Siapa yang berhak menentukan seseorang itu Islam atau bukan Islam?Dan bagaimana Al-Qur’an dan Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) mengajarkan?
oleh Farhan Iqbal, Mubaligh Ahmadiyah Kanada
Baru-baru ini, media sosial diramaikan oleh seorang pemuda Pakistan yang dengan semangatnya menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan Islam, ia melakukan debat teologis seputar Khataman Nabiyin sebagai ‘bukti’ tuduhan mereka.
Tiga alasan yang saya perhatikan dalam pernyataannya tersebut adalah:
- Ini adalah ijma’ (kesepakatan) umat Islam
- Pada tahun 1974 hal itu telah dinyatakan juga oleh pemerintah yang dipilih secara demokratis (Pakistan).
- Berbagai pernyataan pribadi di berbagai postingan Twitter atau Facebook.
Kemudian pertanyaannya adalah, manakah dari hal di atas yang memiliki otoritas untuk menyatakan Ahmadiyah bukan Islam? Jika seluruh umat Islam atau parlemen suatu negara atau individu yang sangat bersemangat menyatakan Anda non-Muslim, atau kafir dan sesat, apakah semua pernyataan mereka memadai?
Jawaban atas semua pertanyaan ini adalah ‘Tidak!’ Hanya Allah yang berhak menyatakan seseorang itu Muslim atau non-Muslim.
Pernyataan Al-Qur’an
Dalam Al Quran, Allah Ta’ala berfirman:
قَالَتِ الۡاَعۡرَابُ اٰمَنَّا
Orang-orang Arab gurun berkata, “Kami telah beriman.” Dengan kata lain, ini adalah pernyataan pribadi mereka akan keyakinan menurut mereka sendiri.
Allah Ta’ala kemudian berfirman:
قُلۡ لَّمۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ لٰکِنۡ قُوۡلُوۡۤا اَسۡلَمۡنَا وَ لَمَّا یَدۡخُلِ الۡاِیۡمَانُ فِیۡ قُلُوۡبِکُمۡ
Katakanlah, “Kamu belum benar-benar beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah berserah diri (aslamna)’, karena iman yang hakiki belum masuk ke dalam hatimu. (QS Al-Hujurat [49]:15)
Pokok bahasan ayat ini perlu kita renungkan.
Allah Ta’ala menyatakan bahwa orang-orang Arab gurun ini mungkin berpikir bahwa mereka telah beriman, tetapi keimanan sejati belum masuk ke dalam hati mereka. Namun, meski demikian, Allah tidak memerintahkan Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) untuk menyatakan mereka bukan Islam. Sebaliknya, mereka dapat mengatakan, “Kami telah menerima Islam”, atau “Kami adalah Muslim”. Dengan kata lain, mereka dapat menyebut diri mereka sebagai Muslim meskipun mereka belum mencapai derajat keimanan yang lebih tinggi.
Jadi Al-Quran memerintahkan Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) dan umat Islam supaya berhati-hati mengatakan apakah seseorang itu Muslim atau non-Muslim.
Pernyataan dari Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam)
Atas dasar ajaran ini, ketika sensus dilakukan oleh Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) di Madinah, beliau memberikan instruksi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ ـ رضى الله عنه ـ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم “ اكْتُبُوا لِي مَنْ تَلَفَّظَ بِالإِسْلاَمِ مِنَ النَّاسِ ”. فَكَتَبْنَا لَهُ أَلْفًا وَخَمْسَمِائَةِ رَجُلٍ
Diriwayatkan dari Huzaifah (ra) bahwa Nabi (Shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Tuliskan untukku nama-nama orang yang sudah menyatakan masuk Islam”. Maka kami menuliskannya untuk beliau sebanyak seribu lima ratus orang laki-laki. (Sahih Bukhari, Kitabul Jihad, Bab Kitabatil Imamin-Nas)
Dalam hadits ini tidak ada perintah “Tanyakan kepada mereka terlebih dahulu apa yang mereka yakini tentang khataman nabiyin. Atau, periksa dulu apakah mereka telah disunat. Atau, tanyakan pada mereka terlebih dahulu apa yang mereka yakini tentang Almasih yang Dijanjikan (as), dan seterusnya. Malah sebaliknya, kriterianya sangat sederhana, jika mereka menyebut diri sebagai Muslim, mereka harus dihitung sebagai Muslim.
Dalam menjabarkan definisi seorang Muslim, Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:
مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا، وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا، وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا، فَذَلِكَ الْمُسْلِمُ الَّذِي لَهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ، فَلاَ تُخْفِرُوا اللَّهَ فِي ذِمَّتِهِ
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat seperti shalat kita, dan menghadap ke arah kiblat seperti kiblat kita, serta memakan sembelihan kita, maka dia adalah seorang muslim, ia memiliki perlindungan dari Allah dan Rasul-Nya. Maka janganlah kalian mendurhakai Allah dengan mencederai perlindungan-Nya.” (Shahih al-Bukhari, Kitabus-shalaah, Bab Fadhli-istiqbaalil-qiblati)
Di sini, Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) telah menguraikan masalah ini dan mengajarkan kepada kita bahwa jika seseorang melaksanakan shalat seperti umat Islam lainnya, memiliki arah kiblat yang sama dengan umat Islam lainnya, dan makan makanan halal yang sama dengan umat Islam lainnya, maka orang itu adalah seorang Islam. Semua ajaran ini memberi kita batasan yang jelas dalam menentukan siapa yang disebut Muslim atau bukan Islam.
