Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyAllahu ta’ala ‘anhu (Seri-7)
Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 108, Khulafa’ur Rasyidin Seri 14)

- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 1)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 2)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 3)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 4)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 5)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 6)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 7)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 8)
- Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan (Seri 9)
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 19 Maret 2021 (Aman 1400 Hijriyah Syamsiyah/05 Sya’ban 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Sebelumnya, telah disampaikan mengenai kesyahidan Hadhrat ‘Utsman (ra). Mengenai peristiwa di hari-hari setelah pensyahidan, secara singkat Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Sekarang Madinah ada di bawah kuasa mereka (para pemberontak). Di hari-hari itu, apa yang orang-orang itu lakukan sangatlah mengherankan. Meskipun mereka telah mensyahidkan Hadhrat Utsman, mereka menolak untuk menguburkan beliau dan hingga tiga hari beliau tidak dapat dikuburkan. Akhirnya sekelompok sahabat bertekad dan menguburkan beliau di waktu malam. Para pemberontak itu tetap saja menghalanginya, namun ini dapat diredam karena seruan perlawanan keras melawan para pemberontak itu dari beberapa orang Sahabat atau putra sahabat.”[1]
Mengenai Hadhrat ‘Utsman (ra), Baginda Nabi (saw) telah menubuatkannya. Diriwayatkan oleh Hadhrat Abu Musa Asy’ari, “Nabi (saw) datang di satu kebun dan memerintahkan saya untuk menjaga pintu kebun. Seketika itu seorang datang meminta izin masuk. Hadhrat (saw) bersabda, ‘Biarkan ia masuk dan berikan ia kabar suka surga.’ Saat saya lihat, ia adalah Hadhrat Abu Bakr (ra).
Kemudian datang lagi seorang yang meminta izin masuk, beliau (saw) bersabda, ‘Biarkan ia masuk dan berikan ia kabar suka surga.’ Saat saya lihat, ia adalah Hadhrat ‘Umar (ra).
Kemudian seorang lagi datang dan meminta izin masuk lalu beliau (saw) diam sejenak dan bersabda, ‘Biarkan ia masuk dan berikan ia kabar suka surga. Pada akhirnya kami melihat satu musibah besar akan menimpanya.’ Saat saya lihat, ia adalah Hadhrat ‘Utsman bin Affan (ra).”[2]
Hadhrat Anas meriwayatkan, صَعِدَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِلَى أُحُدٍ وَمَعَهُ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ فَرَجَفَ بِهِمْ، فَضَرَبَهُ بِرِجْلِهِ، قَالَ “ اثْبُتْ أُحُدُ فَمَا عَلَيْكَ إِلاَّ نَبِيٌّ أَوْ صِدِّيقٌ أَوْ شَهِيدَانِ “Nabi yang mulia (saw) menaiki puncak uhud dan bersama beliau ada Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat ‘Umar, dan Hadhrat ‘Utsman. Puncak uhud pun bergerak dan beliau (saw) bersabda, ‘Diamlah uhud!’” Perawi berkata, “Seingat saya beliau pun menghentakkan kaki beliau dan bersabda, ‘Diatas engkau ada seorang Nabi, seorang Siddiq, dan dua orang syahid.’”[3]
Hadhrat Ibnu ‘Umar menjelaskan, “Ketika Rasulullah (saw) menyebutkan sebuah fitnah [ujian], beliau bersabda, ‘Orang ini akan dibunuh dalam keadaan dianiaya.’ Beliau bersabda demikian seraya mengisyaratkan pada Hadhrat ‘Utsman.”[4]
Adapun yang diketahui mengenai yang ditinggalkan Hadhrat ‘Utsman, Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah menjelaskan, “Di hari Hadhrat ‘Utsman telah disyahidkan, di perbendaharaan beliau terdapat 30.500.000 dirham dan 150.000 dinar; semuanya telah dirampas. Di Rabazah pun beliau meninggalkan 1.000 unta. (Rabazah adalah kampung yang terletak sejauh satu hari dari Madinah ke arah Hijaz). Lalu di Baradis, Khaibar, dan Wadiul Qura ada 200.000 dinar yang telah beliau tinggalkan sebagai sedekah.”[5]
Sebelumnya telah disebutkan bahwa beliau (ra) pernah bersabda, “Dulu saya orang yang kaya, tapi kini saya hanya memiliki dua ekor unta yang saya gunakan untuk berhaji.”[6]
Mungkin, apa yang dikatakan di riwayat sebelum ini adalah di saat harta negara sedemikian banyaknya yang merupakan milik umat Muslim dan perawi mengaitkannya [menyangka kepemilikan] dengan diri Hadhrat ‘Utsman; atau, mungkin itu memang milik beliau yang mana beliau tidak menggunakannya untuk keperluan pribadi, tetapi itu beliau belanjakan untuk kepentingan umat dan sedekah. Walhasil, ini adalah riwayat yang telah saya sampaikan sebelum ini yang telah dijelaskan sepertinya itu harta beliau (ra). Kemudian, di [riwayat] terkait para penjaga yang beliau (ra) angkat untuk menjaga perbendaharaan yang dari itu diketahui bahwa harta yang dijaganya itu adalah harta negara.[7]
Mengenai peristiwa pensyahidan Hadhrat ‘Utsman, sahabat menjelaskan sebagai berikut. Suatu saat ditanyakan kepada Hadhrat Ali, “Tolong Anda sampaikan sesuatu tentang Hadhrat ‘Utsman”.
Beliau bersabda, “Beliau adalah wujud yang di Langit pun disebut Dzun nurain.”[8]
Hadhrat Ali bersabda, “Diantara kami semua, Hadhrat ‘Utsman adalah sosok yang paling menjalin silaturahmi.”
Ketika Hadhrat Aisyah mendengar kabar syahidnya Hadhrat ‘Utsman, beliau bersabda, “Orang-orang telah membunuh beliau, padahal beliau adalah yang paling banyak menjalin silaturahmi, dan yang paling menjalin ketakwaan kepada Tuhan”.
Ada satu riwayat tentang doa yang Hadhrat (saw) panjatkan untuk menantu beliau. di Al-Isti’ab tertulis, Hadhrat (saw) bersabda, “Aku mendoa kepada Tuhanku Azza wa Jalla supaya Dia tidak memasukkan kepada Api, orang yang menjadi menantuku, atau mertuaku”.[9]
Mengenai pakaian dan penampilan Hadhrat ‘Utsman, dijelaskan oleh Mahmud bin Labid, bahwa ia melihat Hadhrat ‘Utsman menunggangi kuda seraya mengenakan dua kain kuning.
Hakam bin Shalt menjelaskan, “Ayah saya menyampaikan bahwa beliau melihat Hadhrat ‘Utsman tengah berpidato dan beliau mengenakan jubah berwarna hitam serta Hina’ (pewarna rambut).”
Sulaim Abu Amir menyampaikan bahwa ia pernah melihat Hadhrat ‘Utsman bin Affan mengenakan jubah Yaman seharga 100 dirham.
Muhammad bin ‘Umar menyampaikan bahwa ia bertanya kepada Amru bin Abdullah bin Anbasah, Urwah bin Khalid bin Ubaidullah dan Abdurrahman bin Abu Zinad tentang penampilan Hadhrat ‘Utsman dan hal lain, semuanya sepakat menyatakan bahwa beliau tidaklah pendek dan tidak pula sangat tinggi. Wajah beliau tampan, kulit lembut, janggut lebat dan panjang, warna putih gandum, otot kokoh, dada berbidang, rambut tebal dan janggut yang selalu beliau beri minyak.
Waqid bin Abu Yasir menyebutkan, Hadhrat ‘Utsman mengkaitkan gigi beliau dengan kawat emas. Musa bin Talhah menyampaikan bahwa dirinya melihat Hadhrat ‘Utsman di hari Jumat tengah berangkat dan beliau mengenakan dua kain kuning; beliau lalu naik ke mimbar lalu muazin menyeru azan. Ketika muazin selesai, beliau mengambil gagang tongkat lalu berdiri seraya bertopang tongkat, dan menyampaikan khotbah sambil memegang tongkat. Kemudian beliau turun dari mimbar dan muazin mengucapkan iqamah.
Hasan menyampaikan bahwa dirinya melihat Hadhrat ‘Utsman berbaring seraya menjadikan kain selendang beliau sebagai bantal.[10]
Musa bin Talhah menyampaikan, di hari Jumat, Hadhrat ‘Utsman bertopang pada tongkat, dan dari semua orang, beliau-lah yang paling tampan. Beliau mengenakan dua kain kekuningan, satu sebagai gamis dan satu sebagai selendang lalu beliau naik ke mimbar dan duduk.[11]
Ada satu cincin milik Hadhrat Rasulullah (saw) yang terpahat lafaz Muhammad Rasulullah (saw), di mana Hadhrat (saw) senantiasa memakainya. Terkait ini ada riwayat dimana Hadhrat Anas bin Malik menjelaskan, لَمَّا أَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الرُّومِ – قَالَ – قَالُوا إِنَّهُمْ لاَ يَقْرَءُونَ كِتَابًا إِلاَّ مَخْتُومًا . قَالَ فَاتَّخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِي يَدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ “Ketika Nabi yang mulia (saw) bermaksud menulis surat ke raja Romawi, beliau diberitahu bahwa jika surat itu tidak dibubuhi cincin, maka surat beliau tidak akan dibaca. Karena ini, beliau memerintahkan membuat satu cincin perak yang terpahat Muhammad Rasulullah (saw).”[12]
Perawi berkata bahwa dirinya seolah baru saja melihat cincin itu, yaitu masih segar di ingatannya.
