Shalat jenazah beliau dilaksanakan pada tempat diantara mimbar Masjid Nabawi dan raudhah Rasulullah (saw).”
Diriwayatkan oleh Hadhrat Jabir, “Untuk menurunkan jenazah Hadhrat ‘Umar ke kubur, Hadhrat ‘Utsman bin Affan, Said bin Zaid, Shuhaib bin Sinan, dan Abdullah Bin ‘Umar pun turun.” Selain mereka, dalam riwayat-riwayat lain ada juga nama Hadhrat Ali, Hadhrat Abdurrahman bin Auf, Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash, Hadhrat Thalhah dan Hadhrat Zubair bin Awwam.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Dikuburkan di sisi hamba-hamba yang saleh pun merupakan sebuah kenikmatan. Tertulis mengenai Hadhrat ‘Umar (ra) bahwa di masa sakit menuju kewafatannya, Hadhrat ‘Umar (ra) menyampaikan permohonan kepada Hadhrat Aisyah (r.anha) agar beliau dapat diberikan tempat di sisi Hadhrat Rasulullah (saw). Hadhrat Aisyah (r.anha) memperlihatkan pengorbanannya dan memberikan tempat tersebut kepada beliau, dan Hadhrat ‘Umar bersabda, ما بقي لي همٌّ بعد ذلك, yakni, ‘Setelah ini saya tidak memiliki kesedihan apapun karena saya akan dimakamkan di dalam raudhah Rasulullah (saw).’”
Di tempat lain Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Seseorang yang berpegang erat pada kecintaan yang sempurna kepada Allah, maka Allah sama sekali tidak akan menyia-nyiakannya, meskipun segenap yang ada di dunia ini menjadi musuhnya, dan tidaklah seorang pencari Tuhan akan menatap suatu kesulitan dan penderitaan, dan Allah tidak akan membiarkan hamba-hamba-Nya yang benar tanpa seorang penolong pun. Allahu Akbar. Betapa tingginya keagungan dari kesungguhan dan ketulusan keduanya yakni Abu Bakr dan ‘Umar. Keduanya telah dimakamkan di tempat pemakaman yang sedemikian penuh berkat sehingga andaikan Hadhrat Musa dan Isa pun hidup, maka mereka akan mengidamkannya dengan penuh pengharapan. Namun derajat ini tidak dapat diraih hanya dengan pengharapan saja, dan tidaklah dapat dianugerahkan berdasarkan keinginan semata, karena ini adalah sebuah karunia dari singgasana Tuhan Sang Pemilik segenap keagungan, dan karunia ini hanya ditujukan kepada orang-orang yang semenjak silam anugerah Ilahi ditujukan kepadanya.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Tatkala Hadhrat ‘Umar akan wafat, beliau mengungkapkan hal berikut dengan penuh gejolak, yaitu bagaimana supaya beliau mendapatkan tempat untuk dimakamkan di dekat kaki Rasulullah (saw). Maka dari itu, beliau mengirim permohonan kepada Hadhrat Aisyah, bahwa jika Hadhrat Aisyah mengizinkan, beliau memohon agar dikuburkan di sisi Rasulullah (saw). Hadhrat ‘Umar (ra) adalah sosok insan yang tentang beliau para sejarawan Kristen pun menulis bahwa beliau telah memerintah dengan jalan yang tiada seorang pun pernah melakukannya di dunia. Meskipun para sejarawan Kristen melontarkan berbagai caci-maki kepada Rasulullah (saw), namun mereka memuji Hadhrat ‘Umar (ra). Sosok seperti demikian, yang setiap waktunya ada bersama beliau (saw), hingga waktu kematian pun beliau berpengharapan demikian. Maksudnya, beliau (ra) yang senantiasa berada di setiap jejak langkah Rasulullah (saw), hingga waktu kematian pun inilah yang beliau idamkan, yaitu mendapatkan tempat di sisi Rasulullah (saw). Seandainya diantara suatu tindakan Rasulullah (saw) pun tampak bahwa beliau tidak beramal demi keridaan Allah Ta’ala, maka apakah sosok seperti Hadhrat ‘Umar yang telah sampai pada kedudukan demikian pun akan memiliki keinginan supaya ia mendapatkan tempat di sisi Rasulullah (saw)?”
Alhasil, ini adalah derajat Rasulullah (saw), yang melalui perantaraannya, Hadhrat ‘Umar (ra) pun mengharapkan agar beliau mendapatkan tempat di sisi Rasulullah (saw).
Berkenaan dengan usia (tahun kewafatan) Hadhrat ‘Umar (ra), terdapat beragam riwayat. Sebagaimana dalam Tarikh ath-Thabari, Usdul Ghaabah, Al Bidaayah wan Nihaayah, Riyadhun Nadhirah dan juga Tarikh Al-Khulafa terdapat beragam Riwayat. Ada yang mengatakan 53 tahun, 55 tahun, 57 tahun, 59 tahun, 61 tahun, 63 tahun, dan juga 65 tahun. Sesuai dengan riwayat Shahih Muslim dan Tirmidzi, usia beliau diriwayatkan 63 tahun. Hadhrat Anas Bin Malik meriwayatkan, قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ ابْنُ ثَلاَثٍ وَسِتِّينَ وَأَبُو بَكْرٍ وَهُوَ ابْنُ ثَلاَثٍ وَسِتِّينَ وَعُمَرُ وَهُوَ ابْنُ ثَلاَثٍ وَسِتِّينَ “Ketika wafat, usia Rasulullah 63 tahun, usia Hadhrat Abu Bakr juga 63 tahun ketika wafat, begitu juga usia Hadhrat ‘Umar (ra) ketika wafat adalah 63 tahun.”[9]
Diterangkan berkenaan dengan kesan kesan beberapa sahabat mulia pada saat kewafatan Hadhrat ‘Umar (ra). Hadhrat Ibnu Abbas meriwayatkan, وُضِعَ عُمَرُ عَلَى سَرِيرِهِ، فَتَكَنَّفَهُ النَّاسُ يَدْعُونَ وَيُصَلُّونَ قَبْلَ أَنْ يُرْفَعَ، وَأَنَا فِيهِمْ، فَلَمْ يَرُعْنِي إِلاَّ رَجُلٌ آخِذٌ مَنْكِبِي، فَإِذَا عَلِيٌّ فَتَرَحَّمَ عَلَى عُمَرَ، وَقَالَ مَا خَلَّفْتَ أَحَدًا أَحَبَّ إِلَىَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِمِثْلِ عَمَلِهِ مِنْكَ، وَايْمُ اللَّهِ، إِنْ كُنْتُ لأَظُنُّ أَنْ يَجْعَلَكَ اللَّهُ مَعَ صَاحِبَيْكَ، وَحَسِبْتُ أَنِّي كُنْتُ كَثِيرًا أَسْمَعُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ “Ketika jenazah penuh berkat Hadhrat ‘Umar (ra) diletakkan di tempat tidur beliau dan belum diangkat (diusung), orang-orang datang berkumpul lalu mendo’akan dan menshalatinya.” Maksudnya, sebelum jenazahnya diangkat, dilakukan doa dan shalat jenazah. “Saya (Ibnu ‘Abbas) pun diantara kerumunan mereka. Ada seseorang yang memegang pundak saya hingga mengagetkan saya. Ternyata beliau adalah Hadhrat Ali Bin Abi Thalib. Beliau memanjatkan doa agar tercurah rahmat bagi Hadhrat ‘Umar (ra) dan berkata, ‘Wahai ‘Umar! Sama sekali tidak engkau tinggalkan seorang pun yang lebih saya cintai amal-amalnya melebihi engkau dan yang dengan amal-amal tersebut saya bertemu dengan Allah. Demi Allah! Saya menyangka Allah akan menjadikan engkau bersama kedua sahabat engkau (Rasulullah dan Abu Bakr). Saya sering mendengar Rasulullah saw bersabda, ذَهَبْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَدَخَلْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَخَرَجْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ “Saya berangkat bersama Abu Bakr dan ‘Umar, saya akan masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar dan saya akan keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar.”’”[10] Artinya, beliau (saw) menyatakan sabda tersebut dalam menjelaskan beragam kejadian.
