Riwayat Utsman bin ‘Affan (Seri-8)
Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 109, Khulafa’ur Rasyidin Seri 15)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 1)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 2)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 3)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 4)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 5)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 6)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 7)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 8)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 9)
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 02 April 2021 (Syahadat 1400 Hijriyah Syamsiyah/19 Sya’ban 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Sebelum khotbah minggu lalu, pembahasan masih berlangsung seputar Hadhrat ‘Utsman ra. Pada hari inipun masih akan berlanjut. Sifat pemalu dan bersih dari dosa sangat mempengaruhi dalam diri Hadhrat ‘Utsman. Mengenai hal itu terdapat Riwayat. Hadhrat Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) pernah bersabda, أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهُمْ فِي دِينِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ وَأَقْضَاهُمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَأَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينًا وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ “Di kalangan umat saya yang paling penuh kasih sayang terhadap umat saya adalah Abu Bakr (ra), yang paling gigih dan tegas dalam memegang agama adalah ‘Umar (ra), yang paling pemalu adalah Utsman (ra), yang paling baik dalam memutuskan adalah Ali bin Abi Thalib (ra), yang paling memahami kitab Allah yaitu Al-Qur’an adalah Ubay bin Ka’b (ra), yang paling alim (paham) mengenai hukum halal dan haram adalah Mu`adz bin Jabal (ra) dan yang paling memahami mengenai ilmu Faraidh (hukum waris) adalah Zaid bin Tsabit (ra). Dengarlah! Bagi setiap umat memiliki seorang amiin (yang dipercaya) dan amiin umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah (ra).”[1]
(عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) Hadhrat Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) bersabda, أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ “Yang paling pengasih adalah Abu Bakr, yang paling tegas dalam mengamalkan perintah Tuhan adalah ‘Umar dan yang paling pemalu adalah ‘Utsman.[2]
Hadhrat ‘Utsman bin Affan bersabda, مَا تَغَنَّيْتُ وَلَا تَمَنَّيْتُ “Saya tidak pernah bersikap lalai dan saya tidak pernah berangan-angan.”[3] Maksudnya, tidak pernah membuat menikmati hiburan yang melalaikan dan menjurus nafsu dan tidak berhasrat untuk duduk di kursi Khilafat atau suatu jabatan apapun atau berangan-angan untuk itu.
Berkenaan dengan sifat pemalu beliau, Hadhrat Aisyah meriwayatkan, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُضْطَجِعًا فِي بَيْتِي كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ فَاسْتَأْذَنَ أَبُو بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ عَلَى تِلْكَ الْحَالِ فَتَحَدَّثَ ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُمَرُ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ كَذَلِكَ فَتَحَدَّثَ ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُثْمَانُ فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَسَوَّى ثِيَابَهُ “Suatu ketika Rasulullah (saw) tengah berbaring di rumah saya dalam keadaan paha atau betis beliau yang terbuka. Hadhrat Abu Bakr memohon izin untuk masuk, Rasulullah (saw) mengizinkan beliau masuk dalam keadaan yang sama lalu berbincang dengan Hadhrat Abu Bakr. Kemudian datang Hadhrat ‘Umar dan meminta izin untuk masuk, Rasulullah (saw) mengizinkan beliau masuk dalam keadaan yang sama lalu berbincang dengan Hadhrat ‘Umar. Kemudian Hadhrat ‘Utsman memohon izin untuk masuk, Rasulullah (saw) bangkit dan merapikan pakaian.
Perawi yang bernama Muhammad [مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي حَرْمَلَةَ، عَنْ عَطَاءٍ، وَسُلَيْمَانَ، ابْنَىْ يَسَارٍ وَأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ] berkata, وَلاَ أَقُولُ ذَلِكَ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ – فَدَخَلَ فَتَحَدَّثَ فَلَمَّا خَرَجَ قَالَتْ عَائِشَةُ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَلَمْ تَهْتَشَّ لَهُ وَلَمْ تُبَالِهِ ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَلَمْ تَهْتَشَّ لَهُ وَلَمْ تُبَالِهِ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ فَجَلَسْتَ وَسَوَّيْتَ ثِيَابَكَ فَقَالَ “Saya tidak mengatakan kejadian ini terjadi dalam satu hari, bisa saja dalam waktu berbeda. Sepulangnya Hadhrat ‘Utsman, Hadhrat Aisyah bertanya, ‘Ketika Abu Bakr datang, Anda (Rasulullah (saw)) tidak memberikan perhatian yang khas, begitu pun Ketika Hadhrat ‘Umar datang, Anda (Rasulullah (saw)) tidak memberikan perhatian yang khas, namun Ketika Hadhrat ‘Utsman masuk, Anda langsung bangkit duduk dan merapikan pakaian.’
Rasul menjawab, أَلاَ أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلاَئِكَةُ؟ Tidak bolehkah saya menghargai orang yang kepadanya Malaikat pun merasa segan?’”[4]
Dalam menjelaskan Riwayat ini pada tempat lain tertulis, “Ketika Hadhrat Aisyah bertanya kepada Rasulullah (saw), يَا رَسُولَ اللَّهِ، دَخَلَ عَلَيْكَ أَصْحَابُكَ فَلَمْ تُصْلِحْ ثَوْبَكَ، وَلَمْ تُؤَخِّرْنِي عَنْكَ حَتَّى دَخَلَ عُثْمَانُ؟ ‘Kenapa Anda hanya memberikan perhatian khas ketika datang Hadhrat ‘Utsman?’
Rasulullah (saw) bersabda, يَا عَائِشَةُ، أَلا أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلائِكَةُ؟ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنَّ الْمَلائِكَةَ لَتَسْتَحِي مِنْ عُثْمَانَ كَمَا تَسْتَحِي مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَلَوْ دَخَلَ وَأَنْتِ قَرِيبَةٌ مِنِّي، لَمْ يَرْفَعْ رَأْسَهُ، وَلَمْ يَتَحَدَّثْ حَتَّى يَخْرُجَ ‘Tidak bolehkah saya merasa malu dengan orang yang disegani oleh para malaikat? Demi Dzat yang dalam kekuasaan-Nya terdapat jiwa Muhammad, sudah barang tentu para malaikat merasa segan terhadap Hadhrat ‘Utsman seperti halnya Malaikat merasa segan terhadap Allah Ta’ala dan RasulNya. Jika ‘Utsman datang dan dekat dengan saya maka sampai kepulangannya ia tidak mengangkat kepala.’” Artinya, tidak meninggikan pandangannya dan tidak juga berkata-kata dikarenakan begitu pemalunya beliau.[5]
Dalam menjelaskan sifat al-Karim (Maha Mulia) Allah Ta’ala, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan kisah Hadhrat ‘Utsman tersebut, bersabda, “Terdapat satu peristiwa pada zaman Rasulullah (saw) yang darinya dapat diketahui bahwa seseorang yang memiliki sifat pengasih, disegani. Terdapat dalam hadits, suatu ketika Rasulullah (saw) tengah berbaring di rumah beliau dalam keadaan satu bagian kaki beliau terbuka. Hadhrat Abu Bakr datang dan duduk begitu pun Hadhrat ‘Umar datang dan duduk, namun Rasulullah (saw) tetap pada posisi semula.
Tidak lama kemudian, Hadhrat ‘Utsman datang dan mengetuk pintu, mengetahui hal itu Rasulullah (saw) segera bangkit dan duduk lalu menutupi bagian kaki yang terbuka dengan kain dan bersabda, ‘Utsman adalah seorang yang sangat pemalu, saya merasa malu membiarkan sebagian kaki saya terbuka di hadapannya. Sebagaimana terdapat dalam hadits bahwa Hadhrat Aisyah meriwayatkan, suatu ketika Rasulullah (saw) tengah berbaring di rumah dalam keadaan kain tersingkap dari betis beliau. Dalam keadaan demikian, Hadhrat Abu Bakr mohon izin untuk masuk, Rasul tetap dalam keadaan berbaring lalu mengizinkan masuk dan berbincang bincang. Kemudian datang Hadhrat ‘Umar, Rasul tetap dalam keadaan berbaring dan mengizinkan masuk.
Tidak lama kemudian, Hadhrat ‘Utsman datang, Rasulullah (saw) langsung bangkit berdiri dan merapikan pakaian dan mengizinkan Hadhrat ‘Utsman masuk. Ketika semua orang sudah pulang, Hadhrat Aisyah bertanya kepada Hadhrat Rasulullah (saw), ‘Wahai Rasulullah (saw)! Ketika Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat ‘Umar datang, Anda tidak memberikan perhatian yang khas dan terus berbaring, namun ketika Hadhrat ‘Utsman datang, tuan segera bangkit dan merapikan pakaian.’
Rasul bersabda, ‘Wahai Aisyah! Tidak bolehkah saya merasa malu kepada orang yang disegani oleh Malaikat?’[6]
Perhatikanlah, Hadhrat Rasulullah (saw) menghargai sifat pemalu Hadhrat ‘Utsman, karena beliau pemalu.”
Hadhrat ‘Utsman pemalu, untuk itu Rasulullah (saw) pun merasa segan kepada beliau. Dalam menjelaskan peristiwa ini, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Karena Allah Ta’ala Maha Pengasih seharusnya manusia berusaha untuk terhindar dari dosa-dosa. Hendaknya merasa malu dan menaati perintah-Nya. Jangan berpikir bahwa disebabkan oleh sifat-Nya Yang Maha Pengasih, lantas malah semakin berani dalam melakukan dosa, karena Allah akan mengasihi.”
Beliau bersabda: “Hendaknya perlu diingat bahwa jika Allah Ta’ala memiliki sifat Pengasih, maka manusia hendaknya merasa malu dan berusaha untuk terhindar dari dosa-dosa.”[7]
Berkenaan dengan tawadhu dan kesederhanaan beliau diriwayatkan, Abdullah Rumi (عَبْدِ اللَّهِ الرُّومِيِّ) meriwayatkan, Hadhrat ‘Utsman biasa menyiapkan air wudhu sendiri di malam hari. Dikatakan kepada beliau, jika tuan memerintahkan seorang pelayan, maka ia akan menyiapkannya untuk tuan. Hadhrat ‘Utsman bersabda, لا. اللَّيْلُ لَهُمْ يَسْتَرِيحُونَ فِيهِ ‘Malam adalah milik orang-orang yang beristirahat.’[8] Maksudnya harus memberikan kesempatan kepada para pelayan untuk beristirahat di malam hari.
