Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan: Detik-Detik Pensyahidan (Seri 6)

Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyAllahu ta’ala ‘anhu (Seri-4)

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 107, Khulafa’ur Rasyidin Seri 13

pensyahidan utsman bin affan

Baca Juga:

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 12 Maret 2021 (Sulh 1400 Hijriyah Syamsiyah/28 Rajab 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)

Topik mengenai Hadhrat ‘Utsman masih berlangsung. Ibadah haji yang dilakukan oleh Hadhrat ‘Utsman sekitar satu tahun menjelang kewafatan beliau atau satu tahun sebelum kekacauan semakin parah. Setelah Hadhrat ‘Utsman melakukan ibadah haji yang terakhir, saat itu para pengacau mulai berbuat ulah. Hadhrat Muawiyah merasakan kuatnya gelagat itu.

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Selesai menunaikan rukun haji, Hadhrat Mu’awiyah (ra) bersama Hadhrat ‘Utsman (ra) tiba di Madinah. Setelah beberapa hari tinggal di Madinah, ketika hendak kembali ke Syam, beliau menemui Hadhrat ‘Utsman (ra) dengan empat mata. Dalam pertemuan itu, Hadhrat Mu’awiyah (ra) berkata, ‘Kekacauan semakin menghebat. Kalau saya diberi izin, saya hendak membicarakan sedikit tentang kekacauan yang sedang bergelora sekarang ini.’

‘Silahkan!’ jawab Hadhrat ‘Utsman (ra)

Lalu Hadhrat Mu’awiyah (ra) berkata, ‘Saya ingin Tuan pergi bersama saya ke Syam, karena di sana aman tidak ada kekacauan sama sekali. Saya khawatir jangan-jangan pada suatu waktu mendadak timbul kekacauan, kita tidak biasa mengadakan persiapan-persiapan untuk mengatasinya.’

Mendengar itu, Hadhrat ‘Utsman (ra) berkata, ‘Bagaimana pun juga, saya tidak mau berpisah dari sisi Rasulullah (saw), sekalipun saya ditentang.’

Kemudian Hadhrat Muawiyah (ra) memohon supaya diberi izin untuk mendatangkan sepasukan tentara Syam ke Madinah untuk menjaga keselamatan beliau (ra), ‘Di hadapan laskar Syam, tidak akan ada yang berani melakukan kejahatan’, kata Hadhrat Mu’awiyah (ra) memberi jaminan.

Hadhrat ‘Utsman (ra) menjawab, ‘Ini juga saya tidak setuju. Saya tidak mau memberatkan Baitul Maal (keuangan negara) semata-mata untuk keselamatan jiwa saya, karena menempatkan tentara itu berarti saya menjerumuskan rakyat Madinah ke dalam kesusahan.’

Untuk ketiga kalinya, Hadhrat Mu’awiyah (ra) mengajukan permintaan, ‘Sebaiknya para Sahabat disebarkan ke berbagai pelosok negeri Islam. Karena adanya para Sahabat di samping Anda (Khalifah ‘Utsman) di Madinah, kaum pengacau malah bertambah berani karena berpikiran bila Anda (Khalifah ‘Utsman) sudah tidak ada, masih banyak orang lain yang bisa menggantikan kedudukan Anda.’

Hadhrat ‘Utsman (ra) menjawab, ‘Bagaimana bisa orang-orang yang telah dikumpulkan oleh Hadhrat Rasulullah (saw) di Madinah ini saya sebar-sebarkan ke negeri-negeri lain!’

Mendengar jawaban Hadhrat ‘Utsman (ra) itu, Hadhrat Mu’awiyah (ra) menangis karena terharu. Dalam menangis itu, beliau berkata, ‘Ini permintaan saya yang terakhir, yaitu, Tuan umumkan kepada seluruh umat Islam, barangsiapa membinasakan ‘Utsman hingga jiwanya melayang, maka Mu’awiyah-lah yang berhak menuntut pembalasannya (jiwa dibalas jiwa). Dengan pengumuman ini, mungkin orang-orang akan takut!’

‘Mu’awiyah!’, ujar Hadhrat ‘Utsman (ra). ‘Apa yang harus terjadi, pasti akan terjadi. Saya tidak bisa berbuat demikian. Saya tahu Tuan seorang bertabiat keras. Saya khawatir Tuan nanti akan berlaku keras terhadap umat Islam.’

Hadhrat Muawiyah (ra) menangis. Sambil menangis, beliau minta diri seraya berkata, ‘Saya takut bila pertemuan saya dengan Tuan kali ini adalah pertemuan terakhir!’

Selepas pertemuan itu, Hadhrat Mu’awiyah (ra) kemudian menemui semua Sahabat yang ada di Madinah. Kepada mereka beliau berkata, ‘Tuan-tuanlah yang menjadi pelindung Islam. Hadhrat ‘Utsman (ra) sudah tua benar, sedang kekacauan semakin menghebat, karena itu tuan-tuanlah yang harus menjaganya.’[1] Setelah mengucapkan selamat tinggal, Hadhrat Muawiyah lalu berangkat kembali menuju Syam.”[2]

Berkenaan dengan keteguhan semangat Hadhrat ‘Utsman terdapat riwayat yang disampaikan oleh Mujahid yang meriwayatkan, أَشْرَفَ عُثْمَانُ عَلَى الَّذِينَ حَاصَرُوهُ فَقَالَ : “Hadhrat ‘Utsman melihat berbicara dari balik celah rumah, kepada para pengacau yang mengepung rumah beliau, يَا قَوْمِ ، لاَ تَقْتُلُونِي ، فَإِنِّي وَالٍ ، وَأَخٌ مُسْلِمٌ , فَوَاللَّهِ إِنْ أَرَدْتُ إِلاَّ الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَصَبْتُ أَوْ أَخْطَأْتُ , وَإِنَّكُمْ إِنْ تَقْتُلُونِي لاَ تُصَلُّونَ جَمِيعًا أَبَدًا ، وَلاَ تَغْزُونَ جَمِيعًا أَبَدًا ، وَلاَ يُقْسَمُ فَيْؤُكُمْ بَيْنَكُمْ ‘Wahai kaumku! Janganlah membunuhku, karena aku adalah Kepala Negara saat ini dan aku pun adalah saudara Muslim kalian. Demi Tuhan, aku senantiasa berusaha sebisa mungkin untuk menciptakan ishlah (perbaikan), terlepas dari apakah pendapatku benar ataukah telah keliru. Ingatlah, jika kalian membunuhku, kalian tidak akan pernah bisa shalat bersama-sama, tidak juga dapat bersama-sama untuk jihad dan tidak juga kalian dapat membagikan harta ghanimah dengan adil dan merata.’”

قَالَ : فَلَمَّا أَبَوْا قَالَ : Perawi mengatakan, “Mendengar itu para pengepung menolak. Hadhrat ‘Utsman (ra) bersabda, أَنْشِدُكُمُ اللَّهَ ، هَلْ دَعَوْتُمْ عِنْدَ وَفَاةِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا دَعَوْتُمْ بِهِ , وَأَمْرُكُمْ جَمِيعًا لَمْ يَتَفَرَّقْ ، وَأَنْتُمْ أَهْلُ دِينِهِ وَحَقِّهِ ، فَتَقُولُونَ : إِنَّ اللَّهَ لَمْ يُجِبْ دَعْوَتَكُمْ ، أَمْ تَقُولُونَ : هَانَ الدِّينُ عَلَى اللهِ ، أَمْ تَقُولُونَ : إِنِّي أَخَذْتُ هَذَا الأَمْرَ بِالسَّيْفِ وَالْغَلَبَةِ ، وَلَمْ آخُذُهُ عَنْ مَشُورَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ , أَمْ تَقُولُونَ : إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَعْلَمْ مِنْ أَوَّلِ أَمْرِي شَيْئًا لَمْ يَعْلَمْ مِنْ آخِرِهِ ؟ ‘Aku bertanya kepada kalian dengan sumpah atas nama Allah, apakah ketika wafatnya Amirul Mukminin Hadhrat ‘Umar, yang mana saat itu kalian masih bersatu dan teguh diatas agama yang hak, kalian tidak memanjatkan doa berkenaan dengan Khilafat? Lantas apakah sekarang kalian ingin mengatakan bahwa Allah Ta’ala tidak mengabulkan doa-doa kalian? Ataukah kalian ingin mengatakan bahwa Allah Ta’ala sudah tidak memperdulikan lagi agama? Ataukah kalian ingin mengatakan bahwa aku telah meraih kursi khilafat dengan menggunakan pedang atau dengan merampas paksa dan tidak meminta musyawarah dari umat Muslimin? Atau kalian beranggapan bahwa pada masa awal kekhalifahanku Allah Ta’ala saat itu masih belum mengetahui hal-hal yang terungkap di kemudian hari? Tidaklah mungkin, karena Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu.’

فَلَمَّا أَبَوْا قَالَ : Namun ketika para pengepung itu tetap tidak menuruti perkataan Hadhrat ‘Utsman, beliau berdoa, اللَّهُمَّ أَحْصِهِمْ عَدَدًا ، وَاقْتُلْهُمْ بَدَدًا ، وَلاَ تُبْقِ مِنْهُمْ أَحَدًا ‘Ya Tuhan! Hitunglah mereka dengan baik, bunuhlah mereka satu persatu dan janganlah lepaskan satu pun dari antara mereka.’” Mujahid (مُجَاهِدٌ) berkata, فَقَتَلَ اللَّهُ مِنْهُمْ مَنْ قَتَلَ فِي الْفِتْنَةِ “Di kemudian hari Allah Ta’ala membinasakan orang-orang yang menimbulkan kekacauan itu.”[3]

Abu Laila al-Kindi (أَبِي لَيْلَى الْكِنْدِيِّ) meriwayatkan, شَهِدْتُ عُثْمَانَ وَهُوَ مَحْصُورٌ فَاطَّلَعَ مِنْ كُوخٍ ، فَقَالَ: “Saya melihat Hadhrat ‘Utsman ketika beliau terkepung. Beliau mengintip melalui lubang masuknya cahaya lalu bersabda, يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، لا تَقْتُلُونِي ، وَاسْتَتِيبُونِي ، فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَتَلْتُمُونِي ، لا تُصَلُّونَ جَمِيعًا أَبَدًا ، وَلا تُجَاهِدُونَ عَدُوًّا جَمِيعًا أَبَدًا ‘Wahai manusia! Janganlah membunuhku. Jika memang aku bersalah, berikanlah aku kesempatan untuk bertaubat. Demi Tuhan! Jika kalian membunuhku, kalian tidak akan pernah dapat shalat bersama-sama, tidak juga kalian akan dapat bersatu untuk menghadapi musuh. Pastinya kalian akan saling bertentangan satu sama lain dan akan terus berada dalam keresahan.’[4]

Perawi berkata, وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ ، ثُمَّ قَالَ: “Beliau sambil mengisyarahkan dengan memasukkan jari-jari beliau ke dalam jari-jari lainnya. Beliau bersabda, وَيَا قَوْمِ لا يَجْرِمَنَّكُمْ شِقَاقِي أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَ قَوْمَ نُوحٍ أَوْ قَوْمَ هُودٍ أَوْ قَوْمَ صَالِحٍ وَمَا قَوْمُ لُوطٍ مِنْكُمْ بِبَعِيدٍ ‘Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Shaleh, sedang kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kamu.’ (Surah Hud ayat 90)

Hadhrat ‘Utsman mengirim pesan kepada Hadhrat Abdullah bin Salam dan memanggilnya. Beliau datang dan Hadhrat ‘Utsman berkata kepadanya, مَا تَرَى ؟ ‘Bagaimana pendapat tuan mengenai apa yang terjadi saat ini?’