Ja’far bin Muhammad meriwayatkan dari ayahnya, أَنَّ عَلِيًّا لَمَّا غُسِّلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَكُفِّنَ وَحُمِلَ عَلَى سَرِيرِهِ وَقَفَ عَلَيْهِ عَلِيٌّ فَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ: ” وَاللَّهِ مَا عَلَى الأَرْضِ رَجُلٌ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِصَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى بِالثَّوْبِ “ “Setelah jenazah Hadhrat ‘Umar (ra) dimandikan dan dikafani lalu diletakkan ke atas tempat tidurnya, Hadhrat Ali berdiri di dekat jenazah beliau lalu menyampaikan pujian dan berkata, ‘Demi Tuhan! Tidak ada satu orang pun di muka bumi ini yang lebih saya sukai ketika menemui Allah Ta’ala dengan lembar catatan amalannya selain dengan amalan orang yang terbungkus kain kafan ini.’”[11]
Abu Makhlad (أبي مخلد) meriwayatkan, “Hadhrat Ali Bin Abi Thalib (علي بن أبي طالب) bersabda, ما مات رسول الله (صلى الله عليه وسلم) حتى عرفنا أفضلنا بعد رسول الله (صلى الله عليه وسلم) أبو بكر وما مات أبو بكر حتى عرفنا أن أفضلنا بعد أبي بكر عمر ‘Sebelum Rasulullah (saw) wafat kami telah mengetahui yang paling terkemuka diantara kami setelah Rasulullah (saw) ialah Hadhrat Abu Bakr (ra). Sebelum Hadhrat Abu Bakr (ra) wafat kami telah mengetahui bahwa yang paling terkemuka diantara kami setelah Hadhrat Abu Bakr (ra) ialah Hadhrat ‘Umar (ra).’”[12]
Zaid Bin Wahab meriwayatkan, أَتَيْنَا ابْنَ مَسْعُودٍ فَذَكَرَ عُمَرَ فَبَكَى حَتَّى ابْتَلَّ الْحَصَى مِنْ دُمُوعِهِ وَقَالَ: إِنَّ عُمَرَ كَانَ حِصْنًا حَصِينًا لِلإِسْلامِ يَدْخُلُونَ فِيهِ وَلا يَخْرُجُونَ مِنْهُ. فَلَمَّا مَاتَ عُمَرُ انْثَلَمَ الْحِصْنُ فَالنَّاسُ يَخْرُجُونَ مِنَ الإِسْلامِ “Kami datang menemui Hadhrat Abdullah Bin Mas’ud yang mana beliau dalam menceritakan Hadhrat ‘Umar (ra), sedemikian rupa beliau menangis sehingga dengan menetesnya air mata beliau, kerikil pun menjadi basah. Beliau bersabda lebih lanjut, ‘Hadhrat ‘Umar (ra) bagi Islam merupakan benteng tangguh bagi Islam namun orang-orang masuk kedalamnya dan tidak dapat keluar lagi. Ketika beliau wafat, timbul keretakan dalam benteng tersebut sehingga orang-orang Islam keluar dari Islam.’”[13]
Abu Wail (أَبِي وَائِلٍ) meriwayatkan, قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: لَوْ أَنَّ عِلْمَ عُمَرَ وُضِعَ فِي كِفَّةِ مِيزَانٍ، وَوُضِعَ عِلْمُ النَّاسِ فِي كِفَّةِ مِيزَانٍ لَرَجَحَ عِلْمُ عُمَرَ. فَذَكَرْتُهُ لإِبْرَاهِيمَ فَقَالَ: قَدْ وَاللَّهِ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ أَفْضَلَ مِنْ هَذَا. قُلْتُ: مَاذَا قَالَ؟ قَالَ: لَمَّا مَاتَ عُمَرُ ذَهَبَ تِسْعَةُ أَعْشَارِ الْعِلْمِ “Hadhrat Abdullah Bin Mas’ud berkata, ‘Jika keilmuan Hadhrat ‘Umar (ra) ditimbang untuk dibandingkan dengan keilmuan seluruh manusia lainnya, maka ilmu Hadhrat ‘Umar (ra) akan lebih berat.’ Saya (Abu Wail) menceritakan hal tersebut kepada Ibrahim dan Ibrahim berkata, ‘Demi Tuhan! Memang benar demikian. Abdullah Bin Mas’ud mengatakan lebih dari itu.’ Saya pun bertanya, ‘Apa yang dikatakan oleh beliau?’ Beliau berkata, ‘Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) wafat, 9 bagian dari 10 bagian ilmu telah hilang.’”[14]
Hadhrat Anas berkata, لَمَّا أُصِيبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ أَبُو طَلْحَةَ: مَا مِنْ أَهْلِ بَيْتٍ مِنَ الْعَرَبِ حَاضِرٌ وَلا بَادٍ إِلا قَدْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ بِقَتْلِ عُمَرَ نَقْصٌ “Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) disyahidkan, Hadhrat Abu Thalhah (ra) berkata, ‘Tidak ada rumah penduduk kota maupun desa yang tidak merasa rugi dengan syahidnya Hadhrat ‘Umar (ra).’”[15] Artinya, Hadhrat ‘Umar (ra) sedemikian rupa memberikan bantuan kepada setiap orang sehingga sudah barang tentu mereka merasa kehilangan paska kewafatan beliau ra.
Pada saat kewafatan Hadhrat ‘Umar (ra), Hadhrat Abdullah Bin Salam (ra) berdiri di dekat keranda Hadhrat ‘Umar (ra) dan berkata, ” نِعْمَ أَخُو الإِسْلامِ كُنْتَ يَا عُمَرُ ، جَوَّادًا بِالْحَقِّ ، بَخِيلا بِالْبَاطِلِ ، تَرْضَى حِينَ الرِّضَى ، وَتَغْضَبُ حِينَ الْغَضَبِ ، عَفِيفَ الطَّرْفِ ، طَيِّبَ الظُّرْفِ ، لَمْ تَكُنْ مَدَّاحًا وَلا مُغْتَابًا “ “Wahai ‘Umar! Betapa engkau merupakan saudara Islami yang istimewa, engkau murah hati untuk kebenaran dan bakhil untuk kebatilan (kesalahan). engkau selalu ridha pada saat mengungkapkan persetujuan. Engkau marah tepat pada waktunya, memandang dengan pandangan suci dan mulia. Engkau tidak memuji tanpa sebab dan tidak juga suka berghibat.”[16]
Dalam satu riwayat disebutkan, “Ketika Hadhrat Said Bin Zaid menangis pada waktu wafatnya Hadhrat ‘Umar (ra), seseorang berkata, ‘Wahai Abul A’war! Kenapa Anda menangis?’
Beliau menjawab, ‘Saya menangisi Islam, setelah wafatnya Hadhrat ‘Umar (ra) pastinya timbul kekosongan dalam Islam yang tidak akan terpenuhi hingga kiamat.’”[17]
Hadhrat Ibnu ‘Umar meriwayatkan, كُنَّا نَقُولُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيٌّ أَفْضَلُ أُمَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَهُ أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ “Dalam kehidupan Rasulullah (saw) kami sering mengatakan, ‘Diantara umat beliau (saw), yang paling terkemuka setelah beliau (saw) adalah Hadhrat Abu Bakr lalu Hadhrat ‘Umar kemudian Hadhrat ‘Utsman. Semoga Allah meridhai mereka semua.’”[18]
Hadhrat Hudzaifah (ra) berkata, إِنَّمَا كَانَ مَثَلُ الإِسْلامِ أَيَّامَ عُمَرَ مَثَلَ امْرِئٍ مُقْبِلٍ لَمْ يَزَلْ فِي إِقْبَالٍ. فَلَمَّا قُتِلَ أَدْبَرَ فَلَمْ يَزَلْ فِي إِدْبَارٍ “Perumpamaan Islam pada masa Hadhrat ‘Umar (ra) layaknya seseorang yang terus-menerus berada diatas jalan kemajuan. Ketika beliau disyahidkan, era itu berpaling dan terus mengalami kemunduran demi kemunduran.”[19]
Berkenaan dengan para istri dan anak-anak Hadhrat ‘Umar (ra) terdapat penjelasan sebagai berikut, dalam waktu yang berbeda beliau memiliki 10 istri yang darinya terlahir 9 putra dan 4 putri. Salah satu putrinya adalah Hadhrat Hafsah (ra) yang mendapatkan kehormatan untuk menjadi istri suci Rasulullah (saw).
[Istri-istri beliau ialah] (1) Hadhrat Zainab Bin Mazh’un, saudari dari Hadhrat ‘Utsman Bin Mazh’un. Darinya terlahir Abdullah, Abdurrahman Akbar (‘Abdurrahman yang lebih tua) dan Hadhrat Hafshah. (2) Hadhrat Ummi Kultsum Binti Ali Bin Abi Thalib, darinya terlahir Zaid Akbar (Zaid yang lebih tua) dan Ruqayah. (3) Mulaikah Binti Jarwal, yang disebut juga Ummi Kultsum, darinya terlahir Zaid Asghar (Zaid yang lebih muda) dan Ubaidullah. (4) Quraibah Binti Abu Umayyah Makhzumi. (Karena Mulaikah dan Quraibah tidak beriman, Hadhrat ‘Umar (ra) mentalaq (menceraikan) keduanya. (5) Hadhrat Jamilah Binti Tsabit, bernama Ashiyah (artinya yang banyak dosa), kemudian Rasulullah (saw) mengganti namanya menjadi Jamilah (yang cantik). Beliau adalah saudari sahabat peserta Badr bernama Asim Bin Tsabit, darinya terlahir Asim. (6) Lauhiyah, darinya terlahir Abdurrahman Ausat (‘Abdurrahman yang tengah-tengah). Dalam Riwayat lain dikatakan bahwa istri pertama beliau adalah Ummu Walad yakni mantan budak yang dinikahi. (jika melahirkan anak, selanjutnya akan merdeka). (7) Ummu Walad, darinya terlahir Abdurahman Ashgar (‘Abdurrahman yang lebih muda). (8) Hadhrat Ummu Hakim binti Harits, darinya terlahir Fatimah. (9) Hadhrat Fuqaihah, darinya terlahir Zainab. (10 Hadhrat Atiqah Binti Zaid, darinya terlahir Ayyadh.
