Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyAllahu ta’ala ‘anhu (Seri-4). Pembahasan lanjutan mengenai salah seorang Khulafa’ur Rasyidin (Para Khalifah yang Dibimbing dengan Benar) yaitu Hadhrat ‘Utsman bin ‘Affan (عُثْمَانُ بنُ عَفَّان) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 105, Khulafa’ur Rasyidin Seri 11)
Baca Juga:
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 1)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 2)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 3)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 4)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 5)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 6)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 7)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 8)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 9)
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 26 Februari 2021 (Sulh 1400 Hijriyah Syamsiyah/14 Rajab 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Pada waktu Jumat yang baru lalu telah saya bahas perihal peperangan pada masa Khilafat Hadhrat ‘Utsman (ra) dan kemenangan yang diraih. Pada hari ini pun akan saya sampaikan mengenai itu. Ali bin Muhammad al-Madaini meriwayatkan, “Pada masa Hadhrat ‘Utsman (ra) di tahun 30 Hijriah terjadi peperangan di Ath-Thabaristan dan pasukan Muslim meraih kemenangan dengan menguasai benteng musuh dan kaum Muslim dibawah pimpinan Hadhrat Said bin al-‘Ash (ra).”[1]
Demikian pula, penaklukan Sawari terjadi pada tahun 31 Hijriah. Berkenaan dengan itu diriwayatkan bahwa kebanyakan buku sejarah tidak mencantumkan nama tempat terjadinya perang tersebut. Allamah Ibnu Khaldun menulis bahwa perang tersebut terjadi di Iskandariyah [Alexandria, Mesir].[2] Berdasarkan satu pendapat, pada tahun 31 Hijriah, pasukan Muslim bertempur dengan pasukan Romawi yang disebut dengan perang Shawari (غَزْوَةُ الصَّوَارِي).
Berdasarkan riwayat Abu Mahsyar, perang Shawari terjadi pada tahun 34 Hijriah. Perang Asawidah (غَزْوَةُ الْأَسَاوِدَةِ) terjadi 31 hijriah. Menurut al-Waqidi Perang Asawidah dan perang Shuwari, keduanya terjadi pada tahun 31 Hijriah.[3]
Ketika Hadhrat Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh mengalahkan orang-orang Franks (Prancis) dan Barbar di Ifriqiyah (Afrika Utara) dan Andalusia, hal ini membuat orang-orang Romawi Bizantium naik pitam lalu semuanya datang kepada Konstant II [putra Heraklius]. Mereka bersatu dan berkumpul di bawah pimpinannya lalu berangkat membawa pasukan untuk menghadapi pasukan Muslim, yang mana tidak ditemukan contohnya dari sejak permulaan Islam hingga sekarang. Laskar mereka mengendarai 500 kapal laut.[4]
Amir Muawiyah menetapkan Hadhrat Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh sebagai pemimpin Bahri Bere (Admiral, pemimpin Armada laut]. Ketika kedua laskar saling berhadap-hadapan, terjadi pertempuran sengit, pada akhirnya berkat pertolongan Allah Ta’ala pasukan Muslim mendapatkan kemenangan dan Kostant II dan laskar lainnya melarikan diri.[5]
Penaklukan Armenia terjadi pada tahun 31 Hijriah. Menurut pendapat al-Waqidi, Armenia ditaklukan di tangan Habib bin Maslamah al-Fihri pada tahun 31 Hijriah.[6]
Khurasan ditaklukkan pada tahun 31 Hijriah. Hadhrat Abdullah bin Amir berangkat ke Khurasan. Beliau menaklukan kota Abreh, Tus, Abiward dan Nasheh hingga sampai di Sarkhas. Penduduk Merw juga menempuh jalan damai pada tahun ini.[7]
Merw berada di Tukrmenistan dan daerah selebihnya berada di Iran. Ekspedisi militer ke wilayah-wilayah Romawi Bizantium terjadi pada tahun 32 Hijriah. Pada 32 Hijriah Amir Muawiyah bertempur melawan Romawi hingga sampai di gerbang kota Konstantinople.[8]
Marw ar-Rudh, Taliqaan, Faryaab, Jawzjan dan Takharistan berhasil ditaklukan pada tahun 32 Hijriah. Pada tahun 32 Hijriah Hadhrat Abdullah bin Amir berhasil menaklukan Marw ar-Rudh, Taliqaan, terletak diantara Balkh dan Marw ar-Rudh, Afghanistan saat ini. Fariyab juga merupakan daerah di Afghanistan. Juzjaan juga berada di Afghanistan, Takharistan juga merupakan daerah di Afghanistan. Semuanya berhasil ditaklukan.[9]
Abul Ashab as-Sa’di meriwayatkan dari ayahnya bahwa Ahnaf bin Qais terus berperang melawan penduduk Marw ar-Rudh, Taliqaan, Faryaab dan Jawzjan hingga gelap malam, pada akhirnya Allah Ta’ala memberikan kekalahan kepada musuh.[10]
Ahnaf bin Qais memberangkatkan Aqrah bin Habis ke Jawzjan bersama dengan satu laskar berkuda. Aqrah juga diutus kepada laskar selebihnya yang telah dikalahkan oleh Ahnaf. Lalu Aqrah bin Habis bertempur melawan mereka yang mengakibatkan para pengendara kuda dari pihak beliau syahid. Namun Allah Ta’ala menganugerahkan kemenangan kepada pihak Muslim.[11]
Penaklukan Balkh terjadi pada tahun 32 Hijriah. Ahnaf bin Qais berangkat dari Marw ar-Rudh menuju Balkh, sesampaiknya di sana melakukan pengepungan terhadap penduduk Balkh. Balkh tempo dulu adalah sebuah kota yang sangat penting di Khurasan dan ini merupakan kota yang paling tua di Afghanistan sekarang. Saat ini kota tua masih ada dalam bentuk reruntuhan puing. Terletak 12 km jauhnya dari ujung kanan sungai Balkh. Penduduk di sana mengajukan untuk berdamai dengan membayar uang 400 ribu dan itu diterima oleh Ahnaf bin Qais.[12]
Misi ke Herat terjadi pada tahun 32 Hijriah. Hadhrat ‘Utsman (ra) memberangkatkan Khulaid bin Abdullah bin Hanafi ke Herat dan Badghis. Beliau berhasil menaklukan kedua daerah itu. Namun di kemudian hari penduduk kedua kota itu memberontak dan bersekongkol dengan raja Qarin.[13]
Pada tahun 32 Hijriah Hadhrat Abdullah bin Amir menetapkan Qais bin Haitsam sebagai penggantinya di Khurasan. Beliau sendiri pergi dari sana.[14] Pada waktu Raja Qarin telah menyiapkan satu laskar besar untuk menghadapi umat Muslim, Qais bin Haitsam menyerahkan komando di Khurasan kepada Abdullah bin Hazim lalu pergi menemui Hadhrat Abdullah bin Amir untuk membantunya.[15] Karena jumlah lawan cukup banyak sehingga Abdullah bin Hazim berangkat dengan membawa 4000 pasukan untuk menghadapi Raja Qarin. Abdullah bin Hazim mengirim 600 pasukan untuk berangkat lebih dulu. Beliau sendiri berangkat menyusul dibelakangnya. Pasukan yang pertama pergi itu sampai di dekat pasukan Qarin pada tengah malam lalu menggempurnya. Disebabkan serangan mendadak tersebut, musuh ketakutan. Ketika pasukan Muslim selebihnya tiba, lawan semakin terpojok telak dan Qarin pun terbunuh. Pasukan Muslim mengepung sehingga banyak sekali pihak musuh yang terbunuh atau dijadikan tawanan.[16]
Pada zaman Hadhrat ‘Utsman (ra), Islam tiba di anak benua India. Imam Yusuf menulis dalam Kitabul Kharaaj dengan mengutip referensi dari Imam az-Zuhri, “Mesir dan Syria berhasil ditaklukan pada zaman Hadhrat ‘Umar. Sementara daerah Ifriqiyah, Khurasan dan Sindh ditaklukan pada zaman Hadhrat ‘Utsman (ra).”[17]
Berkenaan dengan sampainya Islam di benua India terdapat satu riwayat, “Pada zaman Hadhrat ‘Utsman (ra), Hadhrat Abdullah bin Ma-mar beserta laskar telah diutus ke Makraan dan Sindh. Ketika penaklukan makraan beliau memperlihatkan keberanian yang luar biasa. Setelah itu komando di berbagai daerah taklukan tersebut diserahkan kepada beliau.”
Berkenaan dengan Hadhrat Mujasya’ bin Mas’ud as-Sulami tertulis riwayat dari beliau bahwa beliau memimpin sebuah laskar pasukan Islam melakukan jihad melawan musuh Islam di ibukota Afghanistan saat ini, Kabul.