Hadhrat Anas menjelaskan, كَانَ خَاتَمُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي يَدِهِ، وَفِي يَدِ أَبِي بَكْرٍ بَعْدَهُ، وَفِي يَدِ عُمَرَ بَعْدَ أَبِي بَكْرٍ، فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ جَلَسَ عَلَى بِئْرِ أَرِيسَ ـ قَالَ ـ فَأَخْرَجَ الْخَاتَمَ، فَجَعَلَ يَعْبَثُ بِهِ فَسَقَطَ قَالَ فَاخْتَلَفْنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مَعَ عُثْمَانَ فَنَنْزَحُ الْبِئْرَ فَلَمْ نَجِدْهُ “Cincin Nabi yang mulia (saw) senantiasa ada di beliau; kemudian di tangan Hadhrat Abu Bakr; setelah Hadhrat Abu Bakr lalu di tangan Hadhrat ‘Umar. Di masa Hadhrat ‘Utsman, satu saat beliau duduk di sumur bernama Aris. Beliau mengeluarkan cincin tersebut lalu sedang memakainya, namun cincin itu terjatuh. Yakni, mungkin sedang beliau pakai di jari beliau. Mereka mencari cincin itu hingga tiga hari lamanya bersama Hadhrat ‘Utsman. Air sumur itu pun telah dikeluarkan namun tetap tak dapat ditemukan.”[13]
Setelah hilangnya cincin itu, Hadhrat ‘Utsman mengumumkan sejumlah besar uang bagi yang menemukannya, dan beliau sangat sedih karena kehilangan itu. Ketika beliau hilang harapan karena cincin itu tak kunjung ditemukan, akhirnya beliau memerintahkan membuat cincin semisalnya. Walhasil, seperti sebelumnyalah cincin yang beliau buat, yang juga terukir lafaz Muhammad Rasulullah (saw). Cincin tersebut eliau pakai hingga wafat. Saat disyahidkan, cincin itu diambil orang tidak dikenal.[14]
Beliau pun termasuk dalam 10 orang yang diberi kabar suka surga. Hadhrat Abdurrahman bin Akhnas (عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَخْنَسِ) meriwayatkan bahwa pada saat ia tengah berada di sebuah masjid, ada seseorang bermulut lancang ketika menceritakan berkenaan dengan Hadhrat Ali, Said bin Zaid pun berdiri dan bersabda: أَشْهَدُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ أَنِّي سَمِعْتُهُ وَهُوَ يَقُولُ عَشْرَةٌ فِي الْجَنَّةِ النَّبِيُّ فِي الْجَنَّةِ وَأَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدُ بْنُ مَالِكٍ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ “Saya bersaksi atas Rasulullah (saw), tidak diragukan lagi saya pernah mendengar dari beliau (saw), beliau (saw) bersabda, ‘Sepuluh orang yang akan pergi ke surga: Nabi (saw) akan di surga, Abu Bakr akan di surga, ‘Umar akan di surga, ‘Utsman akan di surga, Ali akan di surga, Talha akan di surga, Abdurrahman bin Auf akan di surga, Zubair bin Awwam akan di surga, Sa’ad bin Malik akan di surga, dan jika perlu, saya pun akan menyebutkan yang kesepuluh.’ وَلَوْ شِئْتُ لَسَمَّيْتُ الْعَاشِرَ Jika saya ingin, saya bisa menyebutkan nama yang kesepuluh.’
Orang-orang berkata: مَنْ هُوَ ‘Siapakah dia yang kesepuluh itu?’
فَسَكَتَ قَالَ فَقَالُوا مَنْ هُوَ فَقَال Hadhrat Said bin Zaid terdiam untuk sesaat. Beberapa orang bertanya lagi, ‘Siapakah yang kesepuluh?’ Beliau pun bersabda, هُوَ سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ ‘Dia adalah Said bin Zaid.’” Artinya beliau sendiri.[15]
Terkait riwayat ini pun saya telah menjelaskan di kesempatan sebelumnya.
Terkait Baginda Nabi (saw) yang bersama Hadhrat ‘Utsman di surga, diriwayatkan [عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم “] oleh Hadhrat Thalhah bin Ubaidullah, bahwa Nabi (saw) bersabda, لِكُلِّ نَبِيٍّ رَفِيقٌ وَرَفِيقِي – يَعْنِي فِي الْجَنَّةِ عُثْمَانُ “Setiap Nabi memiliki seorang rafiq [sahabat] dan sahabat saya di surga adalah ‘Utsman.”[16]
Hadhrat Jabir menjelaskan, بَيْنَا نَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتٍ فِي نَفَرٍ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَطَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Satu saat kami (sekelompok muhajir) sedang bersama Rasul yang mulia (saw) di satu rumah, dimana ada Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin Auf dan Sa’d bin Abi Waqqas lalu Rasulullah (saw) bersabda, لِيَنْهَضْ كُلُّ رَجُلٍ إِلَى كُفْئِهِ ‘Setiap orang silahkan berdiri bersama yang kufu atau sepadan dengannya.’ وَنَهَضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى عُثْمَانَ فَاعْتَنَقَهُ ، قَالَ Rasulullah (saw) pun berdiri bersama Hadhrat ‘Utsman dan merangkulnya seraya bersabda, أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا ، وَأَنْتَ وَلِيِّي فِي الْآخِرَةِ yang artinya, ‘engkau adalah temanku di dunia dan engkau juga temanku di akhirat.’”[17]
Budak yang telah dibebaskan Hadhrat ‘Utsman, Abu Sahlah menjelaskan, “Di hari Yaumuddaar (یٓوْمُ الدّار) – yaitu hari saat para pemberontak mengepung rumah beliau dan mensyahidkan beliau – di hari itu saya bertanya ke Hadhrat ‘Utsman, ‘Wahai Amirul Mukminin, berperanglah dengan pemberontak itu.’
Hadhrat Abdullah juga berkata kepada beliau, ‘Wahai Amirul Muminin! Hadapi saja para pengacau ini.’
Hadhrat ‘Utsman bersabda, ‘Demi Tuhan! Saya tidak akan berperang dengan mereka. Rasulullah (saw) telah menjanjikan satu hal kepada saya dan saya ingin supaya janji tersebut tergenapi.’”[18]
Orang-orang munafik melontarkan keberatan berkenaan dengan ketidakikutsertaan Hadhrat ‘Utsman dalam perang Badr, melarikan diri dari perang Uhud dan juga ketidakhadiran beliau pada Baiat Ridwan. ‘Utsman bin Mauhab (عُثْمَانَ بْنِ مَوْهَبٍ) meriwayatkan, “Seorang penduduk Mesir datang untuk menunaikan ibadah haji. Ia melihat orang-orang tengah duduk. Dengan niat menimbulkan fitnah, ia bertanya kepada orang-orang, ‘Siapakah orang-orang ini?’
Mereka menjawab, ‘Mereka adalah penduduk Quraisy.’
Orang itu bertanya lagi, ‘Siapakah orang tua yang berada diantara mereka?’
Mereka menjawab, ‘Beliau adalah Hadhrat Abdullah bin ‘Umar.’
Orang mesir itu bertanya kepada Hadhrat Abdullah bin ‘Umar, ‘Wahai Ibnu ‘Umar! Saya ingin menanyakan sesuatu kepada anda, mohon Anda jawab, apakah Anda mengetahui Hadhrat ‘Utsman melarikan diri dari perang Uhud?’
Beliau menjawab, ‘Ya.’
Lalu ia bertanya lagi, ‘Apakah Anda mengetahui Hadhrat ‘Utsman tidak ikut perang Badr?’
Beliau menjawab, ‘Ya.’
Ia bertanya, ‘Apakah Anda mengetahui Hadhrat ‘Utsman juga tidak ikut pada kesempatan baiat Ridhwan?’
Beliau menjawab, ‘Ya.’
Orang Mesir itu pun mengungkapkan keheranan dan berkata, ‘Allahu Akbar!’