Orientalis ketimuran, Edward Gibbon menulis berkenaan pujiannya kepada Hadhrat ‘Umar (ra), “Kesalehan dan kerendahan hati Hadhrat ‘Umar (ra) tidak kurang dari Hadhrat Abu Bakr. Makanannya terdiri dari roti jelai atau kurma. Air tawar adalah minumannya. Ia berkhotbah dengan mengenakan jubah yang terdapat tambalan di 12 tempat. Gubernur Persia (Hurmuzan) yang menyampaikan pujian kepada Hadhrat ‘Umar (ra), pernah mendapati beliau (ra) tengah tidur di tangga masjid Nabawi diantara para pengemis.
Ekonomi adalah sumber pembebasan, dan peningkatan pendapatan memungkinkan ‘Umar untuk menetapkan imbalan yang adil dan berkelanjutan untuk pengabdian orang-orang beriman di masa lalu dan saat itu. Beliau tidak perduli dengan tunjangannya sendiri, ia menetapkan uang saku pertama dan paling banyak yakni untuk paman sang Nabi, Hadhrat Abbas, sebesar 25 ribu dirham uang logam kepingan perak. Uang sejumlah 5000 dialokasikan untuk masing-masing pejuang yang telah berumur yang dahulunya peserta pada perang Badr. Para Sahabat Muhammad (saw) lainnya yang terakhir dan tidak terkemuka mendapatkan hadiah tahunan sebesar 3000 dirham.”[20]
Michael H. Hart dalam bukunya berjudul “100” (The Hundred) menyebutkan seratus tokoh paling berpengaruh dalam sejarah. Pada urutan pertama adalah Hadhrat Muhammad Mustafa Saw. Dalam buku tersebut, pada urutan ke-52 adalah Hadhrat ‘Umar (ra). Ia menulis, “’Umar Bin Al-Khaththab adalah Khalifah kedua umat Islam dan barangkali adalah Khalifah umat Islam yang paling agung. Beliau tumbuh dan semasa Muhammad (saw) meski lebih muda dan seperti halnya sang Nabi, beliau lahir di Makkah. Tahun kelahiran beliau tidak diketahui, namun mungkin pada masa yang mendekati dengan tahun 586 masehi. Pada masa awal, ‘Umar (ra) adalah seorang penentang paling keras terhadap Muhammad (saw) dan agama barunya. Namun, tiba-tiba ‘Umar baiat masuk Islam dan kemudian menjadi salah satu pengikutnya yang paling kuat. Kesamaan baiat ‘Umar dengan masuknya Santo Paulus ke dalam Kristen sangatlah menakjubkan. ‘Umar juga menjadi salah satu penasehat Muhammad (saw) yang paling dekat dan itu berlangsung hingga kewafatan beliau (saw).
Pada tahun 632 masehi Muhammad (saw) wafat tanpa terlebih dahulu memilih penerusnya. ‘Umar (ra) segera mendukung penetapan Abu Bakr, seorang rekan dekat dan ayah mertua sang Nabi (saw). Ini menghindari perebutan kekuasaan.” (Ia (Michael Hart) menulis dengan gayanya, namun ia tidak mau mengakui bagaimana orang-orang berkumpul untuk memilih beliau sebagai Khalifah, namun penulis ini menulis dari sudut pandang duniawi) ia (‘Umar) baiat kepada Ayah mertua Nabi (saw) untuk menghindari perebutan kekuasaan sehingga memungkinkan Abu Bakr secara umum diakui sebagai Khalifah pertama (yaitu, sebagai ‘penerus’ Muhammad).[21]
Abu Bakr adalah seorang pemimpin yang sukses, tetapi beliau meninggal setelah menjabat sebagai Khalifah hanya selama dua tahun. Namun, beliau secara khusus menunjuk ‘Umar (ra) yang juga ayah mertua Nabi untuk menggantikannya sehingga sekali lagi perebutan kekuasaan terhindarkan. – Penulis memberikan corak duniawi, namun bagaimanapun ia menyampaikan pujian – ‘Umar (ra) menjadi khalifah pada tahun 634 dan mempertahankan kekuasaan sampai tahun 644, ketika dia dibunuh di Madinah oleh seorang budak Persia. Di ranjang kematiannya, ‘Umar (ra) menunjuk sebuah komite yang terdiri dari enam orang untuk memilih penggantinya, sehingga sekali lagi mencegah konflik bersenjata untuk mendapatkan kekuasaan. Komite tersebut memilih ‘Utsman sebagai Khalifah ketiga, yang memerintah dari tahun 644 hingga 656.[22]
Selama sepuluh tahun kekhalifahan ‘Umar, bangsa Arab telah meraih penaklukan-penaklukan terpenting. Tidak lama setelah ‘Umar naik tahta, tentara Arab menyerbu Suriah dan Palestina yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Bizantium. Pada pertempuran Yarmuk (636), orang-orang Arab meraih kemenangan telak atas pasukan Bizantium. Damaskus jatuh pada tahun yang sama dan Yerusalem menyerah dua tahun kemudian. Pada 641, orang-orang Arab telah menaklukkan seluruh Palestina dan Suriah, dan bergerak menuju ke Turki yang ada saat ini. Pada 639, tentara Arab menyerbu Mesir, yang juga berada di bawah kekuasaan Bizantium. Dalam waktu tiga tahun, penaklukan Arab atas Mesir selesai.
Bangsa Arab melakukan serangan ke Irak yang pada waktu itu bagian dari Kekaisaran Dinasti Sassanid dari Persia yang mana telah dimulai bahkan menjelang ‘Umar (ra) menjabat Khalifah. Kunci kemenangan Arab, pada pertempuran Qadisiyah (637) terjadi pada masa pemerintahan ‘Umar. Pada 641, seluruh Irak berada di bawah kendali Arab. Bukan itu saja: tentara Arab menginvasi Persia dan pada pertempuran Nahawand (642) mereka secara meyakinkan mengalahkan kekuatan kaisar Sassanid terakhir. Pada saat ‘Umar (ra) meninggal di tahun 644, sebagian besar wilayah barat kekaisaran Iran (Persia) telah dikuasai. Tentara Arab juga tidak kehabisan momentum ketika ‘Umar (ra) meninggal. Di Timur, mereka segera menyelesaikan penaklukan Persia, sementara di Barat mereka melanjutkan agresi mereka melintasi Afrika Utara.[23]
Sama pentingnya dengan cakupan luas penaklukan ‘Umar adalah keabadian mereka. Iran, meskipun penduduknya masuk Islam, akhirnya mendapatkan kembali kemerdekaannya dari kekuasaan Arab. Tapi Suriah, Irak, dan Mesir tidak pernah melakukannya. Negara-negara itu menjadi sepenuhnya Arab dan tetap demikian sampai hari ini.
Umar (ra), tentu saja, harus menyusun kebijakan untuk memerintah kerajaan besar yang telah ditaklukkan oleh pasukannya. Beliau memutuskan orang-orang Arab akan menjadi kasta militer yang memiliki hak istimewa di wilayah yang telah mereka taklukkan, dan mereka harus tinggal di kota-kota garnisun, terpisah dari penduduk asli. Orang-orang yang terjajah harus membayar upeti kepada para penakluk Muslim (sebagian besar Arab), tetapi sebaliknya dibiarkan dalam damai. Secara khusus, mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam. (Dari uraian di atas, jelas bahwa penaklukan Arab lebih merupakan perang penaklukan nasionalis daripada perang suci, meskipun aspek agama tentu tidak kurang.)[24]
Prestasi ‘Umar memang mengesankan. Setelah Muhammad (saw) sendiri, dia adalah tokoh utama dalam penyebaran Islam. Tanpa penaklukan beliau yang cepat, diragukan bahwa Islam akan tersebar luas seperti sekarang ini. Selanjutnya, sebagian besar wilayah yang ditaklukkan selama pemerintahannya tetap menjadi wilayah Arab sejak saat itu. Jelas, tentu saja, Muhammad (saw), yang merupakan penggerak utama, harus menerima sebagian besar pujian untuk perkembangan tersebut. Tetapi akan menjadi kesalahan besar jika mengabaikan sumbangan jasa ‘Umar. Penaklukan yang beliau lakukan bukan akibat otomatis dari inspirasi yang diberikan oleh Muhammad. [Tanpa adanya ‘Umar] Beberapa ekspansi (perluasan wilayah) mungkin akan terjadi, tetapi tidak seluas yang terjadi di bawah kepemimpinan ‘Umar yang brilian.