Alqamah bin Waqas (عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ) meriwayatkan, قَالَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ لِعُثْمَانَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ: يَا عُثْمَانُ إِنَّكَ قَدْ رَكِبْتَ بِهَذِهِ الأُمَّةِ نَهَابِيرَ مِنَ الأَمْرِ فَتُبْ وَلْيَتُوبُوا مَعَكَ. “Hadhrat Amru bin As berkata kepada Hadhrat ‘Utsman yang tengah berada di mimbar, ‘Wahai ‘Utsman! Anda telah memasukkan umat ini ke dalam urusan yang sangat pelik, Anda telah berpidato dan memberikan nasihat kepada umat. Karena itu, bertobatlah Anda dan juga orang-orang yang Anda nasihati.’” Sahabat itu memperingati Hadhrat ‘Utsman untuk takut kepada Tuhan seperti itu.
Perawi mengatakan, فَحَوَّلَ وَجْهَهُ إِلَى الْقِبْلَةِ فَرَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ. وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ “Mendengar itu, saat itu juga Hadhrat ‘Utsman mengarahkan wajahnya ke arah kiblat lalu mengangkat kedua tangan dan berdoa, ‘Allahumma innii astaghfiruka wa atuubu ilaika. Ya Allah! Sesungguhnya hamba memohon ampunan kepada Engkau dan tunduk kepada Engkau.’ Orang-orang yang hadir pada saat itu pun ikut mengangkat tangan dan berdoa seperti itu.[9]
Seperti itulah rasa takut beliau kepada Allah Ta’ala dan kerendahhatian beliau, yakni beliau tidak lantas berdebat dengan orang itu, melainkan segera mengangkat kedua tangan untuk berdoa. Beliau mendoakan untuk diri sendiri dan juga umat.
Berkenaan dengan kedermawanan beliau infaq di jalan Allah yang beliau lakukan terdapat beberapa Riwayat. Hadhrat ‘Utsman sendiri meriwayatkan, لَقَدْ اخْتَبَأْتُ عِنْدَ رَبِّي عَشْرًا : إِنِّي لَرَابِعُ أَرْبَعَةٍ فِي الْإِسْلَامِ ، وَمَا تَعَتَّيْتُ وَلَا تَمَنَّيْتُ ، وَلَا وَضَعْتُ يَمِينِي عَلَى فَرْجِي مُنْذُ بَايَعْتُ بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا مَرَّتْ بِي جُمُعَةٌ مُنْذُ أَسْلَمْتُ إِلَّا وَأَنَا أُعْتِقُ فِيهَا رَقَبَةً ، إِلَّا أَنْ لَا يَكُونَ عِنْدِي فَأُعْتِقُهَا بَعْدَ ذَلِكَ ، وَلَا زَنَيْتُ فِي جَاهِلِيَّةٍ وَلَا إِسْلَامٍ قَطُّ “Saya telah menyembunyikan 10 hal di hadapan manusia dan hanya di hadapan Allah saya nyatakan: saya adalah orang keempat yang paling dahulu baiat masuk Islam. Saya tidak pernah mendengar lagu-lagu hiburan sia-sia dan tidak pernah berkata dusta. Sejak baiat langsung kepada Rasulullah (saw), saya tidak pernah menyentuh daerah kemaluan saya dengan tangan kanan saya. Setelah baiat tidak ada Jumat berlalu yang di dalamnya tidak saya merdekakan budak belian, kecuali Jumat yang mana pada saat itu saya tidak memiliki budak untuk dibebaskan. Dalam keadaan demikian, selain hari jumat, saya memerdekakan budak di hari lainnya. Saya tidak pernah berzina, baik itu pada zaman jahiliyah ataupun setelah baiat masuk Islam.”[10]
Mantan budak Hadhrat ‘Utsman, Abu Said meriwayatkan, “Pada saat terjadi pengepungan di rumah Hadhrat ‘Utsman, beliau memerdekakan 20 budak belian.”[11]
Abu Mas’ud (أَبُو مَسْعُودٍ) meriwayatkan, كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاةٍ ، فَأَصَابَ النَّاسَ جَهْدٌ حَتَّى رَأَيْتُ الْكَآبَةَ فِي وَجْهِ الْمُسْلِمِينَ وَالْفَرَحَ فِي وُجُوهِ الْمُنَافِقِينَ ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” وَاللَّهِ لَا تَغِيبُ الشَّمْسُ حَتَّى يَأْتِيَكُمُ اللَّهُ بِرِزْقٍ “ – “Suatu ketika kami berada dalam suatu peperangan bersama dengan Rasulullah (saw). Orang-orang menderita kelaparan, hingga saya melihat raut kesedihan pada wajah pasukan Muslim dan kebahagiaan pada wajah orang-orang munafik. Ketika Rasulullah (saw) melihat keadaan demikian, beliau bersabda, ‘Demi Tuhan! Matahari tidak akan terbenam sebelum Allah Ta’ala mengaturkan rezeki untuk kalian.’
فَعَلِمَ عُثْمَانُ أنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ سَيَصْدُقَانِ ، فَاشْتَرَى عُثْمَانُ أَرْبَعِينَ رَاحِلَةً بِمَا عَلَيْهَا مِنَ الطَّعَامِ ، فَوَجَّهَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةً مِنْهَا ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : ” مَا هَذَا ؟ ” فَقَالُوا : أَهْدَى إِلَيْكَ عُثْمَانُ ، فَعُرِفَ الْفَرَحُ فِي وَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْكَآبَةُ فِي وُجُوهِ الْمُنَافِقِينَ ، وَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رُؤِيَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ يَدْعُو لِعُثْمَانَ دُعَاءً مَا سَمِعْتُهُ دَعَا لِأَحَدٍ قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ : Hadhrat ‘Utsman mendengar kabar tersebut lalu berkata, ‘Memang benar apa yang difirmankan oleh Allah dan disabdakan Rasul-Nya.’ Hadhrat ‘Utsman lalu membeli 14 unta yang dimuati dengan tepung dan 9 diantaranya dikirimkan kepada Rasulullah (saw). Melihat itu Rasul bersabda, ‘Apa ini?’
Dikatakan kepada beliau bahwa itu semua dikirimkan oleh Hadhrat ‘Utsman kepada beliau sebagai hadiah.
Nampak kebahagiaan yang mendalam pada wajah Rasulullah (saw) dan sebaliknya wajah orang-orang munafik tampak gelisah dan sedih. Saya melihat, Rasulullah (saw) mengangkat kedua tangan hingga tampak putihnya ketiak beliau, beliau mendoakan untuk Hadhrat ‘Utsman. Saya tidak pernah mendengar Rasulullah (saw) berdoa untuk seseorang seperti itu baik sebelum itu ataupun setelahnya. Doa beliau berbunyi, “اللَّهُمَّ أَعْطِ عُثْمَانَ ، اللَّهُمَّ افْعَلْ بِعُثْمَانَ” ‘Allahumma a’thi ‘Utsmaana Allaahumma if’al bi-‘Utsmaana. – ‘Ya Allah! Anugerahkanlah yang banyak kepada ‘Utsman; Ya Allah! Anugerahkan karunia dan kasih-Mu atas ‘Utsman.’”[12]
Hadhrat Aisyah meriwayatkan, “Rasulullah (saw) suatu hari datang kepada saya. Setelah melihat ada makanan berupa daging, Rasulullah (saw) bertanya, ‘Siapa yang mengirim ini?’ Saya katakan bahwa yang mengirimnya adalah Hadhrat ‘Utsman. Saya melihat saat itu Hadhrat Rasulullah (saw) mengangkatkan tangan lalu berdoa untuk ‘Utsman.”[13]
(مُحَمَّدُ بْنُ هِلَالٍ عَنْ جَدَّتِهِ) Muhammad bin Hilal meriwayatkan dari neneknya, وَكَانَتْ تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ وَهُوَ مَحْصُورٌ – فَوَلَدَتْ هِلَالًا، فَفَقَدَهَا يَوْمًا فَقِيلَ لَهُ: إِنَّهَا قَدْ وَلَدَتْ هَذِهِ اللَّيْلَةَ غُلَامًا، قَالَتْ: فَأَرْسَلَ إِلَيَّ بِخَمْسِينَ دِرْهَمًا وَشُقَيْقَةً سُنْبُلَانِيَّةً، وَقَالَ: “Nenek beliau biasa datang menemui Hadhrat ‘Utsman yang mana saat itu rumah beliau tengah dikepung. Saat itu telah lahir seorang anak laki laki di rumah nenek yang dinamai Hilal. Ketika suatu hari Hadhrat ‘Utsman tidak melihat nenek lalu menanyakan kabarnya. Setelah diinfokan beliau mengetahui kabar bahwa telah lahir seorang bayi di rumah nenek. Neneknya menuturkan, “Saat itu Hadhrat ‘Utsman mengirimkan 50 dirham dan satu potong dari antara kain besar dan bersabda, هَذَا عَطَاءُ ابْنِكِ وَكِسْوَتُهُ، فَإِذَا مَرَّتْ بِهِ سَنَةٌ رَفَعْنَاهُ إِلَى مِائَةٍ ‘Ini adalah allowance (tunjangan) untuk putra Anda dan kain untuk dikenakannya. Jika umur anak itu masuk 1 tahun, kita akan tingkatkan lagi menjadi 100 dirham.’”[14]
Ibnu Said bin Yarbu (ابن سعيد بن يربوع بن عنكثة المخزومي) meriwayatkan, انْطَلَقْتُ وَأَنَا غُلَامٌ فِي الظَّهِيرَةِ وَمَعِي طير أرسله في المسجد، والمسجد بيننا، فَإِذَا شَيْخٌ جَمِيلٌ حَسَنُ الْوَجْهِ نَائِمٌ، تَحْتَ رَأْسِهِ لَبِنَةٌ أَوْ بَعْضُ لَبِنَةٍ، فَقُمْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِ أَتَعَجَّبُ مِنْ جَمَالِهِ، فَفَتَحَ عَيْنَيْهِ فَقَالَ: “Suatu hari saya keluar rumah pada siang hari, saat itu saya masih kecil. Saat itu saya membawa burung yang saya terbangkan di masjid. Ternyata di masjid ada seorang tua yang berparas tampan dan tengah berbaring di masjid. Dibawah kepala beliau terdapat potongan batu bata sebagai pengganti bantal. Saya berdiri dan memandangi ketampanan beliau dengan penuh takjub. Saat itu beliau membuka mata dan bertanya kepada saya, من أنت يا غلام؟ ‘Nak! Kamu siapa?’