Hadhrat Abdullah bin Salam berkata, الْكَفُّ فَإِنَّهُ أَبْلَغُ فِي الحُجَّةِ ‘Hindarilah pertempuran, karena hal ini akan lebih kuat bagi Anda sebagai dalil.’”[5]

Muhammad bin Sirin meriwayatkan, جَاءَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ إِلَى عُثْمَانَ، فَقَالَ‏: “Hadhrat Zaid bin Tsabit hadir ke hadapan Hadhrat ‘Utsman dan berkata, هَذِهِ الأَنْصَارُ بِالْبَابِ، قَالُوا‏:‏ إِنْ شِئْتَ أَنْ نَكُونَ أَنْصَارًا لِلَّهِ مَرَّتَيْنِ ‘Kaum Anshar telah sampai di pintu mereka mengatakan, “Jika tuan menghendaki, kami bersedia untuk menjadi Ansharullah untuk yang kedua kalinya.”’

Hadhrat ‘Utsman bersabda, أَمَّا قِتَالٌ فَلاَ‏ ‘Tidak, jangan sekali-kali bertempur.’”[6]

Hadhrat Abu Hurairah meriwayatkan, دَخَلْتُ عَلَى عُثْمَانَ يَوْمَ الدَّارِ , فَقُلْتُ:  “Pada saat Hadhrat ‘Utsman (ra) terkepung, saya datang menemui beliau (ra) dan berkata, يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ طَابٌ أَمْ ضَرْبٌ ؟ ‘Wahai Amirul mukminin! Saat ini adalah sesuai jika kita mengangkat pedang.’

Beliau bersabda, يَا أَبَا هُرَيْرَةَ ، أَيَسُرُّكَ أَنْ تَقْتُلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَإِيَّايَ ؟  ‘Abu Hurairah! Apakah kamu suka untuk membuat terbunuh semua orang dan juga saya?’

قُلْتُ : لَا Saya menjawab, ‘Tidak.’

Hadhrat ‘Utsman bersabda, فَإِنَّكَ وَاللَّهِ إِنْ قَتَلْتَ رَجُلًا وَاحِدًا فَكَأَنَّمَا قُتِلَ النَّاسُ جَمِيعًا ‘Demi Tuhan! Jika kamu membunuh satu orang saja, seolah-olah kamu telah membunuh semua orang.’

Hadhrat Abu Hurairah berkata, فَرَجَعْتُ وَلَمْ أُقَاتِلْ ‘Saya pun pulang dan mengurungkan niat untuk berperang.’”[7]

Hadhrat Abdullah bin Zubair meriwayatkan, قُلْتُ لِعُثْمَانَ يَوْمَ الدَّارِ:  “Pada saat terkepung saya berkata kepada Hadhrat ‘Utsman, قَاتِلْهُمْ ، فَوَاللَّهِ لَقَدْ أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ قِتَالَهُمْ ‘Wahai Amirul Mukminin, mohon tuan perintahkan untuk berperang melawan mereka, karena Allah Ta’ala telah memperbolehkan Anda berperang melawan mereka.’

Beliau bersabda, لَا وَاللَّهِ لَا أُقَاتِلُهُمْ أَبَدًا ‘Demi Tuhan! Saya tidak akan pernah berperang melawan mereka.’”

Perawi berkata, فَدَخَلُوا عَلَيْهِ وَهُوَ صَائِمٌ “Para pengacau itu memasuki rumah beliau, pada saat itu beliau tengah puasa.”

Hadhrat ‘Utsman menetapkan Hadhrat Abdullah bin Zubair sebagai pengawas di pintu rumah. Beliau bersabda, مَنْ كَانَتْ لِي عَلَيْهِ طَاعَةٌ فَلْيُطِعْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ “Siapa yang ingin taat padaku, maka taatilah Abdullah bin Zubair.”[8]

Hadhrat Abdullah bin Zubair mengatakan, قُلْتُ لِعُثْمَانَ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ، إِنَّ مَعَكَ فِي الدَّارِ عِصَابَةً مُسْتَنْصَرَةً بِنَصْرِ اللَّهِ بِأَقَلَّ مِنْهُمْ لِعُثْمَانَ ، فَأْذَنْ لِي فَلْأُقَاتِلُ “Saya berkata kepada Hadhrat ‘Utsman, ‘Wahai Amirul Mukminin! Sesungguhnya di rumah tuan ada satu kelompok orang yang menjaga tuan dan mereka mendapatkan dukungan dan pertolongan Tuhan. Namun jumlah mereka lebih sedikit daripada para pengepung. Untuk itu, mohon tuan izinkan saya untuk bertempur melawan para pemberontak.’

Beliau bersabda, أَنْشُدُكَ اللَّهَ رَجُلًا ، أَوْ قَالَ : أَذَّكِّرُ بِاللَّهِ رَجُلًا أَهْرَاقَ فِيَّ دَمُهُ ، أَوْ قَالَ : أَهْرَاقَ فِيَّ دَمًا ‘Saya nasihatkan padamu dengan bersumpah atas nama Allah, jangan ada yang mengorbankan nyawanya demi saya dan jangan pula mengalirkan darah orang lain demi saya.’”[9]

Berkenaan dengan kekisruhan yang terjadi sebelum pensyahidan Hadhrat ‘Utsman atau kisah syahidnya beliau, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis dengan bersabda, “Karena para pengacau itu pada lahiriahnya telah mendapatkan kemenangan, sebagai usaha terakhir, kaum pengacau mengutus seorang utusannya kepada Hadhrat ‘Utsman (ra) untuk mengajukan permintaan supaya Hadhrat ‘Utsman segera mengundurkan diri dari kursi Khilafat, karena kalau beliau sudah mengundurkan diri dari jabatan Khilafat, umat Islam tidak berhak atau tidak berkesempatan lagi menghukum mereka.

Dalam pertemuan antara Hadhrat ‘Utsman (ra) dan utusan kaum pengacau, Hadhrat ‘Utsman (ra) dengan tegas menandaskan, ‘Di zaman jahiliyah, saya tidak pernah melakukan kejahatan. Dan setelah masuk Islam pun saya tetap patuh kepada peraturan-peraturannya dan tidak pernah menyeleweng. Sekarang apa dosa saya, sehingga saya harus melepaskan jabatan Khilafat. Baju (Khilafat) yang dipakaikan Tuhan kepada saya ini, bagaimanapun juga, tidak akan pernah saya tanggalkan!’[10]

Ketika utusan itu menyampaikan pernyataan Hadhrat ‘Utsman (ra) itu kepada kaum pengacau, ia berkata, ‘Demi Allah kita akan celaka. Kita dalam bahaya. Kalau ingin selamat dari pembalasan umat Islam tidak ada jalan selain ‘Utsman harus segera kita bunuh.’ (Karena bila ‘Utsman sudah terbunuh, pemerintahan akan berantakan, segala peraturan akan morat-marit dan tidak ada peraturan yang jelas dan tidak akan ada yang mempertanyakan perbuatan mereka [karena perhatian rakyat teralihkan]) ‘Namun, bagaimanapun membunuhnya tidak dibenarkan.’ Ucapan orang itu tidak hanya menunjukkan ketakutan mereka bahkan menunjukkan juga bahwa sampai pada saat itu, Hadhrat ‘Utsman (ra) tetap menjaga jangan sampai terjadi hal-hal yang dapat dipakai sebagai dalih oleh mereka. Sebenarnya mereka juga merasa bahwa membunuh Hadhrat ‘Utsman (ra) bagaimanapun tidak dibenarkan.

Ketika para pengacau ini membicarakan rencana konspirasi terhadap Hadhrat ‘Utsman, seseorang Sahabat ternama dan terpandang serta cendekiawan di kalangan bangsanya yaitu bangsa Yahudi bernama Abdullah bin Salam (عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلامٍ). Sementara kaum pengacau menyusun rencana pembunuhan Hadhrat ‘Utsman (ra), Abdullah bin Salam (ra) di muka pintu rumah Hadhrat ‘Utsman (ra) menasihati kaum pengacau. Antara lain, beliau mencegah kaum pengacau supaya mereka tidak melangsungkan niat jahat membunuh Hadhrat ‘Utsman (ra), karena itu berarti mempermainkan pedang Tuhan. Ia berkata, يَا قَوْمِ لا تَسُلُّوا سَيْفَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ، فو الله إِنْ سَلَلْتُمُوهُ لا تَغْمِدُوهُ، وَيْلَكُمْ! إِنَّ سُلْطَانَكُمُ اليوم يقوم بالدرة، فان قتلتموه لا يقوم إِلا بِالسَّيْفِ وَيْلَكُمْ! إِنَّ مَدِينَتَكُمْ مَحْفُوفَةٌ بِمَلائِكَةِ الله، والله لئن قتلتموه لتتركنها ‘Demi Allah, kalau kalian menghunus pedang, maka kalian tidak akan mendapat kesempatan untuk menaruhnya kembali ke dalam sarungnya. Akan terjadilah perkelahian dan pertempuran seterusnya di kalangan umat Islam. Coba pikir, yang sudah-sudah biasanya orang-orang melanggar hukum syariat hanya diberikan hukuman cambuk. Kalau kalian berhasil membunuh orang ini (Hadhrat ‘Utsman yang merupakan kepala negara), pemerintah nantinya pasti tidak akan menegakkan ketertiban tanpa mengambil tindakan yang keras (hukuman akan lebih keras bahkan untuk kejahatan kecil dan siapa saja yang melanggar hukum walau kecil sekalipun, pasti dibunuh). ‘Ingatlah, kota Madinah ini dijaga oleh malaikat. Kalau ia kalian bunuh, maka malaikat juga akan meninggalkan kota Madinah ini.’