Mungkin mengejutkan bahwa ‘Umar – sosok yang hampir tidak dikenal di Barat – memiliki peringkat lebih tinggi daripada orang-orang terkenal seperti Charlemagne dan Julius Caesar. Namun, penaklukan yang dilakukan oleh orang-orang Arab di bawah ‘Umar, dengan mempertimbangkan ukuran dan durasinya, secara substansial lebih penting daripada yang dilakukan Caesar atau Charlemagne. ”[25]
Professor Philip K. Hitti menulis dalam bukunya, History of The Arabs sebagai berikut, “Sederhana dan hemat cermat, ‘Umar yang energik dan berbakat (634-644) berpostur tinggi, bertubuh kuat dan berambut jarang (agak botak), melanjutkan setidaknya untuk beberapa waktu setelah menjadi Khalifah untuk menghidupi dirinya dengan berdagang dan hidup dengan penuh kesederhanaan. Faktanya, ‘Umar (ra), yang namanya menurut tradisi Muslim adalah terbesar dalam Islam awal setelah Muhammad, telah diidolakan para penulis Muslim karena kesalehan, keadilan dan kesederhanaan patriarkinya dan diperlakukan sebagai contoh semua kebajikan yang harus dimiliki seorang Khalifah. Karakter beliau yang tidak tercela menjadi teladan yang secara hati-hati (teliti) diikuti bagi semua penerusnya. Dikabarkan bahwa beliau hanya memiliki satu kemeja dan satu mantel saja yang tampak kentara tambal sulam diatasnya, ia tidur beralaskan daun-daun palem, dan tidak memiliki perhatian selain terhadap penjagaan kemurnian iman, penegakan keadilan dan kejayaan Islam dan bangsa Arab.”[26]
Ini masih akan berlanjut.
Sekarang saya akan sampaikan riwayat beberapa jenazah. Di antaranya yang pertama adalah yang terhormat Sahibzadi Asifah Mas’udah Begum Sahibah (آصفہ مسعودہ بیگم صاحبہ اہلیہ ڈاکٹر مرزا مبشر احمد صاحب), istri Dokter Mirza Mubashir Ahmad Sahib bin Hadhrat Mirza Bashir Ahmad Sahib. Beliau wafat beberapa hari yang lalu di usia 92 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.
Beliau adalah cucu Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan putri bungsu dari Hadhrat Nawab Mubarikah Begum Sahibah dan Hadhrat Nawab Muhammad Ali Khan Sahib. Beliau adalah menantu Hadhrat Mirza Bashir Ahmad Sahib (ra). Dengan karunia Allah beliau seorang mushiah. Beliau meninggalkan seorang putra dan empat orang putri.
Putra beliau, Tariq Akbar menuturkan, “Ibunda senantiasa setia kepada Jema’at dan Khilafat. Beliau senantiasa berusaha untuk mengkhidmati Jema’at dan menunaikan hak wasiyatnya. Beliau telah membayar Hissa Jaidadnya semasa beliau masih hidup. Beliau setiap tahun biasa membayar candah atas nama para Almarhum. Beliau biasa membantu orang-orang miskin dengan tulus dan secara sembunyi-bunyi.
Beliau selalu mengatakan kepada saya mengenai para karyawan, “Mereka ini seperti saudaramu sendiri, jagalah mereka.” Beliau selalu berusaha menjaga hubungan dengan kaum kerabat dan berupaya untuk tidak menyakiti siapa pun. Beliau seorang wanita yang disiplin dalam shalat-, menunaikan hak-hak Allah Ta’ala dan hak-hak hamba.
Menantu beliau, Na’imah Sahib menuturkan bahwa, “Ketika rumah kami di Amerika telah selesai dibangun, beliau mengatakan, “Sebelum membawa barang-barang rumah tangga ke rumah ini, kerjakanlah shalat nafal di setiap ruangan dan sudut rumah ini.” Kemudian menuturkan, “Setelah kewafatan ibunda saya, beliau mengatakan kepada saya, “Janganlah kamu merasa tidak punya ibu. Saya adalah ibumu”, dan memang kepribadiannya yang penuh kecintaan dan doa memberikan kepada saya lebih banyak kasih sayang daripada terhadap putra-putranya sendiri.
Kemudian beliau senantiasa menasihatkan untuk tidak memutuskan hubungan dengan Khilafat. Mengenai hubungan kekerabatan dengan saya, beliau memiliki berbagai hubungan kekerabatan, karena beliau adalah saudari nenek saya dari ibu yang lain, dari sisi ini beliau juga dipanggil nenek, beliau juga bibi dari pihak ibu, juga bibi dari pihak ayah, namun beliau mengatakan, “Meskipun dengan semua hubungan kekerabatan ini, saya hanyalah seorang pengkhidmat Khalifah-e-waqt”, dan ini bukan sekedar kata-kata saja, melainkan beliau dengan penuh kesetiaan benar-benar menjaga jalinan dengan Khilafat ini. Beliau seorang yang banyak bersedekah. Beliau biasa membayar candah Tahrik Jadid atas nama para sesepuh, guru-guru, bahkan hingga para karyawan di Qadian. Ketika ada karyawan yang berhenti bekerja, maka beliau mengucapkan selamat tinggal dan juga mengatakan bahwa, “Saya mohon maaf jika ada kesalahan.”
Putri beliau, Sahidah menuturkan, “Semenjak kecil pun ibunda kami telah mengenalkan kami dengan Allah Ta’ala. Beliau biasa mengatakan, “Jika kamu menginginkan tali sepatu sekalipun, maka mintalah kepada Allah Ta’ala dan berikanlah penekanan pada doa-doa.” Beliau banyak memberikan nasihat mengenai sikap hormat terhadap Khalifah dan ketika tiba waktunya pemilihan Khalifah, beliau mengatakan, “Siapapun Khalifah yang terpilih, taatilah ia dengan ketaatan yang sempurna”, dan juga mengatakan bahwa, “Berdoalah supaya kalian menjadi dahan yang subur dari Hadhrat Masih Mau’ud (as), janganlah menjadi ranting yang kering dan janganlah menjadi batu sandungan bagi siapapun.”
Kemudian putri beliau, Nushrat Jahan menuturkan, “Beliau memperhatikan sisi tarbiyat kami dari semenjak usia dini. Ketika sedang membaca Al-Qur’an, beliau biasa berhenti di satu ayat dan menjelaskan kepada kami maknanya atau memberikan nasihat berdasarkan itu. Beliau biasa menyampaikan kisah orang-orang suci. Banyak sekali kisah-kisah berharga dan sarat dengan nasihat yang beliau ingat yang biasa beliau sampaikan berulang-ulang dan ceritakan kepada kami.
Sadr Lajnah Daerah Lahore, Fauziah Shamim Sahibah yang juga merupakan putri dari Hadhrat Nawab Ammatul Hafiz Sahibah menuturkan, “Beliau seorang wanita yang luar biasa. Ketika beliau dihimbau untuk memberikan candah, maka beliau membayar dengan senang hati. Terkadang beliau melakukan perjanjian candah secara lisan, terkadang melalui chat dan melakukan pembayaran candah dalam jumlah besar seraya berpesan supaya jangan menceritakan ini kepada siapapun. Beliau seorang wanita yang sederhana. Beliau sangat bersahaja dalam keperluan sehari-harinya, bahkan sebagian orang menganggap beliau pelit, namun beliau adalah seorang yang sederhana. Beliau sangat dermawan dalam bersedekah. Beliau menuturkan, suatu kali saya memberikan himbauan untuk pembangunan masjid di daerah saya, maka beliau mengirimkan uang untuk candah dalam nominal yang sangat besar, kurang lebih sepuluh juta rupee.
Kemudian cucu beliau, Radiah menuturkan, “Beliau biasa memberikan banyak nasihat-nasihat dan petunjuk- petunjuk yang baik kepada kami sejak masih kanak-kanak. Beliau biasa menasihatkan untuk sejak dari usia dini berdoa demi kesuksesan. Beliau menasihatkan untuk berdoa demi mendapatkan suami yang baik. Ketika masih kecil biasanya ada perasaan malu, namun beliau katakan bahwa janganlah malu terhadap Allah Ta’ala, mohonlah secara terbuka kepada-Nya. Beliau membaca buku-buku keagamaan secara dawam dan di mobil ketika dalam perjalanan beliau biasa membaca doa-doa dan syair-syair yang berisi doa. Semoga Allah Ta’ala memberikan maghfiroh dan kasih sayang kepada Almarhumah dan memberikan taufik kepada putra-putri dan keturunan Almarhumah untuk dapat mengikuti jejak Almarhumah.
Jenazah berikutnya, yang terhormat Clara Apa Sahibah, istri Roland Sainbaev Shahib, mantan Amir Jemaat Kazakhstan (مکرمہ کلارا آپاصاحبہ اہلیہ رولان سائن با ئیف صاحب سابق امیر جماعت قزاقستان) yang wafat pada bulan lalu. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Attaurrabb Sahib, Muballigh Kazakhstan menulis, “Beliau mendapatkan taufik untuk baiat pada tahun 1994-1995. Beliau berasal dari keluarga yang terkemuka di Kazakhstan.
Suami beliau, yang terhormat Roland Saenbaev Sahib adalah Amir pertama Jema’at Kazakhstan dan juga pernah menjadi penasihat Presiden. Beliau seorang sastrawan kenamaan bahasa Kazakh.