فأخبرته، فإذا غلام نائم قريبا منه فدعاه فَلَمْ يَجُبْهُ، فَقَالَ لِيَ: Saya sampaikan siapa saya lalu beliau menyahut kepada seorang anak yang tengah tertidur, namun anak itu tidak meresponnya. Orang tua itu berkata, ادْعُهُ! ‘Bangunkan anak itu dan bawa kemari.’ فَدَعَوْتُهُ فَأَمَرَهُ بشيء وقال لي: اقعد! فَذَهَبَ الْغُلَامُ فَجَاءَ بِحُلَّةٍ وَجَاءَ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ، فنزع ثوبي وألبسني الحلة وجعل الألف دِرْهَمٍ فِيهَا، فَرَجَعْتُ إِلَى أَبِي فَأَخْبَرْتُهُ فقال Lalu saya panggil anak itu. Orang tua itu memerintahkan anak itu untuk mengambil sesuatu dan memerintahkan saya untuk duduk. Anak itu pergi dan kembali dengan membawa pakaian dan 1000 dirham. Orang itu itu lalu meminta saya untuk membuka pakaian saya dan mengenakan pakaian yang baru dibawa itu. Beliau juga memasukkan uang 1000 dirham itu kedalam pakaian tersebut. Ketika saya menemui ayah saya dan menjelaskan kejadian tadi, ayah saya bertanya, يَا بُنَيَّ مَنْ فَعَلَ هَذَا بِكَ؟ ‘Nak! Apakah kamu tahu, siapa yang telah memberikan ini semua?’
فَقُلْتُ: لَا أَدْرِي إِلَّا أَنَّهُ رَجُلٌ فِي الْمَسْجِدِ نَائِمٌ لَمْ أَرَ قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ، قَالَ: Saya katakan, ‘Saya tidak mengenalnya, yang saya tahu hanyalah ada orang yang tengah tidur di masjid dan saya tidak pernah melihat orang yang lebih tampan dari beliau seumur hidup saya.’ Ayah saya berkata, ذلك أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ ‘Orang itu adalah Amirul mukminiin, Hadhrat ‘Utsman bin Affan.’”[15]
Ibnu Jarir meriwayatkan, “Hadhrat Thalhah berjumpa dengan Hadhrat ‘Utsman pada saat beliau tengah pergi menuju masjid. Hadhrat Thalhah berkata, ‘Utang saya kepada tuan sebesar 50 ribu, sekarang uang itu sudah ada pada saya, mohon tuan berkenan mengirim seseorang untuk mengambil uang tersebut dari saya.’
Hadhrat ‘Utsman bersabda: ‘Disebabkan oleh kebaikan anda, saya telah menghibahkan uang itu untuk anda.’” (Hadhrat ‘Utsman tidak mau menerima piutang)
Ashma’i (الْأَصْمَعِيُّ) menuturkan, “Ibnu Amir (ابْنُ عَامِرٍ) mengangkat Qathan bin Auf al-Hilali (قَطَنَ بْنَ عَوْفٍ الْهِلَالِيَّ) sebagai gubernur di daerah Karmaan. Beliau berangkat dengan membawa 4000 pasukan. Disebabkan oleh hujan terjadi banjir dan banjir meninggi di lembah. Saat itu Qathan mengkhawatirkan tidak akan sampai tepat pada waktunya di tempat tujuan. Ia mengumumkan, مَنْ جَازَ الْوَادِي فَلَهُ أَلْفُ دِرْهَمٍ ‘Siapa yang dapat menyeberangi lembah tersebut, akan diberikan hadiah sebesar 1000 dirham.’ Pasukan menyeberanginya dengan berenang. Ketika ada yang sudah sampai menyebrangi air, orang yang disebut Qathan berkata, ‘Berikanlah hadiah untuknya!’ Hingga semua pasukan dapat menyeberangi lembah tersebut. Akhirnya diberikan hadiah sebesar 4 juta dirham untuk semua pasukan. Namun, Gubernur Ibnu Amir menolak untuk memberikan uang tersebut. Dilaporkanlah hal itu secara tertulis kepada Hadhrat ‘Utsman. Hadhrat ‘Utsman bersabda, أَنِ احْسِبْهَا لَهُ، فَإِنَّهُ إِنَّمَا أَعَانَ الْمُسْلِمِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ‘Berikan sejumlah uang itu kepada Qathan, karena mereka telah menolong umat Islam di jalan Allah.’ Sejak saat itu hadiah uang yang diberikan sebagai hadiah telah menyeberangi lembah itu disebut jawaiz (الجوائز لاجازة الواد).” Itu ialah bentuk jamak dari jaizah.[16]
Suatu hari Hadhrat ‘Utsman jatuh sakit. Setelah itu ada seseorang yang mengusulkan agar Hadhrat ‘Utsman menunjuk seseorang untuk menjadi khalifah pengganti beliau selanjutnya. Kejadian tersebut diriwayatkan oleh Hisyam dari ayahnya (yaitu Urwah bin Zubair). (عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ أَخْبَرَنِي مَرْوَانُ بْنُ الْحَكَمِ، قَالَ) Urwah bin Zubair meriwayatkan bahwa Marwan bin Hakam berkata, أَصَابَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رُعَافٌ شَدِيدٌ سَنَةَ الرُّعَافِ، حَتَّى حَبَسَهُ عَنِ الْحَجِّ وَأَوْصَى، فَدَخَلَ عَلَيْهِ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ قَالَ “Pada tahun ketika penyakit naksir (mimisan, lubang hidung berdarah) parah menjangkit, Hadhrat ‘Utsman bin Affan pun terjangkit parah penyakit tersebut sampai-sampai penyakit tersebut menghentikan beliau dari ibadah haji dan bahkan karena itu beliau ingin membuat wasiat [pesan terakhir menjelang waktu yang dianggap akan meninggal]. Saat itu salah seorang dari antara Quraisy datang menemui Hadhrat ‘Utsman dan berkata, اسْتَخْلِفْ ‘Mohon tetapkan seseorang sebagai Khalifah berikutnya.’ (Artinya, begitu buruknya keadaan kesehatan Hadhrat ‘Utsman)
Hadhrat ‘Utsman bertanya, وَقَالُوهُ ‘Apakah orang-orang mengatakan hal ini?’
Ia menjawab, نَعَمْ ‘Ya.’
Hadhrat ‘Utsman bertanya, وَمَنْ ‘Siapa yang ingin Anda usulkan untuk menjadi Khalifah?’
فَسَكَتَ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ رَجُلٌ آخَرُ ـ أَحْسِبُهُ الْحَارِثَ ـ فَقَالَ Orang itu terdiam. Tidak lama kemudian ada seorang lagi datang menemui Hadhrat ‘Utsman (ra). Saya rasa orang itu adalah Harits. Ia mengatakan, اسْتَخْلِفْ ‘Mohon tetapkan seseorang sebagai Khalifah berikutnya.’
Hadhrat ‘Utsman bersabda, وَقَالُوا ‘Apakah orang-orang mengatakan demikian?’
Dia berkata: نَعَمْ ‘Ya.’
Hadhrat ‘Utsman bertanya: وَمَنْ ‘Siapa [khalifah yang kalian usulkan]?’ فَسَكَتَ Orang itu terdiam.
Hadhrat ‘Utsman berkata: فَلَعَلَّهُمْ قَالُوا الزُّبَيْرَ ‘Mungkinkah orang-orang akan mengusulkan untuk memilih Zubair?’
Ia berkata: نَعَمْ ‘Ya.’
Hadhrat ‘Utsman berkata: أَمَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهُ لَخَيْرُهُمْ مَا عَلِمْتُ، وَإِنْ كَانَ لأَحَبَّهُمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‘Demi Dzat yang jiwa saya berada di tangan-Nya, sejauh pengetahuan saya, ia (Hadhrat Zubair) lebih baik diantara orang-orang dan sangat disayangi Hadhrat Rasulullah (saw).’”[17]
Hadhrat ‘Utsman juga mendapatkan taufik untuk menuliskan wahyu. Dalam Riwayat dikatakan, pada saat turunnya surat Muzammil, Hadhrat ‘Utsman mendapat kehormatan untuk menuliskan wahyu.
Ummu Kultsum binti Tsamamah meriwayatkan, قلت لعائشة: نسألك عن عثمان فإن الناس قد أكثروا علينا فيه “Saya berkata kepada Hadhrat Aisyah, ‘Kami bertanya kepada Anda berkenaan dengan Hadhrat ‘Utsman karena orang-orang banyak bertanya mengenai beliau kepada kami.’
Hadhrat Aisyah bersabda, لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم مع عثمان في هذا البيت في ليلة قائظة والنبي صلى الله عليه وسلم يوحى إليه جبريل وكان إذا أوحي إليه ينزل عليه ثقلة شديدة قال الله عز وجل: (إنا سنلقي عليك قولا ثقيلا) وعثمان يكتب بين يدي النبي صلى الله عليه وسلم يقول: ‘Saya melihat Hadhrat ‘Utsman bersama dengan Rasulullah (saw) dalam suatu rumah pada suatu malam yang sangat panas, saat itu Hadhrat Jibril tengah menurunkan wahyu kepada beliau (saw). Ketika turun wahyu kepada beliau, maka layaknya beban sangat berat tengah turun kepada beliau. Allah Ta’ala berfirman, إِﻧﱠﺎ ﺳَﻧُﻠْﻘِﻲ ﻋَﻠَﻳْكَ ﻗَوْﻻً ﺛَﻘِﻳﻼً ‘Innaa sanulqii alaika qoulan tsaqiilaa – Kami tentu akan menurunkan firman yang berat kepada engkau.’ Saat itu Hadhrat ‘Utsman duduk di depan Rasulullah (saw) tengah mencatat wahyu. Rasul bersabda, اكْتُبْ عُثْمَانُ ‘Wahai ‘Utsman! Tulislah’ Hadhrat Aisyah meriwayatkan, وما كان الله لينزل تلك المنزلة من رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا رجلا كريما ‘Seseorang yang dikaruniai Allah Ta’ala berupa kedekatan demikian dengan Rasulullah (saw) berarti orang itu amat terhormat dan mulia.’”[18]
Pada zaman Hadhrat Abu Bakr (ra), naskah-naskah tulisan Al Quran Karim dikumpulkan dan disimpan oleh beliau. Kemudian naskah itu beralih ke Hadhrat ‘Umar. Setelah itu beralih kepada Hadhrat Hafsah binti ‘Umar. Ketika tiba masa kekhalifahan Hadhrat ‘Utsman, terdapat riwayat sampainya naskah tersebut kepada beliau.Dalam sebuah riwayat dikatakan, أَنَّ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ قَدِمَ عَلَى عُثْمَانَ وَكَانَ يُغَازِي أَهْلَ الشَّأْمِ فِي فَتْحِ إِرْمِينِيَةَ وَأَذْرَبِيجَانَ مَعَ أَهْلِ الْعِرَاقِ فَأَفْزَعَ حُذَيْفَةَ اخْتِلَافُهُمْ فِي الْقِرَاءَةِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ لِعُثْمَانَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَدْرِكْ هَذِهِ الْأُمَّةَ قَبْلَ أَنْ يَخْتَلِفُوا فِي الْكِتَابِ اخْتِلَافَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فَأَرْسَلَ عُثْمَانُ إِلَى حَفْصَةَ أَنْ أَرْسِلِي إِلَيْنَا بِالصُّحُفِ نَنْسَخُهَا فِي الْمَصَاحِفِ ثُمَّ نَرُدُّهَا إِلَيْكِ فَأَرْسَلَتْ بِهَا حَفْصَةُ إِلَى عُثْمَانَ فَأَمَرَ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ وَسَعِيدَ بْنَ الْعَاصِ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ فَنَسَخُوهَا فِي الْمَصَاحِفِ وَقَالَ عُثْمَانُ لِلرَّهْطِ الْقُرَشِيِّينَ الثَّلَاثَةِ إِذَا اخْتَلَفْتُمْ أَنْتُمْ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فِي شَيْءٍ مِنْ الْقُرْآنِ فَاكْتُبُوهُ بِلِسَانِ قُرَيْشٍ فَإِنَّمَا نَزَلَ بِلِسَانِهِمْ فَفَعَلُوا حَتَّى إِذَا نَسَخُوا الصُّحُفَ فِي الْمَصَاحِفِ رَدَّ عُثْمَانُ الصُّحُفَ إِلَى حَفْصَةَ وَأَرْسَلَ إِلَى كُلِّ أُفُقٍ بِمُصْحَفٍ مِمَّا نَسَخُوا وَأَمَرَ بِمَا سِوَاهُ مِنْ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ صَحِيفَةٍ أَوْ مُصْحَفٍ أَنْ يُحْرَقَ “Hadhrat Hudzaifah bin Yaman meriwayatkan bahwa sepulangnya beliau dari bergabung dengan bangsa Syam dan bangsa Iraq berperang bersama untuk dapat menaklukan Armenia dan Azerbaijan; dari sana beliau menemui Hadhrat ‘Utsman. Hadhrat Hudzaifah merasa khawatir disebabkan oleh perbedaan qiraat Al-Qur’an di kalangan orang-orang di daerah-daerah itu.