Hadhrat Ibnu ‘Umar berkata kepada orang itu, تَعَالَ لأُخْبِرَكَ وَلأُبَيِّنَ لَكَ عَمَّا سَأَلْتَنِي عَنْهُ، أَمَّا فِرَارُهُ يَوْمَ أُحُدٍ فَأَشْهَدُ أَنَّ اللَّهَ عَفَا عَنْهُ، وَأَمَّا تَغَيُّبُهُ عَنْ بَدْرٍ فَإِنَّهُ كَانَ تَحْتَهُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَتْ مَرِيضَةً، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ” إِنَّ لَكَ أَجْرَ رَجُلٍ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا وَسَهْمَهُ ”. وَأَمَّا تَغَيُّبُهُ عَنْ بَيْعَةِ الرُّضْوَانِ فَإِنَّهُ لَوْ كَانَ أَحَدٌ أَعَزَّ بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ لَبَعَثَهُ مَكَانَهُ، فَبَعَثَ عُثْمَانَ، وَكَانَ بَيْعَةُ الرُّضْوَانِ بَعْدَ مَا ذَهَبَ عُثْمَانُ إِلَى مَكَّةَ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِيَدِهِ الْيُمْنَى ” هَذِهِ يَدُ عُثْمَانَ ”. فَضَرَبَ بِهَا عَلَى يَدِهِ فَقَالَ ” هَذِهِ لِعُثْمَانَ ”. اذْهَبْ بِهَذَا الآنَ مَعَكَ. ‘Coba kemari! Kamu telah melontarkan keberatan perihal beliau ra, untuk itu saya akan beritahu kamu bagaimana hakikat sebenarnya. Perihal Hadhrat ‘Utsman melarikan diri dari perang Uhud, saya memberikan kesaksian bahwa Allah Ta’ala telah memaafkan beliau.’
Dalam keadaan yang sangat panik disebabkan oleh kabar burung menyatakan bahwa Rasulullah (saw) telah disyahidkan oleh pasukan Kuffar. Saat itu Hadhrat ‘Utsman meninggalkan medan perang diliputi kesedihan yang mendalam setelah mendengar kabar wafatnya Rasulullah (saw).
‘Berkenaan dengan ketidakikutsertaan beliau pada perang Badr, penyebabnya adalah putri Rasulullah (saw) yang notabene istri Hadhrat ‘Utsman saat itu tengah jatuh sakit. Rasulullah (saw) bersabda kepada Hadhrat ‘Utsman, “Wahai ‘Utsman! Kamu tinggal saja bersama istrimu. Meskipun demikian kamu akan mendapatkan pahala dan bagian harta ghanimah seperti orang-orang yang ikut perang.”
Adapun berkenaan dengan ketidakikutsertaan beliau pada baiat Ridwan, perlu diingat bahwa seandainya ada orang yang lebih terhormat dari Hadhrat ‘Utsman dalam pandangan orang-orang di lembah Mekah, maka Rasulullah (saw) akan mengutus orang tersebut sebagai duta untuk kaum kuffar Quraisy. Rasulullah (saw) telah mengutus Hadhrat ‘Utsman untuk berangkat. Kepergian beliau ke Mekah saat itu bertepatan dengan prosesi Baiat Ridwan. Namun, ketika dilakukan Baiat Riwan, Rasulullah (saw) meletakkan tangan kanan beliau dengan kuatnya diatas tangan kiri beliau dan bersabda: tangan ini adalah untuk ‘Utsman.
Setelah menyampaikan klarifikasi seperti itu, Hadhrat Ibnu ‘Umar berkata kepada orang mesir itu: Sekarang kamu camkan apa yang telah saya katakan dan bawa pulang, keberatan kamu itu tidak bisa dilontarkan kepada beliau. Silahkan pergi dengan membawa penjelasan ini!’” (Riwayat Bukhari).[19]
Pada zaman Hadhrat ‘Utsman, Mesjid Nabawi mengalami perluasan, untuk pengkhidmatan tersebut, Hadhrat ‘Utsman mendapatkan taufik untuk dapat ambil bagian di dalamnya. Abu Malih meriwayatkan dari ayahnya, “Rasulullah (saw) pernah bersabda kepada seorang sahabat anshar yang memiliki sebidang tanah, bersabda, ‘Sebagai balasan dari sebidang tanah yang kamu berikan, Allah Ta’ala akan membangunkan sebuah rumah bagimu di surga nanti.’ Namun sahabat tersebut menolak untuk memberikannya.
Lalu Hadhrat ‘Utsman datang dan mengatakan kepada orang itu, sebagai ganti dari tanahmu ini, saya akan memberikan 10 ribu dirham padamu. Lalu Hadhrat ‘Utsman membeli tanah tersebut darinya. Setelah itu Hadhrat ‘Utsman datang menemui Rasulullah (saw) dan berkata: Wahai Rasulullah (saw)! Silahkan tuan beli tanah yang telah saya beli dari seorang sahabat anshar.’
Rasulullah (saw) membeli tanah tersebut dari Hadhrat ‘Utsman dengan janji balasan rumah di surga yakni Hadhrat Rasulullah (saw) menyampaikan hal yang sama bahwa sebagai balasannya akan mendapatkan rumah di surga.
Hadhrat ‘Utsman berkata, ‘Saya setuju untuk menukar uang 10 ribu dirham dengan surga.’
Setelah itu Hadhrat Rasulullah (saw) secara simbolis meletakkan sebuah batu pondasi lalu Rasulullah (saw) memanggil Hadhrat Abu Bakr dan beliau pun meletakkan sebuah bata. Lalu memanggil Hadhrat ‘Umar, dan beliau pun meletakkan sebuah bata. Beliau (saw) memanggil Hadhrat ‘Utsman dan beliau pun meletakkan sebuah bata. Kemudian, Rasulullah (saw) memanggil orang-orang selebihnya untuk meletakkan bata dan kesemuanya meletakkan bata. Seperti itulah perluasan yang terjadi.[20]
(عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ حَزْنٍ الْقُشَيْرِيِّ قَالَ) Tsumamah bin Hazn meriwayatkan, “Ketika terjadi pengepungan [terhadap Hadhrat ‘Utsman di hari-hari terakhir beliau], saya ada di sana. Saat itu Hadhrat ‘Utsman mengintip dari balik lubang udara dan bersabda, أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ وَالإِسْلاَمِ هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَلَيْسَ بِهَا مَاءٌ يُسْتَعْذَبُ غَيْرَ بِئْرِ رُومَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ” مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رُومَةَ فَيَجْعَلُ دَلْوَهُ مَعَ دِلاَءِ الْمُسْلِمِينَ بِخَيْرٍ لَهُ مِنْهَا فِي الْجَنَّةِ ” . فَاشْتَرَيْتُهَا مِنْ صُلْبِ مَالِي فَأَنْتُمُ الْيَوْمَ تَمْنَعُونِي أَنْ أَشْرَبَ مِنْهَا حَتَّى أَشْرَبَ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ ‘Saya bertanya kepada kalian dengan bersumpah atas nama Allah dan Islam, apakah kalian tahu ketika Hadhrat Rasulullah (saw) tiba di Madinah, tidak ada fasilitas air minum bersih selain dari sumur, yang bernama Rumah. Rasulullah (saw) pun bersabda, ‘Siapa yang akan membeli sumur ini supaya umat Muslim dapat mengambil manfaat darinya yakni agar dapat digunakan oleh si pembeli dan juga umat Muslim begitu pula si pembeli akan mendapatkan balasan yang lebih baik dari itu di surga.’ Lalu saya (Hadhrat ‘Utsman) membeli sumur tersebut dengan dana saya pribadi dan mempersilahkan agar Umat Muslim memanfaatkan sumur tersebut. Namun kalian (Pengacau) malah melarang saya untuk menggunakan sumur tersebut dan kalian ingin supaya saya terpaksa minum air laut.
Mendengar itu, orang-orang berkata, اللَّهُمَّ نَعَمْ ‘Demi Tuhan, benar apa yang tuan katakan.’
Kemudian Hadhrat ‘Utsman bersabda, أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ وَالإِسْلاَمِ هَلْ تَعْلَمُونَ أَنِّي جَهَّزْتُ جَيْشَ الْعُسْرَةِ مِنْ مَالِي ‘Saya bertanya kepada kalian dengan menyebut nama Islam dan Allah bahwa saya dulu dengan dana pribadi telah membantu persiapan laskar untuk perang Tabuk.’
Orang-orang menanggapi, ‘Demi Tuhan! Memang benar adanya.’
Beliau bersabda, أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ وَالإِسْلاَمِ هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ الْمَسْجِدَ ضَاقَ بِأَهْلِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” مَنْ يَشْتَرِي بُقْعَةَ آلِ فُلاَنٍ فَيَزِيدُهَا فِي الْمَسْجِدِ بِخَيْرٍ لَهُ مِنْهَا فِي الْجَنَّةِ ” . فَاشْتَرَيْتُهَا مِنْ صُلْبِ مَالِي فَأَنْتُمُ الْيَوْمَ تَمْنَعُونِي أَنْ أُصَلِّيَ فِيهَا رَكْعَتَيْنِ ‘Saya bertanya kepada kalian dengan bersumpah atas nama Allah dan Islam, kalian mengetahui bahwa ketika Masjid Nabawi sudah terasa sempit untuk para jamaah shalat, Rasulullah (saw) bersabda, “Bagi orang yang akan membebaskan lahan tanah dari si anu dengan membelinya lalu mewakafkannya untuk masjid, maka ia akan mendapatkan balasan yang lebih baik dari itu di surga.” Lalu saya membeli sebidang tanah dengan uang saya sendiri dan menyatukannya dengan area masjid, namun sekarang kalian malah melarang saya untuk melakukan shalat di masjid tersebut walaupun hanya dua rakaat.’