Clara Sahibah sendiri seorang penerjemah dan penulis yang sangat baik. Clara Sahibah dan suami beliau, yang terhormat Roland Sahib memiliki peranan besar dalam pendirian Jema’at di Kazakstan.
Yang terhormat Clara Sahibah juga menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Kazakh yang bagaimana pun juga belum bisa diterbitkan, namun sangat jelas nampak kecintaan beliau pada Jema’at, sehingga beliau ingin melihat Jema’at Ahmadiyah berkembang pesat di Kazakstan dan berusaha sebisa mungkin untuk itu. Berkenaan dengan keluarga ini, para Maulwi setempat juga biasa mengungkapkan dalam corak penentangan bahwa mereka ini adalah para Ahmadi dan orang-orang inilah yang membawa Ahmadiyah ke Kazakstan.
Putri Almarhumah Clara Sahibah, Marva Isinbayeva menulis, “Beliau seorang penerjemah yang baik. Beliau seorang yang memiliki banyak kualitas dan kepribadian yang kuat. Beliau memiliki karakter yang sangat bersih dan cemerlang. Pada tahun 1995 beliau adalah salah satu di antara para pendiri pusat kebudayaan Kazakstan, House of Abai di London. Di London juga beliau menulis buku Kazakhstan dan di masa itu juga beliau mengenal Jema’at dan mendapatkan taufik baiat di tangan Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh).
Beliau menuturkan, “Almarhumah bukan hanya ibu bagi anak-anaknya, bahkan beliau juga adalah ibu bagi semua orang yang datang kepada beliau untuk meminta bantuan dan nasihat-nasihat.”
Norm Taybek Sahib menuturkan, “Beliau layaknya ibu bagi para pemuda Ahmadi dan secara umum bagi semua anggota Jemaat Kazakhstan.”
Beliau menuturkan, “Dalam kurun waktu 10 tahun saya menyaksikan masa pengkhidmatan beliau, yang mana di tiga tahun pertamanya beliau sibuk dalam membela Jema’at dan mengkhidmati Jema’at dengan penuh semangat dan terkadang layaknya sebuah gunung yang kokoh. Belakangan beliau menjadi sibuk dikarenakan faktor usia, sakit, penulisan buku dan sebagainya, namun dari kedalaman hati beliau senantiasa berusaha untuk sebanyak mungkin mengkhidmati Jemaat dan senantiasa memiliki ketulusan terhadap Khilafat dan Jema’at.”
Selanjutnya beliau menuturkan, “Roland Sahib dan Clara Sahibah telah sejak lama dianggap sebagai simbol kecintaan pada tanah air dan kemajuan tertinggi bangsa dan negara. Sebagian besar kesuksesan Roland Sahib adalah berkat Clara Sahibah yang bagi Jemaat Kazakstan bukan hanya sebagai Sadr Lajnah yang penuh semangat, bahkan merupakan guru bagi Amir pertama Jemaat Ahmadiyah Kazakstan.”
Beliau menuturkan, “Saya ingat, bagaimana dari tahun 96 hingga 99 atau setelahnya, beliau dengan sangat baik memastikan kehadiran para Lajnah di kelas mingguan Lajnah di rumah misi Jema’at. Dalam kelas tersebut para lajnah mengajukan berbagai pertanyaan kepada Pak Mubaligh dan kemudian disampaikan kepada mereka jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.”
Kemudian beliau menuturkan bahwa, “Tidak mungkin ada penterjemah literatur Jemaat yang lebih baik dari Clara Sahibah. Clara Sahibah adalah Ahmadi terbaik di antara para sesepuh Jema’at yang menjadi sarana penguatan kerohanian bagi para pemuda Ahmadi. Dalam diri beliau tertanam nilai-nilai Jemaat yakni ruh sejati Islam. Beliau tidak pernah putus asa dalam kondisi sulit, melainkan selalu berusaha membawa dirinya dan orang lain ke arah keberhasilan.
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfiroh dan kasih sayang kepada beliau dan menyempurnakan segala upaya-upaya beliau bagi Jema’at Ahmadiyah di Kazakstan dan mengabulkan juga doa-doa beliau.
Jenazah selanjutnya adalah Komandan Squadron Abdul Rasyid Sahib (مکرم وِنگ کمانڈر عبدالرشید صاحب) yang wafat pada bulan lalu. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau adalah seorang Mushi.
Putra Almarhum bernama Faruq menuturkan, “Ayahanda Almarhum ayah saya (kakek saya jalur ayah saya) bernama Babu Syekh Abdul Aziz yang merupakan Sekretaris Majlis Karpardaz (Majlis pengurus behesyti maqbarah). Saudara kakek saya (paman Almarhum) adalah Farzand Ali Khan Sahib yang Hadhrat Muslih Mau’ud (ra) tetapkan sebagai Amir pertama Jemaat Lahore dalam sejarah Jemaat.
Ayah saya (Almarhum ‘Abdul Rasyid) baiat sendiri di tangan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) ketika masih muda. Ayah saya (Almarhum Abdul Rasyid Sahib) adalah anak semata wayang. Ayahnya (kakek saya) telah melakukan pernikahan yang pertama ketika kemudian beliau disebabkan menerima Ahmadiyah ditinggalkan istrinya bersama kedua putrinya lalu beliau (kakek saya) melakukan pernikahan yang kedua, maka lahirlah Abdul Rasyid Sahib (ayah saya).”
Beliau (putra Almarhum) menuturkan, “Almarhum seorang yang sangat taat, selalu mengkhidmati kedua orang tuanya dan patuh pada setiap perkataan mereka. Hingga partisi, ayahanda menempuh pendidikan di Qadian. Kemudian ketika terjadi partisi, beliau datang ke Lahore dari Qadian bersama rombongan lainnya dan kemudian Almarhum bersama beberapa keluarga awalin lainnya serta kedua orang tuanya pergi Rabwah dan tinggal di sana.
Sekitar tahun 1954 beliau (ayah saya) bergabung di Angkatan Udara dan bertugas di berbagai tempat di angkatan udara. Di mana pun tinggal, beliau selalu mengungkapkan status beliau sebagai Ahmadi. Beliau juga pernah diasingkan ke Libya oleh pemerintah Pakistan untuk beberapa waktu. Meskipun di file beliau tertulis, ‘Ia seorang Qadiani, oleh karena itu ia tidak bisa pergi’, namun atasan beliau tetap mengirim beliau. Ia mengatakan, ‘Saya tidak melihat perwira lain yang seperti beliau.’”
Beliau menuturkan, “Suatu kali ada pertemuan dengan duta besar Pakistan untuk Libya. Ketika beliau masuk ke kantor duta besar, di satu sudut terdapat buku-buku dan pamflet berbahasa Arab yang menentang Jema’at. Kemudian Rasyid Sahib dengan sangat berani bertanya kepadanya, ‘Apa ini? Mengapa ada di sini?’
Ia menjawab, ‘Ini semua adalah hal-hal yang sia-sia. Tidak perlu dihiraukan. Ini dicetak oleh Ziaul Haq dan dikirimkan kepada kami supaya dibagikan di negeri ini dan telah dikirimkan ke seluruh kedutaan besar di Arab.’”
Kemudian putra Almarhum menuturkan, “Pada 1982, pada satu laporan beliau, ketika Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) datang ke Spanyol, pada kesempatan itu Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) menetapkan beliau sebagai Amir Jema’at Libya. Beliau menulis surat dengan tangan beliau sendiri dan beliau adalah Amir pertama untuk Jema’at Libya. Beliau sangat dawam dalam shalat, menilawatkan Al-Quran dan membayar candah. Sebelum kewafatannya beliau telah melunasi pembayaran Hissa Amad-nya. Beliau biasa membayar candah Waqfi Jadid dan Tahrik Jadid baik atas nama beliau sendiri maupun atas nama para sesepuh. Beliau sering menceritakan satu peristiwa dari Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsani (ra) kepada putranya.”
Putra beliau menulis, “Di masa-masa awal Rabwah, pada suatu kesempatan Khalifatul Masih Ats-Tsani (ra) memanggil beliau di hari musim panas. Ketika ayahanda masuk ke kamar, Hudhur sedang berbaring di atas tikar dan ketika bangun, tikar itu meninggalkan bekas di badan beliau. Dengan kisah ini dalam hati kami timbul jalinan kecintaan dan ketaatan yang kuat dengan Khilafat dan sangat berkesan. Pada 1984 beliau pensiun dari Angkatan Udara dengan pangkat Pemimpin Squadron. Kemudian beliau menetap di Rabwah dan untuk beberapa waktu berkhidmat sebagai Sadr Umumi dan di kantor Qadha. Beliau seorang pengayom orang-orang miskin dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan setiap orang. Wasiyat beliau yang terakhir pun adalah supaya menjaga dan memperhatikan orang-orang miskin.”
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfiroh dan kasih sayangnya kepada beliau dan memberikan taufik kepada anak-anak beliau untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan beliau.