Penurut para sejarawan, pada zaman itu Kabul (Afghanistan) tergolong negeri Hind. Pada zaman Hadhrat ‘Utsman (ra), Hadhrat Mujasyi’ juga berperang melawan musuh Islam di provinsi Balucistan yang sekarang wilayah Pakistan dan mengibarkan bendera di daerah sekitarnya, Sijistan. Setelah itu Pasukan Muslim menetap di daerah-daerah anak benua India ini dan menganggapnya sebagai tanah air mereka.[18]
Berkenaan dengan pemberontakan pada zaman Hadhrat ‘Utsman (ra), terdapat beberapa nubuatan Rasulullah (saw). Hadhrat Aisyah meriwayatkan, “Rasulullah (saw) bersabda, يَا عُثْمَانُ إِنَّهُ لَعَلَّ اللَّهَ يُقَمِّصُكَ قَمِيصًا فَإِنْ أَرَادُوكَ عَلَى خَلْعِهِ فَلاَ تَخْلَعْهُ لَهُمْ Wahai ‘Utsman (ra), mungkin saja Allah Ta’ala akan memakaikan padamu sebuah pakaian, jika orang-orang menuntutmu untuk membuka pakaian tersebut, janganlah sekali-kali menuruti mereka untuk membukanya.’”[19] (Tirmidzi)
Sementara dalam Sunan Ibni Majah tertulis sbb, Hadhrat Aisyah meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda, يَا عُثْمَانُ إِنْ وَلاَّكَ اللَّهُ هَذَا الأَمْرَ يَوْمًا فَأَرَادَكَ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تَخْلَعَ قَمِيصَكَ الَّذِي قَمَّصَكَ اللَّهُ فَلاَ تَخْلَعْهُ ‘Wahai ‘Utsman (ra), jika suatu hari Allah Ta’ala menyerahkan perkara ini padamu, sedangkan orang-orang munafik ingin membuka pakaian yang Allah pakaikan padamu, janganlah membukanya.’ Beliau bersabda sepeti itu tiga kali. يَقُولُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ . قَالَ النُّعْمَانُ فَقُلْتُ لِعَائِشَةَ مَا مَنَعَكِ أَنْ تُعْلِمِي النَّاسَ بِهَذَا قَالَتْ أُنْسِيتُهُ وَاللَّهِ . Perawi yang bernama Nu’man mengatakan, “Saya bertanya kepada Hadhrat Aisyah, ‘Apa yang membuat Anda enggan untuk memberitahukan hal ini kepada orang-orang?’ Hadhrat Aisyah bersabda, ‘Hal ini telah dilupakan oleh saya.’”[20]
Hadhrat Ka’b bin Ujrah (كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ) meriwayatkan, ذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ فِتْنَةً فَقَرَّبَهَا فَمَرَّ رَجُلٌ مُقَنَّعٌ رَأْسُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ ” هَذَا يَوْمَئِذٍ عَلَى الْهُدَى ” . فَوَثَبْتُ فَأَخَذْتُ بِضَبْعَىْ عُثْمَانَ ثُمَّ اسْتَقْبَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ فَقُلْتُ هَذَا قَالَ ” هَذَا “Rasulullah (saw) pernah menceritakan perihal satu kekacauan dan mengatakan bahwa hal itu sudah dekat. Ketika Rasul menyabdakan demikian, ada orang yang lewat dengan menutupi kepalanya dengan kain. Rasulullah (saw) bersabda, ‘Orang ini (yang bertutupkan kain) pada saat itu akan berada diatas petunjuk.’” Perawi mengatakan, “Saya langsung melompat lalu menangkap orang yang bercadar itu ternyata orang itu adalah Hadhrat ‘Utsman (ra). Kedua lengan beliau saya pegang. Saya lalu mengarahkan pandangan kepada Rasulullah (saw) dan berkata, ‘Apakah ini orangnya?’ Hudhur bersabda, ‘Ya, ini orangnya.’”[21]
Hadhrat Aisyah (ra) pernah bersabda, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ فِي مَرَضِهِ ” وَدِدْتُ أَنَّ عِنْدِي بَعْضَ أَصْحَابِي ” . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نَدْعُو لَكَ أَبَا بَكْرٍ فَسَكَتَ قُلْنَا أَلاَ نَدْعُو لَكَ عُمَرَ فَسَكَتَ قُلْنَا أَلاَ نَدْعُو لَكَ عُثْمَانَ قَالَ ” نَعَمْ ” . فَجَاءَ عُثْمَانُ فَخَلاَ بِهِ فَجَعَلَ النَّبِيُّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ يُكَلِّمُهُ وَوَجْهُ عُثْمَانَ يَتَغَيَّرُ “Ketika Rasulullah (saw) tengah sakit, beliau pernah bersabda, ‘Saya ingin supaya beberapa sahabat datang menemui saya saat ini.’ Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Bolehkah kami panggil Abu Bakr untuk hadir?’ Rasul terdiam. Lalu kami bertanya, ‘Bolehkah kami panggil ‘Umar untuk hadir?’ Rasul terdiam. Kami berkata, ‘Bolehkah kami panggil ‘Utsman (ra) untuk hadir?’ Rasul bersabda, ‘Ya.’
Lalu Hadhrat ‘Utsman (ra) datang. Rasulullah (saw) menemui beliau dalam kesendirian. Rasul bercakap-cakap dengan beliau. Saat itu rona wajah Hadhrat ‘Utsman (ra) berubah.
Qais mengatakan, فَحَدَّثَنِي أَبُو سَهْلَةَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ قَالَ يَوْمَ الدَّارِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ عَهِدَ إِلَىَّ عَهْدًا وَأَنَا صَائِرٌ إِلَيْهِ “Mantan budak Hadhrat ‘Utsman (ra) bernama Abu Sahlah mengatakan kepada saya, ‘Hadhrat ‘Utsman (ra) telah mengatakan kepada saya pada kesempatan Yaumud Daar, “Rasulullah pernah menekankan akan sesuatu hal dan saya sedang menuju ke sana.”’” Perawi mengatakan, “Hadhrat ‘Utsman (ra) bersabda, ‘Ana shaabir alaihi’ – ‘Saya menanggungnya dengan teguh dan sabar.’”[22] Yaumud Daar artinya adalah hari dimana rumah Hadhrat ‘Utsman (ra) dikepung oleh orang-orang Munafiq lalu disyahidkan dengan kejinya.
Berkenaan dengan awal mula fitnah (pemberontakan) yang terjadi pada masa kekhalifahan Hadhrat ‘Utsman (ra) dan penyebabnya, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) telah menjelaskannya secara rinci. Beliau bersabda, “Hadhrat ‘Utsman (ra) dan Hadhrat Ali adalah dua pribadi suci yang termasuk diantara pejuang Islam pada masa awal. Kawan-kawan beliau pun merupakan buah terbaik Islam. Tuduhan yang dilontarkan terhadap kejujuran dan ketakwaan beliau sebenarnya mencoreng nama baik islam. Muslim yang merenungkan hakikat ini dengan hati yang tulus, ia akan sampai pada hasil bahwa kedua wujud ini sebenarnya bersih dari itu semua. Hal ini bukan tanpa bukti, melainkan lembaran sejarah, bagi orang yang membuka matanya dan memperhatikan beliau-beliau secara seksama, menjadi saksi atas hal itu. Sejauh berkenaan dengan penyelidikan yang saya lakukan, apapun yang diterangkan berkenaan dengan paa wujud suci dan kawan kawan beliau merupakan akal akalan dari para penentang islam. Meskipun ada orang yang mengaku Muslim melontarkan tuduhan kepada salah satu diantara para wujud suci itu didasari atas egoismenya, namun meskipun demikian, kebenaran senantiasa berada pada posisi tertinggi dan kebenaran selalu tampak nyata.”[23]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda berkenaan dengan kekacauan yang terjadi pada zaman Hadhrat ‘Utsman (ra), “Pertanyaannya adalah, dari mana timbulnya kekacauan itu? Sebagian orang menganggap penyebabnya adalah Hadhrat ‘Utsman (ra). Sebagiannya lagi menuduh Hadhrat Ali. Sebagian orang menuduh bahwa ini terjadi disebabkan oleh bidah-bidah [hal-hal diada-adakan] yang dimunculkan oleh Hadhrat ‘Utsman (ra) yang menimbulkan api amarah di kalangan umat Islam. Sebagian lagi menuduh bahwa Hadhrat Ali melakukan upaya rahasia untuk menimbulkan perlawanan terhadap Hadhrat ‘Utsman (ra) dan menjadi otak pembunuhan Hadhrat ‘Utsman (ra) dengan tujuan agar Hadhrat Ali menduduki posisi sebagai khalifah menggantikan beliau.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda: “Namun, kedua tuduhan ini salah; Hadhrat ‘Utsman (ra) juga tidak ciptakan bidah-bidah, begitu pula Hadhrat ‘Ali (ra) bukan pembunuh Hadhat ‘Utsman (ra) atau menjadi mastermind (otak) komplotan untuk membunuh beliau. Sebenarnya, ada penyebab lain munculnya pemberontakan ini. Hadhrat ‘Utsman (ra) dan Hadhrat ‘Ali (ra) benar-benar bersih dari tuduhan semacam itu. Keduanya adalah wujud yang sangat suci.