Orang-orang merespon, ‘Demi Tuhan! Memang benar adanya.’
Lalu Hadhrat ‘Utsman bersabda, أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ وَالإِسْلاَمِ هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ عَلَى ثَبِيرِ مَكَّةَ وَمَعَهُ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَأَنَا فَتَحَرَّكَ الْجَبَلُ حَتَّى تَسَاقَطَتْ حِجَارَتُهُ بِالْحَضِيضِ قَالَ فَرَكَضَهُ بِرِجْلِهِ وَقَالَ ” اسْكُنْ ثَبِيرُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ ” ‘Saya bertanya kepada kalian dengan bersumpah atas nama Allah dan Islam, apakah kalian tahu bahwa ketika Rasulullah (saw) berada di sebuah bukit bernama Tsabir dan yang menyertai beliau saat itu adalah Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat ‘Umar dan saya. Kemudian ketika bukit bergetar, Rasulullah (saw) menghentakkan kaki diatas tanah dan bersabda, ‘Wahai Tsabir! Berhentilah bergetar karena saat ini seorang Nabi, seorang Shiddiq dan dua orang Syahid tengah bersamamu.’
Orang-orang itu [yaitu para pemberontak] menjawab, ‘Benar apa yang tuan katakan.’
Hadhrat ‘Utsman bersabda, اللَّهُ أَكْبَرُ شَهِدُوا لِي وَرَبِّ الْكَعْبَةِ أَنِّي شَهِيدٌ ثَلاَثًا ‘Allahu Akbar, demi Tuhannya Ka’bah, mereka (para pengacau ini) telah memberikan kesaksian atas kebenaran apa yang saya katakan itu, yakni saya akan meraih maqam syahid.’”[21]
Perluasan lebih lanjut Masjid Nabawi ke tingkat yang lebih besar terjadi selama era Hadhrat ‘Utsman (ra). Demikian beberapa detil dan sejarah singkat mengenai perluasan ini dan juga keadaan awalnya. Telah disebutkan bahwa masjid diperluas pada masa Nabi (saw).
Sehubungan dengan Masjid ini ada catatan bahwa pada Rabiul Awwal tahun ke-1 Hijriah atau sekitar Oktober 622 M, Nabi (saw) meletakkan batu pondasi untuk Masjid Nabawi dengan tangan beberkat beliau sendiri. Pondasi kira-kira sedalam 3 zar’a [hasta], yaitu 1,5 meter. Dinding pondasi dibuat dengan menggunakan balok-balok yang dipotong dari bebatuan dan dinding utama dari balok-balok tanah liat yang telah dijemur. Dindingnya terbuat dari batu bata [tanah berlumpur] yang dijemur.[22]
Perihal pembangunan masjid, rincian perpanjangannya nanti juga akan disebutkan. Dinding masjid lebarnya kira-kira 3/4 meter, yaitu kira-kira 2-2,5 kaki dan tingginya kira-kira 7 hasta, hampir 3,5 meter.[23] Pembangunan Masjid Nabawi selesai pada tanggal bulan Syawal tahun ke-1 Hijriyyah atau April 623 M.[24]
Hadhrat Kharijah bin Zaid bin Thabit (ra) meriwayatkan bahwa untuk masjid Nabawi, Nabi (saw) membuat panjang 70 Hasta – kira-kira 35 meter dan lebarnya 60 Hasta – kira-kira 30 meter.[25]
Selama masa hidup Nabi (saw), perluasan Masjid Nabawi pertama kali terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyyah atau sekitar Juni 628 M. Ketika Nabi (saw) kembali setelah meraih kemenangan dalam Pertempuran Khaybar, Nabi (saw) memberi perintah untuk perluasan dan renovasi Masjid Nabawi. Masjid tersebut tidak diperpanjang di sisi selatan, yakni ke arah kiblat, bukan pula di sisi timur. Sebagian besar perluasan terjadi di sisi utara dan sebagian lagi ke arah barat. Di sisi utara terdapat beberapa rumah, di antaranya adalah rumah seorang Sahabat Ansari, yang agak ragu-ragu untuk merelakan rumahnya. Atas hal ini, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Hadhrat ‘Utsman bin Affan (ra) membeli rumah itu dari uangnya sendiri seharga 10.000 Dinar dan menyerahkannya kepada Nabi (saw). Oleh karena itu, sebagian besar konstruksi hanya mungkin dilakukan di sisi utara dan barat. Setelah perluasan ini, luas totalnya adalah 100 x 100 kubit/hasta atau 50 x 50 meter.[26]
Masjid Nabawi diperpanjang untuk kedua kalinya pada tahun ke-17 Hijriah selama Khilafat Hadhrat ‘Umar (ra). Hadhrat Abdullah bin ‘Umar (ra) menceritakan bahwa pada masa Nabi (saw), masjid dibangun dari batu bata [dari tanah lumpur yang dipadatkan], atapnya terbuat dari ranting dan daun kurma serta batang kurma digunakan sebagai pilar. Masjid tetap sama sepanjang era Hadhrat Abu Bakr (ra) dan tidak ada perluasan atau perubahan yang dilakukan. Hadhrat ‘Umar (ra) pada masa Khilafatnya menginstruksikan agar masjid tersebut diperpanjang dan direnovasi, namun tidak melakukan perubahan apapun pada tampilan dan struktur bangunannya, beliau membiarkannya pada pondasi asli atau membiarkan bagian yang lama sebagaimana adanya. Beliau membangunnya dengan gaya yang sama dan hanya memperpanjangnya. Atapnya dipertahankan dalam keadaan aslinya dengan menggunakan daun kurma. Beliau memastikan tiang itu terbuat dari kayu. Renovasi masjid selesai pada tahun ke-17 Hijriah di bawah pengawasan Hadhrat ‘Umar (ra). Setelah perluasan ini luas masjid bertambah menjadi kira-kira 50 x 50 meter, padahal sebelumnya 50 x 50 meter lalu menjadi 70 x 60 meter, yaitu 140 x 120 Hasta. Dari riwayat ini terbukti bahwa pada masa Hadhrat Abu Bakr (ra), keadaan masjid tetap sama seperti pada masa Nabi (saw). Tapi itu diperpanjang secara signifikan karena pembangunan pada masa Hadhrat ‘Umar (ra).[27]
Pada zaman Hadhrat ‘Utsman, masjid Nabawi juga mengalami perluasan dan dilakukan perombakan ulang. Itu terjadi pada tahun 29 Hijriah. Hadhrat ‘Utsman melakukan perluasan dan renovasi. Untuk memperindah dan memperkokoh, digunakan juga bebatuan, gypsum dan ukiran. Hadhrat ‘Utsman membangun dinding dari batu yang diukir. Untuk pertama kalinya tembok Masjid Nabawi dikapur [semacam dicat]. Pada bagian atap terpasang kayu yang kuat [seperti kayu jati].
Ketika Hadhrat ‘Utsman terpilih sebagai Khalifah pada tahun 24 Hijriah, orang-orang mengajukan permohonan kepada beliau agar memperluas masjid Nabawi. Mereka mengeluhkan halaman yang sudah terasa sempit, khususnya Ketika berkumpul ibadah shalat jumat, begitu banyaknya jamaah yang hadir, sehingga Sebagian jamaah terpaksa shalat dibagian luar masjid. Lalu Hadhrat ‘Utsman meminta musyawarah dari para shabat. Semuanya sepakat untuk merobohkan bangunan lama dan dibuatkan masjid baru diatasnya.
Suatu hari setelah shalat Zhuhur Hadhrat ‘Utsman naik ke atas mimbar lalu menyampaikan khotbah dengan bersabda, “Segala puji bagi Allah Ta’ala. Saya berkeinginan untuk merobohkan bangunan masjid yang lama dan membangunnya kembali. Saya juga memberikan kesaksian bahwa saya telah mendengar dari lisan beberkat Rasulullah (saw), beliau pernah bersabda, مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ تَعَالَى – وَجْهَ اللَّهِ – بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ ‘Siapa yang membangun masjid, Allah Ta’ala akan membangunkan sebuah rumah baginya di surga.’
Khalifah sebelum saya adalah Hadhrat ‘Umar al-Faruq. Beliau telah melakukan perluasan dan renovasi Masjid Nabawi yang mana hal itu merupakan teladan bagi saya. Saya meminta musyawarah dari para sahabat terkemuka dan kesemuanya sepakat bahwa masjid Nabawi dirobohkan dan dibangun lagi dari nol.”
Ketika Hadhrat ‘Utsman menyampaikan rencana untuk membangun ulang masjid Nabawi, ada beberapa sahabat yang menyatakan ketidaksetujuan atas hal ini. Mereka berpendapat agar jangan dirobohkan. Diantara yang tidak setuju itu adalah mereka yang memiliki rumah persis berdekatan dengan masjid Nabawi dan tampaknya akan terdampak oleh proyek pembangunan tersebut. Mayoritas pada umumnya setuju dengan rencana tersebut. Namun beberapa sahabat berkeberatan.