Beliau memohon kepada Hadhrat ‘Utsman, ‘Wahai Amirul Mukminin! Mohon jagalah umat ini sebelum mereka berselisih perihal Kitabullah seperti kaum Yahudi dan kaum Nasrani.’
Hadhrat ‘Utsman mengirim pesan kepada Hadhrat Hafshah, ‘Kirimkanlah naskah tertulis Al Quran kepada kami supaya kami dapat membuat salinannya dan mengembalikan lagi kepada anda.’
Hadhrat Hafsah mengirimkan naskah tersebut kepada Hadhrat ‘Utsman.
Hadhrat ‘Utsman pun memerintahkan Hadhrat Zaid bin Tsabit, Hadhrat Abdullah bin Zubair, Hadhrat Sa’id bin al-Ash dan Hadhrat Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk mempersiapkan salinannya. Hadhrat ‘Utsman memerintahkan kepada tiga sahabat terakhir yang disebutkan diatas yang notabene berasal dari bangsa Quraisy, ‘Jika terdapat perbedaan antara kalian dengan Zaid perihal suatu potongan (ayat) Al Quran, maka salinlah menurut bahasa (loghat) Quraisy, karena Al Quran turun dalam Bahasa Quraisy. Sahabat-sahabat tersebut melakukan tugas tersebut. Ketika salinan-salinan sudah siap, Hadhrat ‘Utsman mengembalikan naskah aslinya kepada Hadhrat Hafshah. Adapun Salinan Salinan naskah yang sudah siap dikirimkan ke berbagai negeri dan memerintahkan agar jika ada naskah naskah lain selain itu supaya dibakar dan dimusnahkan.”[19]
Allamah Ibnu at-Tiin (ابْنُ التِّينِ) berkata, الْفَرْقُ بَيْنَ جَمْعِ أَبِي بَكْرٍ وَجَمْعِ عُثْمَانَ لِلْقُرْآن: أَنَّ جَمْعَ أَبِي بَكْرٍ كَانَ لِخَشْيَةِ أَنْ يَذْهَبَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْءٌ بِذَهَابِ حَمَلَتِهِ؛ لْأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مَجْمُوعًا فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ، فَجَمَعَهُ فِي صَحَائِفَ مُرَتِّبًا لِآيَاتِ سُوَرِهِ عَلَى مَا وَقَّفَهُمْ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Perbedaan pengumpulan Al-Quran antara masa Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat ‘Utsman adalah Hadhrat Abu Bakr mengumpulkan Al-Quran karena kekhawatiran jangan sampai ada bagian Al-Quran yang tertinggal disebabkan kewafatan para penghafal Al-Quran; hal ini karena dahulu Al-Quran tidak diturunkan secara sekaligus. Oleh karena itu, beliau mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan urutan sebagaimana yang telah Nabi (saw) tekankan saat memerintahkan untuk menghafal ayat-ayat Al-Quran tersebut. وَجَمْعُ عُثْمَانَ: كَانَ لَمَّا كَثُرَ الَاخْتِلَافُ فِي وُجُوهِ الْقِرَاءَةِ، حَتَّى قَرَءُوهُ بِلُغَاتِهِمْ عَلَى اتِّسَاعِ اللُّغَاتِ، فَأَدَّى ذَلِكَ بَعْضَهُمِ إِلَى تَخْطِئَةِ بَعْضٍ، فَخَشِيَ مِنْ تَفَاقُمِ الْأَمْرِ فِي ذَلِكَ، فَنَسَخَ تِلْكَ الصُّحُفَ فِي مُصْحَفٍ وَاحِدٍ مُرَتِّبًا لِسُوَرِهِ، وَاقْتَصَرَ مِنْ سَائِرِ اللُّغَاتِ عَلَى لُغَةِ قُرَيْشٍ مُحْتَجًّا بِأَنَّهُ نَزَلَ بِلُغَتِهِمْ، وَإِنْ كَانَ قَدْ وَسَّعَ فِي قِرَاءَتِهِ بِلُغَةِ غَيْرِهِمْ، رَفْعًا لِلْحَرَجِ وَالْمَشَقَّةِ فِي ابْتِدَاءِ الْأَمْرِ، فَرَأَى أَنَّ الْحَاجَةَ إِلَى ذَلِكَ، قَدِ انْتَهَتْ فَاقْتَصَرَ عَلَى لُغَةٍ وَاحِدَةٍ. Sementara itu pengumpulan Al-Quran di masa Hadhrat ‘Utsman adalah ketika telah terdapat sangat banyak perselisihan dalam qiraatnya, hingga orang pun mulai membaca Al-Quran sesuai dengan dialek dan bahasanya, dan mereka pun mulai menyalahkan qiraat satu sama lain sehingga beliau pun khawatir jangan sampai perkara ini menjadi semakin parah. Maka dari itu, beliau mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah disusun oleh Hadhrat Abu Bakr menjadi satu mushaf sesuai dengan urutan surahnya dan beliau hanya menekankan pada dialek Quraisy. Beliau memberikan dalil, Al-Quran telah turun dalam Bahasa Arab Quraisy; meskipun di masa permulaan, untuk memudahkan telah diizinkan membaca Al-Quran dengan dialek [Arab] yang lain, namun tatkala beliau [Hadhrat ‘Utsman] melihat bahwa kini hal ini tak lagi diperlukan, maka beliau memerintahkan untuk mencukupkan hanya pada qiraat satu dialek saja.[20]
Allamah al-Qurthubi bersabda, فإن قيل: فما وجه جمع عثمان الناس على مصحفه وقد سبقه أبو بكر إلى ذلك وفرغ منه قيل له: إن عثمان رضي الله عنه لم يقصد بما صنع جمع الناس على تأليف المصحف ألا ترى كيف أرسل إلى حفصة أن أرسلي إلينا بالصحف ننسخها في المصاحف ثم نردها إليك على ما يأتي وإنما فعل ذلك عثمان لأن الناس اختلفوا في القراءات بسبب تفرق الصحابة في البلدان واشتد الأمر في ذلك وعظم اختلافهم وتشبثهم ووقع بين أهل الشام والعراق ماذكره حذيفة رضي الله عنه. “Seandainya timbul pertanyaan mengapa Hadhrat ‘Utsman sampai berupaya untuk menyatukan orang-orang ke dalam mushaf beliau, sementara Hadhrat Abu Bakr telah menyelesaikan pekerjaan ini sebelum beliau, jawabannya adalah, apa yang telah dilakukan oleh Hadhrat ‘Utsman bukanlah untuk menyatukan orang ke dalam mushaf yang beliau susun. Bukankah Anda melihat, Hadhrat ‘Utsman sendiri telah berpesan kepada Ummul Mukminin Hadhrat Hafshah, ‘Mohon supaya dikirim lembaran-lembaran Al-Quran kepada kami, kami akan menggandakannya lalu mengembalikan lembaran-lembaran yang asli.’ Hadhrat ‘Utsman menempuh hal ini karena orang-orang telah berselisih tentang qiraat (cara pembacaan)Al-Quran, sementara para sahabat telah tersebar di berbagai kota dan perselisihan qiraat yang terjadi saat itu telah sedemikian mengkhawatirkan, dimana perselisihan antara orang-orang Syam dan Iraq telah mengambil corak seperti yang Hadhrat Huzaifah telah saksikan dan jelaskan.”[21]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) dalam menjelaskan tafsir surah Al-A’la ayat سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنسَىٰ bersabda, “Ayat ini bermakna, ‘Kami [Tuhan] akan mengajarkan kalam yang tidak akan engkau lupakan hingga kiamat; bahkan, kalam ini akan sedemikian rupa terjaga seperti halnya di masa ini.’
Walhasil, bukti pengakuan ini adalah, musuh-musuh keras Islam sekalipun dengan terbuka kini menerima bahwa Al-Quran Karim telah terjaga sesuai dengan bentuk aslinya, yaitu sebagaimana yang Rasulullah (saw) telah sampaikan dulu. Noldeke, Springer, dan William Muir telah mengakui dalam bukunya bahwa kecuali kepada Al-Quran, mereka tidak dapat mengatakan secara yakin dan pasti terkait kitab suci manapun bahwa wujud kitab itu sekarang adalah sebagaimana yang dahulu telah disampaikan oleh pendiri agamanya; hanya satu kitab yaitu Al-Quran Karim yang secara pasti dapat dikatakan bahwa corak kitab yang dahulu telah disampaikan oleh Muhammad Rasulullah (saw) kepada para sahabatnya dahulu, corak itulah yang berwujud hingga sekarang.
Mereka, yang tidak meyakini Al-Quran Karim telah diturunkan oleh Allah Ta’ala, bahkan mereka meyakini Muhammad Rasulullah (saw)-lah yang telah membuat sendiri kitab ini – sehingga tidak seharusnya mereka mengatakan bahwa kitab ini telah terjaga sebagaimana dahulu telah turun – namun mereka justru menyatakan bahwa corak Al-Quran yang ada hingga sekarang di dunia ini adalah sungguh corak yang dahulu telah disampaikan oleh Muhammad.