Jenazah selanjutnya yang terhormat Zubaidah Begum Sahibah istri Karim Ahmad Naim Sahib dari Amerika Serikat (مکرمہ زبیدہ بیگم صاحبہ اہلیہ کریم احمد نعیم صاحب آف امریکہ). Beliau juga wafat pada bulan lalu. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau adalah menantu Hadhrat Dokter Hismatullah Khan Sahib. Almarhumah sangat mencintai Khilafat, seorang wanita yang saleh dan mukhlis. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau seorang Mushiah. Beliau meninggalkan tiga putra dan dua putri. Salah satu putra beliau, Mun’im Na’im Sahib adalah Chairman Humanity First USA dan beliau merupakan ibu mertua Dokter Abdul Manan Siddiqi Sahib.
Putri beliau, Amatusy Syafi, istri dari Dokter Manan Siddiqi Sahib menulis, “Memperlakukan setiap orang dengan cinta dan kasih sayang adalah merupakan pembawaan beliau. Beliau banyak berdoa, mukhlis, biasa memberikan saran dan masukan, biasa menolong orang-orang miskin. Memperlakukan kaum kerabat yang dekat maupun yang jauh dengan kecintaan merupakan sifat istimewa beliau. Beliau sejak usia muda telah rajin tahajud. Beliau menjalani kehidupan beliau dengan bertawakal kepada Allah Ta’ala. Sejak masih kecil kami melihat beliau melewati hari Jumat secara khusus untuk beribadah. Beliau selalu memikirkan untuk membayar candah pada waktunya.”
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfiroh dan kasih sayangnya kepada beliau dan memberikan taufik kepada anak keturunan beliau untuk dapat mengamalkan kebaikan-kebaikan.
Jenazah berikutnya, Hafiz Ahmad Ghaman Sahib (مکرم حفیظ احمد گھمن صاحب) yang wafat beberapa hari yang lalu. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau secara khusus gemar membaca terjemahan Al-Qur’an dan tafsirnya. Demikian juga beliau menelaah banyak buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud (as). Beliau juga mendapatkan kesempatan melakukan pengkhidmatan keagamaan di Rabwah. Beliau sangat berdisiplin waktu. Pengkhidmat tamu, menyayangi anak-anak, sosok yang sangat bersahaja dan pekerja keras. Lisan beliau setiap saat mewiridkan dzikir ilahi. Beliau sangat menonjol dalam simpati terhadap makhluk. Beliau biasa menyulitkan diri beliau sendiri demi memberikan ketentraman pada orang lain. Almarhum dengan karunia Allah Ta’ala seorang mushi.
Selain istri, beliau meninggalkan tiga putra dan tiga putri. Seorang menantu beliau, Kashif Hamid Bajwah, saat ini tengah berkhidmat sebagai mubaligh di kantor Private Secretary.
Putri beliau, Amatul Qudus menuturkan, “Beliau seorang yang sangat rendah hati. Beliau sederhana dalam hal berpakaian, tempat tinggal maupun makanan. Beliau selalu menghindarkan diri dari kesombongan. Beliau selalu memikirkan untuk membantu orang-orang miskin. Meskipun berkecukupan, beliau menghabiskan sedikit untuk diri beliau sendiri dan banyak membelanjakan untuk orang-orang miskin.”
Semoga Allah Ta’ala memberikan maghfiroh dan kasih sayang kepada beliau dan memberikan taufik kepada anak keturunan beliau untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan beliau.
Khotbah II
الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Sumber referensi: www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab).
[1] Ath-Thabaqaat al-Kubra (نام کتاب : الطبقات الكبرى – ط دار صادر نویسنده : ابن سعد جلد : 3 صفحه : 356): فلما استخلف عثمان دعا المهاجرين والأنصار فقال أشيروا علي في قتل هذا الرجل الذي فتق في الدين ما فتق فاجتمع المهاجرون على كلمة واحدة يشايعون عثمان على قتله وجل الناس الأعظم مع عبيد الله يقولون لجفينة والهرمزان أبعدهما الله لعلكم تريدون أن تتبعوا عمر ابنه فكثر في ذلك اللغط والاختلاف ثم قال عمرو بن العاص لعثمان يا أمير المؤمنين إن هذا الامر قد كان قبل أن يكون لك على الناس سلطان فأعرض عنهم وتفرق الناس عن خطبة عمرو وانتهى إليه عثمان وودي الرجلان والجارية .
[2] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري – الطبري – ج ٣ – الصفحة ٣٠٢): ثم جلس عثمان في جانب المسجد ودعا عبيد الله بن عمر وكان محبوسا في دار سعد بن أبي وقاص وهو الذي نزع السيف من يده بعد قتله جفينة والهرمزان وابنة أبي لؤلؤة وكان يقول والله لأقتلن رجالا ممن شرك في دم أبي يعرض بالمهاجرين والأنصار فقام إليه سعد فنزع السيف من يده وجذب شعره حتى أضجعه إلى الأرض وحبسه في داره حتى أخرجه عثمان إليه فقال عثمان لجماعة من المهاجرين والأنصار أشيروا علي في هذا الذي فتق في الاسلام ما فتق فقال علي أرى أن تقتله فقال بعض المهاجرين قتل عمر أمس ويقتل ابنه اليوم فقال عمرو بن العاص يا أمير المؤمنين إن الله قد أعفاك أن يكون هذا الحدث كان ولك على المسلمين سلطانا إنما كان هذا الحدث ولا سلطان لك قال عثمان أنا وليهم وقد جعلتها دية واحتملتها في مالي .
[3] Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري), tahun ke-24 (ثم دخلت سنة أربع عشرين), peristiwa-peristiwa terkenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة), pidato ‘Utsman (ra) dan pembunuhan Hurmuzan oleh ‘Ubaidullah putra ‘Umar ibn al-Khaththab (خطبة عُثْمَان رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وقتل عُبَيْد اللَّهِ بن عُمَرَ الهرمزان), Dar al-Fikr, Beirut, 2002: عن أبي منصور، قَالَ: سمعت القماذبان يحدث عن قتل أَبِيهِ، قَالَ:. Referensi ini bersama teks Arabnya tercantum dalam Tafsir Kabir jilid ke-2 h. 359-361 oleh Hadhrat Khalifatul Masih II (ra).
[4] Tafsir Kabir jilid ke-2 halaman 359-361 (ماخوذ از تفسیر کبیر جلد دوم صفحہ 359تا 361)
[5] Mukhtasar Tarikh Dimasyq karya Ibnu Manzhur: عن يحيى بن أبي راشد النصري قال : قال عمر بن الخطاب لابنه : إذا حضرني الوفاة فاحرفني واجعل ركبتيك في صلبي وضع يدك اليمنى على جبيني ويدك اليسرى على ذقني فإذا أنا مت فاغمضني. Tercantum oleh Ibnu Qalansi dalam karyanya Tarikh Dimasyq. Juga dalam Al-Irtiqa (الارتقاء بأنفسنا نحو القمة) karya Nabil ‘Abdul hafizh (نبيل غالب عبد الحفيظ); Sakb al-ʻabarāt lil-mawt wa-al-qabr wa-al-sakarāt (سكب العبرات للموت والقبر والسكرات – ج 1) – “Menuangkan tetesan air mata tentang kematian, kubur dan sekarat (keadaan menjelang maut) karya Sayyid ibn Husain al-‘Affani (سيد حسين العفاني), Bani Suwayf : Maktabat Mu’adh ibn Jabal, 2000. Tercantum juga dalam Aujazul Masalik (أوجز المسالك الى موطأ مالك 1-16 مع الفهارس ج8) karya Muhammad Zakariya bin Muhammad al-Kandahlawi (محمد زكريا بن محمد بن يحيى/الكاندهلوي). Tarikh al-Mabruzin (تاريخ المبرزين من فقهاء الصحابة رضي الله عنهم) karya Qahthan Muhammadi (قحطان حمدي محمد ،الدكتور). Syarhusy Shudur bi syarh halil mauwa wal qubur – melapangkan hati dengan membaca penjelasan hal-ihwal kematian dan kubur (شرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور ويليه كتاب بشرى الكئيب بلقاء الحبيب) dan Tarikh al-Khulafa (تاريخ الخلفاء) karya Imam As-Suyuthi (جلال الدين عبد الرحمن بن أبي بكر/السيوطي)
[6] Ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبرى – محمد بن سعد – ج ٣ – الصفحة ٣٦٠): عَنْ عُثْمَانَ قَالَ : ” آخِرُ كَلِمَةٍ قَالَهَا عُمَرُ حَتَّى قَضَى ” وَيْلِي وَوَيْلُ أُمِّي إِنْ لَمْ يَغْفِرِ اللَّهُ لِي ، وَيْلِي وَوَيْلُ أُمِّي إِنْ لَمْ يَغْفِرِ اللَّهُ لِي ، وَيْلِي وَوَيْلُ أُمِّي إِنْ لَمْ يَغْفِرِ اللَّهُ لِي . al-Ikmal (الإكمال في أسماء الرجال – الخطيب التبريزي – الصفحة ١٢٤): وفي حديث عثمان بن عفان عند ابن سعد (3 / 361) أن عثمان بن عفان وضع رأس عمر بن الخطاب في حجره فقال: أعد رأسي في التراب ويل لي و ويل أمي إن لم يغفر الله لي، وله شاهد عن ابن عمر – وقال عثمان: آخر كلمة قالها عمر حتى قضى: ويلي وويل أمي إن لم يغفر الله لي قالها ثلاثا . Tercantum juga dalam Minhajul Karamah karya al-Hulli (نام کتاب : منهاج الكرامة في معرفة الإمامة نویسنده : العلامة الحلي جلد : 1 صفحه : 103); juga dalam an-Nujum az-Zawahir fi Ma’rifatil Awakhir (النجوم الزواهر في معرفة الأواخر); juga dalam Kitab Mahdhush Shawab fi Fadhail Amiril Mukminin Umar bin Khathab, Madinah: Al-Jami’ah Al-Islamiyah, cet. 1, 1420 H (كتاب محض الصواب في فضائل أمير المؤمنين عمر بن الخطاب) karya Yusuf bin Hasan bin Ahmad bin Hasan bin Abdul Hadi Ash-Shalihi Al-Hambali (يوسف بن حسن بن أحمد بن حسن ابن عبد الهادي الصالحي، جمال الدين، ابن المبرد الحنبلي) atau dikenal dengan Ibnu al-Mibrad (ابن المِبْرَد), jilid ketiga (المجلد الثالث), bab ke-80: beliau memperlihatkan kerendahan diri kepada Allah Ta’ala menjelang maut (الباب الحادي والثمانون: إظهاره الذل عند موته); juga dalam Manaqib Amiril Mu-minin ‘Umar (مناقب أمير المؤمنين عمر بن الخطاب – رضي الله عنه) karya Ibnu Jauzi (جمال الدين أبي الفرج عبد الرحمن/ابن الجوزي), bab beliau menjelang maut memperlihatkan kerendahan diri dan ketidakberdayaan kepada Allah Ta’ala (الباب السابع والستون فى إظهاره الذل لله تعالى عند الموت ).