Hadhrat Aflah bin Hamid meriwayatkan, “Ketika Hadhrat ‘Utsman berkehendak untuk naik mimbar dan ingin mengetahui bagaimana pendapat orang-orang, Marwan bin Hakam berkata, ‘Tidak diragukan lagi, rencana ini sangatlah baik. Karena itu, apa perlunya tuan ingin mengetahui bagaimana pendapat orang-orang?’
Hadhrat ‘Utsman menegurnya dan bersabda, ‘Saya tidak ingin memaksakan kehendak orang-orang dalam suatu urusan. Saya harus meminta musyawarah mereka.’ Beliau bersabda, ‘Saya tidak ingin memaksakan pendapat pribadi saya kepada orang-orang. Pekerjaan apapun yang akan saya lakukan, dilakukan atas kehendak dan dukungan mereka.’
Kemudian setelah memberikan kepercayaan kepada para sahabat yang memiliki ide cemerlang berkenaan dengan rencana beliau, Hadhrat ‘Utsman membeli rumah-rumah yang berada di sebelah utara masjid Nabawi lalu membebaskan lahan tersebut, meskipun sebagai gantinya, beliau telah memberikan sejumlah uang yang cukup banyak kepada para sahabat itu, namun beberapa sahabat tetap enggan untuk memberikan rumahnya. Sehingga telah berlalu waktu sekitar 4 tahun namun belum berhasil untuk itu.”
Hadhrat Ubaidullah Khaulani meriwayatkan, “Ketika beberapa orang merasa keberatan untuk memberikan rumahnya dan terus menerus beralasan, saya mendengar Hadhrat ‘Utsman bersabda, ‘Kalian telah banyak berbicara, saya pernah mendengar Rasulullah (saw) bersabda, “Siapa yang membangun masjid untuk menarik keridhaan Allah Ta’ala, sebagai balasannya Allah Ta’ala akan membangunkan istana baginya di surga.”’”
Hadhrat Mahmud bin Lubaid meriwayatkan, “Ketika Hadhrat ‘Utsman bermaksud untuk membangun kembali masjid Nabawi, sebagin orang berkeberatan dengan gagasan tersebut. Mereka bersikeras menginginkan supaya Masjid Nabawi dibiarkan dalam keadaan yang sama seperti pada masa Rasulullah (saw). Hadhrat ‘Utsman bersabda, ‘Siapa yang membangun masjid demi untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala, sebagai balasannya, Allah Ta’ala akan membangun istana di surga baginya.’
Setelah Hadhrat ‘Utsman berhasil meyakinkan orang-orang, beliau memulai proyek tersebut pada bulan Rabiul Awwal tahun ke-29 Hijriah bertepatan dengan bulan November 649 Masehi. Pembangunan ulang tersebut memakan waktu hanya 10 bulan. Dengan begitu pada satu Muharram 30 Hijriah masjid Nabawi telah siap digunakan. Beliau sendiri turun tangan langsung untuk mengawasi proyek pembangunan. Pada siang hari beliau selalu berpuasa, sementara pada malam hari, jika rasa kantuk memaksa beliau beristirahat di masjid Nabawi.
Hadhrat Abdurrahman bin Safinah meriwayatkan, “Saya menyaksikan bahan bangunan diangkat lalu dibawa kepada Hadhrat ‘Utsman. Saya pun melihat beliau mengawasi para pekerja bangunan sambil berdiri. Ketika tiba waktu shalat, beliau melaksanakan shalat bersama mereka dan kadang beliau tidur di sana.”
Hadhrat ‘Utsman memperluas Masjid Nabawi bagian selatan yakni arah kiblat [arah kiblat menurut letak Madinah karena Madinah berada di utara Makkah]. Adapun dinding sebelah kiblat dipindahkan ke tempat yang digunakan sampai saat ini. Masjid diperluas bagian sebelah utara ditambahkan 50 kubit atau sekitar 25 meter begitu juga pada bagian sebelah barat telah diperluas. Bagian sebelah timur dimana terdapat ruangan-ruangan penuh berkat tidak diperluas. Setelah pembangunan itu, total luasnya menjadi 160 x 150 kubit atau 80 x 75 meter persegi. Pada masa Hadhrat ‘Utsman pintu masjid berjumlah enam.
Untuk pertama kalinya, desain diukir di atas batu Masjid Nabawi dan diwarnai dengan warna putih. Menurut riwayat Hadhrat Kharijah bin Zaid, Hadhrat ‘Utsman (ra) menempatkan jendela di sisi barat dan timur menghadap dinding Masjid Nabawi. Di antara rumah-rumah yang harus dibeli oleh Hadhrat ‘Utsman (ra) untuk perluasan Masjid Nabawi adalah rumah Ummul Mukminin Hadhrat Hafshah (ra). Sebagai gantinya, beliau diberi sebuah rumah yang temboknya disambungkan dengan tembok Kiblat dan terletak di sebelah tenggara kiblat dan dibuat sebuah lubang kecil untuk memudahkan akses keluar masuk rumah. Juga, setengah properti milik kerabat Hadhrat Abu Ja’far bin Abu Thalib dibeli seharga 100.000 dirham. Demikian pula, beberapa daerah dari Dar-ul-Abbas dibeli dan dimasukkan ke dalam kawasan Masjid Nabawi.
Selain memindahkan tembok kiblat lebih jauh ke selatan, perkembangan penting lainnya di Masjid Nabawi adalah Mihrab Masjid Nabawi juga dipindahkan lebih jauh di dalam garis Kiblat. Ini persis di tempat yang sama di mana Mehrab ‘Utsmani berada saat ini dan area Mehrab asli telah ditandai. Bukannya menggunakan lumpur, mereka menggunakan batu-batu pecah dan batang besi ditempatkan di pilar yang terbuat dari batu. Perhatian khusus diberikan untuk memastikan bahwa pilar-pilar baru ini didirikan di tempat yang persis sama di mana pilar yang terbuat dari cabang pohon kurma ditempatkan selama masa hidup Rasulullah (saw) yang diberkati. Jenis bahan dan desain arsitektur yang sama yang digunakan oleh kaum Bizantium untuk Kubah Batu di Yerusalem juga digunakan untuk konstruksi ini. Atapnya terbuat dari kayu keras yang diletakkan di atas balok kayu dan ditopang oleh tiang dari batu dan batang besi di dalamnya.
Sejak kejadian pensyahidan menimpa Hadhrat ‘Umar (ra) di Mihrab Nabi (saw) saat memimpin shalat, oleh karena itu demi mencegah terulangnya kejadian yang sama, Hadhrat ‘Utsman (ra) membangun sebuah “Maqsurah” – yaitu, sebuah pagar dibangun diantara depan shaf tempat jamaah berdiri dan di mimbar yang dibangun dari batu bata dan memiliki lubang kecil serta bukaan di dalamnya sehingga jamaah dapat melihat Imam. Ini adalah tindakan pencegahan pertama yang dibangun di Masjid Nabawi dan kemudian diadopsi sebagai fitur arsitektur resmi di [masjid] Damaskus sebagai protokol keselamatan bagi Khulafa (para Raja) Bani Umayyah, yaitu membangun tembok di sekitar Mehrab (ruangan berceruk tempat Imam memimpin shalat) untuk pengamanan tapi masih memungkinkan jamaah untuk melihat Imam. Setelah itu, dalam berbagai waktu masjid terus diperluas.[28]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Saya menyerupakan Hadhrat ‘Utsman dengan Hadhrat Sulaiman as, karena beliau pun sangat gemar dengan pembangunan-pembangunan. Pada zaman Hadhrat Ali, tentu telah terjadi kekisruhan internal (di dalam umat Islam), di satu sisi terdapat Muawiyah dan di pihak kedua adalah Hadhrat Ali. Kekisruhan tersebut telah mengalirkan banyak darah umat Islam. Dalam masa waktu 6 tahun [Khilafat ‘Ali], capaian yang dialami oleh Islam tidak signifikan. Capaian bagi umat Islam berakhir sampai zaman Hadhrat ‘Utsman, karena mulai terjadi peperangan sipil internal [setelah kewafatan beliau].”[29]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Tidaklah mesti, sebuah masjid harus megah dan permanen, melainkan yang harus dilakukan adalah berikanlah tanda batas tanah dan batasilah dengan bamboo atau dengan dahan pohon, supaya terlindungi dari hujan. Allah Ta’ala tidak menyukai perbuatan yang mengada-ada. Masjid Rasulullah (saw) terdiri dari dahan pohon kurma dan itu terus dipertahankan. Karena Hadhrat ‘Utsman gemar dengan pembangunan, Hadhrat ‘Utsman membuatnya permanen pada zamannya. Saya sering terpikir, Hadhrat Sulaiman memiliki kemiripan yang sangat dengan Hadhrat ‘Utsman, mungkin karena kesesuaian tersebut, beliau gemar akan hal itu.”[30]
Perluasan masjidil Haram terjadi pada tahun 26 Hijriah. Pada tahun 26 Hijriah, Hadhrat ‘Utsman memperbarui tanda-tanda [batas] Haram dan memperluas Masjidil Haram. Beliau juga membeli bangunan-bangunan di sekitarnya dan menggabungkannya dengan Masjidil Haram. Sebagian orang menjual rumah rumahnya dengan kehendaknya sendiri, namun ada sebagiannya lagi yang tidak setuju untuk menjual rumahnya. Hadhrat ‘Utsman berusaha meyakinkan mereka dengan berbagai cara, namun mereka tetap pada pendiriannya. Akhirnya, atas perintah Hadhrat ‘Utsman semua bangunan-bangunan itu dirobohkan dan memerintahkan untuk membayarkannya dengan uang Baitul Maal. Atas kejadian itu, orang-orang yang tidak setuju itu menciptakan keonaran sebagai bentuk keberatan terhadap Hadhrat ‘Utsman. Hadhrat ‘Utsman memerintahkan untuk menangkap orang-orang itu dan memasukkannya ke dalam penjara. Hadhrat ‘Utsman bersabda kepada mereka, “Apakah kalian tahu, hal apa yang membuat kalian berani untuk bersikap seperti ini kepada saya? Yang membuat kalian berani berbuat demikian adalah kelemahlembutan saya. Padahal Hadhrat ‘Umar pun pernah melakukan hal serupa terhadap kalian, namun kalian tidak membuat kegaduhan untuk memprotes beliau.” Setelah itu Abdullah bin Khalid bin Usaid berbicara kepada Hadhrat ‘Utsman berkenaan dengan orang-orang yang membuat keonaran itu. Akhirnya mereka dibebaskan.[31]
Behri Bera (Pasukan Angkatan Laut) juga dibuat pada zaman Hadhrat ‘Utsman pada 28 Hijriah. Amir Muawiyah bin Abu Sufyan adalah orang pertama yang melakukan peperangan laut pada zaman Hadhrat ‘Utsman. Amir Muawiyah juga pernah meminta izin dari Hadhrat ‘Umar untuk melakukan peperangan di laut. Namun Hadhrat ‘Umar tidak mengizinkannya. Ketika Hadhrat ‘Utsman terpilih sebagai Khalifah, Amir Muawiyah pun berkali kali menyampaikan kepada beliau dan meminta izin, sehingga akhirnya Hadhrat ‘Utsman mengizinkannya dan bersabda: kamu jangan memilih sendiri orang-orangnya, jangan juga mengundi mereka, melainkan berikan mereka wewenang, setelah itu bagi mereka yang ingin ikut berperang dengan suka hati, silahkan ajak orang itu dan bantulah ia.