Nabi (saw) pernah bersabda berkenaan dengan Hadhrat ‘Utsman (ra), “Begitu besarnya pengabdian yang telah ‘Utsman (ra) berikan untuk Islam sehingga sekarang dia dapat melakukan apapun yang dia inginkan, dan Tuhan tidak akan mempertanyakannya (riwayat Sunan Tirmidzi). Ini tidak berarti beliau tidak akan dimintai pertanggungjawaban meskipun meninggalkan Islam. Melainkan, disimpulkan bahwa beliau telah memperoleh begitu banyak kualitas dan telah sedemikian rupa meningkat dalam kebajikan sehingga tidak mungkin lagi melanggar perintah-perintah Allah Ta’ala. Karena itu, Hadhrat ‘Utsman (ra) tidak akan mengeluarkan perintah yang melanggar syariah, begitu juga Hadhrat ‘Ali (ra) bukanlah orang yang diam-diam bersekongkol untuk merebut Khilafat.”[24]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) lebih lanjut menyatakan: “… pada awal Khilafat Hadhrat ‘Utsman (ra) kami tidak melihat tanda-tanda kekacauan hingga enam tahun. Justru sebaliknya, tampaknya orang-orang pada umumnya merasa bahagia pada masa itu. Faktanya, telah dipastikan dari sejarah bahwa di era ini Hadhrat ‘Utsman (ra) lebih dicintai oleh orang banyak daripada Hadhrat ‘Umar (ra). Tidak hanya dicintai bahkan pada kenyataannya, orang-orang kagum kepada beliau. Seorang penyair pada masa itu bersaksi tentang fakta ini dalam syair puitisnya, dengan kata-kata berikut,
لا تَأْكُلُوا أَبَدًا جِيرَانَكُمْ سَرَفًا *** أَهْلَ الزَّعَارَةِ فِي مُلْكِ ابْنِ عَفَّانِ
إِنَّ ابْنَ عَفَّانَ الَّذِي جَرَّبْتُمُ *** فَطَمَ اللُّصُوصَ بِمُحْكَمِ الْفُرْقَانِ
مَا زَالَ يَعْمَلُ بِالْكِتَابِ مُهَيْمِنًا *** فِي كُلِّ عُنْقٍ مِنْهُمُ وَبِنَانِ
‘Jangan kau jarah dan lahap kekayaan rakyat – hai para pemberontak dalam pemerintahan Ibnu ‘Affan (putra ‘Affan, yaitu Hadhrat ‘Utsman)!
Telah kalian alami sendiri bagaimana Ibnu ‘Affan (putra ‘Affan) – dia eksekusi para penjarah sesuai perintah Al-Furqan (Al-Qur’an)
Senantiasa dia pelaksana hukum-hukum itu Kitab; dia ajarkan ‘tuk bertindak atas dasar hukum-hukumnya.’[25]
Namun, setelah enam tahun, kami melihat satu gerakan pada tahun ketujuh; dan ini tidak ditujukan kepada Hadhrat ‘Utsman (ra); sebaliknya, itu ditujukan kepada para sahabat atau para gubernur. Karena itu, Ath-Thabari meriwayatkan bahwa Hadhrat ‘Utsman (ra) sangat memperhatikan hak-hak orang. Namun, orang-orang yang bukan pelopor atau awalin dalam Islam, tidak mendapatkan kemuliaan sama seperti yang diraih oleh para Muslim awal dan perintis dalam acara acara; mereka juga tidak menerima bagian yang sama dalam pemerintahan dan kekayaan. Seiring berjalannya waktu, beberapa orang mulai mengkritik perlakuan istimewa ini dan menganggapnya sebagai ketidakadilan.
Namun, orang-orang ini takut dengan umat Muslim yang dapat menentang mereka sehingga orang-orang ini tidak mengungkapkan pandangan mereka. Sebaliknya, secara diam-diam mereka menghasut orang-orang untuk menentang para sahabat. Ketika mereka bertemu dengan seorang Muslim yang tidak berpendidikan atau seorang budak Badui yang telah dibebaskan, mereka mulai menyampaikan kritikan-kritikan. Akibatnya, karena awam atau karena gandrung untuk mendapatkan kedudukan, lalu orang-orang tertentu akan bergabung dengan para pemberontak itu. Lambat laun, kelompok ini mulai bertambah banyak dan mencapai jumlah yang besar.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ketika timbul kekisruhan, faktor-faktor penyebabnya juga mulai terakumulasi dengan cara yang luar biasa. Di satu sisi, mereka yang memiliki watak cemburu mulai marah terhadap para sahabat. Di sisi lain, semangat Islam, yang biasanya timbul di hati semua orang yang baru berpindah dari agama lain, mulai menurun di antara para mubayyiin baru ini, yang notabene tidak pernah bergaul dengan Nabi (saw) dan tidak juga mendapat kesempatan untuk bergaul dengan para sahabat beliau (saw).
Faktanya, begitu mereka baiat masuk Islam, mereka berasumsi bahwa mereka telah mempelajari segalanya. Segera setelah semangat Islam ini berkurang, kendali yang dimiliki Islam atas hati mereka juga mulai melemah. Mereka, sekali lagi, mulai menikmati melakukan dosa-dosa yang pernah mereka lakukan sebelum masuk Islam. Ketika mereka dihukum karena kejahatan mereka, bukannya mengubah diri, mereka malah cenderung membinasakan orang-orang yang memberikan hukuman kepada mereka. Pada akhirnya, mereka terbukti menjadi penyebab terjadinya keretakan besar dalam persatuan yang dinikmati oleh Islam. Markas orang-orang ini adalah di Kufah.
Namun, hal yang paling mengherankan adalah sebuah peristiwa terjadi di Madinah itu sendiri, yang menunjukkan bahwa pada masa itu, sebagian orang masih asing dengan Islam seperti orang-orang bodoh saat ini yang tinggal di daerah terpencil. Humran bin Abban adalah orang yang menikahi seorang wanita yang masih dalam masa ‘iddahnya [masa menunggu, suatu periode ketika seorang wanita dilarang menikah]. Ketika Hadhrat ‘Utsman (ra) mengetahui hal ini, beliau tidak senang padanya sehingga tidak hanya memerintahkannya untuk berpisah, bahkan mengasingkannya dari Madinah ke Basrah.
Kejadian ini menunjukkan bagaimana sebagian orang yang baru masuk Islam, merasa telah menjadi ulama sehingga tidak merasa perlu untuk penelitian lebih lanjut [tentang keislaman]. Mungkin karena terpengaruh berbagai sudut pandang, mereka mengaitkan keyakinan hal-hal yang haram sebagai diperbolehkan dan mereka menganggap sia-sia menjalankan syariah.”[26]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) lebih lanjut menceritakan: “Sebenarnya, seluruh gangguan ini adalah akibat persekongkolan rahasia yang dibuat oleh orang-orang Yahudi. Mereka bergabung dengan orang-orang Muslim tertentu yang gandrung dengan keserakahan duniawi dan telah meninggalkan keyakinan mereka.
Gubernur provinsi juga tidak bisa disalahkan atas hal ini, mereka juga bukan penyebab kekacauan ini (ini dipicu oleh orang-orang Yahudi tertentu dan beberapa Muslim yang bergabung dengan mereka. Meskipun demikian, gubernur yang ditunjuk oleh Hadhrat ‘Utsman (ra) bebas dari kesalahan, juga bukan penghasut atas kekacauan ini) Satu-satunya kesalahan mereka adalah telah ditunjuk oleh Hadhrat ‘Utsman (ra) dan kesalahan Hadhrat ‘Utsman (ra) adalah berpegang teguh pada tali persatuan Islam meskipun usia tuanya dan kelemahan fisik. Beliau memikul beban umat Muslim di pundaknya dan memikirkan perihal penegakan syariah Islam. Beliau tidak akan membiarkan pemberontak dan tiran menindas yang lemah dan tidak berdaya sesuai dengan keinginan mereka.
Karena itu, kejadian berikut ini membuktikan kebenaran dari fakta ini. Ketika pemberontak yang sama mengadakan pertemuan di Kufah dan mulai membahas bagaimana kekacauan dapat diciptakan dalam urusan umat Muslim, semua orang dengan suara bulat memberikan pendapat, لا وَاللَّهِ لا يرفع رأس مَا دام عُثْمَان عَلَى الناس ‘Demi Tuhan, tidak ada yang berani mengangkat kepala selama pemerintahan ‘Utsman (ra) berlangsung.’[27]
Pribadi Hadhrat ‘Utsman (ra) sendirilah yang mencegah pemberontakan. Orang-orang ini merasa perlu untuk menyingkirkannya agar dapat dengan bebas mencapai tujuan mereka.”[28]
Menjelaskan lebih rinci tentang perselisihan, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menyatakan: “Kemudian Hadhrat ‘Utsman (ra) memanggil para pembuat kerusuhan dan mengumpulkan para sahabat juga. Ketika semua orang telah berkumpul, Hadhrat ‘Utsman (ra) mengabarkan kepada mereka tentang seluruh kejadian itu. Kedua informan tersebut berdiri sebagai saksi dan memberikan kesaksian (tentang konspirasi para pemberontak).
Atas hal ini, semua sahabat memberikan fatwa berikut, اقتلهم،فان رسول الله صَلَّىى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «من دعا إِلَى نفسه أو إِلَى أحد وعلى الناس إمام فعليه لعنة اللَّه فاقتلوه» ‘Eksekusi [hukum mati] orang-orang ini (yang menciptakan kekacauan atas nama “perdamaian” dan “reformasi”) karena Nabi (saw) telah bersabda, “Semoga Allah mengutuk orang yang menyeru orang lain untuk taat pada dirinya sendiri atau kepada orang lain padahal telah ada Imam (Pemimpin). Bunuh orang seperti itu, siapa pun dia.”’
Kemudian, orang-orang mengingatkan pada ucapan Hadhrat ‘Umar (ra) – riwayat serupa juga tercantum dalam Kitab Sahih Muslim – , لا أحل لكم إلا مَا قتلتموه وأنا شريككم ‘Saya tidak menganggap jaiz (dibenarkan) menjatuhkan eksekusi (hukuman mati) terhadap orang seperti itu di mana saya tidak ikut serta di dalamnya.’ Dengan kata lain, ‘Tidak ada yang boleh dieksekusi kecuali ada indikasi [isyarat atau perintah] dari pemerintah.’