Berkenaan dengan ini Sir William Muir menulis dalam bukunya berjudul “The Koran” bahwa semua bukti ini memberikan jaminan keyakinan kepada tiap orang bahwa Al-Qur’an yang sekarang kita baca, setiap lafaznya adalah sebagaimana yang telah disampaikan oleh Muhammad (saw) kepada segenap orang dulu.
Kemudian Sir William Muir dalam bukunya ‘Life of Muhammad’ menulis, ‘Al-Qur’an yang sekarang ada di tangan kita sangat mungkin seperti yang telah Muhammad (saw) buat pada zamannya dulu, dan yang terkadang beliau pun melakukan perubahan terhadapnya; namun tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran seperti dahulu itulah yang telah Muhammad (saw) sampaikan kepada kita.’ [22]
Senada ia menulis, ‘Dengan dasar pembandingan yang sangat kuat kita dapat mengatakan bahwa setiap ayat di dalam Al-Quran adalah sebagaimana aslinya dan merupakan karya Muhammad (saw) yang tidak pernah berubah.’[23]
Kemudian Noldeke, seorang orientalis Jerman mengatakan, ‘Mungkin ada beberapa kesalahan kecil seperti dalam gaya penulisan; namun, Al-Quran yang telah disebarkan oleh ‘Utsman kepada dunia, isinya benar-benar seperti yang telah Muhammad (saw) dahulu sampaikan. Meskipun pengurutannya adalah mengherankan, namun usaha para orientalis eropa untuk membuktikan bahwa terdapat perubahan pada Al-Quran di masa-masa selanjutnya adalah sama sekali telah gagal.’[24]
Walhasil, para orientalis Eropa pun telah mengakui, tidak ada lagi keraguan apapun terkait penjagaan Al-Quran secara lahiriah. Bahkan, ini adalah kitab suci yang setiap kata maupun hurufnya adalah sebagaimana yang telah Muhammad Rasulullah (saw) sampaikan dahulu kepada semua orang.”
Hadhrat Khalifatul Masih Awwal menjelaskan, “Orang-orang kerap menyatakan Hadhrat ‘Utsman adalah Jaami’ul Qur’an (sosok pengumpul Al-Quran). Hal ini adalah salah. Tidaklah ini semata pada nama Hadhrat ‘Utsman. Ya, bila dikatakan beliau adalah sosok penyebar Al-Qur’an, ini cukup tepat. Di masa Khilafat beliau, Islam telah tersebar hingga tempat-tempat yang jauh. Maka dari itu, beliau memerintahkan untuk menyalin beberapa naskah lalu mengirimkannya ke Mekkah, Madinah, Syam, Basra, Kufah, dan berbagai negeri lainnya.
Sementara terkait penyusunan, Nabi (saw)-lah yang telah melakukannya sesuai dengan tertib (urutan) surah yang dikehendaki Allah Ta’ala; dan dengan tertib surah yang seperti itulah [kitab ini] hingga sekarang telah sampai pada kita. Ya, membaca dan [memahaminya] adalah tugas kita semua.”[25]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Di masa Hadhrat ‘Utsman, saat itu bukanlah penduduk Mekkah hanya hidup di Mekkah, penduduk Madinah hanya hidup di Madinah, penduduk Nejd hanya hidup di Nejd, penduduk Taif hanya hidup di Taif, penduduk Yaman hanya hidup di Yaman, dan mereka saling tidak mengetahui dialek serta istilah-istilah satu sama lain; saat itu, Madinah justru telah menjadi ibu kota dan seluruh kaum telah menjadi satu; lalu karena saat itu orang-orang Madina telah menjadi pusatnya – dimana sebahagian besar mereka adalah golongan muhajirin Mekkah, dan penduduk asli Madinah pun karena bergaul dengan penduduk Mekkah mereka menjadi telah memahami Bahasa Arab Hijazi – maka karena pemerintahan ada pada mereka dan perbendaharaan harta pun di bawah kendali mereka, kemudian pandangan dunia pun mengarah kepada mereka.
Pada saat itu kebanyakan orang, yaitu dari Thaif, Nejd, Makkah, Yaman dan tempat-tempat lainnya pun terus berdatangan ke Madinah dan bertemu dengan para Muhajir dan Ansar di Madinah; kemudian mereka mempelajari agama; dengan demikian bahasa seluruh negeri dalam hal keilmuan pun berangsur menjadi satu. Mereka ini, ketika kembali ke negerinya sebagai guru dan ulama pasti memberikan pengaruh di daerahnya. Selain ini, karena adanya peperangan-peperangan, berbagai kabilah Arab pun mendapat kesempatan untuk terus bersatu lalu karena para sahabat senior berperan sebagai pemimpin mereka, pergaulan dan hasrat mereka untuk mengikuti jejaknya pun melahirkan satu kesamaan dalam bahasa.
Walhasil, meskipun memang di masa awal [Islam] terjadi kesulitan-kesulitan dalam memahami bahasa Al-Quran Karim, namun setelah Madinah menjadi ibukota, dan Madinah Munawwarah telah menjadi pusat bagi seluruh Arab, kemudian berbagai kaum dan kabilah pun mulai datang berkali-kali kesana, maka kini kecenderungan ke arah perselisihan ini pun menjadi hilang. Karena, pada saat itu semua kalangan berilmu telah sangat mengenal bahasa Al-Quran. Oleh karena itu, ketika orang-orang telah benar-benar menguasainya, maka Hadhrat ‘Utsman (ra) memerintahkan supaya ke depan hanya qiraat Hijazi-lah yang akan dipergunakan, dan tidak ada qiraat lain yang diizinkan. Perintah beliau ini bermaksud, sekarang pada umumnya orang-orang telah memahami bahasa Arab Hijazi (Arab logat Makkah), sehingga tidak ada lagi alasan untuk mengizinkan mempergunakan lafaz lain selain Arab Hijazi.
Akibat perintah Hadhrat ‘Utsman ini, kalangan Syi’ah yang memang berselisih dengan golongan Sunni (atau dikenal dengan Ahlus Sunnah), kerap mengatakan bahwa Al-Quran sekarang ini adalah Bayazi ‘Utsmani (versi yang dibuat ‘Utsman); padahal, keberatan ini sama sekali salah. Hingga masa Hadhrat ‘Utsman (ra), jalinan pertemuan antara orang-orang Arab telah berlangsung lama dan jalinan pertemuan ini telah menjadikan mereka saling memahami perbedaan diantara dialek mereka.
Saat itu, tidak lagi diperlukan izin untuk membaca Al-Quranul Karim dalam qiraat lain kepada orang-orang. Izin tersebut hanya untuk sementara dan atas dasar mereka masih dalam masa permulaan, masih saling terpisah dan perbedaan kecil dalam bahasa saja dapat memberikan perubahan dalam makna kata; akibat kesulitan ini, untuk sementara mereka diizinkan menggunakan beberapa kata yang telah lumrah dalam kabilah-kabilah mereka sebagai ganti lafaz wahyu yang asli, untuk membacanya sesuai dengan [makna] wahyu Allah Ta’ala tersebut supaya tidak terdapat sedikit pun halangan dalam memahami perintah-perintah dan ajaran Al-Quran Karim dan supaya setiap penutur bahasa dapat memahami perintah-perintah tersebut sesuai dengan istilah-istilah di dalam bahasanya dan mereka dapat membacanya sesuai dengan dialeknya.
Tatkala izin ini telah berlalu 20 tahun lamanya, zaman telah berganti baru dan berbagai kaum telah berubah menjadi satu warna baru, bangsa Arab yang terdiri dari berbagai kabilah telah menjadi tidak hanya satu kaum, bahkan menjadi satu pemerintahan yang kuat, yaitu jalannya undang-undang pemerintahan dan pendidikan telah ada di tangan mereka dan berbagai sektor kepemimpinan ada di bawah kendali mereka, perintah hudud dan qisas pun telah mereka jalankan, selanjutnya tidak diperlukan lagi waktu yang lama bagi mereka untuk memahami bahasa Qurani. Tatkala keadaan ini telah mengemuka, Hadhrat ‘Utsman (ra) pun mengakhiri izin sementara, yang memang dahulu diberikan untuk keadaan yang hanya sementara itu dan memang inilah yang merupakan kehendak Allah Ta’ala.
Namun bagi kalangan Syiah, seandainya mereka hendak menyatakan kesalahan terbesar Hadhrat ‘Utsman (ra), inilah kesalahan beliau, yaitu beliau telah menghapus berbagai qiraat dan meneruskan hanya satu qiraat. Padahal seandainya mereka merenungkan, dengan mudah mereka dapat memahami bahwa Allah Ta’ala telah memberikan izin membaca Al-Quran Karim dalam qiraat yang berbeda-beda adalah pada masa kedua Islam. Allah tidak memberikannya pada masa permulaan. Ini dengan jelas bermakna bahwa turunnya Al-Quran memang dalam bahasa [Arab] Hijazi, namun perbedaan dalam qiraat adalah dari adanya berbagai kabilah yang kemudian menerima Islam.
Karena terkadang satu kabilah memiliki perbedaan dengan kabilah lain dalam hal bahasanya, terkadang mereka tidak dapat mengucapkan lafaznya secara sempurna atau terdapat perbedaan dalam makna lafaz tertentu sehingga Rasulullah (saw) sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala mengizinkan beberapa perubahan dialek atau perubahan kata untuk lafaz yang menjadi perselisihan, namun hal ini tidak berpengaruh pada makna yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut. Bahkan, seandainya hal ini tidak diizinkan, maka terjadi perbedaan [makna]. Bukti terkait hal ini adalah Rasulullah (saw) pernah membacakan satu surah kepada Hadhrat Abdullah bin Mas’ud dengan suatu corak dan membacakannya kepada Hadhrat ‘Umar dengan corak yang lain. Hadhrat ‘Umar adalah asli penduduk kota, sementara Hadhrat Abdullah bin Mas’ud adalah dari kalangan penggembala yang menjadikan beliau banyak bersentuhan dengan suku Arab badui. Jadi, bahasa antara mereka berdua sangatlah berbeda.
Satu hari Abdullah bin Mas’ud menilawatkan surah Al-Quran tersebut sementara Hadhrat ‘Umar sekilas berlalu di dekat beliau, maka Hadhrat ‘Umar pun mendengar bunyi surah yang sedemikian berbeda tersebut dari Hadhrat Abdullah bin Mas’ud. Beliau sangat terheran seraya berkata, ‘Hal apakah ini, bunyi lafaznya berbeda dan ia membacanya secara berbeda?’