Nasihat Abdullah bin Salam (ra) itu tidak dipedulikan oleh mereka. Bahkan agama yang dianut oleh beliau sebelum masuk Islam diejek dan dicemooh oleh mereka. Mereka mengejeknya, يا بن الْيَهُودِيَّةِ، وَمَا أَنْتَ وَهَذَا! ‘Hai anak Yahudi! Mengapa kau ikut campur dalam urusan kami ini!’[11]

Sayang, mereka teringat, Abdullah bin Salam (ra) itu tadinya orang Yahudi. Tetapi tidak teringat bahwa beliau (ra) itu telah baiat di tangan Rasulullah (saw). Rasulullah (saw) sangat gembira atas keislamannya. Ia adalah Sahabat Nabi (saw) yang pernah turut menderita bersama, walaupun dalam menghadapi setiap bahaya. Mereka hanya tahunya mengejek. Padahal Abdullah bin Saba sendiri yang menjadi pelopor kaum pemberontak dan menampakkan dirinya Islam berasal dari bangsa Yahudi juga.

Hadhrat Abdullah bin Salam merasa putus asa dengan mereka lalu pergi.

Di sisi lain, para pengacau mengetahui bahwa membunuh Hadhrat ‘Utsman melalui pintu adalah sulit. Karena sedikit banyak pengawal yang ada saat itu tengah bersiaga. Setelah itu para pengacau memutuskan untuk membunuh Hadhrat ‘Utsman dapat dilakukan dengan melompati dinding rumah tetangga. Kemudian mereka menaiki dinding rumah tetangga lalu menerobos masuk kedalam ruangan Hadhrat ‘Utsman. Waktu itu beliau sedang membaca Al-Quran. Sejak rumah beliau dikepung oleh kaum pengacau, begitulah keadaan beliau. Siang malam beliau membaca Al-Quran dan mengerjakan shalat. Tidak ada lagi perhatian beliau kepada soal-soal yang lain. Hanya ada satu, yaitu sebelum rumah beliau dimasuki oleh oknum-oknum pengacau itu, beliau memerintahkan dua orang pengawal untuk menjaga Baitul Maal. Menurut riwayat, pada malam hari itu beliau melihat mimpi, Rasulullah (saw) datang kepada beliau untuk mengajak beliau, أَفْطِرْ عِنْدَنَا اللَّيْلَةَ ‘Berbuka puasalah bersama kami malam ini!’ Karena mimpi itu, yakinlah beliau pada hari itu akan syahid. Itulah sebabnya, mengingat tanggungjawab tersebut, beliau menyuruh dua orang pengawal untuk menjaga baitul maal supaya pada hari-hari kerusuhan itu tidak ada yang merampoknya. Ketika orang-orang dari kaum perusuh itu masuk ke rumah Hadhrat ‘Utsman (ra), beliau sedang membaca Al-Quran dengan tekunnya.

Terkait:   Riwayat Utsman bin 'Affan (Seri-8)

Di antara orang-orang yang masuk ke dalam rumah Hadhrat ‘Utsman, terdapat Muhammad putra Hadhrat Abu Bakr (ra). Dikarenakan ia mempunyai pengaruh dalam lingkungan kaum pengacau sehingga dalam melaksanakan rencana pembunuhan terhadap Hadhrat ‘Utsman (ra) itu, ia merasa harus berada di garis terdepan. Dia menghampiri Hadhrat ‘Utsman (ra) lalu dengan serta merta dia tarik-tarik jenggot beliau dengan sekeras-kerasnya. Dalam keadaan demikian itu, Hadhrat ‘Utsman (ra) hanya berkata: “Wahai anak saudaraku! Kalau ayahmu (Hadhrat Abu Bakr (ra)) ada sekarang, tentu engkau tidak akan berani berbuat seperti saat ini. Apa yang terjadi padamu? Mengapa engkau masih marah juga kepadaku. Apakah kemarahanmu karena demi Allah atau ada hak-hak engkau yang saya ambil? Apakah kemarahan engkau karena engkau sudah saya ingatkan untuk menunaikan hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak Allah?’ Rupanya sentilan Hadhrat ‘Utsman (ra) itu terasa olehnya. Karena malunya, ia pun mundur dari situ.

Tetapi kawan-kawannya yang lain masih tetap di situ. Saat itu adalah kesempatan terakhir bagi kaum pengacau. Menurut berita, nanti malam bala bantuan dari Bashrah pasti tiba.[12] Kesempatan yang baik itu tidak akan dibiarkan lewat begitu saja oleh mereka. Mereka telah bertekad bulat, walau bagaimanapun juga, tidak akan mundur sebelum niat untuk membunuh Hadhrat ‘Utsman (ra) itu berhasil. Sementara itu, seorang di antara mereka menghampiri Hadhrat ‘Utsman (ra) dengan membawa sebatang besi, lalu dia pukulkan itu ke kepala beliau. Lembaran Al-Quran yang terletak di hadapan Hadhrat ‘Utsman (ra) dia tendang sehingga lembaran-lembaran Al-Quran itu jatuh berserakan. Karena pukulan besi itu, mengucurlah darah dari kepala Hadhrat ‘Utsman (ra) dan menimpa lembaran-lembaran Al-Quran yang ada di sisi beliau, tepat mengenainya.

Demikian biadabnya kaum pengacau itu, hingga mereka tidak merasa takut sedikit pun bersikap seperti itu terhadap Al-Quran. Dari peristiwa itu, kiranya cukup menjadi terungkap sejauh mana kesalehan dan kejujuran orang-orang tersebut. Ayat Al-Quran yang terkena tetesan darah itu mengandung suatu peringatan besar dan satu kabar gaib yang terkandung dalam ayat itu sempurna dengan hebatnya. Hati siapa yang tidak terharu dan ngeri, bahkan orang yang hatinya keras bagaikan batu sekalipun, pasti akan merasa terharu mengenang peristiwa itu. Ayat tersebut ialah, {فَسَيَكْفِيكَهُمُ ٱللَّهُ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ} artinya, ‘Allah Ta’ala pasti akan membalas perlakuan mereka terhadap engkau, Dia Maha mendengar dan Maha mengetahui.’[13]

Setelah itu orang yang bernama Sudan maju dan ingin menyerang Hadhrat ‘Utsman (ra) dengan pedang. Serangan yang demikian kerasnya itu ditangkis oleh beliau dengan kedua belah tangan beliau, sehingga sebelah tangan Hadhrat ‘Utsman (ra) putus. Dalam keadaan demikian beliau masih sempat berkata, ‘Demi Allah, tangan inilah dahulu yang mula-mula sekali menuliskan ayat-ayat Al-Quran.’ Hadhrat ‘Utsman (ra) diserangnya lagi sehingga tampaknya bahwa beliau hendak menghembuskan nafas terakhir beliau. Ketika itu, istri beliau bernama Nailah (نَائِلَةُ ابْنَةُ الْفُرَافِصَةِ) datang dan menempatkan diri melindungi tubuh Hadhrat ‘Utsman (ra) sehingga beliau berada diantara suaminya dan penyerang. Tetapi Nailah juga tidak luput dari serangan pedang si jahat itu, sehingga jari tangan beliau putus. Setelah itu, sekali lagi orang itu menyerang Khalifah ‘Utsman (ra) dengan pedang, sehingga beliau (ra) mendapat luka-luka yang parah. Kemudian, mereka mungkin menyadari bahwa Khalifah belum meninggal dan dalam keadaan pingsan serta tengah menghembus nafas-nafas terakhirnya sehingga si jahat itu mencekik leher beliau sekuat-kuatnya dan tidak dilepaskan hingga nyawa beliau melayang.[14] Maka roh beliau pun melayang menuju ke alam baka, memenuhi undangan Rasulullah (saw) untuk berbuka puasa bersama. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun!.

Istri beliau yang melihat kejadian yang sangat mengerikan dan menyeramkan itu, lidahnya sampai kaku, tidak bisa berbicara. Setelah sedikit sadar, barulah beliau berteriak-teriak minta tolong kepada pengawal-pengawal yang berjaga-jaga di depan pintu. Tetapi, hal itu tak ada gunanya lagi, karena apa yang akan terjadi, sudah terjadi.

Seorang bekas budak Hadhrat ‘Utsman (ra) – yang mana ia sudah dimerdekakan – datang dan tidak dapat menahan kesabarannya lagi ketika ia melihat pedang berlumuran darah yang dipergunakan oleh orang bernama Sudan untuk membunuh Hadhrat ‘Utsman (ra) itu. Ia pun maju dengan pedangnya dan menebas kepalanya (Sudan) hingga putus. Tetapi, ia juga akhirnya terbunuh oleh salah seorang dari kaum pengacau itu.[15]

Sekarang pemerintahan Islam tidak mempunyai Khalifah lagi. Penduduk Madinah beranggapan tak ada gunanya lagi berjuang. Setelah penjahat-penjahat itu selesai menghabisi nyawa Hadhrat ‘Utsman (ra) sekarang mereka mulai mengaduk-aduk rumah beliau. Istri beliau ingin keluar dari ruangannya. Sewaktu ia hendak keluar dari ruangan itu, seorang di antara penjahat itu [yaitu Sudan] sempat mengucapkan kepada kawan-kawannya kata-kata yang sangat lancang dan kotor berkenaan dengan istri Hadhrat ‘Utsman.[16]

Orang yang berbudi pekerti, sekalipun ia tidak menganut agama apapun, pasti akan mencela perkataan kurang ajar yang keluar dari mulut si jahat itu, yang dilancarkannya pada saat baru saja mereka selesai membunuh Sahabat lama Rasulullah (saw), menantu beliau, Khalifah dan juga Raja (Kepala Negara) dari negara-negara Islam. Terhadap orang-orang yang seperti mereka itu, kita tidak bisa berkata apa-apa, karena kebiadaban dan kemerosotan akhlak mereka itu telah memuncak sedemikian rupa sehingga sudah menjadi darah daging mereka.