[7] Ath-Thabaqaat al-Kubra, (في ذكر خلافة عمر بن الخطاب رحمة الله عليه). Tercantum juga dalam Tarikh Abi Zara’ah ad-Dimasyqi (تاريخ أبي زرعة الدمشقي) karya Abu Zar’ah (أبو زرعة).
[8] Ansabul Asyraf (أنساب الأشراف 1-8 ج7) karya al-Baladuri (أبي الحسن أحمد بن يحيى بن جابر/البلاذري)
[9] Sahih Muslim 2348, Kitab al-Fadhail (كتاب الفضائل), Bab berapa umur Nabi (saw) (باب كَمْ سِنُّ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ قُبِضَ). Jami’ at-Tirmidzi nomor 4014, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم) dan Ash-Shama’il Al-Muhammadiyah 380, (باب ماجاء في سن رسول الله صلى الله عليه وسلم): عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ جَرِيرٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ، أَنَّهُ سَمِعَهُ يَخْطُبُ، قَالَ: مَاتَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ ابْنُ ثَلاثٍ وَسِتِّينَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَأَنَا ابْنُ ثَلاثٍ وَسِتِّينَ سنة Dari ‘Amir bin Sa’d, dari Jarir dari Mu’awiyah yang suatu kali berpidato, “Rasulullah (saw) wafat pada umur 63, begitu juga dengan Abu Bakr wafat pada umur 63 dan ‘Umar wafat pada umur 63 dan sekarang saya pada umur 63.”
[10] Sahih al-Bukhari, (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), (باب مَنَاقِبُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَبِي حَفْصٍ الْقُرَشِيِّ الْعَدَوِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ)
[11] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaatul-Kubraa, 3/198. Ja’far bin Muhammad di sini ialah Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir. Muhammad al-Baqir sendiri ialah putra ‘Ali Zainul ‘Abidin bin Husain bin ‘Ali. Nama-nama tersebut ialah nama-nama para Imam yang sangat dihormati kaum Syi’ah. Sedangkan kaum Syi’ah ialah golongan yang sangat mengkritik pribadi dan pendapat serta kebijakan tiga Khalifah sebelum Hadhrat ‘Ali (ra).
[12] Tarikh Madinah Dimasyq juz ke 30 (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ٣٠ – الصفحة ٣٧٥), pembahasan Abu Bakr ash-Shiddiq Khalifah Rasulullah (أبو بكر الصديق خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم); Manaqib Amirul Mu-minin ‘Umar ibn al-Khaththab (مناقب أمير المؤمنين عمر بن الخطاب) atau Sirah ‘Umar ibn al-Khaththab (سيرة عمر بن الخطاب) karya Imam al-Hafiz Abil Farj ‘Abdurrahman bin ‘Ali al-Jauzi (الإمام الحافظ أبي الفرج عبد الرحمن بن علي الجوزي) atau Jamaluddin Abil Farj ‘Abdurrahman ibnu al-Jauzi (جمال الدين أبي الفرج عبد الرحمن/ابن الجوزي); Nihayatul Mathlub fi Istihbab (نهاية المطلوب في استحباب كتابة البسملة بكمالها في كل مكتوب) karya ‘Ali bin Ahmad al-Qurafi (علي بن أحمد القرافي/الأنصاري الشافعي); Tercantum juga dalam Subulul Huda (سبل الهدى والرشاد – الصالحي الشامي – ج ١١ – الصفحة ٢٤٧) dalam rawi Abi Majlaz (وروي عن أبي مجلز قال: قال: علي – رضي الله تعالى عنه -:). Kitab as-Sunnah (السنة) bab rincian mengenai Abu Bakr, ‘Utsman dan ‘Umar dalam riwayat ‘Ali bin Abi Thalib (باب ما روى عن علي رضي الله عنه من تفضيله أبي بكر وعمر وإيمائه إلى عثمان بن عفان ثالثهم في الفضل) karya Ibnu Abi ‘Ashim (ابن أبي عاصم) atau (أحمد بن عمرو بن أبي عاصم الضحاك بن مخلد الشيباني، أبو بكر بن أبي عاصم) yang lahir di Bashrah-Iraq pada 206 Hijriyah dan wafat pada 287 Hijriyyah. Di kitab itu dikatakan, حَدَّثَنَا أبو بكر حَدَّثنا شريك عَنْ أَبِي إسحاق عَنْ أَبِي جحيفة قال قال علي رضي الله عنه خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر وبعد أبي بكر عُمَر ولو شئتُ أن أسمي لكم الثالث لفعلت . Al-Fashl fil Milal wal Ahwa wan Nahl (الفصل في الملل والأهواء والنحل) karya Ibnu Hazm (علي بن أحمد بن سعيد بن حزم الظاهري أبو محمد) dalam bab (الكلام في وجوه الفضل والمفاضلة بين الصحابة) juga dikatakan: وعن جماعة من التابعين والفقهاء وذهبت الخوارج كلها وبعض أهل السنة وبعض المعتزلة وبعض المرجئة إلى أن أفضل الصحابة بعد رسول الله صلى الله عليه و سلم أبو بكر وعمر .
[13] Ath-Thabaqaat al-Kubra (كتاب الطبقات الكبرى), (ابن سعد), (الجزء الثالث), (القول في الطبقة الأولى وهم البدريين من المهاجرين والأنصار), (طبقات البدريين من المهاجرين ومن بني عدي بن كعب بن لؤي), (ذكر استخلاف عمر. رحمه الله).
[14] Usdul Ghabah karya Ibnu al-Atsir (أسد الغابة – ابن الأثير – ج ٤ – الصفحة ٦٠); Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama (Judul Asli: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn) karya Imam al-Ghazali, pembahasan tentang Ilmu (كتاب العلم) pembahasan pertama dari seperempat bagian ibadah (وهو الكتاب الأول من ربع العبادات), Bab kedua mengenai ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, penjelasan batas-batas fiqh, pembicaraan mengenai ilmu agama dan uraian mengenai ilmu akhirat dan ilmu duniawi (الباب الثاني: في فرض العين وفرض الكفاية من العلوم وبيان حد الفقه والكلام من علم الدين وبيان علم الآخرة وعلم الدنيا) Ilmu Yang Menjadi Fardhu Kifāyah (بيان العلم الذي هو فرض كفاية). Pada saat Sayyidina ‘Umar Ibn-ul-Khaththab r.a. meninggal dunia, Ibnu Mas‘ud r.a. pernah mengatakan: “Kita telah kehilangan sembilan per sepuluh (9/10) dari ilmu.” Ditanyakan kepada Ibnu Mas‘ud: “Mengapa engkau harus mengatakan itu, padahal di tengah-tengah kita masih sangat banyak sahabat yang derajat keilmuan mereka tidak kalah dengan ‘Umar Ibn-ul-Khaththab?” Ibnu Mas‘ud menjawab: “Yang aku maksudkan di sini bukan ilmu mengenai fatwa dan pendapat hukum. Akan tetapi, justru yang aku maksudkan adalah ilmu tentang Allah s.w.t.”
https://hatisenang.com/ihya-ulumiddin-ilmu-dan-keyakinan-bab-kedua-ilmu-yang-terpuji-dan-tercela-ilmu-yang-menjadi-fardhu-kifayah-5/
[15] Ath-Thabaqaat al-Kubra.