Beliau pun menyilangkan leher Hadhrat Abdullah bin Mas’ud dan berkata, ‘Ayo sekarang saya sodorkan permasalahan engkau ini ke hadapan Rasulullah (saw) karena engkau membaca surah dengan corak lain yang berbeda dengan aslinya.’
Jadi, beliau pun membawanya ke hadapan Rasulullah (saw) dan berkata, “Wahai Rasulullah (saw), engkau memperdengarkan surah ini dengan corak tertentu sementara Abdullah bin Mas’ud membacanya dengan corak yang lain”. Lalu Rasulullah (saw) bersabda kepada Abdullah bin Mas’ud, “bagaimanakah engkau menilawatkan surah ini?”
Ia pun takut dan bergetar karena jangan sampai ia telah melakukan kesalahan.
Namun, Rasulullah (saw) bersabda, ‘Jangan takut. Bacalah.’ Beliau pun membacanya lalu Rasulullah (saw) bersabda, ‘Sungguh benar.’
Hadhrat ‘Umar berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), engkau dulu telah membacakan kepada saya dengan corak lain.’
Beliau (saw) bersabda, ‘Itu pun benar.’ Kemudian Rasulullah (saw) bersabda, إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ‘Al-Quran telah diturunkan dalam tujuh qiraat. Janganlah Anda sekalian berselisih dalam hal-hal yang kecil ini.’[26]
Sebab adanya perbedaan ini adalah Rasulullah (saw) menganggap Abdullah bin Mas’ud sebagai orang dari kalangan penggembala dan dialek mereka berbeda dengan penduduk kota sehingga beliau membacakannya sesuai dengan dialeknya.[27] Adapun tentang Hadhrat ‘Umar, beliau (saw) menganggapnya penduduk asli kota sehingga beliau menyampaikannya dalam qiraat asli yang telah turun yaitu bahasa [Arab] Mekkah. Jadi, beliau (saw) telah mengizinkan kepada Hadhrat Abdullah bin Mas’ud untuk membacakan surah itu dalam bahasanya sendiri, dan beliau membacakan surah itu kepada Hadhrat ‘Umar (ra) dalam bahasa aslinya yaitu bahasa kota [Mekkah]. Ini adalah perbedaan-perbedaan kecil yang lahir dari adanya berbagai corak qiraat, namun hal ini tidak mempengaruhi makna yang terkandung di dalamnya. Setiap orang memahaminya sebagai akibat yang lazim muncul dari perbedaan dalam hal suku, pendidikan, dan bahasa.”
Kemudian beliau bersabda, “Melalui peradaban dan pemerintahan [baru] itu, keadaan kesukuan berubah menjadi satu kebangsaan dan satu bahasa. Semua orang pun kemudian menjadi paham sepenuhnya bahasa [Arab] Hijazi. Hadhrat ‘Utsman pun berpikir dan memahami dengan tepat seandainya qiraat-qiraat ini tetap diteruskan, sama saja dengan akan meneruskan perselisihan. Maka dari itu, hendaknya qiraat-qiraat tersebut sekarang dihentikan untuk dipergunakan secara umum dan itu akan tetap terjaga dalam kitab-kitab qiraat. Walhasil, demi kebaikan tersebut, beliau telah melarang qiraat-qiraat lain untuk dipergunakan secara umum kecuali qiraat aslinya yaitu Hijazi; dan demi menyatukan kalangan Arab dan ‘ajam (bukan Arab) untuk bertilawat di bawah satu qiraat, beliau telah mengizinkan satu corak bacaan, yaitu sesuai dengan qiraat Hijazi, qiraat saat awal mula [Al-Quran] diturunkan.”[28]
Masih tersisa beberapa hal yang Insya Allah akan disampaikan selanjutnya. Saat ini pun saya ingin menyampaikan tentang doa untuk para Ahmadi di Pakistan dan juga Aljazair, di tempat manapun di dunia dimana para Ahmadi terjerat dalam kesulitan-kesulitan. Berdoalah semoga Allah Ta’ala menjauhkan kesulitan-kesulitan tersebut. Khususnya Pakistan, yang akibat undang-undang, dalam berbagai masa berbagai corak kesulitan menimpa mereka. Para Ahmadi dalam corak apapun kini tidak mendapatkan kebebasan. Demikian pula di Aljazair pun ada beberapa petinggi pemerintah yang terus menjatuhkan berbagai kesulitan. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kebebasan kepada mereka dari semua kesulitan itu.
Setelah shalat Jumat, saya akan meluncurkan situs web untuk Chinese Desk. Situs web ini dibuat dengan bantuan Tim IT Pusat [Markazi], di mana orang-orang dapat memperoleh informasi rinci tentang Islam dan Ahmadiyah dalam bahasa Mandarin. Situs web ini dapat diakses melalui “alislam”, yang merupakan situs web utama Jemaat dan diakses secara terpisah juga. Konten telah diunggah di situs web dengan berbagai topik dan edisi baru dari terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Mandarin juga tersedia di dalamnya; 23 buku dan pamflet juga telah ditempatkan di situs web. Selain itu juga terdapat informasi berupa tanya jawab. Di bawah bagian Hadhrat Masih Mau’ud as, ada pengenalan Hadhrat Masih Mau’ud as dan Khulafa. Di beranda itu juga menyediakan tautan ke enam situs web Jemaat yang berbeda dan juga memiliki rincian telepon, faks dan email untuk dihubungi. Semoga Allah Ta’alamemberikan situs web ini menjadi sarana pedoman bagi orang-orang Tionghoa dan semoga hati mereka dapat menerima pesan Islam dan Ahmadiyah.
Selain itu, saya akan memimpin shalat jenazah untuk beberapa jenazah ghaib. Diantaranya adalah Yang Terhormat Muhammad Yunus Khalid Sahib, seorang muballigh yang meninggal pada 15 Maret pada usia 67 karena gagal jantung. Inna lillaahi wa innaa ilahi raajiuwn
Kakek dari pihak ayah Muhammad Yunus Sahib dan saudaranya, Hadhrat Mian Murad Baksh Sahib dan Hadhrat Hajji Ahmad Sahib [masing-masing] termasuk di antara para sahabat Hadhrat Masih Mau’ud as. Delegasi yang terdiri dari enam orang berangkat dari Prem Kot, distrik Hafizabad dan pergi ke Qadian dengan berjalan kaki. Hadhrat Haji Ahmad Sahib termasuk dalam delegasi ini. Beliau baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud as dan juga meminta air darinya sebagai Tabarruk.
Yunus Khalid Sahib yang terhormat menyelesaikan ujian Matrikulasi di Rabwah setelah itu beliau diterima di Jamia Ahmadiyya. Selama di Jamia beliau juga menyelesaikan [kursus] Arab Fazil. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau adalah seorang Musi. Pada tahun 1980, lulus dengan gelar Shahid dan kemudian mendapat kesempatan untuk mengabdi selama 40 tahun di berbagai tempat di Pakistan dan luar negeri, di negara-negara di seluruh Afrika. Di antara mereka yang ditinggalkan adalah istrinya, Mariam Siddiqa Sahiba, seorang putra, Ateeq Ahmad Mubashar yang adalah seorang muballigh. Ateeq Ahmad Mubashar menyatakan: “Ayah saya adalah seorang yang berilmu dan mempraktikkan apa yang beliau ajarkan. Beliau sering mengatakan kepada saya bahwa Allah Ta’ala memperlakukannya seperti kepada Hadhrat Khalifatul Masih I (ra) di mana kapan pun menginginkan sesuatu, Allah Ta’ala memenuhi kebutuhannya itu, dan saya pribadi menyaksikan fakta ini.”
Kemudian putranya menulis dengan mengacu pada Rana Mubarak Ahmad Sahib, yang pernah menjadi ketua Daerah di Lahore, mengatakan, “Setiap kali ada pekerjaan yang terkait dengan jemaat yang perlu dilakukan, almarhum akan segera mengambilnya dan mengerjakannya. Begitu sigap untuk mengerjakannya sehingga tidak memperhatikan apakah telah memakai sepatu ataukah tidak. Beliau Langsung pergi dengan cepat untuk mengerjakan tugas tersebut. Beliau berada di garis depan dalam mempersembahkan pengorbanan harta.
Ketua jemaat di Haripur Hazara mengatakan, “Almarhum adalah teladan yang sangat baik bagi jemaat di Tarbela dalam pembayaran candah. Beliau juga secara teratur memberikan candah atas nama para orang tua yang sudah wafat. Kakak ipar beliau mengatakan bahwa almarhum sangat sensitif dalam urusan candah, dan akan memberikan perhatian khusus untuk wasiyyat chanda. Beliau wujud yang rajin berdoa dan sederhana. Beliau mencari orang-orang yang miskin dan diam-diam memberi mereka bantuan keuangan. Beliau biasa membantu putri dari keluarga miskin dengan mengatur mas kawin mereka. Kerabatnya mengatakan bahwa mereka sekarang telah kehilangan seorang tulus yang biasa memberikan bantuan keuangan; penuh kasih sayang dan baik hati. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan pengampunan dan rahmat-Nya kepada almarhum.”
Jenazah berikutnya Yth Dokter Nizamuddin Budan Sahib dari Pantai Gading. beliau meninggal pada tanggal 15 Maret, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Beliau berusia 73 tahun. Beliau memperoleh pendidikan dasar di Mauritius. Pada tahun 1968, menerima beasiswa dari Hadhrat Khalifatul Masih III (rh) pada saat mendaftar di sebuah perguruan tinggi kedokteran di Pakistan. Beliau menyelesaikan FSc-nya dari Talimul Islam College terlebih dahulu dan kemudian mendaftar di perguruan tinggi kedokteran. Beliau menyelesaikan MBBS-nya dari Dow Medical College.
Kemudian pada tahun 1978, Hadhrat Khalifatul Masih III (rh) mengangkat beliau sebagai penanggung jawab Klinik Ahmadiyah di Nigeria dan beliau mendapat taufik untuk mengabdi disana hingga tahun 1984 dalam kapasitas tersebut. Ketika Hadhrat Khalifatul Masih III (rh) mengunjungi Ghana pada tahun 1980, sekelompok orang dari Pantai Gading melakukan perjalanan ke Ghana dan mendapat kehormatan untuk bertemu dengan Hudhur (rh). Kelompok tersebut meminta huzoor (rh) bahwa mereka ingin ada rumah sakit di Pantai Gading seperti halnya Jemaat Ahmadiyah di Ghana memiliki rumah sakit.
Hadhrat Khalifatul Masih III (rh) mengabulkan permintaan ini dan proses dimulai. Pada tanggal 18 Maret 1983, Dokter Sahib melakukan perjalanan dari Lagos ke Pantai Gading dan bertemu dengan pejabat dari Kementerian Kesehatan. Karena beliau bisa berbahasa Prancis, dan dokter yang bisa berbahasa Prancis diperlukan di sana, untukitu beliau dipindahkan ke sana dari Nigeria, dan kemudian mendapat izin untuk membuka Apotek Ahmadiyah di sana [di Pantai Gading]. Beliau berkhidmat di Pantai Gading dari tahun 1984 sampai akhir hayat.