Amir Muawiyah pun melakukan demikian. Beliau mengangkat Abdullah bin Qais sebagai komandan Angkatan laut, yang mana telah melakukan peperangan di laut pada musim panas dan dingin sebanyak 50 kali. Dalam peperangan tersebut tidak ada satu pun pasukan Muslim yang tenggelam dan tidak ada juga kerugian apapun.[32]
Berkenaan dengan Hadhrat ‘Utsman, Hadhrat Rasulullah (saw) pernah bersabda bahwa Hadhrat ‘Utsman memiliki akhlak yang paling mirip dengan Rasulullah (saw). Hadhrat Abdurrahman bin ‘Utsman meriwayatkan, suatu hari Rasulullah (saw) berkunjung ke rumah putri beliau. Saat itu putri beliau tengah membasuh kepala suaminya, Hadhrat ‘Utsman. Rasul bersabda: Wahai putriku! Perlakukan Abu Abdullah yakni Hadhrat ‘Utsman dengan perlakuan terbaik, karena dari sisi akhlak, ia memiliki akhlak yang paling mirip denganku.[33]
Hadhrat Yahya bin Abdurrahman bin Hatib meriwayatkan, “Saya mendengar ayah saya berkata demikian, ‘Saya tidak menemukan seseorang diantara sahabat Rasulullah (saw) yang menjelaskan sesuatu dengan sempurna dan indah, yang lebih baik dari Hadhrat ‘Utsman. Namun, Hadhrat ‘Utsman menghindari banyak-banyak berbicara yang tidak perlu.’”[34]
Hadhrat Abu Hurairah meriwayatkan: Saya hadir ke hadapan Hadhrat Ruqayyah Binti Rasulillah. Atau mungkin saja yang dimaksud di sini bukan Hadhrat Ruqayyah melainkan Hadhrat Ummu Kultsum. Karena dalam Riwayat dikatakan bahwa Hadhrat Ruqayyah sudah wafat pada kesempatan perang Badr sedangkan Hadhrat Abu Hurairah baiat masuk Islam 5 tahun setelah itu di Madinah. Yang dimaksud disini mungkin saja Hadhrat Ummu Kultsum, karena beliau wafat pada 9 Hijriah. Riwayatnya sebagai berikut, “Saya datang ke hadapan putri Hadhrat Rasulullah (saw) yang merupakan istri Hadhrat Utsman (ra) dan di tangannya beliau memegang sisir. Beliau mengatakan, ‘Baru saja Rasulullah (saw) datang kepada saya dan saya menyisir kepala beliau (saw), lalu beliau (saw) bertanya kepada saya, “Bagaimana menurutmu sosok Abu Abdullah, yakni Hadhrat Utsman (ra)?”
Saya menjawab, “Sangat baik”. Beliau (saw) bersabda, “Perlakukanlah beliau dengan hormat karena di antara para sahabat saya yang paling mirip dengan saya dari sisi akhlak adalah beliau.”’”[35]
Saya baru saja menyelesaikan riwayat Hadhrat Utsman (ra).
Hari ini pun saya akan menyalatkan beberapa jenazah dan saya ingin menyampaikan riwayat mereka. Jenazah pertama Mubasyar Ahmad Rang Sahib putra Ahmad Bakhs Sahib, Mu’allim Waqfi Jadid Rabwah yang wafat pada 10 Maret. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau berasal dari Basti Rinda’, Distrik Dera Ghazi Khan. Beliau seorang Ahmadi keturunan. Pada 1990 beliau memulai pengkhidmatannya sebagai Mu’allim Waqfi Jadid di Tharparkar dan kemudian pada masa yang berbeda-beda bertugas sebagai Mu’allim dan Inspektur di berbagai tempat. Kemanapun ditugaskan beliau selalu mengucapkan labaik dan tidak pernah mengemukakan alasan. Beliau selalu berusaha untuk menunaikan waqaf dengan penuh kesetiaan. Semua orang, baik kerabat beliau maupun bukan menulis bahwa beliau adalah seorang pekerja keras, rajin berdoa, melaksanakan tahajud dengan dawam, Da’i Ilallah yang terbaik, seorang orator ulung, ramah, pengkhidmat tamu, berakhlak baik dan sosok yang rendah hati. Beliau selalu bertutur kata manis dan lemah lembut, namun jika mendengar suatu hal yang bertentangan dengan nizam Jemaat dan Khilafat maka beliau menjadi pedang yang terhunus dan tidak akan beranjak dari majlis tersebut selama belum memperbaiki orang tersebut. Di antara yang ditinggalkan, selain istri juga dua orang putra dan tiga orang putri. Putra bungsu beliau yang tercinta Shazil Ahmad adalah mahasiswa Darjah Tsalitsah Jamiah Ahmadiyah Rabwah. Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan ampunan-Nya kepada Almarhum.
Jenazah kedua Munir Ahmad Farakh Sahib, mantan Amir Jemaat Distrik Islamabad. Setelah sakit yang panjang, beliau wafat pada 9 Maret di Kanada pada usia 84 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau adalah seorang mushi dengan besaran wasiyat 1/9. Kakek dari Ir. Munir Farakh Sahib bernama Hadhrat Munshi Ahmad Bakhs Sahib yang merupakan sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as). Beliau pergi ke Qadian dan mendapatkan karunia baiat pada Jalsah Salanah tahun 1903. Ayahanda Almarhum bernama Dokter Choudry Abdul Ahad Sahib seorang M.Sc dan PHD di bidang pertanian dan di masa itu yang meraih PHD adalah para pelajar yang sangat cerdas. Singkatnya beliau meraih PHD. Beliau untuk beberapa masa juga berkhidmat sebagai Amir Jemaat Lailpur.
Pada 1944 ketika Khalifatul Masih Ats-Tsani (ra) menyeru para pemuda khususnya para ilmuwan untuk mengkhidmati agama, maka Dokter Sahib – yakni ayah dari Farakh Sahib – pun mewaqafkan diri dan meninggalkan pekerjaan di pemerintahan lalu pindah ke Qadian bersama keluarga beliau. Pada saat itu telah berdiri Fazl-e-Umar Research Institute di bawah pengawasan langsung Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsani (ra). Hudhur (ra) menetapkan beliau sebagai Direktur Fazl-e-Umar Research Institute. Di samping itu beliau juga bertugas sebagai dosen sains di Ta’limul Islam College.
Farakh Sahib meraih gelar teknik elektro dari Universitas Teknik dan Teknologi dan kemudian mulai bekerja di berbagai tempat. Kemudian beliau mulai bekerja secara resmi di pemerintah Pakistan di Departemen Telegraf dan Telepon. Pada masa berdinas beliau telah melakukan pengkhidmatan di hampir semua kota di Pakistan. Beliau sering mewakili pemerintah Pakistan ke banyak negara. Pada 1997 beliau pensiun dari jabatan sebagai Direktur Umum Perusahaan Telekomunikasi Pakistan. Beliau meninggalkan istri beliau, dua putra dan dua putri. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada putra-putri Almarhum untuk mengikuti jejak langkah Almarhum.