Setelah mendengar putusan para sahabat, Hadhrat ‘Utsman (ra) menyatakan, بل نعفو ونقبل ونبصرهم بجهدنا، وَلا نحاد أحدا حَتَّى يركب حدا، أو يبدي كفرا إن هَؤُلاءِ ذكروا أمورا قَدْ علموا منها مثل الَّذِي علمتم، إلا أَنَّهُمْ زعموا أَنَّهُمْ يذاكرونيها ليوجبوها علي عِنْدَ من لا يعلم ‘Tidak, kami akan memaafkan mereka dan menerima permohonan mereka. Kami akan menasihati mereka dengan segala upaya kami dan kami tidak akan menentang siapa pun selama dia tidak secara jelas melanggar hukum atau menyatakan kekufuran.‘ [29]
Kemudian Hadhrat ‘Utsman (ra) berkata, ‘Orang-orang ini telah menyebutkan hal-hal tertentu yang Anda ketahui juga. Namun, rencana mereka adalah berdebat dengan saya tentang masalah ini sehingga mereka dapat kembali dan berkata, ‘Kami berdebat dengan ‘Utsman tentang masalah ini dan dia telah dikalahkan.’
Orang-orang ini menuduh bahwa dalam perjalanan saya tidak mengqashar shalat padahal Nabi (saw) biasa melakukan shalat qashr saat dalam perjalanan. Namun, hanya di Mina saja saya tidak mengqashar shalat dan itu pun karena dua alasan: pertama, karena saya memiliki harta benda di sana dan saya juga menikah di sana; kedua karena saya mengetahui bahwa pada masa itu orang-orang berdatangan untuk ibadah haji, dan jangan sampai mereka yang tidak berpendidikan beranggapan bahwa Khalifah hanya melakukan dua raka’at shalat sehingga kami pun akan melakukan dua raka’at saja. Benarkah apa yang saya lakukan ini? “
Para sahabat menjawab, ‘Ya, ini benar.’
Kemudian Hadhrat ‘Utsman (ra) berkata, ‘Tuduhan kedua yang mereka lontarkan adalah bahwa saya telah mengadakan bid’ah [sesuatu mengada-ada] dengan membangun padang rumput untuk publik, adapun ini adalah tuduhan yang keliru. Padang rumput telah dibuat sebelum saya, yakni oleh Hadhrat ‘Umar (ra) dan saya hanya memperluas saja karena semakin banyak unta dari hasil sedekah.
Kemudian, tanah yang diperuntukkan bagi padang rumput umum bukanlah kekayaan siapa pun. Saya tidak mendapatkan keuntungan dalam hal ini; saya hanya memiliki dua unta saja saat ini, sedangkan pada saat saya menjadi Khalifah saya adalah yang terkaya di antara semua orang Arab. Sekarang saya hanya punya dua ekor unta yang saya simpan untuk ibadah haji. (Hadhrat ‘Utsman (ra) berkata, pada saat terpilih sebagai Khalifah, saya adalah orang terkaya dari semua orang Arab, tapi sekarang hanya memiliki dua unta saja) Bukankah ini benar?’
Para sahabat yang mulia menegaskan,’ Sungguh, Itu benar.’
Kemudian Hadhrat ‘Utsman (ra) berkata, ‘Mereka juga menuduh bahwa saya menunjuk pria yang relatif muda sebagai gubernur, meskipun yang saya tunjuk adalah yang memiliki sifat dan perilaku yang baik. Bahkan, orang-orang suci sebelum saya menunjuk orang yang lebih muda sebagai gubernur daripada orang yang ditunjuk oleh saya. Keberatan yang lebih dahsyat dilontarkan terhadap Nabi (saw) karena beliau telah menunjuk Usamah bin Zaid sebagai komandan tentara. Apakah ini tidak benar?’
Para sahabat menjawab, ‘Itu benar.’
Hadhrat ‘Utsman (ra) kemudian berkata, ‘Mereka ini mengajukan keberatan di hadapan orang-orang tetapi menyembunyikan hal yang sebenarnya.’[30] Demikianlah Hadhrat ‘Utsman (ra) menjelaskan dengan gamblang semua keberatan satu per satu dan membantahnya satu demi satu.
Para sahabat dengan tegas bersikeras bahwa mereka harus dieksekusi, tetapi Hadhrat ‘Utsman (ra) tidak setuju dan membebaskan mereka. Ath-Thabari [seorang penulis sejarah] menyatakan, وأبى الْمُسْلِمُونَ إلا قتلهم، وأبى إلا تركهم ‘wa abal Muslimuuna illa qatlahum wa abaa illa tarokahum’ – ‘Umat Muslim bersikeras agar mereka dieksekusi tetapi beliau yaitu Hadhrat ‘Utsman (ra) tidak dapat diyakinkan dengan cara apa pun untuk menghukum mereka.’ [31]
Kejadian ini menunjukkan berbagai jenis kebohongan dan penipuan yang dilakukan oleh para pembuat onar. Di era itu, ketika pers dan alat transportasi belum berkembang seperti sekarang, sangat mudah bagi orang-orang ini untuk menyesatkan mereka yang tidak berpendidikan. Namun kenyataannya, orang-orang ini tidak memiliki alasan yang sah untuk bangkit. Kebenaran juga tidak berpihak kepada mereka. Tidak juga mereka menyertai kebenaran. Semua usaha mereka didasarkan pada kebohongan dan kepalsuan. Hanya belas kasihan Hadhrat ‘Utsman (ra) yang menyelamatkan mereka, jika tidak, orang-orang Muslim pasti akan telah mencabik-cabik mereka.
Para sahabat tidak pernah dapat menerima bahwa perdamaian dan keamanan yang telah mereka capai dengan mengorbankan hidup mereka dihilangkan dengan cara ini oleh kenakalan beberapa penjahat. Mereka bisa melihat bahwa pemerintahan Islam akan runtuh jika orang-orang ini tidak segera dihukum.
Namun, Hadhrat ‘Utsman (ra) adalah perwujudan pribadi yang welas asih dan beliau ingin, sedapat mungkin agar orang-orang itu dibimbing dengan benar sehingga mereka tidak akan mati dalam keadaan kafir. Dengan demikian, Hadhrat ‘Utsman (ra) menunjukkan kemurahan hati terhadap orang-orang ini dan memandang tindakan pemberontakan nyata mereka sebagai hanya niat untuk melakukan pemberontakan dan menunda atas hukuman mereka.
Kejadian ini juga menggambarkan bahwa para sahabat sangat membenci orang-orang tersebut. Dasarnya, pertama, para pembuat onar menyatakan bahwa hanya tiga orang Madinah yang bersama mereka dan tidak lebih. (para pengacau hanya menyebut tiga warga Madianh yang bersama mereka) Jika sahabat lain juga ada di pihak mereka, mereka pun akan menyebutnya juga.
Kedua, para sahabat juga menunjukkan melalui tindakan mereka bahwa mereka membenci tindakan para pembuat kerusuhan ini; dan memandang perbuatan mereka sebagai pelanggaran syariah sedemikian rupa, sehingga dalam pandangan mereka, tidak ada hukuman yang lebih rendah yang harus diterima dari eksekusi. Jika para sahabat mendukung orang-orang ini atau orang-orang Madinah memiliki pandangan yang sama dengan para pengacau, mereka tidak akan membutuhkan pembenaran atau alasan lebih lanjut untuk membunuh Hadhrat ‘Utsman (ra) saat itu juga lalu memilih orang lain untuk jabatan Khilafat sebagai penggantinya. Namun, kami mengamati bahwa bukannya berhasil membunuh Hadhrat ‘Utsman ra, justru kehidupan mereka sendiri terancam oleh pedang para sahabat yang terhunus. Hanya karena kebaikan dari figur yang penyayang dan welas asih — yang mereka upayakan untuk dibunuh dan menjadi sasaran kemarahan kemarahan — sehingga mereka dapat melarikan diri dengan aman.
Sungguh heran akan kejahatan dan jauhnya mereka dari ketakwaan karena mereka tidak mendapatkan keuntungan sedikitpun dari kejadian ini. Setiap tuduhan yang mereka lontarkan dibantah dan semua keberatan mereka terbukti salah dan tidak berdasar. Mereka menyaksikan belas kasihan dan welas asih Hadhrat ‘Utsman (ra) dan setiap individu menjadi saksi atas fakta bahwa orang seperti beliau itu tidak dapat ditemukan di muka bumi saat ini.
Namun, bukan bertobat atas dosa-dosa mereka, merasa malu atas kekejaman mereka, menyesali pelanggaran mereka dan menghentikan kejahatan mereka, malahan orang-orang ini justru semakin terbakar dalam api amarah. Mereka menganggap bungkamnya mereka adalah aib dan pengampunan yang diberikan oleh Hadhrat ‘Utsman (ra) sebagai sebagai keberhasilan perencanaan mereka yang baik. Karena itu, mereka kembali sambil menyusun strategi untuk memenuhi rencana mereka yang tersisa di masa depan.”[32]
Rangkaian riwayat ini masih akan terus berlanjut di kesempatan mendatang. In syaa Allah.
Sekarang saya ingin menyampaikan riwayat beberapa Almarhum yang wafat pada beberapa hari yang lalu. Di antara mereka yang pertama adalah seorang Syahid, Abdul Qadir Sahib dari Bazidkhel, Peshawar. Beliau disyahidkan pada 11 Februari. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.