Dengan karunia Allah Ta’ala beliau adalah seorang ‘Musi’. Istri beliau telah meninggal; beliau memiliki seorang putra bernama Bashiruddin Mahmud Budan dan seorang putri Nashmia Aisha Mubaraka. Semoga Allah SWT menjaga anak-anak ini tetap terikat dengan Khilafat dan Jemaat.
Abdul Quyoom Pasha Sahib, yang merupakan Misionari Incharge Pantai Gading berkata “Beliau [Dokter Sahib] mengabdi sebagai Petugas Medis di Klinik Ahmadiyah di Abidjan, Pantai Gading selama sekitar 36 tahun. beliau adalah seorang dokter yang sangat baik, orang yang baik, dan anggota senior jemaat di Pantai Gading.”
Belau berkata, “Saya bekerja dengan Dokter Sahib selama sekitar 18 tahun. Saya menemukan beliau sebagai orang yang baik dalam setiap aspek. Beliau membantu semua orang, memberikan bimbingan dalam pekerjaan yang berhubungan dengan Jemaat, ramah, memiliki kualitas yang baik, berbicara dengan fasih, dan orang yang terhormat. Beliau memegang berbagai jabatan dalam jemaat. Figur yang sangat murah hati dan selalu memperlakukan anak-anak dengan baik dan berlaku kasih sayang. Beliau sering menyimpan barang-barang yang akan diberikan kepada anak-anak sebagai hadiah di klinik; setiap kali pasien anak datang ke klinik, beliau memberikan kepada mereka hadiah seperti mainan atau permen. Beliau biasa memberikan bantuan besar kepada siswa yang tinggal di [Rumah] Misi serta keluarga Ahmadi yang miskin. ”
Salah seorang Muballig disana menulis bahwa jika sedang tidak ada pasien untuk dikunjungi, maka almarhum akan sibuk untuk memberikan tarbiyat kepada para khudam atau anshar. Jika tidak ada pasien, beliau tidak akan duduk duduk santai; sebaliknya, akan menyibukkan dirinya dengan pekerjaan yang berhubungan dengan jemaat. Kadang-kadang beliau akan menerjemahkan ‘Malfuzat’ atau Khotbah Jumat ke dalam bahasa Prancis dan kemudian akan membagikan fotokopinya kepada para anggota. Beliau selalu siap untuk melayani umat manusia. Beliau sendiri membelikan obat untuk pasien miskin dan menyediakan kebutuhan rumah tangga seperti beras dan minyak. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan ampunan dan rahmat-Nya kepada almarhum.
Jenazah berikutnya adalah Salma Begum Sahiba, istri Dokter Raja Naseer Ahmad Zafar Sahib, yang meninggal pada 24 Januari di usia 85 tahun. Inna lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn.
Dengan karunia Allah Ta’ala, ayah beliau, Raja Fazal Daad Khan Sahib adalah Ahmadi pertama di keluarga beliau. Mereka yang pernah menulis tentang almarhumah, termasuk putra putri mengatakan bahwa lamanya shalat yang biasa beliau lakukan dikenal sebagai teladan dalam keluarga. Beliau memiliki banyak keistimewaan, kepribadian yang menyenangkan, mengabdi untuk melayani orang lain, saleh, setia dan berani. Beliau memiliki kecerdikan yang luar biasa, bijaksana, sangat tabah, dan terhormat. Beliau rajin berdoa, sabar dan bersyukur, qanaah dan bertawakkal kepada Allah. Dengan karunia Allah Ta’ala, almarhumah adalah seorang ‘Musiah’. meninggalkan dua putra dan tiga putri. Semoga Allah SWT menganugerahi almarhum pengampunan dan rahmat-Nya.
Jenazah berikutnya adalah Yth Kishwar Tanweer Arshad Sahiba, istri Abdul Baqi Arshad Sahib, Ketua al-Shirkiyyatul Islamiyyah Inggris. Beliau meninggal pada 27 Februari pada usia 87: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Almarhumah menghadapi penyakit dan berbagai penyakit lansia dengan penuh ketabahan. Dengan karunia Allah Ta’ala, beliau menemui Tuhannya dalam keadaan ridha dengan kehendak-Nya. Beliau meninggalkan dua putra, dua putri dan cucu. Salah satu menantunya adalah Naseeruddin Sahib yang saat ini menjabat sebagai naib Amir Jemaat Inggris. Putra beliau Nabil Arshad juga mendapatkan taufik untuk berkhidmat selama masa Hadhrat Khalifatul Masih IV (rh) dan juga setiap kali saya memanggil beliau untuk suatu pengkhidmatan, beliau segera datang dan terus mengerjakannya. Beliau memberikan tarbiyat yang baik kepada anak-anaknya. beliau memiliki banyak keistimewaan dan khususnya perihal kebersihan. beliau sangat teratur, sangat tulus dan berbudi luhur. Beliau dawam dalam shalat dan menjalankan puasa dan terdepan dalam candah; Beliau sangat dermawan dalam memberikan sedekah.
Arshad Baqi Sahib menulis, “almarhum tinggal di London untuk waktu yang lama. Selama ini, setelah hijrah Hadhrat Khalifatul Masih IV (rh) pada tahun 1984 ke London, beliau selalu banyak mendukung saya dalam pekerjaan jemaat dan selalu mendahulukan pekerjaan ini. Beliau menjadikan rumah sebagai tempat yang damai dan refleksi surga setiap saat. Hadhrat Khalifatul Masih IV (rh) biasa mengatakan bahwa dalam hal ketenangan, rumah almarhumah adalah favorit saya (Hudhur). ” Putri beliau menuturkan, “beliau bersyukur kepada Tuhan dalam segala keadaan; apakah dalam kemudahan atau kesulitan akan dengan senang hati menerima keputusan Ilahi dan tidak pernah mengeluh. ” beliau juga pernah tinggal di Arab Saudi selama beberapa waktu di mana beliau memiliki kesempatan untuk melayani Ahmadi yang melakukan perjalanan haji atau umrah. Semoga Allah SWT menganugerahi almarhum pengampunan dan rahmat-Nya.
Jenazah berikutnya adalah Yth Abdur Rahman Husain Muhammad Khair Sahib dari Sudan, yang meninggal pada 24 Desember [2020] pada usia 56 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Sebelum diperkenalkan kepada Jemaat, beliau sama sekali tidak bergabung dengan sekte Islam manapun, bahkan sempat meragukan konsep-konsep tertentu seperti nasikh Mansukh dan jin. Saudara beliau ‘Utsman Hussain Sahib dulu bekerja di Arab Saudi, disana diperkenalkan dengan Jemaat Ahmadiyah lalu menceritakannya kepada Abdur Rahman Sahib – ini terjadi pada tahun 2007. Setelah mendengar tentang Ahmadiyah dari saudaranya, Abdur Rahman Sahib tertarik untuk menonton MTA. Pada saat itu, sulit untuk menonton MTA di daerahnya, dan dalam usahanya [untuk menonton MTA] beliau mengganti antena parabola berkali-kali dan menghabiskan banyak uang. Akhirnya, bisa menonton MTA. Kemudian menjadi kebiasaan beliau untuk menghabiskan waktunya dengan menonton MTA setelah pulang kerja. Akhirnya ketika hati sudah merasa puas, beliau menerima Ahmadiyah pada tahun 2010. Setelah baiat, beliau bertabligh kepada semua kerabat dan teman-temannya. Di antara keistimewaan almarhum adalah kerendahan hati dan kelembutan, keramahan, kepedulian terhadap yang miskin dan berurusan dengan baik.
Pada tahun 2013, beliau memiliki kesempatan untuk berperan penting dalam pendirian Jemaat di Sudan, di mana beliau mempersembahkan candah yang besar. Beliau biasa memberikan bantuan keuangan kepada banyak anggota jemaat yang membutuhkan. Ketika Ahmadi yang miskin di suatu daerah di Sudan mulai menghadapi ketidakadilan dari orang-orang di daerah itu, almarhum memberikan bantuan uang yang besar, mengurus kebutuhan mereka dan merawat orang-orang. Setiap hari Jumat, beliau menjemput orang-orang dari berbagai tempat ke shalat center, dan kemudian setelah shalat Jumat, mengantarkan mereka pulang. Bahkan non-Ahmadi memuji kebaikan beliau. Beliau sangat teratur dan murah hati dalam membayar candah. Beliau mendapatkan taufik sebagai pengurus Majlis Amilah pertama di Sudan dan memenuhi tanggung jawabnya hingga akhir hayat. Beliau meninggalkan istri, dua putra dan dua putri. Semoga Allah SWT terus memperkuat hubungan mereka dengan Jemaat dan Khilafat, dan memberikan pengampunan dan rahmat-Nya kepada almarhum.
Seperti yang saya katakan, saya akan memimpin shalat jenazah ghaib setelah shalat Jumat.[29]
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Fazli ‘Umar Faruk (Indonesia) dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)
[1] Sunan Ibnu Majah hadis Sunan Ibn Majah, Iftitah al-Kitab, Bab Fada‘il Zaid bin Thabit, Hadith 154 atau nomor 151 (Lihat: Hasyiatus Sindi Ibnu Majah) https://carihadis.com/Sunan_Ibnu_Majah/151; Ibn al-Athīr (d. 1233 CE) dalam karyanya Usd al-ghāba fī maʿrifat al-ṣaḥāba ابن الأثير – أسد الغابة
Ibn ʿAbd al-Barr (d. 1071 CE) dalam karyanya – al-Istīʿāb fī maʿrifat al-ṣaḥāba ابن عبد البر – الاستيعاب في معرفة الصحابة
[2] Sunan at-Tirmidzi. Abwab al-Manaqib, Muaz bin Jabal, Hadith 3790 dan nomor 3723: أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَقْرَؤُهُمْ أُبَيٌّ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ “Diantara ummatku yang paling belas kasih terhadap ummatku (yang lain) adalah Abu Bakar, sedangkan yang paling tegas terhadap perintah Allah adalah umar, yang paling pemalu adalah Utsman, yang paling mengetahui halal haram adalah Mu’adz bin Jabal, dan yang paling mengetahui tentang fara’idl (ilmu tentang pembagian harta waris) adalah Zaid bin Tsabit serta yang paling bagus bacaannya adalah Ubay bin Ka’ab, dan setiap ummat memiliki orang kepercayaan, sedangkan orang kepercayaan ummat ini adalah Abu ‘Ubaidah bin Jarrah.”.