Pendeknya, sejak semula orang-orang yang ikut dalam gerombolan-gerombolan pengacau itu, semua bangsa penjahat yang mempunyai watak dan perilaku serta tujuan yang berlainan. Sebagian kalangan dari mereka ikut karena terpedaya dan tertarik atau kagum kepada gaya Abdullah bin Saba seorang Yahudi dalam usahanya memutar-balikkan ajaran-ajaran Islam dengan semau-maunya. ‘Abdullah bin Saba mengeluarkan ajaran-ajaran yang menipu, anti Islam, asing dan ganjil. Dari antara mereka ada yang terpesona dengan gagasan persamaan (sosialisme) yang berlebihan, lebih dari atau mirip Bolshevisme.[17] Di antara mereka ada pula orang-orang bekas hukuman yang ikut dengan gerombolan-gerombolan itu dengan maksud hendak membalaskan dendam. Ada pula orang-orang penyamun dan perampok dengan maksud hendak mengeruk keuntungan dalam kekacauan-kekacauan itu. Jadi, tidaklah mengherankan kalau mereka melakukan kebiadaban-kebiadaban di luar perikemanusiaan dan peri kesopanan. Justru yang patut diherankan ialah jika mereka tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang demikian itu.

Sementara kaum pengacau asyik menyikat barang-barang di rumah Hadhrat ‘Utsman (ra), ada satu lagi bekas budak yang sudah tidak tahan mendengar jeritan keluarga Hadhrat ‘Utsman, lalu ia membunuh pengacau yang telah membunuh budak yang pertama, namun para pengacau juga membunuh budak yang kedua itu. Mereka juga membuka perhiasan yang dipakai oleh perempuan-perempuan yang berdiam di rumah Hadhrat ‘Utsman (ra) sehingga semuanya habis dijarah oleh mereka. Kemudian barulah mereka keluar dari rumah sambil berkelakar karena kegirangan.”[18]

Dalam satu kesempatan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan perihal kelancangan para pengacau itu, bersabda, “Apa yang telah mereka lakukan atas Hadhrat ‘Utsman, mereka telah mensyahidkan beliau. Ketika beliau menggelepar berlumuran darah, para pembunuh itu bermulut lancang terhadap istri Hadhrat ‘Utsman dengan menggambarkan bentuk tubuh beliau.[19] Tidak hanya bersikap kurang ajar terhadap istri Hadhrat ‘Utsman, bahkan terhadap Hadhrat Aisyah pun sama.”

Hadhrat Mushlih Mau’ud bersabda, “Setelah mendengarkan ucapan kotor mereka, saya katakan bahwa Allah Ta’ala telah memberikan martabat yang sangat luhur kepada saya dan saya bangga atas hal itu. Namun hati saya ingin, seandainya saya hidup saat itu, akan saya lumatkan mereka. Sampai batas mana kelancangan mereka? Mereka telah menyingkapkan pardah Hadhrat Aisyah ra setelah itu mereka berkata, ‘Oh, ternyata ia masih muda.’ Mereka pun tidak segan-segan untuk bersikap tidak sopan terhadap Hadhrat Aisyah.”[20]

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Setelah mengetahui kejadian yang menimpa Hadhrat ‘Utsman, dapat diketahui bahwa Hadhrat ‘Utsman tidak pernah takut sedikit pun atas apa yang akan menimpa beliau nantinya. Terbukti dari sejarah, ketika para pemberontak menguasai Madinah, sebelum waktu shalat mereka menyebar di masjid-masjid lalu memisahkan penduduk Madinah satu sama lain supaya tidak dapat bersatu untuk melawan mereka.[21] Namun meskipun ketegangan yang sebegitu rupa, Hadhrat ‘Utsman tetap pergi ke masjid sendiri untuk mendirikan shalat dan tidak sedikit pun merasa gentar. Beliau terus melakukan hal itu sebelum tiba saatnya orang-orang menyarankan beliau untuk tidak melakukannya.

Ketika kekacauan semakin meningkat dan para pengacau mengepung rumah Hadhrat ‘Utsman, bukan memerintahkan para sahabat untuk menjaga di sekeliling rumah beliau, Hadhrat ‘Utsman justru malah mengatakan kepada umat Muslim, ‘Dengan menyebut nama Allah, jagalah diri kalian sendiri dan jangan menjerumuskan diri sendiri pada kehancuran. Silahkan kembali ke rumah masing-masing.’” [22]

Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda, “Apakah orang yang takut mati syahid, akan bersikap seperti itu? Dan mengatakan pada orang orang untuk jangan mengkhawatirkan dirinya lalu memerintahkan untuk pulang ke rumah masing masing. Dari itu terbukti bahwa Hadhrat ‘Utsman tidak takut akan mati syahid.

Ada satu bukti kuat lainnya yang menggambarkan Hadhrat ‘Utsman tidak gentar dengan peristiwa itu.” – yakni seperti yang saya sampaikan pada awal khotbah – “Pada saat sudah tampak akan berlangsungnya pemberontakan, suatu hari Hadhrat Muawiyah datang untuk melakukan ibadah Haji [ke Makkah dari Syam]. Ketika akan kembali ke Syam (ibukotanya Damaskus di Suriah), beliau menemui Hadhrat ‘Utsman di Madinah dan berkata, يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، انطلق معي إِلَى الشام قبل أن يهجم عَلَيْك من لا قبل لك بِهِ، فإن أهل الشام عَلَى الأمر لم يزالوا ‘Sebaiknya tuan pergi bersama saya ke Syam, di sana tuan akan dapat terhindar dari kekacauan.’

Beliau bersabda, أنا لا أبيع جوار رسول الله صَلَّىى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بشيء، وإن كَانَ فِيهِ قطع خيط عنقي ‘Muawiyah! Saya tidak dapat mengutamakan hal-hal lain daripada hubungan kedekatan dengan Rasulullah (saw).’

Hadhrat Muawiyah berkata, فأبعث إليك جندا مِنْهُمْ يقيم بين ظهراني أهل الْمَدِينَةِ لنائبة إن نابت الْمَدِينَةِ أو إياك ‘Jika tuan tidak setuju, saya akan mengirimkan bala tentara dari Syam untuk menjaga tuan.’

Hadhrat ‘Utsman bersabda, أنا أقتر عَلَى جيران رسول الله صَلَّىى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الأرزاق بجند تساكنهم، وأضيق عَلَى أهل دار الهجرة والنصرة!  ‘Dengan memanggil laskar untuk menjaga diri saya, saya tidak mau mengurangi rizki umat Muslim di Madinah [mengeluarkan harta negara untuk akomodasi pasukan].’

Hadhrat Muawiyah berkata, وَاللَّهِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، لتغتالن أو لتغزين ‘Wahai Amirul Mukminin! Orang-orang akan membunuh tuan dengan cara tipuan atau mungkin saja mereka akan memerangi tuan.’

Hadhrat ‘Utsman bersabda, ‘Saya tidak mempedulikan hal itu, حسبي اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ ‘HasbiyAllahu wa ni’mal Wakil.’ – Tuhanku adalah cukup bagiku.’[23]

Akhirnya Hadhrat Muawiyah berkata, ‘Jika tuan tidak mau menyetujui apapun, sekurang-kurangnya lakukanlah hal berikut, sebagaimana para pengacau ini beranggapan bahwa para sahabat besar akan meneruskan tanggung jawab untuk menggantikan tuan. Mereka menyebut-nyebut nama para sahabat untuk mengelabui orang-orang. Karena itu, saya menyarankan agar tuan perintahkan para sahabat besar untuk meninggalkan Madinah dan menyebar di luar negeri. Dengan begitu, para pengacau ini akan putus asa dan beranggapan sia-sia bersengketa dengan tuan karena di Madinah tidak ada lagi yang akan memangku tanggung jawab nantinya.’

Namun Hadhrat ‘Utsman pun tidak menuruti usulan tersebut dan bersabda, ‘Bagaimana mungkin, orang-orang yang dikumpulkan oleh Rasulullah (saw) lantas saya usir mereka?’

Mendengar itu, Hadhrat Muawiyah menangis dan berkata, ‘Jika tuan tidak mau melakukan apa-apa lagi, mohon kiranya tuan umumkan bahwa jika darah tuan mengalir, Muawiyah-lah yang akan membalaskannya.’

Beliau bersabda, ‘Muawiyah! Kamu memiliki tabiat yang keras, saya khawatir jangan sampai kamu bersikap keras kepada umat Muslim, untuk itu saya tidak bisa mengumumkan itu.’

Ada yang mengatakan bahwa hati Hadhrat ‘Utsman lemah, namun coba kalian nilai sendiri, berapa banyak orang yang dapat memperlihatkan keberanian seperti itu? Apakah setelah melihat peristiwa peristiwa itu dapat dikatakan bahwa hati beliau merasa gentar. Jika Hadhrat ‘Utsman gentar, tentunya beliau akan memerintahkan untuk memanggil bala tentara demi melindungi beliau dan bersedia untuk menggaji para tentara itu. Jika beliau takut, tentu beliau akan mengumumkan bahwa jika darah beliau mengalir, maka Muawiyah-lah yang akan membalaskannya. Namun beliau tidak menjawab apa-apa selain dari mengatakan, ‘Muawiyah, kamu memiliki watak yang keras saya khawatir jika saja saya berikan wewenang padamu, kamu akan bersikap keras pada umat Islam.’

Namun ketika pada akhirnya para pengacau telah melompati dinding rumah Hadhrat ‘Utsman untuk menyerang Hadhrat ‘Utsman, tanpa memperlihatkan rasa gentar, beliau tetap menilawatkan Al Quran, hingga putra Hadhrat Abu Bakr (semoga Allah Ta’ala mengasihinya) maju lalu memegang janggut Hadhrat ‘Utsman lalu menariknya dengan kuat. Hadhrat ‘Utsman mengarahkan pandangan ke arahnya lalu bersabda, ‘Wahai anak saudaraku! Jika ayahmu ada saat ini, kamu pasti tidak akan melakukan perbuatan ini.’ Mendengar ucapan demikian, dari kepala hingga kaki bergetar seketika lalu kembali dengan rasa malu. Setelah itu, kawannya maju lalu memukulkan besi kekepala Hadhrat ‘Utsman setelah itu menendang Al Quran sehingga terlempar. Setelah itu, ada orang yang ketiga maju, ia mensyahidkan Hadhrat ‘Utsman dengan pedang. Setelah mendengar peristiwa ini siapa yang dapat mengatakan bahwa Hadhrat ‘Utsman ra merasa gentar dengan kejadian itu.”[24]

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah datang dalam corak seperti diutusnya Hadhrat Nuh, Hadhrat Ibrahim, Hadhrat Daud, Hadhrat Sulaiman dan para Nabi lainnya. Setelah kewafatan Hadhrat Masih Mau’ud (as) pun, dimulai mata rantai Khilafat, sebagaimana paska kewafatan para Nabi terdahulu tegak mata rantai khilafat. Jika kita melihat dengan akal dan berusaha untuk mengenali hakikatnya, maka kita akan mengetahui bahwa ini merupakan mata rantai agung.” Artinya, mata rantai khilafat adalah mata rantai agung.