Pada saat tinggal di Rawalpindi beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Qaid Daerah Majlis Khuddamul Ahmadiyah dan ini adalah periode di tahun 1974 yang penuh kekacauan dan beliau mendapatkan taufik berkhidmat di masa-masa tersebut. Pada 1977 setelah menetap di Islamabad beliau mendapatkan taufik melakukan berbagai pengkhidmatan. Pada 1990 beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Naib Amir Awwal. Kemudian setelah pensiun beliau mewaqafkan diri.
Beliau mengajukan diri ke hadapan Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) dan direstui. Kemudian pada 1999 beliau mengemban amanah berkhidmat sebagai Amir Jemaat untuk kota dan Distrik Islamabad. Di Rabwah, pengkhidmatan beliau di antaranya adalah, untuk kemudahan melakukan panggilan langsung beliau banyak melakukan upaya mendirikan digital exchange dan beliau adalah anggota komite keuangan. Beliau juga anggota eksekutif IAAAE dan mendapatkan taufik sebagai anggota kehormatan dan juga berkhidmat di berbagai departemen. Pada 1996 Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) menetapkan beliau sebagai Direktur Fazl-e-Umar Foundation yang hingga akhir hayatnya beliau berkhidmat pada jabatan ini. Ketika di tahun 1980 pada masa Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits (rh) di Jalsah Salanah mulai disediakan terjemahan ceramah-ceramah Jalsah Salanah untuk kemudahan bagi para tamu luar negeri, maka dibentuk tim insinyur-insinyur Ahmadi dan beliau juga bekerja keras di dalamnya dan mendapatkan taufik untuk memberikan peranan yang menonjol dan Munir Farakh Sahib juga menjadi Muntazim ‘Alaa dari tim ini.
Pada April 1984 ketika Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) melakukan hijrah ke Inggris, beliau secara rutin setiap tahun datang ke Jalsah Salanah UK dan tugas penerjemahan diserahkan kepada beliau, yakni menyampaikan terjemahan kepada orang-orang dan beliau melaksanakan tugas ini dengan sangat baik. Beliau bekerja dengan sangat rajin. Di masa keamiran beliau banyak dilakukan pembangunan di Jemaat Islamabad. Salah seorang putra beliau mengatakan bahwa beliau selalu menasihatkan anak-anaknya untuk berlomba-lomba ikut serta dalam pekerjaan-pekerjaan Jemaat. Meskipun bekerja di pemerintahan beliau selalu terdepan dalam pengkhidmatan kepada Jemaat. Setelah selesai bekerja beliau langsung datang ke kantor Jemaat dan melaksanakan tugas-tugas Jemaat. Setiap tahun beliau secara khusus menyisakan masa cuti untuk Jalsah Salanah UK.
Pada saat masih berdinas, dikarenakan statusnya sebagai Ahmadi beliau ditempatkan di daerah yang sangat jauh, Dera Ismail Khan dan perdana menteri pada waktu itu, Bhutto Sahib mengatakan, “Jangan tempatkan ia lagi di Islamabad.” Namun Allah Ta’ala menurunkan karunia-Nya, kemudian beliau ditugaskan kembali di Islamabad dan dari sana beliau juga mendapatkan taufik pergi ke berbagai negara sebagai delegasi pemerintah. Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan ampunan-Nya kepada beliau.
Jenazah selanjutnya pensiunan Brigadir Muhammad Latif Sahib, mantan Amir Daerah Rawalpindi. Beliau wafat pada 28 Februari di usia 77 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Brigadir Latif Sahib bersama dengan ayahanda beliau menerima Ahmadiyah sekitar tahun 1955. Ayahanda Brigadir Sahib wafat pada tahun 2000. Setelah itu dalam keluarga hanya Brigadir Sahib sendiri yang Ahmadi. Yakni selain dari anak-anak beliau. Beliau memiliki satu istri, dua putra dan dua putri. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada anak-anak beliau untuk dapat mengikuti jejak langkah beliau. Pada tahun 2000 setelah pension, beliau mengkhususkan seluruh waktunya untuk mengkhidmati Jemaat. Beliau pernah menjabat sebagai Sekretaris Umur ‘Aamah dan Naib Amir Daerah Rawalpindi. Dari 2019 hingga 2021 beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Amir Daerah Rawalpindi. Beliau mendapatkan taufik mengkhidmati Jemaat kurang lebih 20 tahun.
Beliau seorang yang penuh simpati, memperhatikan orang-orang miskin, melaksanakan pengkhidmatan terhadap Jemaat dengan menganggapnya sebagai karunia ilahi dan menasihatkan hal ini juga kepada anak-anaknya. Di masa sakitnya yang terakhir pun kapan saja ada undangan dari pengurus pusat beliau segera berangkat dan tidak pernah menolak. Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan ampunannya kepada beliau.
Jenazah selanjutnya yang terhormat Konokbek Omurbekov Sahib, seorang Ahmadi dari Kirgistan. Beliau wafat pada 22 Februari di usia 67 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.
Ilyas Kubatov Sahib Amir Nasional Khirgistan menulis, “Saya menjalin hubungan dengan yang terhormat Konokbek Sahib sejak lebih dari 15 tahun. Almarhum adalah salah satu Ahmadi awalin di Kirghistan. Almarhum menerima Ahmadiyah pada tahun 2000. Almarhum adalah seorang Ahmadi yang sangat tulus dan setia, selalu ikut serta dalam program-program Jemaat dan ikut serta secara dawam dalam candah-candah Jemaat dan pengorbanan-pengorbanan harta lainnya dan melunasi perjanjiannya tepat waktu. Beliau melaksanakan shalat lima waktu dengan tepat waktu dan melaksanakan tahajud secara dawam.
Di masa Uni Soviet pada masa mudanya Almarhum mendapatkan jabatan-jabatan penting di organisasi-organisasi besar dan kantor-kantor bisnis dan semua orang sangat memuji beliau dikarenakan kejujuran, kebaikan akhlak dan kerja keras beliau. Di tahun-tahun terakhir masa hidupnya ketika tidak ada pekerjaan yang beliau lakukan, beliau berjualan buku-buku, khususnya buku-buku Islami. Sebelum adanya pembatasan kegiatan-kegiatan keagamaan Jemaat di Kirgistan beliau secara ruitn membagikan buku-buku Jemaat dan Terjemahan Al-Qur’an Jemaat kepada orang-orang. Melalui tablighnya beliau menyampaikan pesan Ahmadiyah kepada banyak orang.”
Almarhum meninggalkan seorang istri dan putra berusia tujuh tahun. Ini adalah istri kedua beliau. Istri yang pertama telah bercerai dengan beliau. Dari istri pertama pun beliau mempunyai anak yang kemungkinan bukan Ahmadi. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada mereka untuk dapat menerima Ahmadiyah. semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada beliau.
Mubaligh Sahib menulis, “Ketika terjemahan Al-Qur’an bahasa Rusia diterbitkan, beliau menandai beberapa kekeliruan, lalu saya mengatakan, ‘Kalau begitu mohon tuan baca secara keseluruhan dan berikan tanda.’ Lalu beliau membaca seluruh Al-Qur’an beserta terjemahannya hanya dalam waktu 10-15 hari dan menandai kekeliruan-kekeliruannya. Untuk melaksanakan shalat beliau melakukan wudhu dengan penuh perhatian dan timbul rasa iri ketika melihat beliau melaksanakan shalat.”
Yang terhormat Uzgenbaev Artur Sahib menuturkan, “Faktanya, Konokbek Sahiblah yang telah menyampaikan pesan Ahmadiyah kepada saya. Kapan pun saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan, beliau memberikan jawaban-jawaban yang membuat saya terheran-heran dan jawaban-jawaban beliau penuh dengan mantiq, akal dan hikmah. Yang terhormat Konokbek Sahib adalah sosok berakhlak luhur, penyabar dan lemah lembut. Dikarenakan akhlak dan keistimewaan-keistimewaan beliaulah saya masuk Jemaat. Ketika saya menghimbau untuk melaksanakan puasa nafal secara dawam dan banyak berdoa, beliau melaksanakan puasa pada hari senin dan juga kamis. Lalu dikatakan kepada beliau supaya dalam seminggu berpuasa sehari saja. Beliau mengatakan, “Saya berpuasa pada hari senin dan juga pada hari kamis supaya saya menjadi orang yang mengucapkan labaik atas setiap seruan Khilafat.” Beliau seorang yang sangat mencintai Khilafat, menyimak khotbah Jum’at secara rutin dalam bahasa Rusia. Seorang yang sangat rendah hati, berakhlak baik dan sebagaimana telah disampaikan beliau biasa melakukan da’wat ilallah dengan senang hati.
Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan ampunan-Nya kepada beliau, meninggikan derajat semua Almarhum dan meneruskan kebaikan-kebaikan mereka pada anak keturunan mereka.[36]
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Fazli ‘Umar Faruk (Indonesia) dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.
[1] Islam Mein Ikhtilafat ka Aghaz, Anwar-ul-Ulum, Vol. 4, p. 333.