[3] Sumber: Sunan Ibnu Majah, Kitab : Thaharah dan sunah-sunahnya, Bab : Makhruhnya menyentuh kemaluan dan istinja` (cebok) dengan tangan kanan, No. Hadist : 307.
[4] Shahih Muslim, Kitab tentang keutamaan Shahabat (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), (باب مِنْ فَضَائِلِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رضى الله عنه), nomor 2402a. Al-Adab Al-Mufrad, Perilaku umum (كتاب التصرف العام), (بَابُ الْحَيَاءِ), Hadith 603. Hadits Musnad Ahmad No. 24060.
[5] Sahih al-Bukhari, Kitab Fada‘il al-Sahabah(ra), Bab Fada‘il Uthman bin Affan, Hadith 6209) (Majma‘ al-Zawa‘id wa Manba‘ al-Fawa‘id, Kitab al-Manaqib, Bab fi Haya‘ih, Hadith 14504, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2001; Musnad Abi Ya’la Hadits nomor 6793 (حديث رقم 6793 – من كتاب مسند أبي يعلى الموصلي), Musnad Ummi Salamah (مسند أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه وسلم رضي الله عنها); Al-Bidayah wan Nihayah (بعض الأحاديث الواردة في فضائل عثمان بن عفان); (Ibn ʿAdī al-Jurjānī (d. 976 CE) – al-Kāmil fī ḍuʿafāʾ al-rijāl ابن عدي الجرجاني – الكامل في ضعفاء الرجال); (Ibn Ḥibbān (d. 965 CE) – al-Majrūḥīn – ابن حبان – المجروحون); Jami’ul Masanid (جامع المسانيد والسنن – ج 28); Tarikh Madinah Dimasyq (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ٣٩ – الصفحة ٩١); Al-Mu’jam al-Kabir.
[6] Shahih Muslim.
[7] Tafsir Kabir karya Khalifatul Masih II (ra), Vol. 9, p. 259.
[8] Ath-Thabaqaat al-Kubra Ibnu Sa’d, (الجزء الثالث القول في الطبقة الأولى وهم البدريين من المهاجرين والأنصار طبقات البدريين من المهاجرين ومن بني عبد شمس بن عبد مناف بن قصي 14 – عثمان بن عفان. ذكر لباس عثمان).
[9] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, Vol. 3, Uthman bin Affan [Beirut, Lebanon: Dar Ihya al-Turath al ‘Arabi, 1996], p. 39.
[10] Majma‘ al-Zawa‘id wa Manba‘ al-Fawa‘id, Vol. 9, p. 65, Kitab al-Manaqib, Bab fi ma Kana fih min al-Khair, Hadith 14524, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2001. Al-Mu’jam al-Kabir karya ath-Thabrani.
[11] Ali Ibn al-Athir, Usdul-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 3, Uthman (ra) bin Affan [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2003], p. 489.
[12] Mukhtashar Tarikh Dimasyq. Al-Mu’jam al-Kabir (المعجم الكبير للطبراني من اسمه عبد الله من اسمه عقيل حديث رقم 114793); Kitab Fadhailush Shahabah karya Ahmad ibnu Hanbal (فضائل الصحابه لاحمد بن حنبل (صفحة 279)).
[13] Majma‘ al-Zawa‘id wa Manba‘ al-Fawa‘id, Vol. 9, p. 64, Kitab al-Manaqib, Bab I‘anatuh fi al-Jaish al-Usrah wa Ghairih, Hadith 14520/14523, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2001.
[14] Kitab al-Bidayah wan Nihayah (كتاب البداية والنهاية) karya Ibnu katsir, jilid ke-7 dan bab memasuki tahun ke-35 yang di dalam tahun itu terbunuhnya Hadhrat ‘Utsman (المجلد السابع ثم دخلت سنة خمس وثلاثين ففيها مقتل عثمان بن عفان رضى الله عنه فصل في الإشارة إلى شيء من الأحاديث الواردة في فضائل أمير المؤمنين عثمان بن عفان رضى الله عنه فصل في ذكر شيء من خطبه).
[15] Tarikh Madinah Dimasyq (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ٣٩ – الصفحة ٢٢٩). Kitab al-Bidayah wan Nihayah (كتاب البداية والنهاية) karya Ibnu katsir, jilid ke-7 dan bab memasuki tahun ke-35 yang di dalam tahun itu terbunuhnya Hadhrat ‘Utsman (المجلد السابع ثم دخلت سنة خمس وثلاثين ففيها مقتل عثمان بن عفان رضى الله عنه فصل في الإشارة إلى شيء من الأحاديث الواردة في فضائل أمير المؤمنين عثمان بن عفان رضى الله عنه فصل في ذكر شيء من خطبه).
[16] Kitab al-Bidayah wan Nihayah (كتاب البداية والنهاية) karya Ibnu Katsir, Vol. 4, Ch. 7, Sanah 35 Hijri, Fasl fi Dhikr Shai min Siratih [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001] p. 208. Abdullah bin Aamir ialah Amir Bashra menggantikan Abu Musa al-‘asy’ari. Umurnya 25 tahun ketika menjadi Amir. Legasi atau warisannya ialah mempertahankan wilayah Persia dari pemberontakan serta penaklukan beberapa daerah lainnya seperti Afghanistan. Di bawahnya, bekerja beberapa Amir seperti Qathan di Kerman.
[17] Shahih al-Bukhari, Kitab Keutamaan Sahabat (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab keutamaan Zubair (باب مَنَاقِبُ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ) nomor 3717.
[18] Kanz al-Ummal, Vol. 13, p. 23, Kitab al-Fada‘il, Fada‘il al-Sahabah, Hadith 36217/36222, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,Beirut, 2004; Tarikh Madinah Dimasyq (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ٣٩ – الصفحة ١٠٠); Mujam Thabarani Awsath jilid 4 halaman 118.
[19] Mishkat al-Masabih » The Excellent Qualities of the Qur’an – كتاب فضائل القرآن » Hadith 2221 bab (باب اختلاف القراءات وجمع القرآن – الفصل الثالث); Shahih al-Bukhari, Virtues of the Qur’an – كتاب فضائل القرآن Hadith 4986-4987, (باب جَمْعِ الْقُرْآنِ). Zaid bin Tsabit ialah orang non Quraisy dan berasal dari Madinah.
[20] Al-Itqaan fi ‘Uluumil Qur’aan (الإتقان في علوم القرآن), bahasan pengumpulan Al-Qur’an tiga kali (جَمْعُ الْقُرْآنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ) karya Imam as-Suyuthi. Ibnu at-Tiin atau Abu Muhammad Abdul Wahid bin Umar bin Abdul Wahid bin Tsabit ibnu At-Tiin ash-Shafaqisi (أبو محمد عبد الواحد بن عمر بن عبد الواحد بن ثابت ابن التين الصفاقسي). Beliau wafat pada 611 H/1214 Masehi di Safaques, Tunisia. Beliau seorang Imam madzhab Maliki dan menulis syarh (komentar) atas Kitab Shahih al-Bukhari yang berjudul al-Khabar al-Fashih al-Jaami’ li Fawaaid Musnad al-Bukhari ash-Shahih (الخبر الفصيح الجامع لفوائد مسند البخاري الصحيح).
[21] Ali Muhammad al-Salabi, Sirat Amirul Momineen Uthman (ra) bin Affan Shakhsiyyatuhu wa Asruh, Ch. 1 [Beirut, Lebanon: Dar al-Ma‘rifah, 2006]) pp. 232-231; Al-Jaami’ li-Ahkaamil Qur’aan (الجامع لأحكام القرآن) atau Tafsir al-Qurthubi (تفسير القرطبي), al-Muqaddimah atau pendahuluan (المقدمة), bab dzikr jam’il Qur’aan (باب ذكر جمع القرآن ، وسبب كتب عثمان المصاحف وإحراقه ما سواها ، وذكر من حفظ القرآن من الصحابة رضي الله عنهم في زمن النبي – صلى الله عليه وسلم)
[22] THE LIFE OF MOHAMMAD FROM ORIGINAL SOURCES BY SIR WILLIAM MUIR, K.C.S.I. LL.D., D.C.L., Ph.D. (Bologna), A NEW AND REVISED EDITION BY T. H. WEIR, B.D., M.R.A.S. Lecturer in Arabic in the University of Glasgow; EDINBURGH: JOHN GRANT 31 GEORGE IV. BRIDGE, 1923 dan THE LIFE OF MAHOMET WITH INTRODUCTORY CHAPTERS ON THE ORIGINAL SOURCES FOR THE BIOGRAPHY OF MAHOMET, AND ON THE PRE-ISLAMITE HISTORY OF ARABIA by WILLIAM MUIR, ESQ., Bengal Civil Service, VOLUME I, LONDON: SMITH, ELDER AND CO., 65, CORNIIILL, 1861: “Any passages which Mohammad, finding to be inconvenient, or otherwise inexpedient for publication, withdrew before coming into circulation, will, of course, not be found in our present Kor’an ; nor would an altered passage remain but in its altered form. But this does not in any measure affect the value of the Kor’an as an exponent of Mohammad’s opinions, or at least of the opinions he finally professed to hold ; since what we now have, though possibly corrected and modified by himself, is still his own.”
[23] The Life of Mahomet by Sir William Muir: “We may, upon the strongest presumption, affirm that every verse is the genuine and unaltered composition of Muhammad himsel.”
[24] Encyclopaedia Britannica, 11th Edition, Volume 15, Slice 8 dibawah kata KORAN, The Koran not complete: “Slight clerical errors there may have been, but the Koran of Othmān contains none but genuine elements—though sometimes in very strange order. All efforts of European scholars to prove the existence of later interpolations in the Koran have failed.”
[25] Haqaiq-ul-Furqan, Vol. 4, p. 272.
[26] Perbedaan Hadhrat ‘Umar dengan Hadhrat Abdullah ibn Mas’ud terdapat keterangannya dalam Kitab Fathul Bari syarh Shahih al-Bukhari (فتح الباري شرح صحيح البخاري), (كتاب فضائل القرآن), bab (باب أنزل القرآن على سبعة أحرف). Sementara riwayat perbedaan Hadhrat ‘Umar dengan Sahabat lainnya ialah dengan Hisyam bin Hakim bin Hizam. Ini ada di banyak Kitab seperti Sunan Abu Daud, Kitab : Shalat, Bab: Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh logat, No. Hadist : 1261. Peristiwa serupa juga terjadi pada Ubayy bin Ka’b dengan Sahabat lain.
[27] Banu Hudzail asal ‘Abdullah bin Mas’ud dekat dengan kalangan Badui. Kalangan Badui adalah golongan yang nomaden alias tidak menetap tetap tetapi sering berpindah-pindah.
[28] Tafsir-e-Kabir, Vol. 9, pp. 49-51.
[29] Original Urdu transcript published in Al Fazl International, 23 April 2021, pp. 5-10. Translated by The Review of Religions.