Berdasarkan rincian peristiwanya, Abdul Qadir Sahib saat itu sedang bekerja di klinik paman beliau, Almarhum Dokter Ahmad Sahib yang berlokasi di Bazidkhel, Peshawar. Almarhum bersama dengan para anggota Jemaat lainnya sedang berkumpul di satu ruangan yang ada di klinik untuk shalat Zuhur ketika bel berbunyi dari ruangan pasien, Abdul Qadir Sahib membuka pintu, lalu seorang laki-laki yang ada di ruangan pasien tersebut menembak beliau yang karenanya beliau terluka parah. Dada beliau terkena dua peluru. Beliau segera dibawa ke rumah sakit, karena lukanya yang parah Abdul Qadir Sahib lalu syahid. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.
Almarhum berusia 65 tahun. Polisi telah menangkap orang itu. Orang-orang menangkap pembunuh tersebut dan menyerahkannya ke polisi. Keluarga Almarhum beserta keluarga-keluarga Ahmadi lainnya sudah sejak lama menghadapi situasi penentangan yang keras. Pada 19 Januari 2009 para ekstrimis agama menyerang klinik tersebut yang karenanya kaki yang terhormat Abdul Qadir Sahib tertembak. Karena peristiwa ini beliau terpaksa hijrah dari Peshawar dan setelah beberapa lama beliau bisa tinggal di Peshawar. Dikarenakan keadaan penentangan yang tengah terjadi sekarang, sekitar dua bulan sebelumnya atas petunjuk dari Jemaat beliau hijrah ke Rabwah. Keluarga beliau saat ini tinggal di Rabwah, meskipun demikian Almarhum pergi sendiri ke klinik di Bazidkhel tadi untuk bekerja dan tinggal di sana.
Dalam keluarga beliau Ahmadiyah masuk melalui kakek beliau, yang terhormat Nizamuddin Ahmad yang baiat ke dalam Ahmadiyah di masa Khalifah pertama. Kakek Almarhum memiliki dua saudara laki-laki, Dokter Fatah Din Sahib, seorang spesialis bedah dan Abdul Latif Sahib, seorang insinyur. Dokter Fatah Din Sahib di masa pendidikannya mendengar pendakwaan Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan berkunjung ke Qadian. Hadhrat Masih Mau’ud (as) meletakkan tangannya pada beliau sebagai tanda kasih sayang dan bersabda, “Seorang anak yang baik, namun ia belum bisa baiat.” Belakangan ketika beliau datang ke UK untuk menempuh pendidikan kedokteran, beliau mendengar kabar kewafatan Hadhrat Masih Mau’ud (as) lalu beliau pergi ke Qadian dan baiat di masa Khalifah pertama. Saudara laki-laki kakek beliau yang lainnya pun, Ir. Abdul Latif Sahib bersama dengan saudaranya baiat pada masa Khalifah pertama. Atas himbauan dua bersaudara ini para anggota keluarga yang lainnya termasuk kakek Almarhum tidak berapa lama kemudian baiat ke dalam Ahmadiyah.
Almarhum memiliki banyak keistimewaan, sangat mencintai Khilafat, memiliki hubungan yang erat dengan para pengurus, sangat senang bertabligh, karena hal ini beliau menghadapi situasi penentangan. Dikarenakan keadaan penentangan ini dalam dua tahun beliau harus berpindah rumah sebanyak tujuh kali, namun dengan karunia Allah Ta’ala beliau tetap teguh dalam Jemaat. Selain tahajud dan shalat-shalat lainnya beliau pun sangat disiplin dalam menilawatkan Al-Qur’an. Sangat penuh kasih sayang dan ramah. Sepanjang hidupnya beliau tidak pernah bertengkar dengan orang lain.
Istri Almarhum menuturkan bahwa dalam hidup terjadi keadaan naik turun namun Almarhum tidak pernah marah dan ketika saya berbicara keras kepada Almarhum maka Almarhum selalu menjawab dengan penuh kelembutan. Almarhum selalu memperlakukan anak-anak dengan cinta dan kasih sayang. Almarhum sangat menginginkan kesyahidan dan selalu mengatakan, “Jika menghadapi masa-masa ujian, saya lebih memilih maut daripada menjauh dari Khilafat Ahmadiyah.”
Kemudian istri Almarhumah menulis bahwa corak pelaksanaan shalat beliau sedemikian rupa bahwa orang-orang rumah sering kali mendapati beliau dalam keadaan sujud yang lama. Almarhum juga mendapatkan taufik mengkhidmati Jemaat sebagai Sekretaris Tarbiyat di Bazidkhel.
Di antara yang ditinggalkan selain sang istri, Sajidah Qadir Sahibah, antara lain 4 putra dan 5 putri. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat Almarhum dan menjadi pelindung dan penolong keluarga yang ditinggalkan. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada putra-putri Almarhum untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan Almarhum.
Jenazah yang kedua seorang yang dipenjara di jalan Allah, Akbar Ali Sahib, putera dari Ibrahim Sahib. Beliau berasal dari Shaukat Abad Colony, Distrik Nankana. Beliau wafat pada 16 Februari. Akbar Ali Sahib, seorang yang dipenjara di jalan Allah wafat di penjara Shekhupura pada 16 Februari 2021 disebabkan serangan jantung. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Ada juga dua kawan beliau yang lainnya.
Pada 2 Mei 2020 beliau dimeja hijaukan dan pada bulan Oktober di tanggal penetapan jaminan di pengadilan tinggi, pengadilan menghapuskan jaminan sementara beliau dan memerintahkan penangkapan. Alhasil, ketiga orang ini ditangkap. Kemudian Hakim Nankana Sahib berdasarkan satu permintaan setelah mendengarkan kesaksian dari satu pihak, tanpa mendengarkan dari pihak kita, ia mengenakan pasal tambahan 295c yang merupakan satu momen yang berbahaya lainnya. Singkatnya Almarhum berada di penjara selama 4,5 bulan. Pada saat kewafatan beliau berusia 55 tahun.
Dengan karunia Allah Ta’ala Almarhum tergabung dalam Nizam Wasiyat. Ahmadiyah masuk dalam keluarga beliau melalui ayahanda beliau, yang terhormat Ibrahim Sahib yang bersama dengan saudara laki-lakinya, yang terhormat Mia Ismail Sahib baiat di masa Khalifah kedua di tahun 1920. Akbar Ali Sahib berkhidmat di ketentaraan dengan pangkat Sersan.
Beliau telah pensiun dari ketentaraan 16 tahun yang lalu dan setelah itu bekerja sebagai Security Guard. Seorang yang sangat bertanggung jawab dan sosok yang pemberani. Sebelum dipenjara beliau bekerja sebagai Security Guard di Bank. Seorang penentang mengadukan kepada Manajer bank tersebut bahwa, “Anda telah mempekerjakan Akbar Ali, dia ini orang kafir.” Manajer Bank mengatakan sebagai jawaban, “Saya setiap pagi melihat rekaman kamera CCTV, Akbar Ali biasa melaksanakan shalat nafal di malam hari, menilawatkan Al-Qur’an, berpuasa di bulan Ramadhan, bagaimana mungkin ia seorang kafir?” Seorang manajer yang pemberani.
Almarhum mendapatkan taufik berkhidmat selama 6 tahun sebagai Ketua Jemaat. Sebelum wafat beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Sekretaris Maal. Seorang yang simpati terhadap orang-orang miskin, selain ramah terhadap tamu Almarhum juga memiliki jalinan kecintaan dengan semua anggota keluarga. Beliau sangat gemar bertabligh, selalu berbicara berdasarkan dalil yang karenanya beliau menghadapi situasi penentangan. Beliau terpaksa harus meninggalkan pekerjaan sebagai security Guard dikarenakan penentangan.
Di antara yang ditinggalkan antara lain dua orang istri, Zayinat Bibi Sahibah dan Fazilat Bibi Sahibah, selain itu satu orang putra berusia 19 tahun dan satu orang putri berusia 16 tahun. Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan maghfiroh-Nya kepada Almarhum dan meninggikan derajat Almarhum, menjadi pelindung dan penolong bagi anak keturunan Almarhum, dan memberikan taufik kepada mereka untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan Almarhum.
Jenazah selanjutnya, Khalid Mahmud Al-Hasan Bhati Sahib yang merupakan Wakiilul Maal Tsalits Tahrik Jadid di Rabwah, Naib Sadr Ansharullah dan juga naib Officer Jalsah Salanah. Beliau wafat di Tahir Heart Institute pada usia 67 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.
Kakek beliau, Babul Khan Sahib menerima Ahmadiyah, namun ayahanda Almarhum tidak menerima Ahmadiyah. Artinya, sang ayah menerima, sedangkan putranya belum. Suatu ketika mereka sedang berada di rumahnya, mereka adalah petani, saat itu ayah Almarhum pun sedang ada di sana sambil berbaring dengan ditutupi kain. Lalu seorang Maulwi Ghair Ahmadi dari mesjid yang biasa didatangi ayahnya untuk shalat lewat di sana, lalu ia duduk dan tema obrolan mulai mengarah pada Ahmadiyah, maka Maulwi Sahib itu mengakui bahwa pada hakikatnya dalam berbagai perkara Ahmadiyah itu benar. Mendengar ini ayahanda Khalid Mahmud Sahib membuka kain dari wajahnya dan bangkit duduk, lalu mengatakan, “Jika Ahmadiyah benar, lalu mengapa kamu menyesatkan kami? Sekarang, penyesatan yang telah kamu lakukan kepada saya bahwa Ahmadiyah itu dusta, jangan menerimanya, jangan mengikuti jejak ayahmu, lalu sekarang mengatakan bahwa pihak merekalah yang benar, mulai sekarang saya pun akan ada di pihak mereka.” Kemudian beliau pergi dan baiat di tangan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) (ra).