[2] Sahih al-Bukhari, Kitab Fada‘il Ashab al-Nabi (sa), Bab Manaqib Uthman bin Affan(ra), Hadith 3695.
[3] Sahih al-Bukhari 3686, Kitab tentang para Sahabat Nabi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), keutamaan Hadhrat ‘Umar (باب مَنَاقِبُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَبِي حَفْصٍ الْقُرَشِيِّ الْعَدَوِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ). Sahih al-Bukhari, Kitab Fada‘il Ashab al-Nabi (sa), Bab Manaqib Uthman (ra) bin Affan, Hadith 3699.
[4] Sunan al-Tirmidhi, Abwab al-Manaqib, Bab Qauluhum Kunna Naqul Abu Bakr wa Umar wa Uthman, Hadith 3708.
[5] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Muhammad ibnu Sa’d, Vol. 3, Uthman (ra) bin Affan [Beirut, Lebanon: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1996], p. 42; Sayyid Fadl al-Rahman, Farhang-i-Sirat [Karachi, Pakistan: Zawwar Academy Publications, 2003], p. 130.
[6] Islam Mein Ikhtilafat ka Aghaz, Anwar-ul-Ulum, Vol. 4, p. 294.
[7] Islam Mein Ikhtilafat ka Aghaz, Anwar-ul-Ulum, Vol. 4, p. 329.
[8] Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, Vol. 4, Uthman (ra) bin Affan [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005], p. 378
[9] Ibn ‘Abd al-Barr, Al-Isti‘ab fi Ma’rifat al-Ashab, Vol. 3, Uthman bin Affanra [Beirut, Lebanon: Dar al-Jil, 2002], 156.
[10] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Muhammad ibnu Sa’d, Vol. 3, Dhikr Libas Uthman (ra) bin Affan [Beirut, Lebanon: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1996], pp. 32-34.
[11] Majma al-Zawa‘id wa Manba al-Fawa‘id, Kitab-ul-Manaqib, Bab Sifatuh, Hadith 14493, Vol. 9, p. 75, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2001.
[12] Sahih al-Bukhari, Kitab al-Libas, Bab Ittikhadh al-Khatam, Hadith 5878; Sahih Muslim 2092c, Kitab al-Libas was Ziinah atau Kitab tentang pakaian dan penghias (كتاب اللباس والزينة), Bab Nabi (saw) memakai cincin untuk menstempel surat kala beliau ingin mengirimkan surat kepada orang-orang ‘Ajam (non Arab) (باب فِي اتِّخَاذِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم خَاتَمًا لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ )
[13] Sahih al-Bukhari 5879, Kitab al-Libas atau pakaian (كتاب اللباس), bab Hal Yuj‘alu Naqsh al-Khatam (باب هَلْ يُجْعَلُ نَقْشُ الْخَاتَمِ ثَلاَثَةَ أَسْطُرٍ), Hadith 5879.
[14] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5 [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2002], pp. 111-112.
[15] Sunan Abi Dawud (سنن أبي داود), Kitab tentang Sunnah (كتاب السنة), bab al-Khulafa atau para Khalifah (باب فِي الْخُلَفَاءِ), Hadith 4649. https://sunnah.com/abudawud/42/54
[16] Jami` at-Tirmidhi atau Sunan at-Tirmidzi, Kitab Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم) atau Abwab al-Manaqib, Bab wa Rafiqi fi Jannah Uthman, Hadith 3698.
[17] Majma al-Zawa‘id wa Manba al-Fawa‘id, Kitab al-Manaqib, Bab Mawalatuh, Hadith 14528, Vol. 9, p. 66, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2001; Musnad Abi Ya’la al-Maushili (مسند أبي يعلى الموصلي مسند أبي يعلى الموصلي مسند جابر حديث رقم 2000) dan Fadhail ‘Utsman karya ‘Abdullah ibn Hanbal (فضائل عثمان بن عفان لعبد الله بن أحمد).
[18] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 3, Uthman (ra) bin Affan [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Fikr, 2003], p. 483.
[19] Sahih al-Bukhari, Kitab Fada‘il Ashab al-Nabi(sa), Bab Manaqib Uthman bin Affan(ra), Hadith 3698; Shahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi (كتاب المغازى), bab firman Allah ayat berikut (باب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {إِنَّ الَّذِينَ تَوَلَّوْا مِنْكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُوا وَلَقَدْ عَفَا اللَّهُ عَنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ}).
[20] Majma al-Zawa‘id wa Manba al-Fawa‘id, Kitab al-Manaqib, Bab ma Amila fi al-Khair…, Hadith 14524, Vol. 9, p. 65, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2001.
[21] Sunan al-Nasa‘i, Kitab al-Ahbas, Bab Waqf al-Masajid, Hadith 3638; Jami` at-Tirmidhi, Kitab Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), nomor 3703.
[22] Justuju-e-Madinah, Abdul Hameed Qadiri, p. 430, Oriental Publications, Pakistan, 2007)
[23] Justuju-e-Madinah, Abdul Hameed Qadiri, p. 432, Oriental Publications, Pakistan, 2007.
[24] Justuju-e-Madinah, Abdul Hameed Qadiri, p. 435, Oriental Publications, Pakistan, 2007.
[25] Justuju-e-Madinah, Abdul Hameed Qadiri, pp. 437-438, Oriental Publications, Pakistan, 2007.
[26] Justuju-e-Madinah, Abdul Hameed Qadiri, pp. 446-447, Oriental Publications, Pakistan, 2007.
[27] Justuju-e-Madinah, Abdul Hameed Qadiri, p. 459, Oriental Publications, Pakistan, 2007.
[28] Justuju-e-Madinah, Abdul Hameed Qadiri, pp. 463-465, Oriental Publications, Pakistan, 2007; Urdu Lughat Tarikhi Usulon par, Vol. 18, p. 492, Zair Lafz Maqsurah.
[29] Malfuzat, Vol. 8, p. 278.
[30] Malfuzat, Vol. 7, p. 119.
[31] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5 [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2002], p. 92. Tercantum juga dalam al-Ishabah karya al-Asqalani (نام کتاب : الإصابة في تمييز الصحابة نویسنده : العسقلاني، ابن حجر جلد : 4 صفحه : 63). Tercantum juga dalam (تاريخ مكة المشرفة والمسجد الحرام) karya (ابن الضياء) pasal (ذكر عمل عمر بن الخطاب وعثمان رضي الله عنهما); tercantum juga dalam Futuhul Buldan: Penaklukan Negeri-negeri dari Fathu Makkah Sampai Negeri Sind oleh Syaikh Al-Baladzuri. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah oleh Prof. Dr. Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif. Abdullah bin Khalid bin Usaid bin Abi Aish bin Umayyah bin Abdu Syams (عبد الله بن خالد بن أَسيد بن أبي العِيص بن أميّة بن عبد شمس بن عَبْد مَنَاف) ialah putra saudara atau keponakan Attab bin Asid (Uttab bin Usaid). Uttab ialah seorang pemuda berusia 20an keturunan Banu Umayyah dan menjadi Walikota Makkah yang ditunjuk Rasulullah (saw) setelah Fath Makkah. Ia Walikota Makkah pertama di zaman Islam. Nabi (saw) menyuruhnya agar mengimami salat orang-orang. Dia adalah pemimpin pertama yang mengimami salat berjamaah setelah penaklukan Mekkah’ (Al-sirah Al-halabiyyah, jil. 3, hal. 104). Abu Sufyan (Walikota Najran), Yazid bin Abu Sufyan (dijuluki Yazid al-khair, Yazid nan baik, Amil zakat dan sedekah kaum Banu Firas), Amru bin Sa’id bin al-Ash bin Umayyah (Walikota Khaibar dan sekitarnya), Al-Hakam bin Sa’id (Kepala Pasar Makkah), Khalid bin Sa’id (Amir Shana’a), Aban bin Sa’id (Amir Bahrain), serta Mu’awiyah (juru tulis) adalah keturunan Umayyah yang diangkat pejabat atas pilihan Rasulullah (saw) setelah takluknya Makkah. Sementara itu, ‘Utsman bin ‘Affan (juru tulis) yang juga Banu Umayyah, ditunjuk jauh sebelum zaman Fath Makkah.
[32] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5 [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2002], p. 97.
[33] Majma al-Zawa‘id wa Manba al-Fawa‘id, Kitab al-Manaqib, Bab ma Ja‘a fi Khuluqih, Hadith 14501, Vol. 9, p. 58, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2001.
[34] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Muhammad ibnu Sa’d, Vol. 3, Uthman (ra) bin Affan [Beirut, Lebanon: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1996], p. 32.
[35] Majma al-Zawa‘id wa Manba al-Fawa‘id, Kitab al-Manaqib, Bab ma Ja‘a fi Khuluqih, Hadith 14501, Vol. 9, p. 58, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2001.
[36] Original Urdu transcript published in Al Fazl International, 9 April 2021, pp. 5-10. Translated by The Review of Religions. (الفضل انٹرنیشنل 9؍اپریل2021ء صفحہ 5تا10) https://www.alislam.org/urdu/khutba/2021-03-19/