“Bahkan saya menyatakan bahwa jika sepuluh ribu silsilah keturunan dikorbankan demi tegaknya Khilafat, maka itu tidak ada artinya. Saya tidak mengetahui perihal yang lainnya, namun sekurang kurangnya saya mengetahui perihal diri saya sendiri bahwa setelah menelaah sejarah-sejarah zaman Rasulullah (saw), jika saya memandangi musibah yang dialami oleh Hadhrat ‘Utsman; dan di sisi lain, saya melihat nur dan keruhanian yang ditimbulkan oleh Rasulullah (saw) dalam diri mereka, maka saya katakan, jika di dunia ini lahir sepuluh ribu keturunan saya lalu kesemuanya dikumpulkan sekaligus dan dikurbankan agar kekacauan itu hilang, saya meyakini hal itu sama halnya dengan menjual kutu untuk membeli gajah yakni menukar sesuatu yang bernilai rendah dengan yang tinggi. Sebenarnya, kita mengetahui bilai sesuatu belakangan yakni bagaimana nilainya. Setelah syahidnya Hadhrat ‘Utsman baru menyadari betapa tinggi nilai keutamaan Khilafat.”

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Pada saat Hadhrat ‘Umar (ra) wafat, semua mata Sahabat tertuju pada Hadhrat ‘Utsman (ra) untuk mendudukkan beliau pada kursi Khilafat. Maka atas keputusan para Sahabat, diangkatlah Hadhrat ‘Utsman (ra) menjadi Khalifah. Hadhrat ‘Utsman (ra) adalah menantu Rasulullah (saw). Patah tumbuh hilang berganti, dua orang putri Rasulullah (saw) menjadi istri Hadhrat ‘Utsman (ra) pada waktu yang berbeda. Tatkala putri kedua Rasulullah (saw) yang menjadi istri Hadhrat ‘Utsman (ra) meninggal pula, Rasulullah (saw) bersabda, ‘Seandainya masih ada lagi putri saya yang lain, ia pun akan saya nikahkan dengan ‘Utsman (ra).’ Dari pernyataan beliau itu jelaslah, betapa tingginya martabat Hadhrat ‘Utsman (ra) dalam pandangan Rasulullah (saw).

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 16)

Di kalangan penduduk Makkah, Hadhrat ‘Utsman (ra) termasuk orang yang terhormat dan terkemuka. Menurut keadaan Arabia ketika itu, beliau termasuk golongan hartawan. Ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) sudah masuk Islam, Hadhrat ‘Utsman (ra) termasuk seorang terkemuka yang dipilih untuk diserukan tabligh Islam kepadanya. Dugaan Hadhrat Abu Bakr (ra) tidak meleset, karena tidak lama setelah Hadhrat Abu Bakr (ra) bertabligh kepada beliau itu, Hadhrat ‘Utsman (ra) pun masuk Islam. Dengan demikian beliau termasuk ‘As-Saabiquunal Awwaluun (golongan awal masuk Islam) yang pujian terhadap mereka dilukiskan dalam Al-Quran dengan kata-kata indah menarik hati.

Di negara Arab, keagungan Hadhrat ‘Utsman (ra) dapat diketahui dari sebuah peristiwa ketika Rasulullah (saw) beserta rombongan menuju Makkah dengan maksud hendak menyempurnakan sebuah rukya (mimpi) yang dilihat oleh beliau (saw) Dalam perjalanan menuju ke Makkah itu, pada suatu tempat, rombongan beliau dicegat oleh penduduk Makkah. Karena benci dan dengkinya, Rasulullah (saw) tidak diizinkan masuk ke Makkah untuk menunaikan umrah. Kemudian terpikir oleh Rasulullah (saw) untuk mengutus seorang kepercayaan beliau ke Makkah untuk mengadakan pembicaraan mengenai umrah itu. Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) terpilih untuk ke Makkah, beliau menyatakan, ‘Ya Rasulullah, saya siap sedia pergi ke Makkah, tetapi kalau ada orang yang dapat lebih leluasa berbicara dengan penduduk Makkah, maka orang yang tepat ialah ‘Utsman (ra). Ia adalah orang yang terpandang di mata orang-orang Makkah. Kalau orang lain yang diutus, rasanya tidak akan begitu berhasil.’ Saran yang diberikan oleh Hadhrat ‘Umar (ra) dibenarkan oleh Rasulullah (saw). Maka diutuslah Hadhrat ‘Utsman (ra) ke Makkah. Dari peristiwa itu nyatalah bahwa, di kalangan orang-orang kafir pun, Hadhrat ‘Utsman (ra) itu termasuk orang yang terpandang dan disegani.

Hadhrat ‘Utsman (ra) paling dihormati oleh Rasulullah (saw). Pada suatu peristiwa, ketika Rasululah (saw) sedang berbaring-baring, tiba-tiba datang Hadhrat Abu Bakr (ra), tetapi Rasulullah (saw) tetap berbaring. Kemudian datang pula Hadhrat ‘Umar (ra), tetapi beliau (saw) tetap berbaring juga. Tidak lama kemudian, datang pula Hadhrat ‘Utsman (ra). Begitu Hadhrat ‘Utsman (ra) datang, beliau (saw) lalu bangkit sambil membetulkan kain lalu beliau (saw) bersabda, إِنَّ عُثْمَانَ رَجُلٌ حَيِيٌّ وَإِنِّي خَشِيتُ إِنْ أَذِنْتُ لَهُ عَلَى تِلْكَ الْحَالِ أَنْ لاَ يَبْلُغَ إِلَىَّ فِي حَاجَتِهِ ‘‘Utsman adalah orang yang sangat pemalu. Karena menenggang perasaannya itulah, maka saya berbuat demikian.’[25]

Hadhrat ‘Utsman adalah salah seorang diantara segelintir sahabat yang sebelum baiat masuk Islam tidak pernah menyentuh minuman keras dan tidak mendekati zina. Ini merupakan keistimewaan yang hanya ditemukan pada segelintir orang, padahal pada masa itu di Arab minum-minuman keras merupakan satu kebanggaan dan zina dianggap sebagai aktifitas harian. Alhasil, beliau adalah bukan pribadi yang biasa-biasa, didalam diri beliau terdapat akhlak yang berderajat tinggi. Dari sisi duniawi beliau adalah figur yang terpandang dan baiat pada masa awal.

Hadhrat Rasulullah (saw) sangat ridha kepada beliau. Adapun Hadhrat ‘Umar (ra) menetapkan Hadhrat ‘Utsman termasuk dari antara enam orang yang telah meraih keridhaan Rasulullah (saw) pada level puncak sampai akhir hayat Rasulullah (saw). Belau juga termasuk kelompok asyrah mubasyarah (sepuluh orang yang mendapat kabar gembira) yang mana berkenaan dengan mereka Rasulullah (saw) telah mengabarkan nikmat surga.

Berkenaan dengan hari syahidnya Hadhrat ‘Utsman dikatakan, “Hadhrat ‘Utsman disyahidkan pada tanggal 17 atau 18 dzul hijjah 35 hijri, hari jumat.” Menurut Abu ‘Utsman Nahdi, “Beliau disyahidkan pada pertengahan hari Tasyriq yakni pada 12 Dzulhijjah.” Sedangkan menurut Ibnu Ishaq, peristiwa syahidnya Hadhrat ‘Utsman terjadi setelah berlalu 11 tahun 11 bulan 22 hari terhitung sejak kewafatan Hadhrat ‘Umar dan 25 tahun terhitung sejak wafatnya Rasulullah.

Dalam Riwayat lainnya, Abdullah bin Amru bin ‘Utsman meriwayatkan, “Hadhrat ‘Utsman wafat pada hari jumat tanggal 18 dzul hijjah 36 Hijri setelah shalat ashar pada usia 82 tahun.” Ketika disyahidkan beliau dalam keadaan puasa. Menurut Abu Ma’syar beliau disyahidkan di umur 75 tahun.

Berkenaan dengan pengurusan jenazah dan pemakaman beliau terdapat keterangan Niyar bin Mukrim yang berkata, “Pada hari sabtu, antara Maghrib dan Isya jenazah Hadhrat ‘Utsman diangkat oleh kami berempat yakni saya, Jubair bin Muth’im, Hakim bin Hizam dan Abu Jahm bin Huzaifah. Hadhrat Jubair bin Muth’im mengimami shalat jenazah beliau. Muawiyah membenarkan hal ini. Empat orang inilah yang turun ke dalam kuburan Hadhrat ‘Utsman.”

Dalam satu Riwayat, “Hadhrat Jubair bin Muth’im mengimami shalat jenazah Hadhrat ‘Utsman bersama dengan 16 orang lainnya.” Allamah Ibnu Sa’d berpendapat, “Riwayat yang pertama lebih sahih yakni oleh empat orang.”

Abdullah bin Amru bin ‘Utsman meriwayatkan, pada sabtu malam jenazah Hadhrat ‘Utsman dimakamkan di Hasykokab (حش كوكب) pada waktu antara magrib dan isya. Rabi bin Malik meriwayatkan dari ayahnya orang-orang berkeinginan untuk menguburkan jenazah orang-orang yang wafat di Hasykokab. Hasy artinya kebun kecil dan Kokab adalah nama seorang anshari, pemilik kebun tersebut, tempat ini benar benar berdekatan dengan Jannatul Baqi. Hadhrat ‘Utsman bin Affan selalu mengatakan, “Tidak lama lagi, seorang pria saleh akan wafat dan akan dikuburkan di sana yakni di Hasykokab dan orang-orang akan mengikutinya.” Malik bin Abu Amir meriwayatkan bahwa Hadhrat ‘Utsman adalah orang pertama yang dimakamkan di sana.

Berkenaan dengan pemakaman Hadhrat ‘Utsman terdapat riwayat bahwa para pengacau dan pemberontak selama tiga hari tidak membiarkan pemakaman Hadhrat ‘Utsman dilakukan. Sebagaimana disebutkan dalam Tarikh Ath-Thabari bahwa Abu Bashir Abdi meriwayatkan, jenazah Hadhrat ‘Utsman tidak dikafani dan dikuburkan sampai tiga hari lamanya. Hadhrat Hakim bin Hizam, Hadhrat Jubair bin Muth’im berbicara kepada Hadhrat Ali berkenaan dengan pengurusan jenazah beliau agar meminta izin kepada keluarga Hadhrat ‘Utsman untuk menguburkan jenazah beliau. Hadhrat Ali melakukannya. Keluarga Hadhrat ‘Utsman mengizinkan Hadhrat Ali.