Khalid Mahmud Al-Hasan Bhati Sahib setelah menyelesaikan BA di Punjab University pada tahun 1978 di bidang Political Science dan meraih MA di bidang sejarah pada 1980 kemudian bekerja di pemerintah sebagai dosen. Lalu setelah dua tahun beliau pensiun. Pada 1982 beliau mewaqafkan hidup beliau. Selama kurang lebih 38 tahun beliau mendapatkan taufik mengkhidmati Jemaat. Pada 1982 beliau ditugaskan di Wakalat Ta’mil-o-Tanfidz, kemudian beliau menjadi Naib Wakil, selanjutnya ditetapkan sebagai Wakilud Diwan.
Kemudian beliau menjadi Wakilul Maal Tsalits, lalu beliau mendapatkan taufik melakukan lawatan ke Indonesia, Singapura, Burma, Srilanka, Nepal, Uganda, dsb. Kemanapun beliau melakukan lawatan, beliau menganalisa segala sesuatu secara mendalam dan memberikan bimbingan kepada mereka dan Jemaat-Jemaat yang beliau kunjungi khususnya Burma dan Srilanka, Jemaat-Jemaat tersebut banyak belajar dari beliau dan para anggota di sana banyak yang menulis surat kepada saya bahwa kami banyak belajar dan Bhati Sahib banyak mengajarkan kami mengenai nizam dan banyak memberikan peranan dalam menghubungkan kami dengan Khilafat. Kemudian beliau juga sebagai Amilah pusat Khuddamul Ahmadiyah dan Amilah pusat Ansharullah, dan juga sebagai anggota berbagai komite, serta sebagai anggota Qadha Board.
Istri Almarhum adalah Nusrat Nahid Sahibah. Allah Ta’ala menganugerahkan kepada mereka dua putri dan satu putra. Seorang putra Almarhum, Kharam Utsman bekerja di MTA di UK sebagai waqaf Zindegi. Istri Almarhum menuturkan, “Setelah meraih MA di bidang Political Science (ilmu politik), beliau mengatakan kepada ayahnya bahwa beliau juga ingin meraih MA di bidang History (sejarah).
Ayahanda beliau mengatakan, “Pelajarilah apa yang kamu inginkan, tetapi ingatlah, jika ingin bekerja, maka bekerjalah untuk Jemaat.”
Istri Almarhum menuturkan, “Selama 43 tahun pernikahan, Almarhum selalu memperlakukan dengan kasih sayang. Ketika pulang dari kunjungan-kunjungan selalu menceritakan peristiwa-peristiwa mengenai bagaimana perlakuan kasih sayang Allah Ta’ala kepada Almarhum. Almarhum sosok yang menyayangi anak-anaknya. Selalu berusaha memenuhi keinginan-keinginan yang baik dari anak-anaknya.”
Putri beliau yang paling besar, Dokter Saimah menuturkan bahwa, “Saya dua kali mengajukan visa selalu ditolak. Kemudian saya mengajukan untuk ketiga kalinya, ketika itu Bhati Sahib sedang melakukan kunjungan, putri beliau mengatakan kepada Almarhum, ‘Percepatlah beberapa hari, karena sebentar lagi tanggal untuk mengurus visa, saya harus pergi ke Kedutaan Besar.’ Beliau mengatakan, “Tidak bisa seperti itu, pergilah sendiri. Karena saya sedang melakukan perjalanan demi Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala akan memberikan karunia-Nya.” Kemudian pada saat itu visa putri beliau tersebut diterima. Kemudian putri bungsu beliau menuturkan, “Beliau adalah sosok ayah yang berhati lembut, bersikap penuh kelembutan, tidak pernah membentak kami, memberikan nasihat dengan penuh kasih sayang. Selalu mengutamakan pekerjaan Jemaat. Sepenting apa pun pekerjaan di rumah, beliau terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaan kantor, baru pulang ke rumah. Beliau setiap saat selalu siap berkhidmat untuk Jemaat. Beliau mengerjakan pekerjaan Jemaat denga penuh semangat dan kecintaan, mendahulukan agama di atas dunia.” Dan hal ini pun saya (Hudhur) saksikan, bagaimana Almarhum adalah seorang pekerja keras dan selalu berkhidmat dengan penuh kesetiaan dan menegakkan ruh waqaf.
Seorang putri Almarhum mengatakan, kapan pun kesulitan datang Almarhum selalu menasihatkan kami untuk bertawakal kepada Allah Ta’ala dan mengatakan bahwa Allah Ta’ala tidak akan meninggalkan kita dan demikianlah Allah Ta’ala tidak pernah meninggalkan beliau. Putra beliau menuturkan, “Sejauh yang saya ingat, saya hanya melihat beliau melakukan pengkhidmatan terhadap Jemaat, kapanpun kesulitan datang atau menghadapi ujian Almarhum selalu mengatakan, “Karena saya sedang berkhidmat untuk agama dan mengerjakan pekerjaan Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala akan mengerjakan pekerjaan saya..”
kemudian Allah pun menurunkan karunia-Nya di mana urusan beliau pun menjadi mudah. Beliau telah menegakkan ruh wakaf secara hakiki, namun beliau pun tidak memperlihatkan kekurangan dalam memenuhi seluruh kewajiban rumah tangganya. Beliau kerap mengurus sendiri segala sesuatunya”.
Laiq Abid Sahib dari dewan hukum Tahrik Jadid mengatakan, “38 tahun saya bersama beliau; beliau adalah sosok yang selalu dipercaya dalam urusan jemaat dan sosok yang menjaganya dengan sebaik-baiknya.Diantara banyak kelebihannya adalah beliau menganggap sangat penting untuk menjaga harta jemaat sampai yang sekecilnya”.
Idris Sahib, teman sekelasnya mengatakan, “setelah mewakafkan diri, khalid yang pendiam muncul menjadi sosok yang luar biasa. Kecintaan kepada khilafat telah melekat di dalam dirinya, ketaatan terhadap khilafat telah menjadi langkah hidupnya. Kesibukannya setiap saat dalam mengkhidmati agama telah menjadi hidangan kesukaannya”.
Seorang pegawai di Wakalat Mal Tsalits mengatakan, “surat apapun yang masuk ke kantor, beliau tidak mengulurnya dan segera memprosesnya. Beliau mengamanatkan, “pekerjaan hari ini harus diselesaikan hari ini juga, karena kita tidak tahu apakah esok pun kita berkesempatan hidup atau tidak”.
Seperti yang saya katakan, di Pakistan dan di manapun beliau telah pergi, beliau telah meninggalkan kesan yang sangat baik. Beliau bekerja dengan semangat pengkhidmatan, dan menjalankan wakafnya dengan penuh kesetiaan. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajatnya dan memberikan taufik kepada keturunannya untuk meneruskan segala kebaikannya.
Selanjutnya adalah yang terhormat Mubarak Ahmad Tahir Sahib, dewan hukum Sadr Anjuman Ahmadiyah yang pada 17 Februari wafat di Tahir Heart Institute di usia 81 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Ahmadiyah masuk ke keluarga bliau melalui Ayah beliau Muhtaram Sufi Gulam Muhammad di tahun 1927; waktu itu beliau mengetahui keberadaan jemaat di Qadian dan bersama sahabatnya memutuskan berkunjung ke Qadian. mereka berangkat dari Tarparkar Sindh untuk menghadiri Jalsah Qadian. Mereka sangat tertarik dengan jemaat dan Hadhrat Mushlih Mau’ud namun tidak berbaiat. Beliau berniat baiat di kesempatan selanjutnya tetapi teman-teman beliau mengingkarinya. Maka pada tahun berikutnya, 1927, beliau berangkat kesana untuk menghadiri jalsah dan beliau pun berbaiat. Saat itu usia beliau 28 tahun.
Desa beliau yaitu Katra Ahlihadits sangatlah memusuhi. Mertua beliau memanggil istrinya seraya mengatakan dirinya telah kafir, namun setelah beberapa waktu istrinya melihat bahwa setelah kafir justru beliau menjadi semakin Muslim sehingga ia [istrinya] pun kembali, dan ia pun tidak memahami mengapa ia harus berpisah dengannya dahulu. Jadi, satu desa memboikot keluarga ini hingga mereka pun dilarang untuk mengambil air dari sumber air desa; beliau terpaksa berjalan beberapa mil jauhnya demi mencari air. beliau berkata, “suatu saat sumber air desa pun kering hingga beberapa minggu; mereka akhirnya beranggapan bahwa air di desa mereka kering karena mereka telah melarang Sufi Sahib mengambil air. Ketika air mulai muncul lagi, mereka pun datang ke beliau dan memintanya agar pertama memberi candah karena jika beliau memberi candah maka air pun akan mengalir dan tidak akan habis”. Walhasil keluarga ayah beliau memang tidak menerima Ahmadiyah tetapi setelah itu permusuhan mereka pun berhenti.
Istri beliau, Rashida Parveen Sahibah, dan Allah Ta’ala telah menganugerahi beliau empat putra dan dua putri. Diantaranya, Hafiz Ijaz Ahmad Tahir dari Islamabad, murabbi silsilah yang sekarang mengajar di jamiah Ahmadiyah UK. Putra kedua Nasir Ahmad Tahir seorang wakaf zindegi yang tengah berkhidmat di Review of Religion Kanada. Mukarram Mubarak Tahir Sahib pun mendapatkan M.A. Ekonomi di tahun 1968. Kemudian di tahun 1969 meraih gelar LLB. Di bulan januari 1970, permohonan wakaf diri beliau diterima. Beliau pertama ditugaskan di Wakalat Ulia sebagai sekretaris pertama. Kemudian pada tahun 1971 beliau diutus ke Uganda sebagai guru. Beliau kembali tahun 1972 dan mendapat taufik berkhidmat beberapa waktu di Wakalat Mal Tsani.