Siapa yang Berhak Menentukan Islam atau bukan Islam?
Yang dapat kita simpulkan adalah sebagai berikut:
- Ijma‘ atau kesepakatan umat tidak sah jika bertentangan dengan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Hadits di atas.
- Tidak ada pemerintah yang memiliki wewenang untuk menyatakan seseorang itu Islam atau bukan Islam.
- Pengguna media sosial tidak memiliki wewenang untuk menyatakan seseorang itu Islam atau bukan Islam.
Hanya Allah yang memiliki otoritas yang menyatakan seseorang itu Muslim atau non-Muslim, atau melalui seseorang yang diberikan wahyu oleh Allah Ta’ala.
Kami bertanya kepada semua orang yang menyatakan Ahmadiyah bukan Islam, “Apakah Allah telah mengungkapkan kepada Anda dan memberi tahu secara langsung bahwa Ahmadiyah bukan Islam?”
Daftar Pertanyaan untuk para Ahmadi
Sekarang, mari kita nilai apakah para Ahmadi sesuai dengan definisi seorang Muslim sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qura’n dan Hadits. Berdasarkan sumber-sumber ini, berikut pertanyaan yang dapat diutarakan kepada para Ahmadi:
- Apakah para Ahmadi mengatakan, “Kami adalah Islam”?
- Apakah para Ahmadi mengucapkan syahadat La ilaaha il-Allah Muhammadur Rasul-ullah?
- Apakah para Ahmadi sholat seperti umat Islam lainnya?
- Apakah para Ahmadi menghadap kiblat yang sama dengan Muslim lainnya?
- Apakah para Ahmadi memakan hewan sembelihan dan halal seperti yang dilakukan umat Islam lainnya?
Jawaban semua Ahmadi atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah “Ya!”. Selain itu, tidak ada yang berhak menyatakan Ahmadiyah adalah non-Muslim.
Berpura-pura sebagai Muslim
Satu hal yang perlu dipahami, ada yang menuduh bahwa orang Ahmadiyah hanya berpura-pura menjadi Muslim, dan tidak tulus sama sekali ketika mereka mengatakan sebagai Muslim. Oleh karena itu, pernyataan mereka sebagai Islam tidak dapat diterima.
Perlu dicatat bahwa dari dalil-dalil Al Quran dan Hadits di atas tidak ada yang menyebutkan bahwa umat Islam harus menelisik hati orang lain terkait keimanan mereka. Tidak disebutkan di mana pun bahwa umat Islam harus menilai apa yang dipikirkan atau disiratkan orang lain ketika mereka menyatakan diri sebagai Muslim. Perkara tersebut adalah urusan seseorang dengan Allah.
Ketika peperangan, seorang sahabat Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam), Hadhrat Usama bin Zaid (ra) berduel dengan seorang kafir dan mengalahkannya dan ketika beliau akan membunuhnya, musuh tersebut mengucapkan, “Laa ilaaha illa-Llah”. Dengan asumsi bahwa orang tersebut menyatakan diri sebagai Muslim hanya untuk menghindari pembunuhan, dan bukan karena ketulusan, Hadhrat Usama (ra) tetap membunuhnya. Kemudian, beliau memutuskan untuk meminta nasihat Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) tentang hal ini. Riwayat hadits tersebut adalah sebagai berikut:
فَذَكَرْتُهُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” أَقَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَقَتَلْتَهُ ” . قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلاَحِ . قَالَ ” أَفَلاَ شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لاَ ” . فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَىَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ
Hadhrat Usama (ra) berkata, “Saya ceritakankejadian ini kepada Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam), maka beliau bertanya, ‘Apakah dia mengucapkan ‘Laa ilaaha illaLlahu’, lalu kamu membunuhnya?’ Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, dia mengucapkan kata tersebut karena takut pedang (dibunuh)’.Beliau bertanya kembali, “Apakah kamu telah membelah hatinya hingga kamu mengetahui apakah dia telah mengucapkannya atau tidak (dengan tulus)?!” Tak henti-hentinya Beliau mengulang-ulangi perkataannya itu pada saya, hingga seolah-olah aku berkeinginan masuk Islam. (Sahih Muslim, Kitabul Iman, Bab Tahriimi Qatlil Kaafiri ba’da an qoola laa ilaaha illa-Llah)
Dengan kata lain, Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) sangat sedih dengan tindakan Hadhrat Usama (ra) ini dan menyatakan ketidaksenangannya berulang kali kepadanya.
Jadi, dari ajaran ini, kami meminta poster media sosial yang menyebut kami non-Muslim atau menuduh kami menyamar sebagai Muslim:
‘Bukankah ini bentuk ketakwaan bahwa ketika kita mendengar seseorang menyebut dirinya Muslim, kita menyerahkan masalah itu kepada Allah?”
Sumber: Alislam.org – Are Ahmadis Muslim or Non-Muslim? Who decides?
Penerjemah: Ine Siti Nurul Mu’minah
Comments (1)