Ketika para pengacau mendengar kabar tersebut, mereka datang ke jalan dengan membawa batu-batu. Beberapa orang datang beserta keluarga Hadhrat ‘Utsman dengan membawa jenazah ke salah satu tempat di sekitar Madinah yang disebut Hasykokab yang orang-orang Yahudi biasa memakamkan jenazah mereka di sana. Ketika jenazah Hadhrat ‘Utsman dibawa ke jalan, para pengacau itu melempari tempat yang digunakan untuk mengangkat jenazah dan berusaha untuk menjatuhkan jenazah beliau. Ketika kabar ini diketahui oleh Hadhrat Ali, beliau mengirim pesan kepada para pengacau itu untuk menghentikan perbuatannya itu. Akhirnya mereka menghentikannya lalu iring-iringan jenazah berlalu hingga dimakamkan di Hasykokab.

Ketika pamor Hadhrat Muawiyah semakin tinggi di kalangan orang-orang, beliau memerintahkan untuk merobohkan dinding sekitar Hasykokab sehingga menyatu dengan pemakaman Jannatul Baqi lalu memerintahkan orang-orang untuk menguburkan jenazah orang orang di sekitar makam Hadhrat ‘Utsman. Hingga area itu menyatu dengan kuburan umat Muslim. Dalam beberapa kitab sejarah terdapat keterangan, bahwa Hadhrat ‘Utsman sendiri yang membeli area tersebut dan menyatukannya dengan Jannatul Baqi. Alhasil, mungkin masih akan berlangsung sedikit lagi yang akan disampaikan lain waktu, insya Allah.

Sekarang, saya pun akan memimpin shalat jenazah beberapa yang wafat berikut ini. Pertama, Maulwi Muhammad Idris Tiro Sahib, Mubalig jemaat Pantai Gading, yang wafat di pertengahan malam 27,28 februari, setelah sakit yang singkat. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Beliau asli Pantai Gading, dan setelah menempuh pendidikan dasar, pergi ke Burkina Faso. Selain di ilmu keduniaan, beliau pun mahir di bahasa arab. Beliau baiat menjadi Ahmadi di tahun 60-an. di 1983, beliau pergi ke Pakistan atas keinginan sendiri, dan belajar di Jamiah Ahmadiyah Rabwah lalu mendapat taufik berkhidmat sebagai mubalig di Pantai Gading. Kemudian setelah berkhidmat di Ghana lalu Burkina Faso, pada 2007 kembali mendapat taufik berkhidmat di Pantai Gading.

Almarhum adalah seorang Mushi. Ada peristiwa di pakistan yang sangat menarik yang beliau sampaikan. Beliau membeli tiket pesawat dari tabungan beliau, dan ketika tiba di Pakistan, beliau tidak memberitahu siapapun baik ke jemaat Pantai Gading atau jemaat Pakistan. Beliau tiba dan sampai di Airport. Beliau sangat gelisah. Beliau melihat seorang dan pergi kepadanya; bahkan orang itu sendiri yang mendatanginya lalu bertanya, “Anda dari mana dan mau kemana?”

Bahasa Inggris dan Urdu pun beliau belum bisa. Beliau menyampaikan dalam beberapa patah kata bahasa Arab. Maka ia pun membawanya ke Ahmadiyah Hall. Kemudian ia memberitahukan, “istri saya malam bermimpi bahwa ada tamu seorang asing yang sedang datang, dan istri saya berkata bahwa saya harus menjemputnya, oleh karena itulah saya datang ke airport dan ketika saya melihat dari antara orang yang keluar dari airport, andalah yang tampak gelisah, saya pikir inilah tamu yang dilihat istri saya dalam mimpi.” Demikianlah Allah Ta’ala telah mengaturnya dan beliau kerap menceritakannya seraya berkata, “Saat itu saya terus berdoa; di perjalanan juga dan saat itu juga; dan ini adalah mukjizat doa bahwa Allah Ta’ala telah mengatur saya, dan sehari sebelumnya di Karachi, istri seorang Ahmadi itu bermimpi bahwa saya sedang dating.” Demikian beliau telah diatur sedemikian rupa dan tiba di Ahmadiyah Hall lalu sampai di Rabwah.

Beliau adalah sosok suci dan banyak berdoa. Qayum Pasha Sahib Missionary Incharge Pantai Gading berkata, “Selama tiga tahun, kami berkhidmat bersama di Burkina Faso; di Pantai Gading pun kami sempat bekhidmat bersama. Beliau sangat mencintai jemaat dan Masih Mau’ud (as). sangat berkorban dan dawam beribadah. Insan lurus hati dan sangat menolong orang. Beliau mengajak anak-anak ke rumahnya dan kerap membantu pendidikan dan kebutuhan mereka. Selalu terdepan di dalam tablig. Kelebihan beliau dalam menerima tamu pun menjadi kekhasan beliau. Cara bertablig beliau sangat baik dan beliau sangat berilmu. Orang-orang menyukai cara beliau. Dimanapun beliau bertablig, orang-orang datang ke dekat beliau. Beliau dawam tahajjud, bermimpi benar dan rela berkorban.”

Siddiq Jayalo Sahib Muallim Pantai Gading berkata, “Maulwi Idris Tiro Sahib sosok yang sangat setia kepada jemaat dan khilafat; senatiasa rela berkorban setiap waktu demi jemaat; saya tidak melihat ada seorang di Pantai Gading yang lebih dari beliau dalam mencintai jemaat. Ketika beliau ditanya bahwa apa kebangsaan beliau, beliau selalu menjawab, “Saya bukanlah Afrika, Eropa, atau apapun juga, kebangsaan saya dan identitas saya adalah Ahmadi.”

Beliau termasuk diantara para Ahmadi pertama di Pantai Gading. Basit Sahib muballig Pantai Gading menulis, “beliau selalu menekankan pada hubungan erat dengan khilafat dan berkata, “apapun yang saya dapatkan, semua hanya karena khilafat”.

Beliau pun insan yang sangat tinggi dalam keilmuan. Beliau mahir dalam bahasa Jula, bahasa ibu beliau, bahasa perancis, arab dan juga urdu. Beliau ahli dalam ilmu kalam dan perdebatan. Beliau sering berdebat dengan para ulama wahabi. Seorang ahmadi, Abdullah Sahib, mengutarakan satu peristiwa perdebatan di San Pedro. Beliau datang ke masjid wahabi dan telah ditentukan bahwa dalil-dalil yang disampaikan hanyalah dari Al-Qur’an. perdebatan berlangsung terus menerus dari jam 8 pagi hingga 6 sore yang hanya diselingi shalat. saat itu, maulwi sahib sedemikian rupa menyampaikan dalil-dalil yang mereka tak sanggup melawannya; di perdebatan itu, mereka menerima kekalahan dan ahmadiyah meraih kemenangan”. kemudian ia menulis, “sosok beliau seperti perpustakaan; di lapangan pertabligan, beliau hafal rujukan-rujukan dalil, baik itu dalam bahasa Urdu, arab, perancis, apapun bahasanya, saat itu juga beliau menyebutkannya. Beliau selalu menjadikan doa sebagai senjata beliau dan selalu menasihati semua untuk berdoa.

Beliau meninggalkan seorang istri, empat putri, dan satu putra. Semoga Allah Ta’ala menjadikan mereka terdepan dalam hubungan dengan jemaat; dan semoga sesuai dengan keinginan beliau, mereka pun menjadi bagian dari nizam ini. memang hubungannya tidak banyak, namun semoga Allah Ta’ala menurunkan karunia-Nya. Semoga Allah Ta’ala pun menurunkan magfirat dan belas kasih-Nya kepada beliau dan meninggikan derajatnya.

Jenazah kedua, Mukarramah Amina Naiga Kare Sahibah, istri Muhammad Ali Kare Sahib, Amir dan Missionary Incharge Uganda yang wafat 20 Februari. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Seorang wanita yang rendah hati, berilmu, dan pemberani. Suami beliau, Kare Sahib berkata, “salah satu sebab utama saya menjadi murabbi yang sukses adalah istri saya. Beliau asli Uganda, namun berkepribadian ikhlas dan setia.” beliau berkata, “ketika kami menikah, usianya adalah 19 tahun. Saat itu tidak dapat membaca Al-Qur’an. namun karena bersemangat dan rajin, akhirnya mampu membaca Al-Qur’an serta berupaya untuk merenungi maknanya. Beliau mendapat karunia berkhidmat di berbagai macam kedudukan di jemaat. Di 2005, saya mengangkat beliau sebagai Sadr Lajnah. Beliau sangat gemar bertablig. Sempat juga dipenjara satu dua kali, akibat kejahatan yang dituduhkan. bukanlah ia yang bersalah. Hanya secara aniaya beliau dipaksa untuk dipenjara.

Beliau adalah contoh dalam hal tarbiyat. Dengan sangat pemberani beliau menjawab kebaratan-keberatan luar jemaat. Putri beliau berkata, “di setiap kesempatan, baik sehat maupun sakit, selalu dawam mendirikan shalat. Setiap tahun beritikaf di bulan ramadhan. Beliau tabah menghadapi tuduhan pribadi, namun sama sekali tak tega bila dalam urusan agama. Beliau pun mendapat karunia menjalin hubungan hingga di berbagai tingkatan politik. Beliau adalah musiah. Beliau meninggalkan suami beserta enam anak, dua diantaranya adalah mubalig.

Jenazah selanjutnya Mukarram Nuhi Qazaq Sahib Syam yang wafat 10 Desember di usia 48 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Ahmadiyah masuk ke keluarga beliau di tahun 1928 ketika Hz. Maulana Jalaluddin Shams Sahib berkunjung ke Haifa dari Damaskus. Dari tablig Mukarram Rashid Baqis Busti Sahib yaitu Ahmadi pertama di Haifa, kakek buyut beliau yaitu Ali Salih Qazaq Sahib beserta saudara laki-laki beliau, Muhammad Qazaq Sahib – ayah Taha Qazaq Sahib yang pernah sebagai Sadr Jemaat Yordania – baiat bersama keluarganya. Kemudian saat berdirinya Israel, keluarga beliau hijrah ke Damaskus. Beliau Ahmadi yang sangat tulus. Dawam shalat dan puasa. Dawam membayar candah. Cinta kepada khilafat. senantiasa terdepan dalam pengkhidmatan di jemaat. Meskipun miskin, beliau membantu yang lain secara materi; sosok yang baik dan berbelas kasih. beliau meninggalkan dua istri dan tiga putri yang masih belia. Dua putri beliau ikut waqfenou.