Kemudian di tahun 1976 Hadhrat Khalifatul Masih ketiga mempersiapkan beliau bersama beberapa Wakil untuk training tentang Income tax dan perdata di Lahore. Beliau pun mendaftar di Dewan Pengacara. Di tahun 1970 beliau diangkat sebagai dewan hukum Tahrik Jadid. Pada 1 juli 1983 Khalifatul Masih Ke-4 mengangkat beliau sebagai dewan hukum Sadr Anjuman Ahmadiyah, dan hingga wafat beliau berkhidmat disini. Masa pengkhidmatan beliau meliputi 40 tahun lebih. Di Majlis Khuddamul Ahmadiyah Markaziyah pun beliau mendapat taufik berkhidmat di berbagai bidang sebagai muhtamim. Istri beliau Rashida Parwin Sahibah mengatakan, “Beliau senantiasa datang ke rumah dengan wajah tersenyum seraya mengucapkan salam. Dan mendahulukan shalat lalu makan bersama”.
Lalu ia mengatakan, “banyak kenangan luar biasa tentang berbagai peristiwa bersama setiap khalifah. Ketika berkumpul bersama keluarga besar, beliau kerap menceritakan peristiwa menggugah keimanan, memberitahukan betapa segenap berkat dan karunia yang diraih karena berhubungan erat dengan khilafat. Secara diam-diam, beliau sering membantu orang-orang yang membutuhkan di mana kami sendiri pun sampai tidak mengetahui bilamana tiada yang memberitahukan atau mereka sendiri tidak menceritakannya. Beliau sosok yang berusaha membantu kesulitan orang lain dan berusaha membagikan kebahagiaannya. Menjalankan shalat-shalat nafal, tilawat, dan bershalawat. Ia mengatakan bahwa keberhasilan pekerjaan wakaf zindegi terletak pada Allah Ta’ala. Bertawakkallah kepada Allah, berdoa, beristigfar, dan cintailah khilafat. Sebagai doa, tulislah surat kepada khilafat sebab ini sangat penting,”
Ini semua adalah hakikat. Beliau sangat bertawakal. Ketika saya sebagai Nazir Ala, sejak saat itu banyak berhubungan dengan beliau dan saya melihat beliau dalam pekerjaan-pekerjaan yang sangat sulit. Beliau sangat bertawakal. beliau menyatakan bahwa dalam pekerjaan jemaat terdapat doa-doa Khalifah dan Insha Allah akan selesai. Beliau memulai pekerjaan dengan sedekah dan doa-doa, dan dengan karunia Allah beliau pun meraih berbagai kesuksesan.
Putra beliau Hafiz Ijaz Sahib mengatakan, “beliau bercerita bahwa di 1967 Khalifatul Masih Ketiga tengah berkunjung ke Karachi dengan kereta. Kereta berhenti cukup lama di stasiun Hyderabad, dan saat itu banyak Ahmadi yang datang ingin bertemu beliau. Hudhur berdiri di pintu kereta, dan di sana beliau dengan melambaikan tangan memanggil Mukarram Mubarak Tahir Sahib. Sebelumnya beliau belum pernah berkenalan dengannya. Ia berpikir bahwa Khalifah ketiga saat itu tidak mengenalinya. Hudhur menyerukan nama beliau sehingga dengan sigap beliau pun segera keluar dari kerumunan untuk sampai ke hadapan Hudhur. Ketika sampai dekat pintu, Hudhur mengeluarkan beberapa uang dari sherwani beliau dan memasukkan ke saku Mubarak Tahir Sahib dan setelah itu kereta pun berangkat. Mubarak sahib sering mengatakan bahwa karena keberkatan uang yang diberikan Hadhrat Khalifatul Masih Ketiga itu, saku saya senantiasa terisi”. Dan ini adalah hakikat bahwa Allah Ta’ala senatiasa memenuhi saku beliau, di mana dengan cara luar biasa beliau terus menerima pemasukan. Melalui ini, orang-orang miskin pun beliau bantu, dan beliau banyak berkorban untuk jemaat.
Walhasil setelah beberapa waktu, atas dasar satu mimpi, beliau mewakafkan diri. Ketika mewakafkan diri, saat itu beliau baru bertunangan dan menikah serta berada di Haidarabad. Seorang wanita dari keluarga istrinya datang untuk membawa istrinya berobat. Ia pun mengatakan ingin membawanya ke dokter. Ketika turun dari kereta, wanita dari keluarganya itu berkata, “saya dengar kamu telah mewakafkan diri dan biasanya untuk makan pun sulit”, mubarak sahib segera menjawab, “baru saja selesai nikah dan belum walimah. Anda bawa saja putri Anda ke rumah jika memang sedemikian ragu”. Beliau pun marah dan pergi dari situ. Walhasil beliau sangat tersinggung, dan Allah Ta’ala pun memiliki gairat sehingga sedemikian rupa Allah Ta’ala telah menganugerahkannya kelapangan dari segi harta. Beliau berkhidmat sebagai dewan hukum di masa Khalifatul Masih ketiga. Untuk menyelesaikan kasus, beliau harus ke daerah-daerah dan melakukan perjalanan dengan bus. Saat itu tidak semuanya memiliki fasilitas kendaraan untuk bepergian. Saat itu di rabwah dan Hadhrat Khalifatul masih ketiga memerintahkan bahwa setiap kembali dari perjalanan beliau harus menyampaikan laporan. Satu kali waktu sangat larut sehingga tiba di rabwah dua jam sebelum subuh. Beliau berpikir apa perlunya segera melapor ke Hadhrat Khalifatul Masih ketiga karena akan mengganggu istirahat atau shalat nafal Hudhur. Walhasil, beliau datang dua jam sebelum subuh dan beliau berencana melapor saat shalat subuh. Di shalat subuh Hadhrat Khalifatul Masih ketiga melihat beliau lalu bertanya, “Mubarak Sahib, tuan tiba malam pukul berapa?” beliau menjawab bahwa dirinya tiba satu setengah atau dua jam lalu. Maka Hadhrat Khalifatul Masih ketiga bersabda, “apabila Anda segera melapor maka saya pun dapat tidur untuk beberapa jam. Saya terus menunggu karena berpikir apakah Anda selamat di perjalanan atau tidak”.
Kemudian putra beliau mengatakan, “ketika saya beriradah untuk mewakafkan diri masuk ke jamiah, beliau berkata, “wakaf adalah nama lain ketaatan, sifat engkau sedikit keras dan dengannya wakaf akan sulit dijalankan. Wakaf hanyalah bermakna melakukan pengkhidmatan dengan diam dan taat. Apabila engkau dapat melakukannya maka ini adalah hal yang amat menggembirakan, karena saya tidak menghendaki engkau mewakafkan diri namun kelak engkau akan meninggalkannya. Demikianlah beliau memberikan nasihat dan mentarbiyati saya”. Dengan karunia Allah putra beliau pun terus teguh dalam wakafnya, semoga untuk selanjutnya pun seperti demikian.
“Saat mendengarkan khotbah Hudhur, beliau selalu mengamanatkan kepada keluarga beliau untuk meninggalkan setiap pekerjaan dan mendengarkan khotbah dengan seksama. Jika ada nasihat, petunjuk, atau seruan untuk berkorban, setelah khotbah beliau segera berusaha mengamalkannya dan juga menasihati anak-anaknya.
Mirza Adil Ahmad, asisten beliau di dewan hukum Anjuman mengatakan, “sepanjang saya menyaksikan, beliau adalah pecinta sejati khilafat. Beliau berkeyakinan teguh dalam doa. Kapanpun ada kekhawatiran atau pekerjaan sulit yang membuatnya harus bepergian, maka pertama-tama beliau melakukan shalat nafal seraya berdoa panjang, kemudian bersedekah, dan menuliskan surat kepada Khalifah. Lihatlah betapa Allah akan memberkatinya”. Kemudian ia berkata, “beliau adalah insan yang memiliki keyakinan. Namun ketika beliau harus membuat cae atau melayani di kantornya sekalipun, beliau tidak menganggapnya sebagai suatu kehinaan. Ia pun adalah orang yang mengupayakan segala sarana yang mungkin untuk berhubungan dengan para pejabat.
Satu kali jemaat telah memutuskan sesuatu namun beliau berpendapat bahwa apabila ini dilaksanakan maka ada kemungkinan akibat yang buruk bagi jemaat. Beliau mengatakan kepada saya bahwa keputusan ini tampaknya tidak baik namun beliau kemudian mengatakan bahwa dirinya telah menuliskan pendapatnya dan pekerjaannya hanyalah menyampaikan pendapatnya ke Khalifah, dan apapun kelak keputusan Hudhur di sanalah letak keberkatan.
Dokter Sultan Mubasyir mengatakan, “beliau terus menjalin berbagai hubungan dengan para pejabat, dan beliau senantiasa memanfaatkan hubungan tersebut demi kemaslahatan jemaat. Di waktu sesulit apapun senyum senantiasa keluar dari mulut beliau. tak pernah terlihat rona kekhawatiran dalam wajah beliau. dalam kasus-kasus jemaat pun beliau kerap menghadiri peradilan-peradilan yang tidak hanya berbahaya tapi bahkan membahayakan jiwa. Namun sosok pemberani ini tidak pernah mengenyampingkan kewajibannya”. Dan sebagaimana telah saya katakan bahwa Allah Ta’ala pun telah menganugerahkan kelapangan harta kepada beliau. dalam perkara bonds [surat-surat pinjaman], Allah Ta’ala pun telah sangat menolong beliau melalui hal sama juga, dan beliau banyak menerima limpahan uang darinya.