[16] Ath-Thabaqaat al-Kubra, 4050: أَخْبَرَنَا سَالِمٌ الْمُرَادِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا بَعْضُ أَصْحَابِنَا ، قَالَ : جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلامٍ وَقَدْ صُلِّيَ عَلَى عُمَرَ ، فَقَالَ : .
[17] Tarikh Madinah Dimasyq (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ٤٤ – الصفحة ٤٥٩).
[18] KITAB ABU DAUD, HADIST NO – 4012. Sumber : Abu Daud, Kitab : Sunnah, Bab : Penjelasan tentang keutamaan, No. Hadist : 4012 Salim bin Abdullah berkata; Ibnu ‘Umar berkata, “Kami pernah mengatakan sesuatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, “Yang paling utama di antara umat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau adalah Abu Bakar, lalu ‘Umar, lalu Utsman. Semoga Allah meridhai mereka semua.”
[19] Ash-Shiddiiq Abu Bakr karya Muhammad Husain Haikal (الصديق أبو بكر لمحمد حسين هيكل). Al-Mausu’ah al-Kubra li-athrafil Haditsin Nabawi (الموسوعة الكبرى لأطراف الحديث النبوي الشريف 1-50 ج14) karya Muhammad Sa’id Zaghlul (محمد السعيد بن بسيوني زغلول)
[20] Edward Gibbon, Decline and Fall of the Roman Empire, vol V, p. 400, 1890. Edward Gibbon (1737–1794) adalah seorang sejarawan Inggris dan anggota Parlemen. Karya tulisnya yang paling penting, “The History of the Decline and Fall of the Roman Empire” – “Sejarah Kemerosotan dan Kejatuhan Kekaisaran Romawi”, diterbitkan dalam enam volume pada tahun antara 1776 dan 1788. Buku “The History” terkenal mutunya secara prinsip dan prosanya yang ironis. Buku ini juga menggunakan sumber primer (pertama). Yet the abstinence and humility of ‘Umar were not inferior to the virtues of Abu Bakr: his food consisted of barley bread or dates; his drink was water; he preached in a gown that was torn or tattered in twelve places; and a Persian satrap, who paid his homage as to the conqueror, found him asleep among the beggars on the steps of the mosque of Muslims. Economy is the source of liberality, and the increases of the revenue enabled ‘Umar (ra) to establish a just and perpetual reward for the past and present services of the faithful. Careless of his own emolument, he assigned to Abbas, the uncle of the Prophet, the first and most ample allowance of twenty-five thousand dirhams of pieces of silver. Five thousand were allotted to each of the aged warriors, the relics of the field of Badr, and the last and the meanest of the companions of Mohammad was distinguished by the annual reward of three thousand pieces.
[21] The 100: a ranking of the most influential persons in history/Michael H. Hart.–Rev. ed. p. em. Originally published: New York: Hart Pub. Co., 1978, Published by Carol Publishing Group, Carol Publishing Group Edition – 1993, 52 ‘UMAR IBN AL-KHATTAB c. 5 8 6 – 644, halaman 261-265: “Umar ibn al-Khattab was the second, and probably the greatest, of the Moslem caliphs. He was a younger contemporary of Muhammad, and like the Prophet, was born in Mecca. The year of his birth is unknown, but was perhaps about 586. ‘Umar (ra) was originally one of the most bitter opponents of Muhammad and his new religion. Rather suddenly, however, ‘Umar (ra) became converted to Islam, and thereafter was one of its strongest supporters. (The parallel with the conversion of St. Paul to Christianity is striking.) ‘Umar(ra) became one of the closest advisors of the prophet Muhammad, and remained so throughout Muhammad’s life. In 632, Muhammad died without having named a successor. ‘Umar (ra) promptly supported the candidacy of Abu Bakr, a close associate and father-in-law of the Prophet. This avoided a power struggle and enabled Abu Bakr to be generally recognized as the first caliph (i.e., as the ‘successor’ of Muhammad).
[22] The 100: a ranking of the most influential persons in history/Michael H. Hart: Abu Bakr was a successful leader, but he died after serving as caliph for only two years. He had, however, specifically named ‘Umar (ra) (who was also a father-in-law of the Prophet) to succeed him, so once again a power struggle was avoided. ‘Umar (ra) became caliph in 634, and retained power until 644, when he was assassinated in Madinah by a Persian slave. On his deathbed, ‘Umar (ra) named a committee of six persons to choose his successor, thereby again averting an armed struggle for power. The committee chose Othman, the third caliph, who ruled from 644 to 656.
[23] The 100: a ranking of the most influential persons in history/Michael H. Hart: It was during the ten years of ‘Umar’s caliphate that the most important conquests of the Arabs occurred. Not long after ‘Umar’s accession, Arab armies invaded Syria and Palestine, which at that time were part of the Byzantine Empire. At the Battle of the Yarmuk (636), the Arabs won a crushing victory over the Byzantine forces. Damascus fell the same year, and Jerusalem surrendered two years later. By 641, the Arabs had conquered all of Palestine and Syria, and were advancing into present-day Turkey. In 639, Arab armies invaded Egypt, which had also been under Byzantine rule. Within three years, the Arab conquest of Egypt was complete. Arab attacks upon Iraq, at that time part of the Sassanid Empire of the Persians, had commenced even before ‘Umar (ra) took office. The key Arab victory, at the battle of Qadisiya (637) occurred during ‘Umar’s reign. By 641, all of Iraq was under Arab control. Nor was that all: Arab armies invaded Persia itself, and at the battle of Nehavend (642) they decisively defeated the forces of the last Sassanid emperor. By the time ‘Umar (ra) died, in 644, most of western Iran had been overrun. Nor had the Arab armies run out of momentum when ‘Umar (ra) died. In the East, they fairly soon completed the conquest of Persia, while in the West they continued their push across North Africa.
[24] The 100: Michael H. Hart: Just as important as the extent of ‘Umar’s conquests is their permanence. Iran, though its population became converted to Islam, eventually regained its independence from Arab rule. But Syria, Iraq, and Egypt never did. Those countries became thoroughly Arabized and remain so to this day. ‘Umar (ra), of course, had to devise policies for the rule of the great empire that his armies had conquered. He decided that the Arabs were to be a privileged military caste in the regions they had conquered, and that they should live in garrison cities, apart from the natives. The subject peoples were to pay tribute to their Moslem (largely Arab) conquerors, but were otherwise to be left in peace. In particular, they were not to be forcibly converted to Islam. (From the above, it is clear that the Arab conquest was more a nationalist war of conquest than a holy war, although the religious aspect was certainly not lacking.)
[25] The 100: a ranking of the most influential persons in history/Michael H. Hart: ‘Umar’s achievements are impressive indeed. After Muhammad himself, he was the principal figure in the spread of Islam. Without his rapid conquests, it is doubtful that Islam would be nearly as widespread today as it actually is. Furthermore, most of the territory conquered during his reign has remained Arab ever since. Obviously, of course, Muhammad, who was the prime mover, should receive the bulk of the credit for those developments. But it would be a grave mistake to ignore ‘Umar’s contribution. The conquests he made were not an automatic consequence of the inspiration provided by Muhammad. Some expansion was probably bound to occur, but not to the enormous extent that it did under ‘Umar’s brilliant leadership. It may occasion some surprise that ‘Umar – a figure virtually unknown in the West – has been ranked higher than such famous men as Charlemagne and Julius Caesar. However, the conquests made by the Arabs under mar, taking into account both their size and their duration, are substantially more important than those of either Caesar or Charlemagne.”
[26] HISTORY OF THE ARABS FROM THE EARLIEST TIMES TO THE PRESENT (Sejarah Bangsa Arab dari masa paling lampau hingga masa kini), PART II THE RISE OF ISLAM AND THE CALIPHAL STATE, CHAPTER XV THE ADMINISTRATION OF THE NEW POSSESSIONS, page 175, by PHILIP K. HITTI, PROFESSOR EMERITUS OF SEMITIC LITERATURE PRINCETON UNIVERSITY, First edition 1937, Tenth edition 1970. twelfth reprint 1989, Published by MACMTLLAN EDUCATION LTD, Houndmills, Basingstoke, Hampshire RG21 2XS and London Companies and representatives throughout the world Printed in Hong Kong: “Simple and frugal in manner the energetic and talented ‘Umar (634-644) who was of towering height, strong physique and bald headed, continued at least for some time after becoming the Caliph to support himself by trade and lived throughout his life in a style as unostentatious as that of a Bedouin Sheikh. In fact, ‘Umar, whose name according to Muslim tradition is the greatest in early Islam after that of Mohammad, has been idolised by Muslim writers for his piety, justice and patriarchal simplicity and treated as the personification of all the virtues a Caliph ought to possess. His irreproachable character became an exemplar for all conscientious successors to follow. He owned, we are told, one shirt and one mantle only, both conspicuous for their patchwork, slept on a bed of palm leaves, and had no concern other than the maintenance of the purity of the faith, the upholding of justice and the ascendancy and security of Islam and the Arabians.”
Comments (1)