Wasim Muhammad Sahib, sadr jemaat menyatakan, “kapanpun beliau dipanggil untuk berkhidmat, khususnya membawa yang sakit dan terluka ke rumah sakit – keadaan di Syiria adalah seperti demikian – tanpa enggan beliau segera mengerjakannya. Demikian pula ketika mengantar anggota majlis amilah untuk kunjungan. Beliau memberikan mobil dan berkhidmat bersama-sama mereka. Kapanpun diperlukan, beliau segera datang dan memperlihatkan pengkhidmatan yang penuh semangat dan menyelesaikan segala tugas dengan kegigihan hati. Beliau membayar candah dengan sangat dawam, dan di akhir hidup beliau sangat banyak berkorban. Beliau kerap membantu sesama Ahmadi secara materi” kemudian menulis, “beliau karena kesederhanaan, sifat pendiam, keikhlasan, pengkhidmatan pada sesama, dan ketulusan niatnya, meninggalkan pengaruh yang baik pada semua.

Istri beliau, Khadijah Ali Sahibah berkata, “suami saya, dengan karunia Allah, adalah Ahmadi yang sangat tulus. Beliau sangat mencintai jemaat. Beliau sangat senang bila dapat membantu yang lain; membantu saya dalam pekerjaan rumah tangga; sangat mencintai semua putrinya dan memperhatikan tarbiyat mereka. Kerap duduk lama bersama mereka menceritakan hal-hal tentang jemaat. Dengan karunia Allah, hingga akhir hayat pun beliau terus berkhidmat untuk jemaat, dimana beliau sendiri amat gembira akan hal ini.

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 32)

Saudara sepupu beliau, Akram Salman Sahib berkata, “sebelum baiat, saya baiat melalui beliau, sebelum baiat pun kami merupakan saksi akan ketinggian akhlak beliau. saat itu keadaan beliau secara materi tidaklah sangat baik, namun demikian beliau sering membantu keluarga yang miskin. Satu hal yang membekas bagi saya, satu waktu beliau mendapat pekerjaan yang sangat baik dimana semua hutang beliau menjadi lunas. Namun kemudian beliau bukannya mengumpulkan harta, justru beliau memberikan uang yang cukup banyak kepada para bibinya yang miskin seraya berkata, “jika saya sehat dan tak lagi berhutang, maka saya telah kaya; dan harta yang berlebih, hendaknya dan pasti akan saya belanjakan kepada yang membutuhkan”. Perktaannya ini sangat mengherankan bagi saya, karena sepanjang hidup saya tidak pernah melihat sesosok yang sedemikian sederhana, dan sungguh sungguh dalam pengorbanan harta selain beliau” kemudian berkata, “setelah kami bersaudara baiat, kami sangat berupaya dalam hal tarbiyat dan menjalin hubungan dengan khilafat. beliau kerap menceritakan berbagai peristiwa menggugah terkait meraih keberkatan-keberkatan khilafat, yang darinya semakin menumbuhkan kecintaan kepada khilafat di dalam jiwa.

Saudara beliau, Mu’taz Qazaq Sahib, dosen Jamiah Kanada menulis, almarhum saudara saya sangat tulus dan mencintai khilafat. meskipun kakek buyut kami ahmadi, kami tak mengetahui tentang ahmadiyah. Saudara saya pergi dari Aleppo ke Damaskus untuk menghadiri shalat jenazah dan bertemu para Ahmadi di sana dan bertukar pikiran tentang ahmadiyah. Setelah kembali, saya melihat ia sangat menangis dalam shalat. Saya sangat heran atas perubahan tiba-tiba beliau ini. kemudian setelah penelitian seksama, apa itu ajaran jemaat, dan setelah menyaksikan satu rukya, saya pun baiat untuk kedua kali. Perubahan suci saudara saya ini berpengaruh besar dalam baiat saya – Baiat kedua maksudnya, sebelumnya keluarga beliau telah baiat dan menjadi keturunan ahmadi, namun secara tindakan ia bukan ahmadi, sehingga dengan sungguh-sungguh baiat kedua kali – Beliau pun sangat gemar bertablig. Sangat banyak berdoa demi khalifah. beliau masuk dalam gerakan wasiyat. Beliau merasa akhir hayat beliau yang dekat, dimana ini beliau sampaikan beberapa hari sebelum kewafatan kepada ibu dan istri-istri beliau.

Jenazah selanjutnya, Mukarramah Farhat Nasim Sahibah dari Rabwah, istri Mukarram Muhammad Ibrahim Sahib Hanif yang dikenal dengan Master Sarcori Sahib, wafat 26 desember di usia 86 tahun. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun. Ayah beliau Hz. Mia Ilm Din sahib. Kakek beliau Hz. Mia Qutbuddin Sahib Lodhi Nanggal distrik Gurdaspur, yang merupakan sahabat Hz. Masih Mau’ud (as). banyak sekali kelebihan beliau. dawam shalat dan puasa, dawam bertahajud, penyabar, selalu bersyukur, banyak berdoa, berkepribadian sederhana, membantu mereka yang miskin, sangat setia kepada khilafat, wanita yang tulus dan terpuji. Beliau terdepan dalam berbagai gerakan pengorbanan harta. Mndapat taufik untuk berkali-kali membelanjakan perhiasan beliau di dalam berbagai gerakan pengorbanan harta. Almarhumah seorang musiah. Beliau meninggalkan tiga putra dan tiga putri, serta banyak cucu. Dua cucu beliau adalah murabbi jemaat dan satu putra beliau pun adalah murabbi jemaat. semoga Allah Ta’ala menganugerahkan almarhuman dengan magfirat dan belas kasih-Nya. Semoga kepada mereka semua, Allah menganugerahkan maghfirat dan belas-kasih-Nya, dan meninggikan derajat mereka semua.[26]

Khotbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ

وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –

 وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ

يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –

أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK) dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Sebagian penerjemahan yang membahas kutipan dari Khalifatul Masih II yang berasal dari buku ‘Awal Mula Perpecahan dalam Islam’ ialah dengan merujuk terjemahan karya Mln. Yaqin Munir & Mln. Munirul Islam terbitan tahun 2013. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)


[1] Tarikh at-Thabari, vol. 5, p. 150, Dhikru Masiri Mann Sara Ila Dhi Khashabin Min Ahli Misra (ذكر مسير من سار إِلَى ذي خشب من أهل مصر), Published by Darul-Fikr, Beirut, 2002

[2] Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmdu Ahmad, Khalifatul Masih II (ra) dalam buku ‘Islam me Ikhtilaafat ka Aghaz’ (Awal Mula Perpecahan dalam Islam).

[3] Ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبرى لابن سعد), bab ketiga (المجلد الثالث), bahasan ‘Utsman saat akan diminta melepaskan jabatan (ذكر ما قيل لعثمان في الخلع). Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-35 (سنة خمس وثلاثين), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة). Ketika memasuki bulan Syawal tahun 35 H, penduduk Mesir bersiap diri dengan empat rombongan yang dipimpin oleh empat kepala rombongan. Jumlah mereka minimal 600 orang dan maksimal 1000 orang. Di antara para pemimpin mereka adalah Abdurahman bin Udais Al Balawi (الرَّحْمَن بن عديس البلوى), Kinanah bin Bisyr At-Tujaibi (كنانه بن بشر التجيبى), Urwah bin Syaibam al-Laitsi (عروه بن شيبم الليثى), Abu Amru Abdullah bin Budail bin Warqa Al Khuzai (ابو عمرو بن بديل بن ورقاء الخزاعي), Sawad bin Ruman As-Sakuni (سواد بن رومان الأصبحي), Zara bin Yasykur Al Yafii (زرع بن يشكر اليافعى), Saudan bin Humran As-Sakuni (سودان ابن حمران السكوني), dan Qutairah bin Fulan As-Sakuni (قتيرة بن فلان السكوني). Komandan tertinggi dari seluruh rombongan adalah Al-Ghafiqi bin Harb Al Akki (الغافقي بن حرب العكي). Rombongan Kufah dengan jumlah yang hampir sama dan memecah menjadi empat rombongan dengan pemimpin-pemimpinnya: Zaid bin Shuhan Al-Abdi (زَيْد بن صُوحَانَ العبدي), Al Asytar An-Nakha’i (الأشتر النخعي), Ziyad bin Nadhar Al-Haritsi (زياد بن النضر الحارثي), Abdullah bin Al-Asham (عبد اللَّه بن الأصم) dan Amru bin Al-Asham (عَمْرو بن الأصم). Rombongan dari Bashrah: Hukaim bin Jabalah Al Abdi (حكيم بن جبلة العبدى), Dzarih bin Ubbad AlAbdi (ذريح ابن عباد العبدي), Bisyr bin Syuraih (بشر بن شريح), Al-Hutham bin Dhubaiah Al Qaisi (الحطم بن ضبيعه القيسى), lbnu Al Maharrisyi bin Abdi bin Amru Al Hanafi (ابن المحرش ابن عبد بن عَمْرو الحنفي) dan Hurqus bin Zuhair As-Sa’di (حرقوص ابن زهير السعدي). Selain itu, banyak penduduk kota lain yang ikut masuk dalam ketiga pasukan tersebut. Mereka berpakaian seperti rombongan Haji sehingga tidak terlihat sebagai sebuah pasukan. Kitab ath-Thabaqaat al-Kubra menyebut sebagian nama-nama diatas dan menambahkan nama Amru bin Hamiq (عمرو بن الحمق الخزاعي) dari rombongan Mesir. Sebagian tokoh-tokoh pemberontak ini bergabung (menempel) dengan pasukan Hadhrat ‘Ali (ra). ‘Abdullah bin Saba’ diasingkan oleh Khalifah ‘Ali (ra). Al-Ghafiqi termasuk rombongan Khawarij yang memberontak kepada Khalifah ‘Ali (ra) di perang Nahawand dan ditewaskan pasukan ‘Ali. Muhammad bin Abu Bakr dan al-Asytar menjadi panglima Hadhrat ‘Ali (ra) dan tewas dalam peperangan melawan pasukan Mu’awiyah. termasuk di dalamnya ialah Kinanah bin Bisyr. Abdurrahman bin Udais diburu oleh Mu’awiyah dan tewas. Begitu juga Amr bin Hamiq.