Satu ketika Dokter sahib mengatakan bahwa telah diterima hadiah sekitar 5juta rupis, dan kurang lebih 70 persennya beliau gunakan dalam berbagai waktu untuk membantu orang-orang miskin. Peristiwa ini tidak hanya sekali bahkan inilah asas yang selalu ada pada beliau. Allah Ta’ala telah sedemikian banyak menganugerahkan harta kepada beliau di mana sebagian besar senantiasa beliau berikan untuk candah dan membantu orang-orang miskin. Beliau mengungkapkan dua keinginan besar beliau, dimana beliau berdoa secara khusus demi mewujudkannya yaitu berkhidmat di jemaat hingga ajal menjemput, dan kedua beranjak dari dunia seraya ia tidak membebani siapapun. Allah Ta’ala pun telah memenuhi kedua keinginan beliau ini. saya melihat, tak terhitung kelebihan lain yang beliau miliki.
Beliau sosok yang berkhidmat dengan sangat sabar dan tegar. Tidak pernah terlihat rona kekhawatiran. Ketawakalan beliau pada Allah sangatlah luar biasa. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat beliau. dan semoga keturunan beliau menjadi pewaris doa beliau. setelah shalat saya akan memimpin shalat jenazah gaib mereka semua.[33]
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi (London-UK), Mln. Muhammad Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruk (Indonesia). Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)
[1] Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-30 (سنة ثَلاثِينَ), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة). Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5, Sanah 30 [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1998], pp. 102-103. Abū’l-Ḥasan ʿAli ibn Muḥammad ibn ʿAbd Allāh ibn Abī Sayf (752–843), lebih dikenal dengan nisbah-nya, al-Madāʾinī (seorang berasal dari al-Mada’in/Ctesiphon, bekas ibukota Persia lama), adalah seorang cendekiawan Arab awal, yang aktif di bawah kekuasaan Abbasiyah di Irak pada paruh pertama abad ke-9. Seorang cendekiawan dengan banyak pemahaman, ia menulis lebih dari 200 karya, meskipun ia lebih dikenal sebagai sejarawan. Siyar a’lamin Nubala tentang al-Madaini: المَدَائِنِيُّ أَبُو الحَسَنِ عَلِيُّ بنُ مُحَمَّدِ بنِ عَبْدِ اللهِ. العَلاَّمَةُ، الحَافِظُ، الصَّادِقُ، أَبُو الحَسَنِ عَلِيُّ بنُ مُحَمَّدِ بنِ عَبْدِ اللهِ بنِ أَبِي سَيْفٍ المَدَائِنِيُّ، الأَخْبَارِيُّ. نَزَلَ بَغْدَادَ، وَصَنَّفَ التَّصَانِيْفَ، وَكَانَ عَجَباً فِي مَعْرِفَةِ السِّيَرِ وَالمَغَازِي وَالأَنسَابِ وَأَيَّامِ العَرَبِ، مُصَدِّقاً فِيْمَا يَنْقُلُهُ، عَالِيَ الإِسْنَادِ.وُلِدَ: سَنَةَ اثْنَتَيْنِ وَثَلاَثِيْنَ وَمائَةٍ
[2] Tarikh Ibn Khaldun, Vol. 2, Wilayat Abdullah bin Abi Sarah ‘ala… [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2000], p. 575; Al-Nujum al-Zahirah fi Muluk Misr wa al-Qahirah, Vol. 1, p. 50, Dhikr Wilayat Abi Sarah ‘ala Misr, Dar al-Kutub al-Misriyyah, p. 1929.
[3] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5, Ghazwah al-Sawari, Sanah 31 [Beirut, Lebanon: Dar al- Fikr, 1998], p. 115.
[4] Ibnu Katsir dalam karyanya Al-Bidayah wan-Nihaayah, bab pembahasan tahun ke-31 (ثُمَّ دَخَلَتْ سَنَةُ إِحْدَى وَثَلَاثِينَ),perang Shawari dan perang Asawidah (غَزْوَةُ الصَّوَارِي وَغَزْوَةُ الْأَسَاوِدَةِ).
[5] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5 [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1998], p. 116) (Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Vol. 7, [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001] pp. 152-153.
[6] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5 [Beirut, Lebanon: Dar al- Fikr, 1998], p. 118.
[7] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5, Shukhus Abdillah bin Amir ila… [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1998], p. 123.
[8] Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Vol. 7, [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001] p. 155.
[9] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 2, Fath Maru al-Raudh wa al-Taliqan [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1998], p. 630; Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 1 [Karachi, Pakistan: Dar al-Isha’ah, 2004], p. 168.
[10] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5, Fath Maru al-Raudh wa al-Taliqan [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1998], p. 130.
[11] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5, Fath Maru al-Raudh wa al-Taliqan… [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1998], pp. 130-131.
[12] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5, Dhikr Sulh al-Ahnaf ma‘a Ahl Balkh [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1998], p. 131) (Yaqut Ibn ‘Abd Allah al-Hamawi, Mu‘jam al-Buldan, Vol. 1 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah], p. 568.
[13] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5, Dhikr Sulh al-Ahnaf ma‘a Ahl Balkh [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1998], p. 131.
[14] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5, Dhikr Sulh al-Ahnaf ma’a Ahl Balkh [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1998], p. 132.
[15] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5, Dhikr Sulh al-Ahnaf ma’a Ahl Balkh [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1998], pp. 132-133.
[16] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5, Dhikr Sulh al-Ahnaf ma’a Ahl Balkh [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1998], p. 132.
[17] Imam Abu Yusuf, Kitab al-Ikhraj, Fasl fi Qital Ahl al-Shirk… [Al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 2013], p. 218
[18] Muhammad Ishaq Bhatti, Barr-e-Saghir mein Islam ke Awwalin Nuqush, 2009, p. 65.
[19] Sunan At-Tirmidzi, Kitab tentang Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), 3705.
[20] Sunan Ibni Maajah, Kitab al-Muqaddimah, nomor 112 atau 117. Di dalam Hadits Musnad Imam Ahmad, Kitab Sisa musnad sahabat Anshar, nomor 23427, Hadits Sayyidah ‘Aisyah Radliyallahu ‘anha, disebutkan (An-Nu’man bin Basyir) berkata; “Maka saya kabarkan (hadis ini) kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dan dia tidak ridha (tidak puas kebenarannya) atas apa yang saya kabarkan hingga dia menulis (surat) kepada Ummil Mukminin (Aisyah) supaya menulis (hadis tersebut) kepadaku, akhirnya dia pun menulisnya dalam sebuah tulisan.”
[21] Sunan Ibni Maajah, Kitab al-Muqaddimah, nomor 111 atau 116.
[22] Sunan Ibn Majah, Iftitah al-Kitab, Fadl Uthman (ra), Hadith 113. Sunan Ibni Maajah, Kitab al-Muqaddimah (كتاب المقدمة), nomor 113 atau 118.
[23] Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (ra), ‘Islam me Ikhtilaafat ka Aghaz’ (The Outset of Dissension in Islam – Awal Mula Perpecahan dalam Islam) [2013 edition], p. 249.
[24] Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (ra), ‘Islam me Ikhtilaafat ka Aghaz’ (The Outset of Dissension in Islam – Awal Mula Perpecahan dalam Islam) [2013 edition], p. 253-254.
[25] Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-30 (سنة ثَلاثِينَ), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة). Cukup banyak penyair yang membuat sajak-sajak dalam masa pemerintahan beliau. Sajak diatas ialah karya ‘Amru bin ‘Ashim at-Tamimi (عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ التَّمِيمِيُّ).
[26] Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (ra), ‘Islam me Ikhtilaafat ka Aghaz’ (The Outset of Dissension in Islam – Awal Mula Perpecahan dalam Islam) [2013 edition], p. 262-263.
[27] Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-35 (سنة خمس وثلاثين), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة).
[28] Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (ra), ‘Islam me Ikhtilaafat ka Aghaz’ (The Outset of Dissension in Islam – Awal Mula Perpecahan dalam Islam) [2013 edition], p. 282-283.
[29] Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-35 (سنة خمس وثلاثين), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة), Perjalanan para pemberontak dari Mesir (ذكر مسير من سار إِلَى ذي خشب من أهل مصر), penyebab perjalanan para pemberontak dari Iraq ke Dzul Marwah (وسبب مسير من سار إِلَى ذي المروة من أهل العراق).
[30] Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-35 (سنة خمس وثلاثين), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة), Perjalanan para pemberontak dari Mesir (ذكر مسير من سار إِلَى ذي خشب من أهل مصر), penyebab perjalanan para pemberontak dari Iraq ke Dzul Marwah (وسبب مسير من سار إِلَى ذي المروة من أهل العراق).
[31] Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-35 (سنة خمس وثلاثين), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة), Perjalanan para pemberontak dari Mesir (ذكر مسير من سار إِلَى ذي خشب من أهل مصر), penyebab perjalanan para pemberontak dari Iraq ke Dzul Marwah (وسبب مسير من سار إِلَى ذي المروة من أهل العراق).
[32] Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (ra), ‘Islam me Ikhtilaafat ka Aghaz’ (The Outset of Dissension in Islam – Awal Mula Perpecahan dalam Islam), Anwar-ul-Ulum, Vol. 4, p. 293-296.
[33] Official Urdu transcript published in Al Fazl International 19 March 2021, pp. 5-10.