[4] Ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبرى لابن سعد), (ذكر الشورى وما كان من امرهم), (رقم الحديث : 2875).

[5] Ansabul Asyraf (أنساب الأشراف للبلاذري خبر قدوم المصعب بن الزبير الكوفة ويوم حروراء ومقتل المختار بن ابي عبيد) nomor 1690. Tafsir Ibnu Abu Hatim (تفسير ابن أبي حاتم – ابن أبي حاتم الرازي – ج ٦ – الصفحة ٢٠٧٥), Tafsir Ibnu Katsir (تفسير ابن كثير), bahasan Surah Hud (سورة هود [سورة هود (11) : الآيات 89 إلى 90]).

[6] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (مُصنف ابن أبي شيبة) karya Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-‘Absi al-Kufi (أبو بكر عبد الله بن محمد بن أبي شيبة العبسي الكوفي), nomor 38819.

[7] Ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبرى لابن سعد), bab ketiga (المجلد الثالث), bahasan sabda ‘Utsman saat akan diminta melepaskan jabatan (ذكر ما قيل لعثمان في الخلع ، وما قال لهم)

[8] Ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبرى لابن سعد), bab ketiga (المجلد الثالث), bahasan sabda ‘Utsman saat akan diminta melepaskan jabatan (ذكر ما قيل لعثمان في الخلع ، وما قال لهم)

[9] Ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبرى لابن سعد), bab ketiga (المجلد الثالث), bahasan sabda ‘Utsman saat akan diminta melepaskan jabatan (ذكر ما قيل لعثمان في الخلع ، وما قال لهم).

[10]

[11] Tarikh ath-Thabari.

[12] Kejadian pensyahidan ialah setelah Ashar hingga Maghrib.

[13] Menurut Kitab ath-Thabari, pelaku penganiayaan dan pembunuhan di hari kejadian kebanyakan rombongan Mesir seperti contohnya Kinanah bin Bisyr, Saudan bin Humran, Qutairah dan al-Ghafiqi. Mereka dan kawan-kawannya masuk ke ruangan Hadhrat ‘Utsman (ra) setelah kesal dan marah karena empat orang – termasuk Muhammad bin Abu Bakr – yang mereka utus membunuh Hadhrat ‘Utsman (ra) satu demi satu malah tersadarkan oleh ucapan Hadhrat ‘Utsman (ra). Setelah sadar, mereka mundur dan pergi tidak mau melihat dan terlibat. Peran Muhammad bin Abu Bakr ialah di bagian menjelang penyerangan mendorong mempercepat pembunuhan demi melihat Imam Hasan (ra) terluka parah dipanah pemberontak di depan pintu rumah. Sebab, bila keluarga besar Banu Hasyim – asal keluarganya – melihat hal ini, mereka pasti akan tidak terima. Marwan bin Hakam – dari keluarga besar Banu Umayyah – juga terluka parah. Begitu juga Ibnu Zubair.

[14] Tarikhut-Tabari, vol. 5, pp. 176/181-182, Dhikrul-Khabari ‘An Qatlihi Wa Kaifa Qutila, Published by Darul-Fikr, Beirut, 2002

[15] Tercantum dalam Tarikh at-Thabari dan Al-Bidayah wan Nihaayah (البداية والنهاية), tahun ke 35 (ثم دخلت سنة خمس وثلاثين), jalannya pembunuhan beliau (صفة قتله رضي الله عنه)

[16] Tarikh ath-Thabari menyebut dalam proses pembunuhan itu, tiga orang gerombolan tewas dan tiga pembantu Hadhrat ‘Utsman (ra) juga syahid. Tiga nama orang yang tewas dari kalangan pemberontak yaitu Saudan, Qutairah dan Kultsum bin Tujib. Kultsum hendak mendekati Nailah dan merenggut pakaian beliau sembari mengucapkan kata-kata tidak senonoh namun salah seorang mantan budak Hadhrat ‘Utsman (ra) menyerang dan membunuh Kultsum. Akibatnya, pelayan tersebut dibunuh juga oleh pemberontak lainnya. Di dalam ruangan kamar Hadhrat ‘Utsman (ra) ada tiga jenazah yaitu beliau (ra), seorang pelayan beliau dan seorang pemberontak. Di luar ruangan tapi masih di dalam rumah ada empat jenazah yaitu dua pelayan Hadhrat ‘Utsman (ra) dan dua pemberontak atau penyerang. Luas rumah Hadhrat ‘Utsman (ra) digambarkan dalam riwayat dapat memuat 700 orang dan bertingkat. Tingkat atas didiami beliau. Jauh jarak antara kamar dan pintu gerbang sedemikian rupa sehingga suara gaduh di kamar tersebut tidak sampai ke pintu gerbang rumah. Perlu diketahui juga bahwa umur Nailah saat kejadian dibawah 30 tahun dan pada saat pernikahan ialah Muallaf (Muslim baru baiat). Asalnya dari keluarga Kristen Bani Kalb. Saat pernikahan, yang menjadi wali ialah abang beliau yang sudah Muslim, sementara keluarga beliau lainnya Kristen.

[17] Bolshevisme ialah gagasan komunis ekstrim yang demi persamaan mereka melakukan kekerasan termasuk menggulingkan raja, dalam hal ini yang pernah terjadi ialah terbunuhnya Tsar Rusia. Istilah sosialisme biasanya ditujukan pada gagasan persamaan yang untuk mencapainya dengan perjuangan non kekerasan.

[18] Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra) dalam buku ‘Islam me Ikhtilaafat ka Aghaz’ (Awal Mula Perpecahan dalam IslamThe Outset of Dissension in Islam).

[19] Rincian kata-kata kotor (tidak senonoh) – bahkan lebih dari itu – yang diucapkan atau dilakukan oleh salah seorang – bahkan dua orang – pelaku pengeroyokan dan pembunuhan Hadhrat ‘Utsman (ra) tidak disampaikan di sini. Menurut Sejarah, diantaranya hal itu tercantum dalam Tarikh ath-Thabari. Pelakunya ialah Sudan bin Hamran dan Kultsum bin Tujib. Sudan dan Kultsum dibunuh oleh dua maula (budak yang telah merdeka) dari Hadhrat ‘Utsman (ra). Para pembaca bisa membacanya sendiri di Kitab Tarikh ath-Thabari yang sudah ada terjemahan dan terbitannya dalam bahasa kita di penerbit buku-buku Islam.

[20] Rujukan al-Bidayah wan Nihaayah karya Ibnu Katsir menyebutkan bahwa pada hari kejadian pensyahidan Hadhrat ‘Utsman (ra), Hadhrat ‘Aisyah (ra) tidak berada di Madinah, tapi tengah berada di Makkah. Kejadian yang disebutkan Hudhur II (ra) terjadi dekat Bashrah beberapa bulan kemudian tatkala ‘Aisyah, Thalhah dan Zubair bersama rombongan pasukan dari Makkah pergi ke Bashrah sedang menegakkan hukum qishash (pembalasan) kepada para pemberontak. Hukaim bin Jabalah dan kawan-kawan pemberontaknya tewas dalam kesempatan ini. Setelah Bashrah dikuasai, pasukan Hadhrat ‘Aisyah mengumumkan kepada para kabilah agar membawakan anggota mereka yang terlibat penyerangan Madinah untuk dihukum. Puluhan kabilah membawa anggota mereka yang terlibat dan pasukan ‘Aisyah mengeksekusi mereka satu demi satu. Sebagian Kabilah mempersiapkan diri melakukan perlawanan dengan tetap melindungi anggota mereka. Kejadian ini dihentikan ketika utusan dari Khalifah ‘Ali (ra) datang dan pasukan Hadhrat Khalifah ‘Ali (ra) datang ke arah Bashrah.

[21] Siyaar A’lamin Nubala karya adz-Dzahabi. Tokoh pemberontak Bashrah seperti Hukaim bin Jabalah, termasuk yang melempari batu ke Khalifah ‘Utsman (ra) yang tengah berpidato di mimbar Nabi (saw) pada hari-hari pertama pemberontakan. Tokoh pemberontak rombongan Kufah, Malik bin Harits al-Asytar an-Nakhai dan kawan-kawannya pada hari kejadian berperan menahan Hadhrat ‘Ali (ra) yang tengah berjalan bersama Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash menuju rumah Hadhrat ‘Utsman (ra). Tindakan Asytar ini nantinya membuat Hadhrat ‘Ali (ra) disangkakan terlibat pembunuhan Khalifah ‘Utsman (ra). Asytar meriwayatkan bila Hadhrat ‘Ali (ra) berada di rumah Hadhrat ‘Utsman (ra) maka tidak akan terjadi yang mereka inginkan. Ia pun memerintahkan kawan-kawannya agar Hadhrat ‘Ali (ra) diminta duduk-duduk bersama mereka bersamaan tokoh-tokoh rombongan Mesir merangsek masuk rumah Khalifah dan membunuhnya. Namun, bukan berarti benar opini Asytar yang dikatakan bertahun-tahun setelah peristiwa ini. Upaya pembunuhan akan tetap ada karena pucuk pimpinan mereka sendiri sudah keras kepala walau mungkin tertunda. Seandainya pun pasukan dari daerah-daerah sudah datang ke Madinah, tetap saja para pemberontak sudah mengepung dan menguasai rumah Khalifah ‘Utsman (ra). Beberapa waktu setelah pembunuhan, Nailah, istri Hadhrat ‘Utsman (ra) menulis surat kepada Amir Mu’awiyah di Syam sembari menggambarkan isu yang berkembang diantara pengepung Khalifah ‘Utsman (ra) ialah penduduk Madinah dan selain beberapa pemberontak, beberapa tokoh Sahabat seperti Hadhrat ‘Ali (ra), Hadhrat Zubair (ra) dan Hadhrat ‘Ammar (ra) terlibat mendorong pembunuhan tersebut [rujukan al-Iqdul Farid]. Hal ini tentu menambah kemarahan yang salah sasaran dari pihak Muawiyah dan orang-orang Syam terhadap Hadhrat ‘Ali (ra).

[22] Khilafat Rasyidah karya Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra).

[23] Tarikh Madinah Dimasyq (تاريخ مدينة دمشق – ج 39 – عثمان بن عفان) dan Tarikh ath-Thabari.

[24] Khilafat Rasyidah karya Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra).

[25] Shahih Muslim, Kitab keutamaan Shahabat (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), bab keutamaan ‘Utsman (باب مِنْ فَضَائِلِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رضى الله عنه), nomor 2402a.

[26] Original Urdu transcript published in Al Fazl International, 2 April 2021, pp. 5-9. Translated by The Review of Religions.

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.